Tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat - Korannya Jawa Barat Sabtu, 21 Januari 2017.

KONSEKUENSI PILIHAN MATA UJIAN UN


Setelah wacana UN ditiadakan, kini muncul aturan baru tentang pelaksanaan UN tahun 2017. Memilih mata pelajaran dalam UN. Ini luar biasa.

Dalam surat edaran Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0204/H/EP/2017 tanggal 11 Januari 2017 tentang Pendaftaran Peserta Ujian Nasional 2017. Seorang siswa calon peserta UN akan diwajibkan mengikuti 3 (tiga) mata pelajaran wajib yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, ditambah dengan 1 (satu) mata pelajaran yang adalam jurusan/peminatan-nya. Dengan demikian pada masing-masing peminatan akan terdapat 3 (tiga) komposisi yang diambil siswa. Untuk peminatan MIPA yakni (1) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Fisika, (2) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Kimia, (3) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Biologi, untuk peminatan IPS yakni (1) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi,  (2) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Sosiologi, (3) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Geografi, untuk peminatan Bahasa yakni (1) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Antroplogi, (2) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Sastra Indonesia, (3) Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Asing (Bahasa asing ciri khas sekolah).

Dampak Terkait Nilai UN

Dengan terbitnya kebijakan baru semacam ini, ada beberapa konsekuensi yang cukup memprihatinkan, terlepas apakah kebijakan tersebut telah melalui forum diskusi panjang dan sumbang saran dari banyak pihak atau belum, inilah beberapa prediksi dampak kebijakan baru tersebut.

Bebarapa hal berkaitan dengan“nilai” yang akan hilang : 

1.     Rerata UN sesama siswa satu peminatan/jurusan tak bisa dibandingkan lagi, sebab mata uji UN yang dipilih berbeda-beda. Tak akan ada lagi sesama teman mengatakan “Nilai UN-ku lebih bagus diandingkan nilai UN-mu”.

2.     Tak ada “juara” UN di sekolah atau di Kabupaten/Kota, sebab mata pelajaran yang
diikuti berbeda-beda.

3.     Rerata UN tiap mata pelajaran dalam satu peminatan/jurusan tak dapat dibandingkan lagi.  sebab tidak semuanya memilih  mata pelajaran yang sama.

4.     Secara nasional tak akan dapat ditentukan berapa rata-rata nilai mata pelajaran tertentu (misalnya fisika), sebab rerata secara nasional haruslah rerata populasi nilai fisika seluruh siswa peminatan/jurusan MIPA , bukan rerata sampel siswa MIPA yang memilih fisika.

5.     Tahun lalu, dalam Prosedur Operasional Standar (POS) tahun pelajaran 2015/2016 tersirat bahwa nilai UN berpengaruh dalam pemilihan program studi di Perguruan Tinggi melalui jalur SNMPTN. Jika sekarang seorang siswa memilih tidak linier dengan program studinya, maka tak dibenarkan pemengaruh tersebut. Untuk UN 2017 bagaimana? Kita tunggu saja terbitnya POS UN 2017.

Dampak bagi guru

Dampak yang tampak sejak penyelenggara sekolah melakukan inventarisasi (dengan penyebaran angket pemilihan) mata pelajaran pilihan, tampak terdapat dampak psikis guru-guru pengajar. Guru pengajar yang mata pelajarannya sedikit dipilih oleh siswa, akan merasa tidak disukai siswa. Yang banyak dipilih siswa akan merasa gembira, mungkin ada anggapan bahwa dirinya adalah guru favorit yang mata pelajarannya disukai. Antar guru akan terjadi kekakuan dalam berkomunikasi (walaupun hanya sesaat).

Dampak lain (yang justru lebih penting), guru mata pelajaran peminatan akan kesulitan melakukan evaluasi diri untuk melalukan perbaikan proses pembelajaran di tahun berikutnya. Mengapa? Tentu saja Karena nilai UN yang seharusnya merupakan feedback bagi upaya perbaikan, tak dapat dilakukan, sebab data nilai UN yang diperoleh tidak mewakili nilai UN pada pelajaran-pelajaran ciri khas peminatan.

Satu hal yang tampaknya sepele di lapangan, pengaruh psikis guru, justru sebenarnya sebuah masalah yang sangat besar, tetapi tampaknya belum dipikirkna sejak awal. Atau penentu kebijakan berfikir lain? Tetapi bagaimanapun juga, mari kita songsong UN 2017 yang penuh dinamika ini dengan optimis.***



                                                                                              Majalengka, Januari 2017
 


Post a Comment