Selama 27 tahun mendongeng, Agus telah
mementaskan hampir seribu pertunjukan.
Era 1990-an, di bawah rezim Orde Baru, pria bernama asli Agus Nur Amal ini cenderung mengambil tema sosial-politik, misal: Jenderal Puyer Bintang Tujuh, yang menyindir laku korup perwira tinggi militer; Hikayat Polisi dan Bandit, kisah satire perihal batasan moral penegak hukum dan para bandit.
Setelah reformasi, tema
ceritanya bergeser. "Sekarang saya banyak membawakan cerita yang jarang
diperhatikan orang, mengajak berpikir alternatif. Jiwa Laut yang saya pentaskan di
Jakarta Biennale, contohnya," kata Agus.
Saat konflik Aceh, pengujung
1990-an, ia giat mementaskan karya yang menggugah kesadaran atas hak-hak
masyarakat sipil. Baginya, konflik Aceh merupakan pertikaian antara orang-orang
bersenjata: tentara Indonesia dan milisi Gerakan Aceh Merdeka.
"Di antara orang
bersenjata, masyarakat sipil mestinya bisa bersuara, contoh, 'Kalau mau
tembak-tembakan tolong jauh-jauh lah dari rumah kami',"
katanya.
Kala tsunami menghantam Aceh
(Desember 2004), Agus mengambil peran sebagai seniman dengan menampilkan
pertunjukan keliling TV
Eng Ong ke kamp-kamp pengungsian.
Pertunjukan itu berupa set televisi,
yang dipakai untuk memancing audiens bercerita. Proses bercerita itu menjadi
bagian dari trauma
healing.
"Ini TV ecek-ecek.
Pengungsi jadi berani. Saya ingat, seorang ibu yang bercerita, 'Suami saya baru
tertembak beberapa pekan, dan tiba-tiba kena tsunami'," kenang Agus.
Tak cuman di dalam negeri, Agus juga
tercatat pernah menggelar pentas di luar negeri. mulai dari negeri jiran macam
Singapura dan Malaysia, hingga terbang jauh ke Eropa dan Amerika Serikat.
Salah satu pementasan yang
berkesan, kata Agus, terjadi di gedung Schaubude, Berlin, Jerman. Mula-mula,
Agus melantunkan senandung pembuka pertunjukan, tiba-tiba dari bangku penonton
terdengar suara tawa anak kecil.
"Saya ulang, dia
merespons. Akhirnya, saya berkolaborasi sama dia: awal, tengah, dan
akhir," kata Agus. Ia juga minta penata lampu memberi cahaya pada anak
tersebut. Agus kian terkejut karena partner kolaborasinya adalah seorang bayi 7
bulan.
Konon, Si Bayi sudah dengar
musik klasik sejak dalam kandungan. Siap pertunjukan, Agus menghampiri ibu bayi
itu. Ia meminta izin untuk mencium kaki bayi itu. "Saya bilang pada
ibunya, 'Saya seperti Paus yang mencium kaki jemaatnya'," ujar Agus.
Pengalaman tampil di hampir
seribu panggung tak lepas dari kebiasaannya menggelar pertunjukan keliling.
Sikap itu sesuai kredo pertunjukannya, "Cerita untuk siapa saja, di mana
saja, kapan saja, dan untuk apa saja."
Agus memang tak pilih panggung.
Lapangan kampung atau gedung teater taraf internasional, sama belaka di
matanya. Bermain di depan orang kampung atau para penikmat seni, tiada beda
baginya.
Dalam kacamatanya, berhikayat
adalah ibadah. "Saya ingat pesan Teungku Haji Adnan. Seni itu bagian dari
ibadah. Menyampaikan cerita adalah menyampaikan kebenaran, sesuatu yang
bersifat keilahian," ujarnya.
Pada masa pandemic ini, beliau juga
menyampaikan hikayatnya, berpesan tentang virus Corona (COVID-19). Simak
penghikayatannya berikut ini
Posting Komentar