Kelas IV B - SD Bobotsari 3 - Tahun 1975
yang dilingkari: Aku

Tahun 1976.
Saya bersekolah di SD Bobotsari III, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Di tahun 1976 saya duduk di kelas V, guru kelas saya adalah Ibu Suparti (tetapi bukan yang ada dalam foto di atas). Ibu Suparti inilah tokoh legendaris bagi saya yang akan saya ungkap kisahnya.
Di tahun itu SD saya cukup memprihatinkan. Sekolah yang dikelilingi sawah di bagian belakangnya, dindingnya dari bilik (lihat gambar di belakang kanan kami). Bolong di sana-sini. Jika sedang pembelajaran, kami (eh saya) suka iseng mengintip ke luar, karena tempat duduk saya memang dekat dengan dinding yang bolong-bolong. Apa yang diintip? Biasanya siapa saja yang lewat di belakang kelas saya, karena di situlah jalan orang-orang yang mau ke
sawah, mau mencuci di kali dan sebagainya. Saya penasaran karena mereka yang lewat kadang ngobrolnya sangat keras hingga masuk ke kelas kami.Kadang-kadang Ibu Suparti mengingatkan, tetapi kadang tidak karena beliau lebih fokus ke pelajaran yang diberikan.
Tahun 1976 merupakan awal-awal mulai maraknya hama wereng. Hama yang cukup merepotkan para petani itu mendapat perhatian khusus untuk ditanggulangi. Di samping disemprot dengan semprotan gendong, yang paling ditunggu-tunggu rakyat adalah program yang akan menyemprotkan obat serangga wereng dengan menggunakan pesawat kecil.
Suatu hari Ibu Suparti sedang memberikan pelajaran. Tiba-tiba seluruh murid mendengarkan dengan seksama sebuah suara asing yang datang dari luar. Suara menderu-deru. Saya yang duduk di pinggir, dan beberapa teman yang juga di pinggir langsung mengintip ke luar melalui dinding yang bolong. Deru suara itu semakin nyata.
“Montor mabur!”
Tiba-tiba teman saya yang mengintip berteriak keras. Montor mabur dalam bahasa Jawa artinya pesawat terbang. Bayangkan saja, di tahun 1976 bagaimana kondisi angkutan. Satu kecamatan yang punya motor mungkin hanya satu atau dua orang. Yang punya televisi (hitam putih) juga baru satu dua. Biasanya ada TV umum di halaman kantor kecamatan yang tiap malam selalu penuh untuk menonton siaran TVRI.Pesawat terbang adalah sesuatu yang sangat aneh dan langka. Apalagi ini terbang rendah di atas area persawahan di sebelah selatan dan barat sekolah kami. Ya itu tadi, menyemprot area persawahan penduduk dengan obat hama wereng.
Sontak teriakan montor mabur membuat teman-teman lain tersentak. Kelas menjadi riuh. Siswa sebanyak yang ada dalam foto (17 anak) di atas langsung berhamburan ke luar. Teman-teman tidak peduli pada posisi Ibu Suparti yang meja dan kursinya dekat dengan pintu keluar. Akhirnya kursi Ibu Suparti terlanggar oleh kami yang berebutan keluar karena hendak menonton montor mabur. Sang Ibu guru terjatuh bersamaan dengan kursinya.
Akhirnya kami tanpa ijin berlarian ke arah belakang sekolah ,dan disusul oleh anak-anak kelas lain yang juga berlarian ke arah yang sama untuk melihat montor mabur .
Sekitar dua puluh menit, peswat terbang menjauh, hingga akhirnya hilang dari pandangan. Kami dengan puas kembali ke kelas. Kami masuk satu persatu, tanpa sedikitpun berfikir tentang apa yang baru saja kami lakukan. Kami kembali duduk di bangku masing-masing.
Bebera jenak kami duduk, beliau melihat kami berkeliling. Kami sama sekali tidak merasa bersalah.
“Anak-anak …. Kalian sudah puas melihat pesawat terbang?” Tanya beliau sambil duduk.
“Ya Buuu…..”
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan pelajaran kita yang tadi ……. “
“Baik Buuu…..”
Akhirnya pelajaran kembali berjalan, tanpa Ibu Suparti mempermasalahkan apa yang baru saja terjadi.
Kesabaran Sejati Seorang Guru
Hampir tak pernah saya bayangkan, di dunia pendidikan ada guru sesabar Ibu Suparti. Kita bisa membayangkan, seorang guru yang dilanggar murid-muridnya, kemudian jatuh bersama kursinya. Ketika murid-murid berada di luar kelas menonton pesawat terbang, mungkin yang dilakukan oleh Ibu Suparti adalah menyeringai menahan sakit, tertatih bangkit dari jatuhnya, mengembalikan kursi, menata nafas, beristighfar, menarik nafas dalam, membayangkan kami adalah makhluk-makhluk yang belum punya pikiran, kemudian memaafkan.
Kata maaf sama sekali tak terucap, karena memang dari kami tak ada permintaan maaf. Karena waktu itu kami juga merasa tidak berbuat salah (bodohnya kami!). Bagi Ibu Suparti itu bukan masalah. Pikiran beliau sangat jernih, hatinya bening. Justru kami (atau mungkin saya) yang mempunyai keterlambatan untuk sadar meminta maaf. Setelah kejadian itupun kami tak pernah membahasnya (dasar anak-anak).
Sebuah Cermin Hakiki
Dalam ketuaan usia saya sekarang ini (dan kebetulan saya juga guru seperti beliau) saya selalu menceritakan kisah Ibu Suparti di semua kelas yang saya ampu. Selepas SD, kemudian SMP, SMA atau di perguruan tinggi, tak pernah saya temui lagi guru sesabar beliau. Ibu Suparti bagi saya adalah guru nomor satu, guru paling sabar di seluruh dunia. Sebuah cermin hakiki, beginilah seharusnya kesabaran seorang guru.
Jazakumullah Ibu Suparti, telah 35 tahun saya meninggalkan desa Bobotsari. Hanya beberapa kali sempat lewat di desa itu, dan sesekali itu pula saya menegok ke arah bekas SD saya (sekolah SD-ku sudah dipindah sejauh sekitar 3 km ke utara dekat SMP-ku ; curhat). Tak ada lagi jejak. Hanya ada catatan di dalam ingatan, bahwa dulu di  SD tempatku belajar, telah menemukan orang sesabar Ibu. ***
Jawa Barat 2015
Catatan kecil:
Jika ada sahabat-sahabat saya yang ada dalam foto membaca tulisan ini, atau ada yang membaca tulisan ini, kemudian kenal.
Depan dari kiri-kanan: Ibu Fatimah , Didik Sedyadi, Aris Winarto, Liswoyo, Untung Subarto, Didin Fajar, Suyitno.
Tengah kiri-kanan: Suwatno, Kusyono, Kuswato.
Belakang kiri-kanan : Suyatmi, Go Lan Hiok, Rutiyati, Kwok Mio Yen, Wihamdiah, Sri Pamuji Wahyuningsih ,
Sri Endang Suhartati,Yang Yang.

Catatan lain: Tidak memiliki foto bersama dengan Ibu Suparti. itu hanya menunjukkan bahwa aku pernah SD.




Ibu Suparti yang paling tengah (memakai kebaya)
Foto: Koleksi Wasis Pratjojo (keponakan beliau)

Ini nitip sisan foto-foto guru SD Negeri 3 Bobostasi (1977)


*************************
*************















Post a Comment