Konsep Cover


Penampakan Buku Jadi (01 Mei 2016)



Ini adalah buku ketigaku. Judulnya "samting" banget, begitu kata Nadila Dirgantari, muridku komen di FB. 
Tapi ya itu, ujung-ujungnya Nadila minta menjadi artis cerpen. Ada, benar, akhirnya cerpen tentang Nadila memang ada di salah satu cerpen dalam buku ini.

Pemilihan judul buku memang dibuat bombastis. Nama "Fira" diambil dari "Shafira Aulia Rachmadyanti". Ini adalah siswa yang memulai request untuk menjadi tokoh cerpen. Setelah cerpen Shafira diposting di kompasiana, ternyata diikuti oleh teman-teman yang lain. Hingga akhirnya terdapat 12 (dua belas) siswa yang request menjadi artis cerpen. Saya sebut artis, sebab mereka putri semua.
Menurut Pak Thamrin Sonata, buku ini termasuk unik, memiliki genre yang menyimpang. Biasanya genre cinta, horor, misteri, keluarga, atau yang sudah umum lainnya. Karena buku kumpulan cerpen ini bukan murni inspirasi pengarang, maka Pak Thamrin menyebutnya katagori genre sempalan. Aneh bener.

Cerpen-cerpen di buku Fira ini lumayan panjang-panjang, memang pesanan dari para siswa itu untuk dinikmati dialognya. Jadi ya, beginilah. 
Inilah Cerpen Fira, yang menjadi judul dan sekaligus wajahnya sebagai cover girl buku :


Fira, Haruskah Kutunggu Kau di Sorga?

Kereta telah meninggalkan Stasiun Purwokerto. Tubuh Shafira masih lemas dalam pelukan Sandra. Suara gemuruh kereta semakin lama semakin sayup. Dentang lonceng stasiun menyadarkan gadis itu. Dengan mata sembab ia menggeleng. Sandra kembali memeluk sahabatnya, kepala Safira dibenamkan di dadanya. Diusapnya kepala sahabat dengan lembut.
“Sandra! Apa itu?” tiba-tiba Shafira tersentak melepas pelukan Sandra. Sandra kaget.
“Apa Fir?”
“Itu … ituuu….. cincin…. cincin permata safir …. “ kata Shafira sambil memungut sebentuk cincin yang tergelatak tak jauh dari pintu peron.
“Cincin Kak Nugraha?” kata Sandra sambil ikut mengamati cincin yang dipegang Shafira.
“Mungkin Ndra … mungkin , tapi rasanya cincin ini memang yang tadi dipakai Kak Nug. Wah gimana nih Ndra?”
“Telpon saja!”
“Aku lupa bawa HP!”  Shafira berteriak.
“Batereiku habis! Gawat!”
“Aaahhh sudahlah…. begini Fir, telpon saja nanti di kosan. Fir, detik ini lebih baik kau berfikir apa tentang cincin ini?”
Maksudnya?”
“Kenapa cincin ini ada di lantai?”
“Mungkin terkait ketika bersalaman denganku tadi, lalu jatuh.” kata Shafira sambil berfikir.
“Itu sih fakta. Kalau aku malah berfikir yang lain, ini tentang makna dan firasat!”
“Apa itu?”
“Kak Nug sengaja membuangnya!”
“Aaaaahhh…. Ndra! Kamu jahat banget ngomong gitu sih!”
“Siapa tahu memang begitu, mungkin logikanya masih waras. Nugraha pemuda Fir, ia akan berfikir bahwa hubungan jarak jauh itu sia-sia. Purwokerto – Makassar sia-sia! Makanya ia hanya menyatakan apa yang ia ingin katakan sesuai hatinya. Ia bilang suka sama kamu, tapi sebatas
kemarin-kemarin itu. Hari ini ia juga berfikir hubungan dia denganmu akan bermasalah!”
Kok kamu kayak dukun Ndra!”
“Ngaco kamu! Enak saja ngatain aku dukun! Tukang ramal tahu!”
Sore selang satu jam Shafira membuka HP. Benar, di log ada bekas telephon Nugraha.  Gadis itu menelephon balik. Sejenak di HP terdengar suara gemuruh, namun beberapa saat kemudian terdengar suara  Nugraha.
Kak Nug tadi nelephon aku?”
“Iya. Tapi nggak ada apa-apa kok.”
“Yang bener Kak? Nggak ada apa-apa?”
“Oh iya hanya pingin nelephon saja. Benar nggak apa-apa .... “
“Kak Nug tidak kehilangan apa-apa?”
“Kehilangan? Nggak, paling-paling jauh dari Shafira. Kehilangan Shafira yang baru kakak kenal.”
“Kakak bohong..... “
“Bohong apa?”
“Kakak kehilangan cincin nggak?”
“Eng...nggak... nggak Fira. Kakak tidak kehilangan apa-apa ....”
“Cincin kakak di mana?”
“Engg.... aku lupa menaruhnya Fira. Nanti saya cari ....”
Hari-hari berikutnya hanya perasaan hambar dalam hati Shafira. Dulu Nugraha berhasil mengusik kesadaran bahwa dirinya tak pernah mencintai seorang pemuda, namun kali ini sebuah kenyataan sama sekali tak terduga. Baru beberapa saat meninggalkan kota Purwokerto, sudah ada kebohongan. Di saat pertama getar-getar halus dalam hatinya terusik, ia mendapatkan satu sifat laki-laki: mudah berbohong. Tapi apakah semua laki-laki begitu? Tidak!  Buktinya ayahku tidak! Kakakku tidak! Sanggah hatinya.
Pengaruh kedatangan Nugraha dalam lorong hidupnya memberikan kenangan yang mendalam. Mendalam dalam kehampaan.  Setiap kali ia melihat kampusnya, ia ingat Nugraha. Setiap ia menyebut kota Purwokerto ia ingat Nugraha, setiap menyebut kampus Grendeng ia ingat Nugraha. Beberapa bulan akhirnya gadis itu membuat keputusan yang mengagetkan. Ia katakan semuanya kepada Sandra.
“Sandra, rasanya Purwokerto sudah tidak nyaman bagiku.”
“Apa maksudnya Fir?”
“Kenangan jelek tentang Nugraha membuatku gelisah.”
“Jangan terburu-buru mengklaim begitu Fira. Coba hubungi Oci, saudaranya itu.”
“Sudah. Beberapa waktu yang lalu saya sudah telepon Oci, nanyain perihal saudaranya itu. Bahkan kata Oci, ada kebiasaan di keluarga besarnya suka menjodohkan dengan saudara sepupu dan sebagainya.”
“Maksud Oci apa?”
“Ini firasat Fir. Oci seperti mau mengatakan bahwa kamu jangan banyak berharap kepada Nugraha.”
“Iya. Aku juga merasa begitu.”
“Tapi kenapa dulu ia mengatana cinta kepadamu Fir?”
“Nggak tahu lah Ndra. Yang penting hari ini keputusanku sudah bulat.”
“Keputusan apa?”
“Aku mau pindah ke Bandung saja.”
“Gila kamu Fir!”
“Apanya yang gila? Justru di Purwokerto ini lama-lama aku bisa gila!”
“Nggak begitu maksudku Fira, kau kan tahu kita bersahabat sejak SMA. Terus persahabatan kita mau diapakan?”
“Ya dilanjutkan laaaah!”
“Tapi?”
“Jauhan nggak apa-apa kan Ndra?”
“Tapi Fir .....”
“Jangan cengeng .... nggak boleh nangis! Kalau ada waktu libur kita bisa bertemu di Majalengka. Aku ... aku ......hmmhh.... aku .... akuuu.....” kata Shafira terhenti ketika dirinya tak bisa menahan untuk tidak menangis.
“Jangan cengeng cantiiik.... jangan nangis!” kata Sandra sambil memeluk sahabatnya. Sambil memeluk Sandra tertawa.
“Kok ma.... maa...malah aku yang nangis.” kata Shafira ditengah-tengah tangisnya.
“Itu tandanya hatimu lebih halus dibandingkan hatiku Fir.”
“Aaah Sandra, bilang saja hatiku sedang lebih menderita ....”
Melalui pergolakan batin yang sangat berat, akhirnya Shafira memilih pindah ke Bandung. Sandra sempat mengingatkan akan keputusannya itu, namun gadis itu tetap kukuh pada pendiriannya. Ia memilih pindah jurusan secara drastis, dari peternakan pindah ke Jurusan Ilmu Komunikasi. Jurusan ini memang yag sebenarnya ia inginkan sejak dulu. Kemahiran gadis itu dalam hal bergaul dengan personal lain, baik secara masal maupun individual telah ditempa selama menjadi pengurus OSIS di SMA. Fakultas peternakan Unsoed dirasa sama sekali tak sejalan dengan hatinya. Entah ditambah karena kasus dengan Nugraha, atau apa, ia memilih sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Termasuk meninggalkan Sandra yang tetap kuliah di Purwokerto.
***

TV-Blue Star Bandung. Suatu malam.
Sudah setengah tahun Shafira bekerja di stasiun televisi Blue Star mengkomandoi divisi kreatif. Kecemerlangan alumnus ilmu komunikasi  Bandung telah membawanya mengembangkan ilmunya di Dong-Ah Institute of Media andArts – Anseong City Korsel.  Inilah yang  menjadi salah satu faktor TV-Blue Star merekrutnya.
Malam itu usai menggawangi acara live,  gadis itu menuju ruang lobby untuk melepaskan penat.
“Firaaa!”
Ada teriakan memanggil namanya. Shafira terhenyak, kemudian menoleh ke arah suara. Melihat orang yang memanggil namanya, gadis itu berhenti. Shafira menggelengkan kepala, kemudian mengambil nafas panjang. Telah beberapa kali pemuda itu menemuinya sejak setahun yang lalu.
“Kak Damar .... ada apa Kak?”
“Menunggu kamu.”
“Aku capek Kak.” kata gadis itu seraya duduk di sofa. Niat untuk istirahat hilang dengan kedatangan pemuda itu.
“Maaf Fira.... “
“Ada apa?” tanya Fira mengulangi.
“Aku besok mau pulang ke Surabaya.”
“Ya selamat jalan.”
“Cuma itu?”
“Apa lagi?”
“Permintaanku Fira ....  Fira belum menjawab permintaanku. Aku minta dimaafkan pernyataanku waktu SMA .... marahmu terlalu lama Fira. Tujuh tahun bahkan lebih kamu marah kepadaku. Apa Fira nggak capek memendam rasa marah?”
“Apa Kak Damar juga nggak capek minta maaf terus?”
“Sebelum Fira mengucapkan kata-kata maaf untuk aku, aku tak akan capek.”
“Baguslah..... lalu sekarang urusannya apa?”
“Penyataan maaf dari Fira.”
“Selamat jalan ke Surabaya Mas.....” kata Shafira dengan nada datar. Melihat itu, wajah Damar kuyu.
“Fira mengusirku?”
“Nggak tahu .... “
“Aku pergi sekarang ....”
“Ya Kak.”
“Fira..... kalau begini caranya, aku tak bisa melupakanmu. Ingat Fira, sampai kapanpun.... sampai kapanpun aku tak akan melupakanmu Firaaa ....”
Pemuda itu beranjak meninggalkan Shafira yang masih duduk cuek di sofa. Gadis itu mendesah ketika Damar sudah beberapa langkah membelakanginya.  Ada sebersit perasaan tidak tega dengan kondisi Damar, namun ia menekannya dalam-dalam. 
Sesaat sebelum Damar melewati pintu kaca, pemuda itu berhenti. Menoleh ke arah Shafira . Menghela nafas dalam. Gadis itu menatapnya sekilas. Tak ada respon berlebih. Pemuda itu menggelengkan kepala perlahan. Sejurus melangkah keluar, kemudian hilang dari pandangan Shafira.
Sepeninggal Damar, gadis itu menelephon Sandra, sahabatnya.
“Sandra .... Ndraaa..... jam segini sudah tidur belum?” tanya Shafira menelpon sahabatnya di Jakarta.
“Aeeh ... Firaaa ..... belum, belum .... ada apa?”
“Si Dede?”
“Anakku sudah tidur.”
“Suamimu belum tidur? Ndra minta ijin sama suamimu, ini ada urusan gawat darurat.”
“Iyaaaa.... iyaaa..... ini sudah menjauh. Ini di ruang tamu sendirian.”
“Ndra , gawat! Tolong aku Ndra!”
“Kenapa Fir?”
“Kak Damar tiba-tiba datang ke kantor. Tadi malam habis acara live itu.”
“Lho? Bukannya dia di Surabaya?”
“Nggak tahu, dia tiba-tiba muncul begitu saja.”
“Terus gawatnya di mana?”
“Dia lagi-lagi minta maaf.”
“Ya tinggal maafin saja kenapa sih?”
“Nggak bisaaa.... aku masih sakit hati kejadian SMA dulu!”
“Kamu norak Fir!”
“Enak saja aku norak, Kak Damar yang norak tahu?! Masak menyatakan cinta sambil jalan,  di lorong utara masjid, terus ngasih bunga yang dipetik dari kebun sekolah. Bunga apaaaa lagi tuuuh! ”
“Kamu itu jadi orang kok kisahnya aneh-aneh banget to Fir? Dikasih bunga metik dari kebun sama Kak Damar, dianggap menghina. Pas habis UN ada yang bilang cinta, kamu bilang itu hanya April Mop! Pas kuliah, ada Nugraha anak Bogor, dianggapnya laki-laki pembohong. Pas kuliah di Bandung, ada dosen yang suka ngasih soal bocoran mata kuliah, kamu benci. Sekarang laki-laki bernama Damar datang, kau nggak mau memaafkan! Koleksimu kok aneh-aneh banget Fir?”
“Sandraaaaaaa....... jahat kamu ah! Aku ini minta saranmu Sandraaaa!  Bukan minta diketawain!”
“Fira, kamu sudah dewasa. Kamu termasuk perempuan hebat, punya karir mentereng. Masa gitu saja nggak bisa mutusin sendiri masalahmu.”
“Kamu  nggak mau ngasih saran Ndra?”
“Nggaaak!”
“Kamu jahat Sandra!”
“Fira, justru aku sayang sama kamu, sahabat sejatiku. Makanya aku ingin kau menjadi wanita yang mandiri. Biar kamu punya sejarah dalam hidupmu, bahwa sebuah keputusan lahir dari keputusanmu sendiri, bukan dari ketergantungan sama orang  lain.”
“Ng....nggg...... ada .... ada benarnya sih Ndra.”
“Bukan ada benarnya, memang benar adanya Fir.”
“Iya, iyaaaa.....”
“Kalau memang itu sangat berat, sholat istikhoroh. Mohon petunjuk agar tidak salah memutuskan.”
“Iya, iya ..... Ndra, betuul itu! Aku sudah lama nggak sholat istikhoroh. Terima kasih diingatkan. Terima kasih sarannya Ndra.”
“Hah?!! Jadi aku tadi ngasih saran ya? Omaigaaaaaad! Firrr..... hihihihiiii......”

***
Shafira mengikuti saran Sandra. Melalui sebuah komtemplasi yang dalam tentang pergulatan hatinya atas kehadiran Damar, ia memutuskan untuk memaafkan pemuda itu. Kadang-kadang ada rasa malu juga, kesalahan kakak kelasnya itu sudah cukup lama, ketika ia kelas X SMA. Namun kadang-kadang ada pikiran gadis itu membenarkan cara Damar mengungkapkan cinta. Gaya anak kecil, di lorong antara kelas dan masjid. Tanpa ba-bi-bu tanpa awalan, langsung saja menyatakan cinta. Keruan saja Shafira waktu itu marah, malu terhadap teman yang lain yang ada di dekatnya.
Saat ini ia memang tak punya nomor kontak Damar. Dengan susah payah ia menghubungi kontak beberapa teman SMA yang sudah cukup lama berpisah. Beberapa nomor telah dicoba, namun kebanyakan nonor lama yang sudah tak dipakai lagi.
Sedang bingung menghadapi masalah mencari nomor Damar, ada telephon dari Sandra.
“Sudah dapat nomor telephon Kak Damar?”
“Belum, mungkin malah nggak ada.”
“Aku dapat nomornya!” kata Sandra mengagetkan Shafira.
“Hah?! Bener Sandra?”
“Beneeer.....”
“Dari siapa?”
“Dari ayahnya Kak Damar.”
“Hah?! Sandra, Sandraaaa..... jangan bercanda!”
“Enggaaak, aku serius Fir. Ayahku ternyata satu grup dalam persaudaraan haji. Dulu jaman naik haji ternyata ayah bareng dengan ayah Kak Damar. Sepulang dari Mekah, seluruh jamaah yang naik haji bareng membuat ikatan persaudaraan. Naaah... dari situlah aku dapat nomor Kak Damar, lewat ayah, lewat  orang tua Kak Damar..... gituuuuh!”
“Och ..... Ndra .... jangan-jangan mereka tahu aku yang minta?”
“Tenang, nggak ada yang tahu kok.”
“Bener Ndra?”
“Fira, kita kan sahabat sejati. Aku akan melakukan apa yang terbaik buatmu, menghindari yang berbahaya buatmu. Okeee?”
“Haduuuh Sandraaaaa..... jadi kangen sama kamuuuu...”
***
Hari itu juga, berbekal nomor yang diberi sahabatnya, Shafira mengirim SMS ke Damar :
Apakah benar ini nomor Kak Damar?”  tak berapa lama ada jawaban.
“Benar, ini dengan siapa ya?”
“Shafira Kak.”
Ting-tung, tingtung, tingtung !
Dada Shafira berdetak keras. Damar langsung menelponnya. Perlahan ia angkat. Namun tak segara diaktifkan. Setelah menenangkan diri, ia tekan tombol terima.
Shafira ..... Shafira........ ini.... ini .... ini benar Shafira?
Iya Kak, ini Shafira.”
“Oh, alhamdulillaaaah.... Fira .... Firaaa.... ada ... ada apa?Firaaa.... ada apa?”
”Maaf sebelumnya, posisi di mana? Mengganggu pekerjaan nggak?”
“Yaaaahhh... Fira, jam lima sore gini sudah bubar kantor. Aman, aman .... aku nggak apa-apa.”
“Maaf ya Kak....”
“Iya Fira, ada apa?”
“Fira memaafkan Kak Damar ...... “
“Fira?! Fira memaafkan saya? Fira? Benarkah? Fira?!Firaaa.....”
“Iya Mas ...... Fira memaafkan Kak Damar. Cukup sekian, wassalamu’alaikum!”
Shafira mematikan HP. Ia tak peduli apa respon Damar atas sikapnya itu. Baginya ada perasaan puas ketika ia mengatakan memaafkan pemuda itu. Selebihnya ia tak ingin memperpanjang  urusan dengan Damar.
Malamnya gadis itu gelisah. Ia ingin menyalakan HP untuk berbagai keperluan, namun ia enggan untuk berhubungan lagi dengan Damar. Ia yakin di log telephon pasti pemuda itu menghubunginya. Dan mungkin SMS. Hhhh! Shafira mendesah. Namun kebutuhan untuk membuka HP lebih prioritas. Makanya, biarpun dengan segan ia menghidupkan HP-nya.
Benar dugaannya, dalam log  telephon terdapat  11 panggilan tak terjawab nomor Damar. Dan ia dapati satu buah SMS dari pemuda itu : “Fira, aku ingin bicara panjang Fira.... beri kesempatan Damar Fira.... Fira boleh ya?” . Namun gadis itu tetap pada pendiriannya. Ia tak merespon SMS.

***
Majalengka suatu sore.
Shafira benar-benar dibuat jengah. Bagaimana mungkin ia ingin melewatkan cuti tiga hari dengan nyaman. Ia sama sekali tak menyangka  hari itu kedatangan Damar. Namun sebagai tamu, ia harus tetap menerima dengan baik.
“Kak Damar tahu rumah Fira dari siapa?” tanya Shafira basa-basi.
“Sejak SMA aku tahu rumah Fira.”
“Bagaimana Kakak tahu aku ada di rumah?”
“Kemarin aku ke Bandung, ke kantor Blue-Star, katanya Fira sedang liburan di kampung. Ya sudah, sekalian aku juga pulang ke kampung halaman juga.”
“Mbolos?”
“Nggak laaah! Ini kan libur panjang Jumat Sabtu Minggu. “
“Ada perlu apa Kak?”
“Banyak Fira, banyak urusan dengan Fira. Jauh-jauh dari Surabaya ke sini, memang khusus untuk ketemu Fira....”
“Urusan yang mana lagi? Bukannya urusan kita sudah selesai? Kakak sudah aku maafkan!”
“Nggak, kayaknya nggak, Fira belum memaafkan aku. Buktinya masih ketus!”
“Hmhhh..... ketus? Ya sudah ... aku harus bagaimana gitu Kak?”
“Aku ingin dengar langsung dari Fira, di sini, sekarang, bahwa Fira memaafkan Damar....”
“Hmh .....”
“Ayo Fira.....”
“Hmh....”
“Ayoooo.... Fira....”
“Fira memaafkan Kak Damar.....”
“Alhamdulillah.... alhamdulillah .... terima kasih Fira, ternyata Fira mau memaafkan  aku. Plong sekarang hati ini Fira. Berapa lama aku mengharapkan kata-kata maaf dari Fira? Delapan? Atau tujuh tahun lebih, sejak Fira kelas X SMA hingga sekarang sudah jadi magister, tokoh di Blue-Star pula. Ternyata Majalengka juga yang memberikan berkah bagi aku.”
“Hmh... kebetulan saja .”
“Emmm Fira, boleh tanya?”
“Apa?”
“Sahabatmu Sandra sekarang di mana?”
“Di Jakarta.”
“Sudah berkeluarga?”
“Sudah.”
“Sudah punya putra?”
“Sudah.”
“Fira kapan berkeluarga?”
“Kenapa tanya begitu?”
“Maaf Fira, mungkin tidak pantas aku bertanya seperti itu, tapi sebenarnya nggak apa-apa lah. Mungkin aku salah, kita tak pernah akrab waktu di SMA.”
“Itu kan gara-gara Kak Damar, norak!”
“Yaaahhh namanya bingung Fira, dulu aku bingung. Spontan saja.... maaaaf..... maaaaf banget. Dulu aku menyesal, tapi nggak pernah kesampaian mendekati Fira untuk minta maaf, habis Firanya selalu menghindar.”
“Ya pastilaah....”
Berkata demikian Shafira beranjak ke dalam. Ia berniat untuk mengambil air. Diambilnya dua buah gelas, ia isi dengan air bening kemudian ia bawa. Ibunya yang melihat buru-buru memanggilnya.
“Buat apa air bening itu?”
“Tamu, itu Kak Damar.”
“Ngerti, itu Nak Damar, bukan itu maksudnya, maksudnya, kamu keterlaluan Fir, itu di kulkas kan ada syrop. Ada kueh... bawa sana!”
“Nggak ah! Biar kapok Mah!”
“Fira, rupanya  cerita lama kamu masih berlanjut ya? Kamu masih marah sama dia ya?”
“Ya masih laah....”
“Dia suka bener sama kamu lho Fir!”
“Iiiih mamah apaa sih!”
“Buktinya jauh-jauh dari Surabaya dia nyempatin ke sini.”
“Ya dia kan orang Majalengka juga, orang Talaga!”
“Hihihi.... ya sudahlah terserah kamu! Tapi kayaknya kamu juga suka sama Nak Damar lho Fir....”
“Iiih mamaah! Apa buktinya?”
“Lha itu? Mau ngasih minuman hihihi.....!”
“Aaaah mamaaaah....!!!”
Digoda ibunya demikian, Shafira tak peduli. Ia keluar dengan membawa dua gelas berisi air bening. Damar melihat dengan tersenyum.
“Apa tersenyum?” tanya Fira ketus.
“Itu air buat aku?”
“Ya.”
“Aduuuh terima kasih Fira .... mimpi apa aku ini?”
“Mimpi apa maksudnya?”
“Dulu aku membayangkan jadi pacar Fira di SMA, minum es Mang  Ahmad di kantin , berdua.”
“Iiiihhh.... ngaco ah!”
“Jangan marah Fir, iya ini aku minum boleh?”
“Ya.”
Terbawa rasa bahagia, pemuda itu meminum air bening hingga habis tak tersisa. Melihat itu Fira tersenyum ditahan. Damar menoleh.
“Apaan tersenyum?” kini gantian Damar yang bertanya.
“Nggak... nggak apa-apa. Kak Damar haus ya?” tanya Fira. Kali benar-benar gadis itu menahan senyumnya agar tak ketahuan.
“Iya, haus banget. Masih ada nggak?”
“Iiiih ini basa-basi tahu! Serius saja menjawabnya.”
“Naaaah begitu, aku suka kalau Fira bis bercanda begini ..... bagus Fira.”
“Iiiih apaan sih!”
Damar tersnyum. Ia sengaja tak menimpali kata-kata Shafira. Beberapa saat keduanya diam.  Damar menahan diri. Demikian pula Fira. Namun akhirnya Damar yang memulai.
“Fira, sebenarnya aku bisa saja bicara lewat HP, tapi rasanya Fira masih tegaan mematikan HP padahal aku masih pingin banget ngomong panjang.”
“Maksudnya?”
“Ngomong panjangnya sekarang boleh?”
“Ngomong apa?”
“Serius.”
“Apa?”
“Fira, tak tahukah bahwa sejak SMA aku suka padamu.”
“Hmh…”
“Perlahan, rasa suka berubah menjadi kagum. Iya Fira, aku juga sadar bahwa kau tak pedulikan semua itu.”
“Lalu aku harus bagaimana? Apa sikapku salah?”
“Tak adakah harapan barang setitik Fira?”
“Tak ada.”
“Walaupun hanya sebentar. Fira, aku tak mengapa memohon. Biarpun hanya sekejap Fira, lima menit saja beri jawaban yang menyenangkan Fira. Setelah lima menit Fira, terserah akan kau lupakan tak jadi soal. Fira, iya ya Fira? Firaaa….”
“Nggak!”
Damar terdiam.Bibirnya terkatub rapat. Matanya panas. Ia sama sekali tak mengira bahwa gadis cantik itu benar-benar berhati cadas. Jangankan rasa cinta, rasa ibapun tak ada. Perlahan ia tatap Shafira yang terdiam menunjukkan ketegaran pendiriannya.
“Fira, terimakasih masih mau menjadi pendengarku.
“Hmh.”
Fira tahu sorga ?”
“Apa urusannya?”
“Sorga adalah tempat puncak kenikmatan yang dijanjikan Allah. Apapun keinginan akan kenikmatan akan dikabulkan. Aku memang bukan orang baik Fira, tapi aku yakin bahwa aku punya kebaikan walaupun sebiji zarah. Kebaikan inilah yang kelak akan aku sempatkan untuk berdoa kepada Tuhan…”
“Silakan, berdoalah sebagai orang beriman.”
“Iya Fira, memang begitulah seharusnya diriku. Fira, rasanya tak ada lagi harapan bagi aku untuk memperoleh keindahan di dunia, dari gadis yang aku cintai. Biarlah, aku hanya berharap satu hal, suatu saat , di sorga.... di sorga , aku bisa memperoleh cinta Fira ………….. karena hanya itulah satu-satu harapanku, tak ada yang lain.”
“Hmh..”
Fira, haruskah kutunggu kau di sorga?
“Jangan ucapkan kata itu Kak…..”
“Terima kasih Fira sudah hadir dalam hatiku sejak dulu. Aku bersyukur telah dikenalkan Allah akan makhluknya yang tiada tara. Jika bukan tiada tara, mana mungkin aku libatkan kata-kata sorga Fira. Aku tahu Fira, rasanya Allah hanya memamerkan kekuasaannya, menunjukkan kepadaku,bahwa ada makhluknya yang setiap saat selalu menggetarkan hati, namun tak pernah dapat aku rebut hatinya. Memang lebih tepat berharap satu kepadaNya, hanya satu kesempatan …. di sorga, pasti semuanya akan aku dapatkan.”
Perlahan Damar bangkit dari duduk.  Perlahan ia ulurkan tangan mengajak bersalaman. Fira tidak menyambut. Damar mendesah dalam. Ada sinar mata kecewa yang mendalam.
“Pamitkan kepada ibu dan ayah .... aku pulang......”
Perlahan Damar meninggalkan teras rumah Shafira. Langkah demi langkah pemuda semakin menjauh. Gadis itu merasa matanya panas, mengembang air matanya. Bibirnya bergetar. Tangannya menggapai ke arah Damar yang hampir hilang di balik pagar.
“Kaaaaaak! Kak Damaaaaaarrrr!” Shafira berteriak.
Damar menoleh.  Ia tampak tak percaya melihat gadis itu berteriak memanggil namanya. Ia lihat gadis itu menangis. Perlahan Damar berbalik, melangkah satu-satu menghampiri  Shafira .
***

Graha Sindang Kasih, 30 Desember.
Musik degung perlahan melemah. Siang itu pukul 14.30 perhelatan pernikahan telah usai. Senyum Damar tak pernah berhenti. Di sebelahnya Shafira dengan senyum bahagia pula tak bisa disembunyikan. Pihak keluarga kedua mempelai masih ramai. Sebelum turun dari pelaminan, Damar dan Shafira kembali bersimpuh di hadapan orang tuanya. Usai sungkeman kedua di hadapan kedua pasang orang tua,  Damar menatap Shafira dengan senyuman bahagia.
“Fira,  aku bahagia ....”
“Kakak ..... “ kata Shafira seraya memegang lengan suaminya, kemudian menempelkan pipinya di lengannya.
“Fira, ternyata Allah mengijinkanku lebih cepat untuk mendapatkan apa yang Kakak mimpikan.”
“Apa Kak?”
“Kakak tak perlu ke sorga dulu.  Kakak telah mendapatkan sorga hari ini .... dulu .... dulu kakak takut kehilangan  si hati cadas.”
“Tapi Kakak juga salah duga.”
“Salah duga?”
“Ya, Kakak salah duga. Aku mencintai Kakak dari dulu ...... iya dari dulu, ketika kejadian di lorong masjid, aku kepikiran. Tak terasa malah tumbuh rasa cintaku Kak. Tapi Fira terlanjur malu, sudah marah-marah.“
“Aku juga tahu sebenarnya Fira mencintai Kakak, makanya sampai kapanpun akan aku tunggu sampai hilang marahmu Fira. Kenapa Fira sulit memaafkan Kakak?”
“Aku menguji keseriusan Kak Damar.”
“Teganya istriku........” kata Damar sambil membenamkan kepala Fira di dadanya.
“Hingga akhirnya terucap kata-kata kutunggu kau di sorga, aku baru yakin kalau Kak Damar benar-benar mencintai Fira. Melibatkan sorga hak Allah, berarti Kakak sangat serius. Di situlah aku yakin, dengan Kak Damar aku akan berbahagia.”
“Benar Fira, dulu aku tahu, banyak yang suka ke Fira. Setelah kuliahpun pasti juga punya pacar, atau pengagum. Tapi aku tak peduli, karena aku yakin, biarpun punya pacar seribu, jodohnya hanya satu. Dan aku tak risaukan itu, karena Kakak yakin Allah selalu menjaga Shafira-ku untuk aku .....”
“Terima kasih Kak ..... “
“Iyaaa.... iyaaa.... “
“Kak, kenapa waktu itu Kakak berani sekali waktu meminta aku serius, dan melamar  ke ayah ibu?”
“Karena waktu itu Shafira tak punya pacar.”
“Siapa yang mengatakan itu?”
Beberapa sekon Damar terdiam. Diambilnya nafas dalam-dalam. Mendadak matanya berbinar ketika ia melihat sesuatu.
“Ituuu..... ituuuu........... orangnya ada di sana!” kata Damar sambil menunjuk sepasang tamu menggendong anak kecil memasuki gedung. Shafira melihat arah yang ditunjukkan Damar.
“Sandraaaaaaaaaaaa........!!!!!!” Shafira berteriak menyambut kedatangan sahabatnya.
“Shafiraaaaaaaa.....!!!!!”
Keduanya berpelukan kencang lama sekali. Keduanya menangis. Tangis bahagia.
“Maaf aku terlambat Fira. Ada masalah di jalan.”
“Nggak apa-apa sayang! Sandra,  kamu infokan  apa saja tentang diriku ke Kak Damar?”
“Segalanya..... segalanya aku infokan!”
“Sandraaaaa...... kamu keterlaluan!”
“Semua untuk kebaikan Fira kok! Kak Damar orangnya baik kan? Info tentang Kak Damar selalu dari ayahku yang bersahabat dengan ayah Damar. Jadilah aku mengenal Kak Damar lebih banyak, termasuk  cerita dan segalanya tentang Fira ke Kak Damar.”
Fira mengatubkan bibir. Air matanya menitik. Ditatapnya mata Sandra. Sandra tersenyum. Kedua sahabat kembali saling berpelukan dalam kebahagiaan. ***

Majalengka, 05 April 2016

* Request Shafira Aulia Rachmadyanthi – XII MIPA  6


Post a Comment