1.    Judul di atas sebenarnya mengantarkan tulisan saya yang terdapat dalam buku Refleksi 70 Th Indonesia mulai halaman 166 :
2.    Hitung-hitung saya ikut membacakan dengan bisik-bisik kepada teman-teman semua yang belum sempat membaca buku yang tersebut .
3.    Sekaligus untuk meramaikan tulisan Kang Rifki Feriandi dalam kompasiana :
http://www.kompasiana.com/rifkidikompas/berhamba-pada-sang-anak-di-era-generasi-z_57456676707e61cd0612bcdf
​---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

MALPRAKTEK DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Pengantar :
Seorang anak sekira kelas IV SD kecil ikut nimbrung menonton berita tentang korupsi di depan kedua orang tuanya. Baju orange baru yang mencolok dengan tulisan “Tahanan KPK” ia eja dengan jelas. Ayahnya buru-buru memindah chanel TV. Anaknya teriak, minta jangan dipindah.
“Siaran jelek Nak, tidak baik untuk anak kecil!”
“Dia lulus sekolah nggak Yah?”
Sang ayah diam, sebenarnya ia telah menyesal dengan mengatakan “tidak baik untuk anak kecil”. Apakah memang kasus di televisi itu baik untuk orang dewasa? ***

Wejangan Guru SD : Makan Untuk Hidup
Masih terngiang-ngiang wejangan 1)  guru SD saya “Manusia itu sebaiknya makan untuk hidup. Kalau kerbau boleh, hidup untuk makan.” Sebagai anak kecil yang lugu tentu tak mengerti apa makna dalam yang tersirat dalam nasehat tersebut. Jangankan nasehat itu diberikan itu kepada anak kecil, diberikan kepada orang dewasapun mungkin juga tidak bisa mengartikan.
Dalam posisi lebih menang secara umur, tentu orang dewasa lebih bisa mengembangkan lanjutan dari wejangan tersebut. Setelah makan untuk hidup, maka selanjutnya hidup untuk apa? Untuk berkarya, untuk mengabdi (kepada apa saja), untuk berinovasi, untuk menyombongkan diri dan sejenisnya. Termasuk dalam takaran yang sombongnya lebih halus, yakni aktualisasi diri. Misalnya (bukan contohnya lho) seorang profesor, kaya sudah, purna tugas sudah, eh masih aktif mengajar di berbagai perguruan dengan dalih aktualisasi diri. Sebenarnya ada rasa ingin dipuji yang sudah akut. Jika ada yang mendebat, ia katakan : Untuk memberi contoh kepada yang lebih muda, bahwa yang sudah tua masih semangat untuk belajar, belajar, dan sedikit sombong. Padahal yang bagus mestinya gantian generasi yang lebih muda. Kata kyai ndeso2), iku ora nguman-uman 3).  Jika di Jawa Barat, ceuk Ajengan lembur,  teu mere ngagehan kanu ngora!   4) .Tidak memberi jatah yang semestinya diberikan kepada generasi sesudahnya.
Ada pula yang menterjemahkan, kalau sudah punya uang terlalu banyak, ya buat apa lagi kalau tidak untuk membeli yang tidak butuh. Yang pokok itu, makan tiga kali sehari. Anak istrinya juga dicatu segitu. Jika mblegedhu5)? Semblegedhu-mblegedhunnya orang, tak masuk akal jika sehari semalam makannya sampai dua puluh kali. Kecuali di dalam perutnya ada tuyul6) yang dipiaranya yang ikut makan.
Hidup untuk makan? Pengembangan dari “makan” itu sendiri implikasinya juga dapat sesukanya dibuat. Yang uangnya banyak, bebas untuk berlaku dalam menterjemahkan apa saja. Bahkan kalau ia menterjemahkan Time is Money menjadi “Selesaikan Segala Sesuatu itu Dengan Uang!” ya sah-sah saja.
Malpraktek Seorang Dokter 
Tak perlu banyak berdebat, image seorang praktisi di dunia kesehatan yang disebut dokter adalah “orang kaya”. Jarang yang berfikir langsung dokter-mengobati, tetapi yang terfikir : dokter-kaya. Image semacam ini tampaknya telah membudaya (atau memang telah diiming-imingkan oleh guru sejak SD, atau bahkan TK). Cita-cita anak SD itu kebanyakan dokter, insinyur, tentara, pilot. Jarang yang ngomong: guru!
Ketika seorang dokter melakukan malpraktek, maka korbannya  umumnya 1 (satu) orang. Sebutlah semacam korban eksperimen, paling parah adalah mati. Paling sengsara adalah cacat seumur hidup.

Yang menderita kerugian langsung adalah si pasien, keluarga pasien. Kalaupun ada masyarakat atau LSM, atau ormas-ormas lain yang menghujat pelaku malpraktek, itu sebenarnya sebagian dalam rangka menunjukkan eksistensinya sendiri. Tak banyak korban sebenarnya. Tapi bukan berarti saya menyatakan setuju dengan pernyataan ini. Bagaimanapun, malpraktek seyogyanya dihindari. Kalau melakukan malpraktek karena tidak sengaja, tinggal konformasi saja. Bertanggungjawab. Mungkin berdamai dengan korban atau keluarganya. Apa yang ada di balik “berdamai”. Apalagi kalau bukan uang. Bukankah ada yang mengatakan time is money? Itulah terjemahan kontekstualnya.
Pendidikan, Disain Membangun Karakter Berbiaya Tinggi 
Sejak saya SD,  jarang sekali murid yang ditanya apa cita-citanya lantas jawabannya : Guru! Beda jaman sekarang, kalau ditanya apa cita-citanya kepada anak SMA, mulai yang banyak menjawab: Guru. Indikasinya, sekarang yang mendaftarkan ke UNY, UNJ, Unessa, atau UPI semakin banyak. Entah karena ingin pahlawan tanpa tanda jasa-nya atau tunjangan profesinya. Biarlah professor yang mengambil profesi aktualisasi diri yang melakukan penelitian tentang hal ini.
Dulu, tampaknya guru SD sudah bisa mengarahkan siswa agar para muridnya tidak sembarangan ngomong cita-citanya guru. “Nek niyatmu ora tenanan, ojo dadi guru le! 7) ” Nasihat ini rupanya telah direnungi dan dimaknai sangat dalam. Guru itu super. Guru itu master. Guru itu bukan sekedar mengajar. Yang paling pokok, guru adalah mendidik. Makanya sebagian guru ada yang malu jika dipanggil Pak atau Ibu Guru. Belum layak jadi guru. Kalau pengajar boleh. Kalau mengajar, semua orang bisa. Contohnya, di bimbingan belajar (bimbel), semuanya mengajar, tak ada yang mendidik. Apakah adalah tentor yang menasehati peserta dengan akhlak? Jangan harap! Lah kalau guru itu di kelas, kadang-kadang menasehati murid-muridnya (bisa dengan pidato, bisa dengan dongeng) selama dua jam pelajaran. Materi pelajaran malah lupa disampaikan. Cara mengatasinya adalah dengan mengatakan: “Menurut Piaget, usia kalian ini telah mencapai tahap operasional formal. Salah satu taraf perkembangan ini adalah, kalian sudah mampu menyerap atau berkomunikasi dengan buku. Jadi, pelajarilah sendiri di rumah ya?”
Indonesia sejak dulu butuh departemen pendidikan, bukan departemen pengajaran (walaupun pernah pula kita memiliki departemen pengajaran semacam di jaman Ki Hajar Dewantara dan jaman Soewandi). Pendidikan diyakini oleh para pakar mampu untuk membawa bangsa ini bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan harus didisain dengan cermat, penuh perhitungan. Termasuk perhitungan biaya tentunya. Jer Basuki Mawa Beya8). Mengharapkan bangsa ini menjadi bangsa yang maju melalui disain pendidikan, pasti membutuhkan biaya yang besar, bahkan teramat besar. Sayangnya biaya yang sangat besar ini belum menampakkan hasil disain pendidikan yang mantap untuk membangun karakter bangsa. Justru disain yang telah menjadi sejarah (dan kita memang melihatnya demikian), menjadi disain parsial . Disain yang terpotong-potong, beruas-ruas bagaikan batang bambu. Tiap bagian ruas itu mampat, tak ada lubang atau celah penghubung antara ruas yang satu dengan ruas yang lain.
Bisa kita lihat kebijakan pemangku jabatan di berbagai jaman dengan menterinya. Para menteri pendidikan atau pengajaran ingin memberikan tapak tilas9) yang berbeda-beda. Ada yang menambah panjang masa belajar, aja yang fokus ke Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), ada yang menerapkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), ada yang mengangkat konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), ada yang mengangkat Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang tinggal sejarah rintisannya saja, ada yang memberikan porsi keleluasaan sekolah dengan menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ada yang memperbaharui konsep dalam menyongsong abad ke-21 dengan model Kurikulum 2013-nya, sehingga ada double-bonus kurikulum di tahun ini.
Semua bagus. Tapi dampak yang munculpun beragam. Ada rumor ganti menteri, ganti kebijakan. Kebijakannya mungkin tidak berganti : mencerdaskan anak bangsa, hanya caranya berbeda. 

Malpratek dalam Dunia Pendidikan
Di atas saya menyebutkan jika malprakter seorang dokter akan berakibat pada korban yang sedikit. Bagaimana jika malpraktek dilakukan dalam dunia pendidikan? Dunia pendidikan adalah dunia yang luas. Dunia yang didisain. Dunia yang sistemik. Jika berhasil, maka dampak baiknya akan membawa kepada peningkatan peradaban bangsa kita. Jika gagal, maka hancurlah sistem kita. Hancurlah bangsa ini.
Banyak hal-hal yang cukup mengkhawatirkan terjadi di lingkungan pendidikan, yang oleh sebagian orang dinilai sebagai sebuah malpraktek dalam dunia pendidikan. Di mana saja biasanya terdapat malpratek pendidikan?
1.Kebocoran kisi-kisi dan soal-soal Ujian Nasional (UN).
Tak henti-hentinya kasus kebocoran dalam UN terjadi. Tak pernah diusut tuntas kausa primanya. Keterlibatan kebocoran-kebocoran semacam guru, dinas pendidikan, bimbingan belajar, percetakan, pembuat kisi-kisi dan soal. Hingga saat ini tak terdengar kasus tentang kebocoran soal / kunci jawaban UN yang berlanjut hingga meja hijau. 
2.Klaim Bimbingan Belajar (Bimbel)
Beberapa Bimbel telah dengan gegabah berani mengklaim semisal : Selamat kepada siswa-siswa Bimbel X , kami yang telah mengantarkan siswa kami lolos SNMPTN dan SBMPTN. Secara resmi sebenarnya tak ada siswa yang boleh diklaim semacam itu. Klaim semacam itu telah dengan telak menohok kredibilitas sekolah.
3.Program Paket A,B,C
Jika mau jujur, program-program kesetaraan tak dikelola dengan baik. Pemantauan tentang kehadiran dalam kegiatan belajar mengajar menjadi omong kosong. Hampir tak ada pertemuan untuk program-program ini. Kelulusan pada pengelolaan program paket yang 100% sebuah hal yang tidak pernah membuat bangga.
4.Kelas Jauh
Kelas jauh merupakan pemanfaatan oleh penyelenggaran pendidikan (misalnya perguruan tinggi ternama) yang memberikan label dengan cara yang sangat mudah untuk mengadakan pembelajaran di daerah/wilayah lain. Kualitas pembelajaran tentu sangat berbeda dengan kelas yang asli. Hal ini berkait dengan perijinan penyelenggaraan yang ujung-ujungnya dengan biaya kerjasama antara penyelenggara dengan penguasa wilayah atau daerah.
5.Jual Beli Ijazah.
Perkuliahan yang dipadatkan dapat memberikan efek menyingkat waktu belajar. Sebuah ketidakwajaran yang bertolak belakang dengan kewajaran penyerapan ilmu pengetahuan oleh peserta, dengan iming-iming ijazah yang sangat mudah diperoleh. Bahkan, mereka yang tidak kuliah, dibuatkan data fiktif untuk memperoleh ijazah. Dari berbagai pemberitaan di media massa, banyak bermunculan ijazah-ijazah baru menjelang Pilkada atau Pileg.
6.Penipuan Calon Pegawai Negeri Sipil.
Utamanya untuk perekrutan PNS tenaga guru, jika diawali dengan suap menyuap, lalu pendidikan karakter macam apa yang akan diajarkan kepada murid-muridnya kelak? Ketika tahu ia dibohongi, maka terungkaplah drama yang menyedihkan sekaligus memalukan. 
7.Kuliah Online
Beruntung kuliah online telah dinyatakan tidak resmi dan menyimpang.
8.Menahan Ijazah Karena Nunggak Bayaran
Mengapa beberapa sekolah masih tega menahan ijazah anak-anak yang orang tuanya memang tidak mampu membayar kewajibannya?
9.Kasus Tabungan Siswa SD
Tabungan murid SD yang dipinjam para guru dan sulit dikembalikan lagi ketika kenaikan kelas, merupakan sebuah pembelajaran yang sulit untuk dipahami. Artinya, kejadian itu selalu berulang. Kesan yang timbul akan sedikit demi sedikit merendahkan harkat dan martabat guru di mata masyarakat.
10.Promosi Sekolah
Di tahun pelajaran baru, banyak sekolah-sekolah yang melakukan promosi door to door  dengan memberikan bonus kepada guru-guru sekolah tingkat di bawahnya. Misalnya guru-guru SMP melakukan promosi langsung ke SD dengan memberikan bonus kepada guru SD yang bisa membawa sekian murid dengan bonus uang atau bahkan laptop, atau barang-barang lain.
11.Pengadaan Buku
Tender buku sumber belajar, atau paling tidak dalam skala kerjasama antara kepala sekolah dengan penerbit selalu bernuansa profit bagi kepala sekolah. 
12.Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan wacana sekolah gratis
Wacana sekolah gratis diserukan oleh sebagian pemegang kepentingan di daerah-daerah tertentu untuk kepentingan politik. Yang tepat seharusnya adalah subsidi silang, para orang tua yang mampu secara ekonomi untuk membantu orang tua lain yang tidak mampu. Biarkan bantuan pemerintah semacam BOS tetap ada. Sifatnya hanya bantuan, bukan untuk memikul biaya yang direncanakan dikeluarkan oleh sekolah.
13.Jasa pembuatan Skripsi / Tesis / Disertasi memunculkan Sarjana, Magister dan Doktor Semu
Masih maraknya jasa pembuatan karya tulis, menunjukkan antara yang membuka jasa dan memakai jasa sama-sama kualitasnya. Sayangnya penyedia jasa ini masih berasal dari kalangan guru / dosen juga yang berada di lingkungan pendidikan.
14.Tunjangan Serifikasi
Sebagian guru tidak menampakkan peningkatan kinerja meskipun telah memperoleh peningkatan pendapat dengan adanya tunjangan profesi yang dikenal dengan “sertifikasi”. Mengubah karakter dalam waktu singkat, merupakan hal yang mustahil. Kinerja bahkan akan semakin buruk ketika uang tunjangan tersebut telah diagunkan ke lembaga keuangan tertentu.
15.Posisi Pengawas Pembina
Peran pengawas Pembina yang tidak efisien sebagai sebuah jabatan fungsional. Jika pengawas Pembina dapat membantu mengatasi permasalahan di sekolah, dapatlah dilanjutkan. Bahkan seloroh yang berkembang di dunia sekolah, pengawas sekolah adalah jabatan pelarian bagi guru-guru yang sudah bosan mengajar. Dalam kenyataan memang para pengawas ini sebagian bukan berasal dari guru-guru yang berprestasi (guru teladan), atau bukan dari guru-guru yang patut untuk diteladani.
16.Kurikulum
Berbagai macam versi kurikulum yang tersekat bersama tersekatnya masa kerja kabinet. Semua menteri ingin mencantumkan nama dirinya dalam perjalanan kabinet setiap periodenya. Berbagai macam ciri khas yang terbaca sebagai sejarah, sudah saya paparkan di bagian atas. Campur tangan berbagai kepentingan, termasuk politik dan strategi penguasa negeri dalam dunia pendidikan tentu akan menambah carut marut dunia pendidikan kita.
Dan (mungkin) masih banyak lagi kasus-kasus yang tidak sempat ditulis di sini.


Dunia Pendidikan Harus Bersih
Dunia pendidikan harus bersih. Ini mutlak. Jika banyak yang telah bermain-main di dunia pendidikan dengan permainan yang berorientasi profit, maka di sana akan banyak dibangun kerapuhan-kerapuhan dan kegamangan dalam pembinaan generasi muda yang tidak disadari.
Para pelaku korupsi dan para penyeleweng (yang setiap hari kita tonton di televisi) hendaknya menjadi pembelajaran bagi yang belum terlanjur terjerumus ke arah itu. Sayangnya filter bagi anak-anak kita akan kasus-kasus penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang hampir tak ada. Anak-anak kecil boleh menonton TV acara apa saja. Para remaja juga boleh membaca berita tentang penyelewengan apa saja. Sebuah pekerjaan sulit yang seharusnya ditanggung oleh siapa? Fakta para penyeleweng yang ditonton demikian jelas adalah orang-orang dengan ijazah tinggi. Kita mencoba menahan diri untuk mengatakan mereka berpendidikan tinggi.
Ironisnya , di lingkungan pendidikan sendiri masih dikotori oleh perilaku-perilaku sebagian oknum (baik yang memegang posisi strategis maupun oknum awam) yang belum memahami arti pendidikan. Jika dunia atau lingkungan pendidikan dijadikan ladang mencari rizki, memang itu salah satu tempatnya. Tetapi jika di lingkungan pendidikan terdapat kasus-kasus yang tidak layak dengan label “pendidikan”, maka dampak negatifnya akan menjadi sangat dahsyat jika dibandingkan kasus yang sama tetapi bukan di lingkungan pendidikan.
Siapa sih yang tidak butuh uang? Semua masih butuh uang. Siapa sih yang tidak butuh pendidikan? Mungkin tidak semua orang butuh pendidikan. Mengapa? Mungkin ini akibat dari lingkungan pendidikan yang tidak memberi berkah karena masih banyak terdapat malpraktek yang berorientasi profit. 
Jika konsep pendidikan terkini adalah membangun karakter bangsa, apa ini tidak terlalu berat? ***
Majalengka, Agustus 2015

Keterangan Bahasa Asing / Daerah :
1.Wejangan (Bahasa Jawa) : Nasihat
2.Kyai ndeso (Bahasa Jawa) : Kyai desa
3.iku ora nguman-umani (Bahasa Jawa): Iku = itu, Ora = tidak, Uman = kebagian, Ora nguman-umani = berlaku serakah tidak menyisakan (apapun) untuk orang lain, dia mbil semuanya.
4.Ceuk Ajengan lembur mah, teu mere agehan kanu ngora!   (Bahasa Sunda) : Kata Kyai Desa, tidak memberi jatah untuk yang muda.
5.Mblegedhu (Bahasa Jawa) : Sangat kaya, kaya raya.
6.Tuyul (Ndak tahu bahasa mana) : terjemahkan sendiri artinya.
7.Nek niyatmu ora tenanan, ojo dadi guru le! (Bahasa Jawa) : Kalau niatmu tidak beneran, jangan jadi guru Nak! (Le = Thole = Sebutan untuk anak laki-laki, Dhuk = Gendhuk = Sebutan untuk anak perempuan).
8.Jer Basuki Mawa Beya (Bahasa Jawa) : Memang, Keselamatan (Kesuksesan) Membutuhkan Biaya.
9.tapak tilas (Bahasa Jawa) : Tapak = pijakan, tilas = bekas


* Sebagian materi dibandingkan dengan isi buku Pendidikan Rusak-rusakan tulisan Sdr. Darmaningtyas

Post a Comment