Kartika mengatubkan bibir. Dipandanginya wajah Syamsu yang pucat. Air matanya tampak mengembang.
“Akang sehat?”
“Tenang saja De, semuanya akan baik-baik saja.”
“Mudah-mudahan saja.”
“Jangan sampai semua keluarga tahu hal ini. Mau kuantar pulang?”
“Akang yang seharusnya kuantar.”
“Temui ayah …..”
Sambil meninggalkan Syamsu, gadis itu sempat menoleh. Gadis itu menyeka air mata yang semakin menderas dengan ujung bajunya. Pemuda itu hanya menggeleng.
*

Ruang kerja Studio Foto Sinar Kartika.
Menjelang shubuh Syamsu belum beranjak dari depan laptop. Usai mengedit foto-foto ia memantau WA Grup SMAN-100 Alumni 2008 yang diakses melalui laptop. Ia baca chat teman-teman di hari kemarin hingga malam tadi. Topiknya satu, dirinya.
Kasihan Syamsu…… jerooo…..”
“Merpati itu telah terbang untuk selamanya!”

“Nya naha kudu kitu?”
“Jodoh bro, jodoh!”
“Semangat Syamsu, Atin juga masih menantimu..”
“Jomblo terprogram, wkwkwk.
Puluhan komentar teman-temannya kadang membuatnya ingin tersenyum, tapi kebanyakan membuat hatinya perih.
Semua tahu, selama dua tahun di SMA semua teman-teman tahu, Syamsu dan Kartika adalah sepasang kekasih. Demikian paling tidak teman-teman mereka menyebutnya. Dan itu memang disadari oleh mereka berdua, bahkan kadang dengan seloroh mereka berkata :
Titisan Romeo dan Juliet!”
“Titisan Romi dan Yuli!”
“Titisan Bangsacara dan Ragapadmi!”
“Titisan Kamajaya dan Kamaratih!”
“Titisan Rama dan Sinta!”
Atau apa lagi ungkapan yang mereka munculkan di hadapan teman-temannya yang menganalogikan cinta mereka dengan legenda-legenda cinta yang disebutkannya.
“….. sekarang adalah legenda Syamsu dan Kartika” kata Syamsu waktu dulu kepada teman-temannya.
Syamsu adalah Matahari, Kartika adalah Bintang. Sebuah perpaduan yang indah, yang diyakini oleh kedua anak manusia.
Syamsu – Kartika, Matahari – Bintang, ini adalah pertanda bahwa kita akan abadi …”
Syamsu ingat benar kalimat itu pernah terucap ketika hari perpisahan kelulusan. Dan ia melihat, Kartika menganggukkan kepala perlahan.
Brak!
Syamsu menggebrak meja. Kemudian ia tengadah sambil menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Sebuah peristiwa klasik yang kadang Syamsu sendiri melihatnya, bahkan menertawakannya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa dirinya harus dipaksa menertawakan dirinya sendiri.
“Syamsuuu, kamu jangan bunuh diri!”
Begitu komentar lain di WA, dan masih banyak komentar teman-teman yang teramat menyakitkan. Namun baginya yang menyakitkan adalah bagaimana ia teringat waktu itu orang tua Kartika memutuskan dirinya dengan anaknya. Alasan orang tua gadis itu cukup sepele : “Kamu berani tanpa ijin membawa anakku bermalam minggu hingga malam!”
Bagi Syamsu tak habis pikir, hanya sekedar menghabiskan malam minggu bersama, apa salahnya? Namun di luar perhitungan pemuda itu, bagi sebagian orang tua, anaknya dibawa pergi tanpa ijin adalah sebuah pelanggaran harga diri yang tak termaafkan. Masih banyak orang tua yang tetap berpegang teguh kepada hal demikian.
***
Semula Syamsu tidak tahu tentang order untuk acara pernikahan kali ini. Kebetulan ketika negosiasi yang lalu ia masih berada di Surabaya untuk beberapa urusan. Barulah ketika ia pulang ke Sumedang, ia baru tahu jika yang harus ditangani adalah pernikahan Kartika di Majalengka. Ditambah lagi dengan beberapa teman yang tahu informasi, kemudian meramaikannya di grup WA.
Syamsu sendiri akhirnya sempat juga dengan berat hati mengirim japri kepada Kartika. Cukup singkat. 
Tak ada lagi Matahari dan Bintang yang akan bersanding ….. yang ada hanyalah Matahari yang terpana melihat Bintang bersanding dengan Awan. Ya, Awan Laksono.”
“Maafkan Tika Akang, maafkan ayah…”
Hari Minggu, 23 November 2017.
Usai akad nikah pernikahan Wuryani, beberapa crew  tim Video Shooting & Photography Sinar Kartika, mulai menata gaya untuk berbagai pose foto keluarga bersama pengantin. Saat-saat yang paling menyiksa bagi Syamsu adalah ketika ia harus menapa gaya Kartika sendirian. Ia sempat melirik ke arah ayah Kartika yang mengamatinya dengan pandangan tidak senang. Laki-laki itu juga baru tahu jika sang photographer itu adalah Syamsu.
“Coba… mmm wajah miringkan sedikit, badan …. nah ….. tangan, yang kanan di depan, Jangan terbalik. Naah …. bagus siap…..” kata Syamsu sambil mundur menyiapkan tustelnya.
Namun hingga beberapa saat, tampak pemuda itu seperti belum menemukan posisi yang pas. Tustel ia turunkan. Kepalanya menggeleng. Ia maju lagi, kemudian mendekati Kartika, memegang pundak seolah tampak sedang mengatur gaya. Namun ternyata ia membisikkan sesuatu.
Kartika, bintangku. Ini pelaminan yang Akang impikan dulu. Cinta Akang tetap abadi …..” kata Syamsu membisikkan kata-kata di dekat Kartika.
Gadis itu gelisah.
Syamsu mundur lagi. Kini ia berkali-kali mengabadikan semua kegiatan.
Kilatan-kilatan lampu blitz, bagi Kartika adalah siksaan. Kata-kata Syamsu yang baru saja ia dengar adalah kalimat indah yang menyayat kebahagiaan yang seharusnya ia temui hari ini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Syamsulah yang akan mengabadikan semua perhelatan ini.
Usai mengambil even ini, sebelum ia turun dari panggung pelaminan, Syamsu menyalami mempelai laki-laki.
“Selamat Kang Awan ….. titip Kartika menjadi istri yang baik!” kata Syamsu tercetus begitu saja. Mendengar kalimat tersebut, suami Kartika tak jadi menerima uluran tangan Syamsu.
“Apa?! Apa kata Anda tadi? Titip? Anda siapa?!” bahkan kemudian ia bertanya agak keras ke arah Syamsu.
“Mmm …. mm… maaf… maaf tidak apa-apa.”
‘Anda kenal dengan istriku?”
“Ini ada apa?” tiba-tiba ayah Kartika menghampiri yang sedang berdialog.
“Oh Bapak, tidak apa-apa, hanya salah paham sedikit.”
“Kamu itu dari dulu selalu bikin ribut!” kata ayah Kartika sambil menunjuk muka Syamsu.
“Maafkan saya Pak.”
“Pergi! Pergiiiii!” teriak ayah Kartika sambil mendorong Syamsu ke bawah.
Semua tetamu kaget melihat telah terjadi keributan di panggung pelaminan. Mereka melihat sang Fotografer limbung didorong dengan kuat, hingga terpelanting terjerembab ke bawah. Tustel Syamsu terlempar jauh. Tubuhnya terkapar dekat taman pelaminan.
“Kang Syamsuuuuuu!” tiba-tiba Kartika menjerit dan berlari menghampiri Syamsu yang masih tergeletak.
“Kartika! Kembali!” kata ayahnya seraya menarik tangan anaknya.
“Ayah jahat! Jahaaaat!”
“Biarkan saja anak nggak tahu diuntung itu!”
Orang tua itu meraih anaknya dibawa kembali ke pelaminan.
“Tika, anak tak tahu diuntung itu telah merusak acara sakral ini.”
“Ayah, jangan sebut Kang Syamsu anak tak tahu diuntung.”
“Pengacau dia!”
“Ayah …. Ayah tidak tahu pengorbanan Kang Syamsu terhadap keluarga kita….”
“Pengorbanan? Pengorbanan apa? Sejak ia kenal kamu di SMA, dia membuat ayah selalu gelisah, khawatir.”
“Ayah salah, Kang Syamsu yang Tika kenal sejak SMA adalah anak baik.”
“Baik apaan?”
“Dia telah menjadi jalan agar keluarga kita tetap eksis seperti sekarang ini.”
“Apa maksudmu?”
“Ayah masih ingat ketika Tika kelas tiga SMA ayah sakit?”
“Ya.”
“Ketika dirawat di rumah sakit?”
“Ya, ayah ingat.”
“Ayah, sebenarnya … sebenarnya darah Kang Syamsul-lah yang mengalir di tubuh ayah hingga ayah sehat kembali hingga saat ini.”
“Apa?!”
“Golongan darah ayah adalah AB, golongan darah yang paling langka di dunia. Hanya empat persen manusia di dunia yang memilikinya. Ayah memiliki itu, juga Kang Syamsul. Hanya dengan cara transfusi waktu itulah, menjadi syari’at bagi ayah hingga seperti sekarang ini. Bisa berkumpul bareng keluarga, bareng kami.”
“Syamsu?”
“Iya ….. iya ayah, Kang Syamsu.”
Perlahan ia melihat ke arah Syamsu yang telah ditolong bangkit oleh beberapa orang. Bibir laki-laki itu bergetar.
“Tika … Tika, kenapa kamu tidak cerita dari dulu?”
“Itulah kemuliaan hati Kang Syamsu ayah, dia tidak mau anggota keluarga kita ada yang tahu dialah yang menolong menyelamatkan nyawa ayah.”
“Tikaaa!”
“Karena Kang Syamsu tidak ingin ayah merasa berhutang budi padanya…..”
Tersekat leher laki-laki. Matanya melihat nanar ke arah Syamsu yang perlahan berjalan tertatih menjauhi pelaminan. Ia merasakan seluruh permukaan kulitnya tiba-tiba dingin. Lututnya bergetar. Perlahan tubuhnya melorot, lemas.
Perhelatan pernikahan menjadi tak menentu. ***
                                  
                                                           Majalengka, 01 Desember 2017


Post a Comment