I. Episode Cinta Monyet
Bagi Bintang, bumi ini adalah bumi baru.
Dulu bumi hanyalah hamparan tanah, sawah, gunung dengan latar belakang langit biru. Dulu semua diam. Sekarang bumi telah berubah menjadi indah sejak mengenal Kartika.
“Aku boleh pinjam pulpenmu?” tanya Bintang serius.
“Boleh ….. mau yang mana?” kata Kartika sambil tersenyum.
“Bener boleh ya?” kata Bintang sambil mengambil ballpoint Pilot.
Dengan sengaja ia menyentuhkan jarinya ke jari Kartika. Jantung Bintang berdetak keras. Bulu-bulu halus di kedua tangannya meremang memberi isyarat rasa aneh yang berdesir dalam hatinya.
Pulang sekolah Kartika tidak tahu betapa Bintang berjingkrak-jingkrak dengan bahagia. Kartika tidak tahu pula jika pulpennya dipeluk Bintang selama tidur.
Pagi hari.
“Kartika, pulpenmu hilang … gimana nih?”
“Emmm, gimana tuh? Ganti dong!”
Hari itu Bintang berteriak kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak. Pulpen Kartika akhirnya menjadi miliknya. Ia merasa tak banyak akal untuk memiliki kenang-kenangan dari Kartika, kecuali dengan akal bulus.
II. Episode Putih Abu-abu
Kantin Sekolah .
“Bintang, sebentar lagi kita lulus."
"Insya Allah..."
" Bintang jadi ke Yogya?”
“Jadi laah. Aku harap tempat kuliah bukan penghalang cinta kita. Biarkan aku ke Yogyakarta, Kartika ke Bandung. Suatu saat akan ada sebuah keluarga, dimana anak-anak dapat dongeng tentang Yogya, Bandung dan Majalengka."
"Iya"
"Bandung? Mantap ke kota itu kan? Bukankah orang tua Kartika asli Bandung?”
“Iya, aku sekalian pulang kampung. Pulang kota.”
“Kartika.”
“Apa?"
"Bagi Bintang, kantin ini mungkin kantin yang paling indah sedunia, karena ada Kartika yang selalu menemani aku …..”
“Aaaahhh…. bisa saja kamu! Bilang saja aku yang selalu nraktir!” kata Kartika sambil tertawa.
Bintang cemberut, namun sebenarnya ia suka digoda seperti itu.
“Kartika, kita UNBK Maret .”
“Ya sebentar lagi.”
“Usai UNBK kita akan jarang bermain lagi di SMA ini….”
“Aaaahhh Bintaaaang …… jadi pengen nangis niiih!” kata Kartika sambil menjentik jari Bintang.
III. Episode Tak Pernah Ingkar Janji
Hari itu alunan gamelan degung berhenti.
Prosesi pernikahan antara Bintang dan Kartika akan segera berlangsung.
“Wahai Bintang, engkau nikahkan dengan putriku, Kartika Aruming Pertiwi, dengan maskawin seperangkat alat sholat dan sebuah ballpoint Pilot, dibayar tunai!”
“Aku terima nikahnya Kartika ………………….”
Mendengar ballpoint pilot disebut, Kartika terhenyak. Pikirannya jauh melayang ke masa-masa SMP.
Usai perhelatan di sore hari.
Di tangan Kartika ada ballpoint Pilot maskawin. Kartika mencium ballpoint itu.
“Aa, aku sama sekali tak berfikir A Bintang masih menyimpan ballpoint ini. Walaupun dulu bilang pura-pura hilang.”
“De Tika sayang, benda inilah yang menemani cintaku padamu selama ini. Sebelas tahun sejak kita kelas II SMP hingga lulus S2, Kartika. Ini waktu yang sangat lama sayang. Benda inilah yang memberiku semangat dan keyakinan untuk berprestasi.”
“Och ….”
“Prestasi tertinggiku bukanlah gelar magister, tetapi prestasi tertinggiku karena Allah mengabulkan Kartika menjadi bidadariku yang bukan lagi berbentuk ballpoint, tetapi Kartika yang nyata ……. yang sejak dulu aku kagumi.”
IV. Episode Kuburan
Tanpa berpamitan kepada anak cucunya, Bintang dan Kartika menuju ke sebuah pekuburan.
Keduanya memandang berkeliling di area pekuburan.
“Kakek ……. enggg …. umur kita sudah berapa ya?”
“Seratus tahun lewat sedikit.”
“Kenapa kita nggak mati-mati ya?”
“Nenek ingin tahu?”
“Ya sayang….”
“Karena cinta, sayang. Kita menjadi panjang umur karena cinta. Cinta yang membahagiakan membuat tubuh kita sehat. Optimis menjalani hidup. Pikiran tenang dengan cinta yang murni, bukan cinta palsu. Saat ini tubuh kita memang sudah tak keruan lagi, peot keriput. Tapi cinta kita tak pernah tua …..”
Lelaki tua itu memegang pundak istrinya. Istrinya memandang wajah suaminya. Dibenamkannya kepala wanita yang dicintai ke dadanya.
“Kartika….. aku mencintaimu sampai mati….”
“Cintaku juga abadi Bintaaang …..”
Siang itu angin pekuburan semilir.
Beberapa kelopak daun kamboja jatuh di tanah.
Sepasang legenda cinta itu berbahagia. Keduanya menatap deretan batu-batu nisan. Mereka sedang berfikir untuk mencari posisi istirahat lama di alam barzah secara berdampingan.
Dalam cinta. ***
Majalengka 2016
Posting Komentar