I.
PENDAHULUAN
.Dunia pendidikan merupakan sebuah
bidang sosial yang sangat dinamis. Perubahan-perubahan dalam bidang pendidikan
dapat terjadi dalam tempo yang singkat. Demikian juga permasalahan yang muncul
di dalamnya bisa sangat beragam. Dibutuhkan penanganan dan solusi yang tepat
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003,
menjadi upaya pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan
mutu beralih menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), sejalan dengan era otonomi daerah. Banyak konsep
pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat
membangun ”Paradigma Baru” pendidikan Indonesia.[1]
MBS dipandang sebagai alternatif
pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor
pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan
mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah
ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem
manajemen dimana sekolah menjadi unit pengambilan keputusan penting tentang
penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan
pengendalian manajemen lebih besar kepada kepala sekolah, guru, dan masyarakat.
Secara definitif, ada dua jenis
lembaga pendidikan formal di Indonesia, yakni sekolah dan madrasah. Sekolah
berada di bawah naungan Kemendikbud, sedangkan madrasah dibawah naungan
Kemenag. Dalam hal pengelolaan manajemen sekolah, tentu ada perbedaan
karakteristik diantara dua lembaga tersebut.
Makalah berikut akan membahas
tentang implementasi MBS pada sekolah, serta perbandingan antara sekolah negeri
dan madrasah swasta dalam penerapan MBS. Harapannya makalah ini dapat membantu
dalam memahami bagaimana konsep MBS dan bagaimana MBS diimplementasikan pada
lembaga pendidikan.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian permasalahan di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah
di lembaga pendidikan Islam/madrasah?
2.
Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah
di lembaga pendidikan umum/sekolah formal?
3.
Bagaimana perbandingan penerapan MBS di
madrasah dan di sekolah umum?
III.
TUJUAN PENULISAN
Secara umum, tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui perbandingan penerapan manajemen berbasis
sekolah di lembaga pendidikan Islam dan di sekolah umum. Tujuan tersebut dirincikan
dalam beberapa tujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui penerapan manajemen berbasis
sekolah di lembaga pendidikan Islam/madrasah.
2.
Mengetahui penerapan manajemen berbasis
sekolah di lembaga pendidikan umum/sekolah formal.
3.
Mengetahui dan menganalisis perbandingan
penerapan MBS di madrasah dan di sekolah umum.
IV.
KAJIAN PUSTAKA
Makalah berikut ini akan
menggunakan beberapa sumber data. Sumber data tersebut diklasifikasikan
berdasar jenis data yang diambil, sebagai berikut:
1.
Data tentang Manajemen Berbasis Sekolah. Data
ini diambil dari beberapa buku dan referensi terkait yang membahas tentang MBS.
2.
Data tentang implementasi MBS di SMPN 4
Kepanjen. Data ini diambil dari skripsi karya Esti Winarsih, mahasiswa UIN
Malang yang telah diujikan pada 11 April 2009.
3.
Data tentang implementasi MBS di MA Zainul
Hasan 1 Genggong. Data ini diambil dari skripsi karya
V.
LANDASAN PUSTAKA
1.
Latar Belakang MBS
Kemunculan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dilatar belakangi oleh kurang baiknya sistem
pendidikan yang ada di suatu negara. MBS diharapkan dapat menjadi solusi
permasalahan rendahnya kualitas pendidikan akibat dari buruknya sistem
pendidikan. Usaha peningkatan kualitas pendidikan sudah banyak dilakukan
sebelumnya, hanya saja masih belum dapat mengatasi permasalahan yang ada.
Berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme guru,
metode pengajaran, dan sistem evaluasi.
Bersamaan
dengan berbagai upaya dan inovasi pendidikan tersebut, pada tahun 1980-an telah
terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, khususnya
pada bidang industri dan organisasi komersial. Keberhasilan manajemen modern
itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Sejak
saat itu, masyarakat mulai tersadar bahwa untuk memperbaiki kualitas pendidikan
maka perlu untuk melakukan reformasi sistem secara struktural dan gaya
manajemen sekolah secara menyeluruh, bukan seperti inovasi pendidikan yang
telah diupayakan selama ini.
Di Indonesia,
MBS muncul lebih lambat dibandingkan beberapa negara yang sudah lebih dulu
menerapkannya, seperti Hong Kong, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.[2]
Kelambatan penerapan MBS ini disinyalir karena lambatnya kesadaran para
pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sistem
pemerintahan otoriter selama orde baru. Meskipun saat ini di Indonesia telah
diterapkan MBS, namun Nurkolis mencatat bahwa penerapan MBS masih setengah hati
karena upaya perbaikan pendidikan yang dilakukan masih bersifat tambal sulam,
sehingga belum ada upaya reformaasi pendidikan yang sesungguhnya.[3]
2.
Pengertian MBS
Istilah Manajemen Berbasis Sekolah yang
merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris School-Based Management di
ambil dari beberapa istilah yang cukup bervariasi, seperti Self Managing
School, Site-Based Management atau Community Based
School Management. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola
sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
kebutuhan.
Secara leksikal, Manajemen Berbasis
Sekolah diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan kepada sekolah
itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.[4]
Beberapa pakar mengemukakan pengertian yang berbeda tentang MBS. Beberapa
definisi MBS yang dapat disampaikan disini antara lain:
a) Eman
Suparman mendefinisikan MBS sebagai penyerasian sumber daya yang dilakukan
secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam
pendidikan nasional.[5]
b) Myers
dan Stonehill mengungkapkan bahwa MBS adalah strategi untuk memperbaiki
pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan
dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara individual.[6]
c) Nurkolis
merumuskan bahwa MBS adalah model pengelolaan sekolah dengan memberikan
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya
sendiri secara langsung.[7]
d) Sementara
Depdiknas RI (sekarang Kemdikbud) menyebut MBS dengan istilah Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang diartikan sebagai suatu model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga
sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional.[8]
Dari
berbagai definisi tentang MBS sebagaimana diungkapkan di atas, maka penulis
berkesimpulan bahwa MBS adalah pengelolaan sumber daya yang dilakukan oleh
sekolah secara mandiri dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder)
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
3.
Tujuan dan Manfaat MBS
Semangat MBS
adalah semangat desentralisasi. Berawal dari hal ini, MBS memiliki tujuan utama
untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan, yakni dengan
mendorong sekolah untuk secara mandiri mengelola lembaga bersama pihak-pihak
terkait. Dengan MBS, sekolah dapat lebih bertanggung jawab terhadap proses
pendidikan yang dikelolanya. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam
pengambilan keputusan sekolah juga dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat
terhadap sekolah.
MBS bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan denga
proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses
pendidikan di sekolah, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan yang
diharapkan. Efisiensi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan
maksimal.
MBS bertujuan
mencapai mutu dan relevansi pendidikan yang setingi-tingginya. MBS juga
menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang
bermutu di sekolah yang bersangkutan. Selain itu, MBS juga bertujuan meningkatkan akuntabilitas
sekolah dan komitmen semua stakeholder. Dengan demikian, sekolah lebih
bertanggung jawab terhadap masyarakat sebagi pengguna jasa pendidikan.
Adapun tujuan
MPMBS sebagaimana ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional (sekarang
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) adalah meningkatkan mutu pendidikan
melalui kemandirian dan insiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan
sumber daya yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya;
serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.[9]
Berkat adanya
keleluasaan sekolah dalam mengelola sumber daya sekolah, serta adanya
partisipasi masyarakat akan mendorong meningkatnya profesionalitas kepala
sekolah dan guru. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel,
rasa tanggao sekolah terhadap kebutuhan masyarakat akan meningkat serta layanan
pendidikan juga akan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan
masyarakat seiring dengan dinamika perkembangan jaman.
4.
Prinsip-prinsip MBS
Terdapat empat
prinsip pelaksanaan MBS,[10]
yaitu:
a)
Prinsip Ekuifinalitas (Principle of
Equifinality)
Prinsip ini
didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa
cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan
fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut
kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya pekerjaan sekolah saat ini dan
adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya
perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat
dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara.
Pendidikan
sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai pengaruh eksternal. Oleh karena
itu, tak menutup kemungkinan bila sekolah akan mendapatkan berbagai masalah
seperti halnya institusi umum lainya. Pada zaman yang lingkungannya semakin
kompleks ini maka sekolah akan semakin mendapatkan tantangan permasalahan.
Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan
cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun
sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan
berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
b)
Prinsip Desentralisasi (Principle of
Decentralization)
Desentralisasi
adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip
desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinaltias. Prinsip
desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas
pengajaran tak dapat dihindarkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan
adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam
pelaksanaannya.
Prinsip
ekuifinalitas yang dikemukakan sebelumnya. mendorong adanya desentralisasi
kekuasaan dengan mempersilahkan sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk
bergerak, berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk
menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif. Oleh karena itu, sekolah
harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara
efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan
prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan
menghindari masalah. Oleh karena itu, MBS harus mampu menemukan masalah,
memecahkannya secara tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar
terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya
desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat
memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
c)
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal
of Self Managing System)
MBS tidak
mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan suatu
kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang berbeda-beda
untuk mencapainya. MBS menyadari pentingnya untuk mempersilahkan sekolah
menjadi sistem pengelolaan secara mandiri di bawah kebijakannya sendiri.
Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran,
strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya,
memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka
masing-masing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih
memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip ini
terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip
desentralisasi. Ketika sekolah menghadai permasalahan maka harus diselesaikan
dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah
terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah.
Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan
sistem pengelolaan mandiri.
d)
Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of
Human Initiative)
Perspektif
sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam
organisasi sehingga poin utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya
manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini maka
MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar
dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber
daya manusianya.
Prinsip ini mengakui
bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena
itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian
dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi
menggunakan istlah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai
barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human
resources development yang memiliki konotasi dinamis dan aset yang amat
penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
5.
Karakteristik MBS
Ibrahim
Bafadhal, mengutip Levacic, mengungkapkan bahwa terdapat tiga karakteristik MBS
yang harus selalu dikedepankan. Tiga karakteristik tersebut yaitu, pertama,
kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan kepada para
stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup
keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, seperti kurikulum, kepegawaian,
keuangan, dam penerimaan siswa baru. Ketiga, meskipun domain manajemen
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, namun
diperlukan regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan
pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.[11]
Berdasar pelaksanaannya
di negara maju, MBS mempunyai beberapa karakteristik dasar, yaitu pemberian
otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi yang tinggi dari masyarakat dan
orang tua siswa, kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional,
dan adanya teamwork yang solid dan profesional. Sedangkan Suryosubroto
menjelaskan bahwa karakteristik dari konsep MBS ini antara lain:
a)
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
b)
Sekolah memiliki visi dan target mutu yang
ingin dicapai;
c)
Kepemimpinan yang kuat;
d)
Adanya harapan yang tinggi dari personel
sekolah untuk berprestasi;
e)
Adanya pengembangan sumber daya sekolah secara
kontinyu sesuai tuntutan iptek;
f)
Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus
terhadap berbagai aspek akademis dan administratif, serta pemanfaatan hasil
evaluasi tersebut untuk perbaikan mutu pendidikan selanjutnya;
g)
Adanya dukungan dan peran serta orang tua
siswa dan masyarakat.[12]
6.
Ruang lingkup MBS
Manajemen
Berbasis Sekolah merupakan sebuah kebijakan otonomi pendidikan yang diberikan
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, bahkan kepada sekolah secara
langsung. Kebijakan ini menjadikan sekolah sebagai pemeran utama dalam
pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan serta pengelolaan seluruh unsur
manajemen yang ada di sekolah tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka
meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di sekolah agar lebih efektif dan
efisien.
Hal penting
dalam MBS adalah pengelolaan komponen-komponen manajemen yang ada di sekolah.
Pengelolaan itu hendaknya dilaksanakan dengan selalu mengacu pada prinsip
keefektifan dan keefisienan. Adapun komponen-komponen yang harus dikelola dalam
MBS itu setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan program pengajaran,
tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn prasarana sekolah,
pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen layanan khusus bidang
pendidikan.
7.
Strategi Penerapan MBS
Menurut Slamet
P.H., sebagaimana dikutip Nurkolis menjelaskan bahwa strategi yang ditempuh
untuk mengimplementasikan MBS adalah:
a)
Sosialisasi konsep MBS kepada seluruh warga
sekolah
b)
Analisis situasi sekolah dan luar sekolah,
berupa tantangan yang harus dihadapi sekolah dalam rangka mengubah manajemen
c)
Merumuskan tujuan situasional yang akan
dicapai
d)
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu
dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional
e)
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya
f)
Memilih langkah-langkah pemecahan persoalan,
yakni tindakan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi siap
g)
Membuat rencana jangka pendek, menengah, dan
panjang serta program-program untuk merealisasikannya
h)
Melaksanakan program-program yang telah
dirumuskan tersebut
i)
Melakukan pemantauan atau kontrol terhadap
proses dan evaluasi hasil MBS.[13]
Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa
menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena
itu, strategi implementasi mungkin berbeda antara satu daerah dengan daerah
lain, bahkan satu sekolah dengan sekolah lain.
VI.
PEMBAHASAN
1.
Penerapan MBS di SMPN 4 Kepanjen Malang
Sekolah Menengah Pertama Negeri
(SMPN) 4 Kepanjen yang selanjutnya disingkat SMPN 4 Kepanjen merupakan lembaga
pendidikan formal yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional (KEMDIKNAS).
Pada awal SMPN 4 Kepanjen adalah SMPN 4 Malang yang letaknya di Kepanjen, didirikan
pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan SK Menteri P dan K tanggal 28 juli 1955 No
3816/B/111. Saat ini, SMPN 4 Kepanjen menempati gedung di alan Kawi No: 3
Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang.
SMPN 4 Kepanjen memiliki visi
“Unggul dalam mutu, mampu bersaing secara global, beriman dan bertaqwa”. Visi
itu dijabarkan menjadi beberapa misi berikut:
1.
Terwujudnya pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang standar nasional maupun bertaraf internasional.
2.
Terwujudnya proses belajar mengajar yang
standar nasional maupun bertaraf internasional.
3.
Terwujudnya taraf kompetensi lulusan yang
standar nasional maupun bertaraf internasional.
4.
Terpenuhinya fasilitas pendidikan yang standar
nasional maupun bertaraf internasional.
5.
Tersedianya tenaga pendidik dan kependidikan
yang memiliki kompetensi dan kualifikai
untuk mengelola sekolah standar nasional
maupun bertaraf internasional.
6.
Terwujudnya manajemen sekolah yang standar
nasional maupun bertaraf internasional.
7.
Tercapainya pembiayaan untuk memenuhi taraf
biaya sekolah standar nasional maupun bertaraf internasional.
8.
Terwujudnya sistem penilaian pendidikan yang
berstandar nasional maupun bertaraf internasional.
Penerapan MBS di SMPN 4 Kepanjen secara terperinci yang meliputi 7 komponen. Namun dari 7
komponen tersebut, hanya membatasi 3 komponen saja yang diuraikan dalam
penelitian, yaitu manajemen kurikulum dan program pengajaran, manajemen
kesiswaan, dan manajemen sarana dan prasarana.
a)
Manajemen kurikulum dan program pengajaran
Dalam manajemen kurikulum dan program
pengajaran ini, sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum yang
sudah diterapkan oleh pemerintah namun tidak diperbolehkan untuk mengurangi isi
kurikulum yang sudah berlaku secara nasional.
Satu hal menarik yang terjadi di SMPN 4
Kepanjen adalah adanya upaya dari guru agama Islam untuk meningkatkan mutu
pendidikan agama Islam dengan bekerja sama dengan guru sains, dan guru bahasa
untuk mengadakan mata pelajaran terpadu,
diharapkan dengan adanya mata pelajaran terpadu tersebut dapat
meningkatkan mutu pendidikan agama Islam. Hasilnya adalah suatu karya siswa
yang dapat dinilai dari tiga sisi berbeda, sisi keagamaan, sisi sains, dan sisi
kebahasaannya.
b)
Manajemen kesiswaan
Yang dimaksudkan manajemen kesiswaan di sini
adalah penataan dan pengaturan terdadap kegiatan dengan peserta didik, mulai
masuk sampai dengan keluarnya peserta didik tersebut dari sekolah. Manajemen
Berbasis Sekolah di SMPN 4 Kepanjen pada
bidang kesiswaan mempunyai tugas
pokok diantaranya mempersiapkan saat penerimaan siswa baru, juga harus
bertanggung jawab atas bimbingan dan pembinaan kedisiplinan, selain itu untuk
meningkatkan mutu pendidikan agama Islam maka waka kesiswaan bekerja sama
dengan guru agama Islam mengadakan ekstrakurikuler
keagamaan yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan agama Islam, seperti
kegiatan pondok Ramadhan, baca tulis al Qur’an, kaligrafi, dan setiap malam
jum’at legi di SMPN 4 Kepenjen selalu diadakan baca yasin bersama, kemudian ada
juga hadrah (terbangan), dan samrohan.
c)
Manajemen sarana prasarana
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga
sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal
dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Data wawancara dengan kepala
sekolah SMPN 4 Kepanjen menyatakan bahwa kondisi sarana dan prasarana di SMPN 4
Kepanjen masih belum memadai, namun belum ditemukan adanya upaya atau strategi
untuk mengatasi masalah tersebut.
Manajemen
sekolah telah menetapkan tahapan-tahapan MBS secara benar, yakni diawali dengan
penyusunan program sekolah oleh kepala sekolah bersama tim. Susunan rencana
program tersebut kemudian dikonsultasikan bersama komite sekolah. Dalam forum
konsultasi tersebut akan terjadi diskusi tentang susunan rencana program
sekolah. Selanjutnya susunan program itu ditetapkan dan kemudian
disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah. Hanya saja dalam laporan
penelitian (skripsi) tersebut, penulis belum menemukan penjelasan tentang
langkah-langkah manajemen itu secara rinci.
2.
Penerapan MBS di MA Zainul Hasan 1 Genggong
Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong
didirikan pada tahun 1968 dengan pola pembelajaran yang dipisah antara putra
dan putri. Pada tahun 1982 madrasah ini terdaftar di Departemen Agama dengan
surat tanda bukti terdaftar Nomor: LM/3/268.C/1982, tertanggal tertanggal 9
Desember 1982. Hingga saat ini Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong dikelola
oleh Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan.
Lokasi Madrasah Aliyah Zainul Hasan
1 Genggong terletak di desa yang tidak terlampau jauh dari ibu kota kabupaten
Probolinggo. Sebagian besar penduduknya berada pada tingkat ekonomi menengah ke
bawah dengan mata pencaharian sebagai petani, buruh tani, buruh pabrik dan
PNS. Maka sejak berdirinya tahun 1968
Madrasah Aliyah Zainul Hasan 1 Genggong selalu mengelola kurikulum didasarkan
pada kenyataan sosial masyarakat setempat dan latar belakang stakeholder yang di Madrasah Aliyah Zainul
Hasan 1 Genggong. Selain itu, penerapan kurikulum juga memperhatikan kurikulum
pesantren, kurikulum umum (pemerintah) serta selalu disesuaikan dengan perkembangan kurikulum yang ada.
Karena itu maka pada tanggal 24 Maret 1994, Madrasah Aliyah Zainul Hasan
berhasil merubah status menjadi DIAKUI.
MA Zainul Hasan 1 Genggong memiliki
visi “Pengembangan ilmu keislaman berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Visi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa misi berikut:
1.
Memberikan penguasaan dalam bidang ilmu
keislaman, kewarganegaraan, bahasa, sains, pengetahuan sosial, seni dan budaya
2.
Menyiapkan lulusan yang mampu menginternalisasi nilai-nilai keislaman,
memiliki kematangan aqidah dan kedalaman spiritual, dan keluruhan akhlaq.
3.
Membangun tradisi pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pengkajian dan penelitian ilmiah.
4.
Memupuk kebiasaan siswa untuk berpikir secara
terarah, sistematis, memperhitungkan peluang dan potensi, serta siap menghadapi
berbagai kemungkinan dinamika sosial.
Pada masa
penelitian, MA Zainul Hasan 1 Genggonng sedang menerapkan Total Quality
Management (TQM). Inti strategi ini adalah usaha sistematis dan
terkoordinir untuk secara terus menerus memperbaiki kualitas layanan, sehingga
fokusnya ke seluruh komponen madrasah, seperti peserta didik, orang tua peserta
didik, pemakai lulusan, guru, karyawan, dan simpatisan atau masyarakat secara
umum. Untuk mewujudkan strategi tersebut, secara bertahap dilakukan enam hal:
(1) membangun kepercayaan masyarakat. Kompetisi yang semakin ketat tentunya
menggiring pada tersedianya purna-fasilitas lembaga sekaligus layanan sesuai
yang dijanjikan; (2) jaminan mutu (quality assurance), membuat formulasi
mutu lulusan yang jelas dan realistis; (3) terbuka (transparan), yaitu
pengelolaan aset, keuangan dan pemecahan masalah dikomunikasikan secara terbuka
sesuai tupoksinya sehingga dari sistem ini diharapkan mampu memunculkan teamwork yang kuat dan solid; (4)
kondusif, yaitu suasana dan lingkungan akademis yang betul-betul efektif dan
efisien dan mendukung terciptnya iklim kondusif-akademis; (5) empati, yaitu
perhatian yang maksimal diberikan kepada peserta didik; (6) peka, tanggap
terhadap kebutuhan peserta didik serta perkembangan-perkembangan kontemporer.
Dalam upaya
menerapkan MBS, madrasah terlebih dahulu melakukan analisis dan merumuskan program
yang akan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan tantangan yang
akan dihadapi pada masa yang akan datang, kemudian program itu ditetapkan dan
direalisasikan dalam bentuk kegiatan. Pelaksanaan program yang sudah ada
kemudian diberikan kepada bagian yang melingkupinya, baik yang sifatnya
internal maupun yang eksternal dengan dasar disesuaikan dengan tugas dan
wewenang dari program tersebut. Diharapkan output dan input yang dihasilkan
nanti bisa bersaing dengan lulusan tingkat SMA yang lain dan mampu memberikan
pengaruh pada lingkungan dimana mereka berada.
Untuk
meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki, MA Zainul Hasan melaksanakan beberapa
kegiatan seminar, workshop, menyertakan guru dalam penataran, serta mengadakan
kursus bahasa asing (Inggris dan Arab) bagi guru dan karyawan. Setelah kegiatan
tersebut, selalu diiringi dengan monitoring dan evaluasi program. Proses
monitoring dan evaluasi ini disamping sebagai sebuah penilaian program, juga
dapat membuat strategi baru dalam pelaksanaan program yang telah ada, karena
dalam monitoring dan evaluasi ini juga melibatkan berbagai unsur dan elemen
yang ada baik dari Kemenag, komite madrasah, lebih-lebih staff dan elemen yang
ada dimadrasah. Hal inilah yang merupakan salah satu ciri Manajemen Berbasis
Sekolah ini diterapkan, karenanya madrasah tidak lagi harus sama persis dengan
juklak dan juknis yang dibuat oleh pusat akan tetapi madrasah bisa berkreasi
dan berimprovisasi sesuai dengan kondisi dan keinginan warga madrasah yang
dikehendaki.
Untuk dapat
merealisasikan MBS dengan baik dan sesuai dengan visi, misi madrasah maka
secara tidak langsung madrasah harus di dukung oleh semua komponen yang ada,
baik dari segi sumber daya manusia, partisipasi masyasrakat (wali siswa),
sarana dan prasarana. Sumber daya manusia yang meliputi guru, karyawan, siswa
dan sumber daya alam dimana madrasah mempunyai fleksibilitas dalam mengatur
semua sumber daya sesuai dengan
kebutuhan setempat. Sumber daya ini mempunyai pengaruh yang cukup besar
dalam menentukan baik buruknya mutu pendidikan, karenanya dengan menerapkan MBS
ini madrasah diberi keleluasaan dan hak otonom untuk mengatur dan mengelola
sumber daya madrasah guna untuk meningkatkan mutu pendidikan. Begitu juga
dengan pemanfatan fasilitas dan pengadaan sarana prasarana, madrasah harus
menyediakan fasilitas dan sarana prasarana yang memadai untuk meningkatkan mutu
pendidikan, karena akan sangat ironis ketika sumber daya manusia memadai akan
tetapi sarana prasaran dan fasilitas kurang mendukung. Partisipasi masyarakat
(wali siswa), tidak bisa dipungkiri bahwa dana yang paling besar berasal dari
wali siswa. Dengan menganut sistem subsidi silang, terbukti bahwa sesungguhnya
sistem ini mempunyai keunggulan antara lain: dapat mendanai kebutuhan madrasah
yang begitu tinggi, membiayai siswa yang kurang mampu yakni dengan cara
memberikan keringanan, bahkan membebaskannya dari biaya SPP maupun Infaq dan
lain sebagainya.
3.
Analisis Perbandingan Penerapan MBS di SMPN 4
Kepanjen dan di MA Zainul Hasan 1 Genggong
Pelaksanaan
MBS memberikan hak otonomi bagi sekolah. Pemanfaatan hak otonomi ini seringkali
berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Begitu pula pelaksanaan MBS
di SMPN 4 Kepanjen dan MA Zainul Hasan. Perbedaan itu terlihat dari pengelolaan
komponen-komponen manajemen yang ada di sekolah. Adapun komponen-komponen yang
dikelola dalam MBS itu setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan
program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn
prasarana sekolah, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta
manajemen layanan khusus bidang pendidikan.
Secara umum,
MA Zainul Hasan 1 Genggong memanfaatkan otonomi yang diberikan kepada sekolah
dengan lebih besar. Keberadaan MA Zainul Hasan 1 Genggong sebagai sekolah
swasta mungkin faktor penyebab perbedaan itu. sebagai sekolah swasta yang
dikelola oleh yayasan, MA Zainul Hasan memiliki keleluasaan (baca:otonomi) yang
lebih besar di banding SMPN 4 Kepanjen. Misalnya dalam hal pembiayaan, MA
Zainul Hasan memiliki dana yang berasal dari wali siswa. Berbeda dengan SMPN 4
Kepanjen yang tidak memiliki mekanisme danadari wali siswa.
Dalam hal pengaturan kurikulum dan
pengajaran juga ada perbedaan. Meskipun ada sedikit inovasi dalam hal integrasi
antar beberapa mata pelajaran, namun di SMPN 4 Kepanjen lebih banyak mengacu
kepada kurikulum dari pemerintah pusat. Lain halnya dengan MA Zainul Hasan yang
menerapkan kurikulum sesuai dengan ciri khas lembaganya. Kurikulum di MA Zainul
Hasan didominasi oleh mata pelajaran bernuansa pondok pesantren, seperti ngaji
kitab dan praktik ibadah.
Meskipun terdapat banyak perbedaan
antara implementasi MBS di SMPN 4 Kepanjen dan MA Zainul Hasan 1 Genggong,
namun ada beberapa persamaan, diantaranya adalah adanya inovasi kurikulum dan
partisipasi masyarakat.
VII.KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan berikut:
1.
Dalam melaksanakan MBS, sekolah diberikan otonomi
untuk mengelola komponen-komponen manajemen yang dimiliki sekolah. Hanya saja
pelaksanaan otonomi tersebut mungkin berbeda antara satu sekolah dengan sekolah
lain.
2.
Komponen-komponen yang dikelola dalam MBS itu
setidaknya ada tujuh komponen, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga
kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dn prasarana sekolah, pengelolaan
hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen layanan khusus bidang
pendidikan.
3.
Langkah-langkah pelaksanaan MBS juga berbeda
antar sekolah, apalagi antara sekolah negeri dan swasta, sebagaimana sampel
sekolah yang dianalisis dalam makalah ini.
Akhirnya, pasti banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Masukan dan kritik dari semua pihak sangat
penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bafadhal, Ibrahim, Manajemen
Peningkatan Mutu Sekolah Dasar; Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi,
Bandung: Bumi Aksara, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,
Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2001.
Mulyono, Manajemen Administrasi
dan Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Nurkolis, Manajemen Berbasis
Sekolah, Jakarta: Grasindo, 2003.
Suderadjad, Hari, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) , Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2005.
Suryosubroto, B., Manajemen
Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Ula, S. Shoimatul, Buku Pintar
Teori-teori Manajemen Pendidikan Efektif, Yogyakarta: Berlian, 2013.
Umiarso & Gojali, Imam, Manajemen
Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.
[1] Hari Suderadjad,
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS) , Bandung: Cipta Cekas Grafika, 2005, 1.
[2] Penerapan MBS di Indonesia baru dimulai pada
tahun 2000, bandingkan dengan negara Amerika yang telah melaksanakan MBS sejak
tahun 1980-an. Lihat S. Shoimatul Ula, Buku Pintar Teori-teori Manajemen
Pendidikan Efektif, Yogyakarta: Berlian, 2013, 57-59.
[4] Umiarso & Imam Gojali, Manajemen Mutu
Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2010, 70.
[5] Mulyono, Manajemen Administrasi dan
Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, 239.
[8] Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2001, 3.
[11] Ibrahim Bafadhal, Manajemen Peningkatan
Mutu Sekolah Dasar; Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Bandung: Bumi
Aksara, 2003, 82.
Posting Komentar