.

   2. TERDAMPAR DI SEMANDING                                   
Jam sembilan pagi . Kecemasan menggelayut di wajah  
2. TERDAMPAR DI SEMANDING                                           Jam sembilan pagi . Kecemasan menggelayut di wajah Nurjanah beserta seluruh anggota Muhipala yang lain. Saatini mereka berada di Polsek Parakan melaporkan bahwa salah seorang anggota pendakian belum juga muncul.
“Salah kamu Nur ! Kamu sudah tahu Fauzi sakit, kamu malah meninggalkannya!” Hujat Darto seraya memandang tajam ke arah ketua Muhipala itu.
“Memang aku salah, tapi Fauzi sendiri yang menyuruhku meninggalkan, alasannya ia tak mau diremehkan kemampuannya. Aku tadinya yakin Fauzi punya motivasi , aku tidak sempat berhitung sampai ke hal-hal yang paling pahit…. apalagi dia laki-laki To, Fauzi sebenarnya merasa bahwa secara psikologis ia berada di atas diriku. Aku sadari itu, makanya ketika ia menyuruhku duluan, aku tak berani memaksanya.”
“Kamu kan bisa memaksanya dengan penuh kasih sayang….” celutuk  Mayang.
“Kamu ini ngomong apa sih?” Nurjanah ketus. Dipandanginya Mayang dengan sinar mata tidak senang.
“Hanya bercanda Nur.” Mayang tersenyum kecut sambil membuang muka ke arah lain.
“Sudahlah, kita tunggu sampai jam dua belas siang. Kalau sampai jam dua belas siang belum ada, polisi dan aparat desa sekitar akan mencoba menyisir jalur pendakian mencari
Fauzi. Darto, Farid pulang ke Banjar, beritahu ibu Fauzi. Aku , Mayang dan yang lain  di sini dulu.” Nurjanah membagi tugas.
“Kata Fauzi, kemarin ibunya ke Bandung.”
“Kau hubungi lewat telpon, atau HP ibu Fauzi.”
“Telpon ke HP ibu Fauzi ? Memangnya nomor berapa sih?”
“Huuuh! Kamu itu lulus SD nggak sih? Pakai akal dong! Kamu bisa hubungi Lestari, dia punya HP keluarganya Fauzi, paham?” Nurjanah kesal .
“Ngomong dari tadi kek !”
“Kak-kek, kak-kek, ini masalah gawat , cepat berangkat. Sampai di Banjar tunggu aku sampai jam dua belas siang, nanti kukabari. Kalau kabar yang paling pahit, kau langsung hubungi ibunya , syukur kalau nanti Fauzi muncul. Paham ?”
“Paham Nur, aku sudah lulus SD !”
“Aaah.. sudahlah, dasar ! Sudah , sana berangkat!”
Sepeninggal Darto dan Farid anggota yang lain lebih banyak diam. Wajah-wajah mereka yang kotor nampak semakin kuyu. Sementara itu nampaknya aparat kepolisian mulai sibuk mempersiapkan diri termasuk menghubungi markas Team SAR di Temanggung.
***
Deadline jam dua belas siang.
Darto dan Farid belum pulang ke rumah. Kedua anak tersebut kini berada di sekolah. Karena suasana memang masih liburan maka di sana tak ada siapa-siapa kecuali Pak Daman penjaga sekolah. Kedua anak itu sengaja tak memberi tahu perihal Fauzi, sebab tidak ingin suasana kalang kabut, padahal belum tentu keadaan Fauzi.
Darto menimang-nimang HP-nya menunggu kabar dari Nurjanah. Hati keduanya kaget ketika HP berdering. Panggilan dari Nurjanah.
“Gimana Nur? Fauzi pulang?” tanya Darto penuh harap. Ketika terdengar jawaban dari Nurjanah wajah Darto kelihatan cemas.
“Fauzi pulang To?” sela Farid.
“Enggak! Kita harus segera ke rumah Tari !”
Keduanya bergegas ke tempat Lestari meminjam sepeda motor Pak Daman. Beberapa menit keduanya sampai di halaman rumah Lestari . Kebetulan Lestari sedang membaca di teras. Kedatangan keduanya membuat gadis itu menoleh kemudian menghambur ke arah Darto dan Farid.
“Waaaaahhhh.. para pendaki sudah pulang nih?” sambut Lestari dengan wajah ceria.
“Tari….  kamu punya nomor HP ibunya Fauzi kan?”
“Heh? Nomor HP ibu Fauzi? Memangnya ada apa?” wajah Lestari berubah cemas. Hatinya menangkap ada gelagat buruk atas kedatangan kedua temannya itu.
“Iya, ibunya Fauzi kan pergi ke Bandung, makanya aku tanya nomor HP ibunya Fauzi, Nurjanah bilang kamu punya nomornya?” kata Darto.
“Iya punya tapi ada apa ini? Fauzi? Fauzi kenapa?” wajah Lestari semakin menampakkan kepanikan.
“Tariii…. nanti kujelaskan, sekarang aku minta nomor ibu Fauzi, syukur kau telpon pakai telpon rumah saja.”
“Tooo ! Fauzi kenapa?” tanya Lestari sambil mengguncang-guncang pundak Darto. Darto diam sambil menghela nafas dalam. Sementara dari kedua mata Lestari mulai nampak berlinang air mata.
“Fauzi belum pulang……” kata Darto hampir tak terdengar.
“Apa?!” Lestari berteriak.
“Iya, Fauzi belum pulang. Sekarang polisi Polsek Parakan dan Tim SAR sedang melakukan penyisiran kembali.”
“Oooocchhhh……Uzii….” wajah Lestari pucat. Lutut gadis itu tak kuasa menahan berat tubuhnya.
“Kenapa kau Tari ? Tari?“ dari dalam muncul kedua orang tua Lestari. Gadis itu dipapahnya masuk. Kemudian dibaringkan di atas sofa.
“Kamu …emmm .. siapa ya ? Darman? Eh Darman!”
“Darto Pak! Ini teman saya, juga teman Lestari. Farid.”
“Kamu habis mendaki Sumbing kan ?”
“Benar Pak.”
“Ooooo…. terus apa hubungannya dengan Lestari?”
“Maaf pak, sebenarnya kedatangan kami ke sini hanya mau minta nomor telpon HP ibunya Fauzi, karena beliau sedang bepergian ke Bandung.”
“Ooooo… ibunya Fauzi? Bu Rahmat?”
“Tapi tadi malah Tari yang mendahului menanyai kami berdua, ya akhirnya saya katakan yang sebenarnya.” Darto menjelaskan.
“Sebenarnya ada berita apa?”
“Fauzi belum pulang, maksud saya, Fauzi belum turun dari pendakian.”
“Waaah…. Kenapa bisa begitu?”
“Tidak tahu pak, mestinya rombongan harus sudah sampai di pos pertama jam 7 pagi, tetapi sampai sekarang saya dikabari belum juga datang. Sekarang polisi dan aparat desa terdekat pos pertama tengah melakukan penyisiran ke jalur pendakian. Tetapi harapan kami mudah-mudahan Fauzi tidak hilang.”
“Waah…. gawat, Bu Rahmat harus segera tahu.” ayah Lestari bergegas ke dalam untuk menghubungi ibu Fauzi. Hingga setelah beberapa jenak lama ayah Lestari kembali ke ruang tamu.
“Tari biar istirahat di ruang tengah Bu … “
“Iya.”
“Em begini Nak Darto, Nak Farid. Ibu Fauzi sudah saya hubungi. Katanya akan segera kembali.”
“Terus bagaimana urusan Lestari , Yah?” tanya ibunya Lestari cemas.
“Tidak apa-apa, hanya kaget . Maklum, Fauzi kan teman dekat anak kita Bu . Biar Tari istirahat saja dulu, sekarang juga saya akan hubungi Kepala Sekolah dan yang lain.”
Siang itu juga berita belum pulangnya Fauzi segera menyebar ke seluruh Banjarnegara. Para tetangga berkumpul di rumah Fauzi menanti kedatangan Bu Rahmat. Sementara itu Mbok Mirwan, pembantu di rumah Fauzi dari tadi menangis tersedu-sedu.
*  *  *
            Di tempat lain.
Waktu menjelang dzuhur, tetapi suasana teduh. Kabut tebal menyelimuti pepohonan. Angin bertiup semilir . Di belahan sebelah barat gunung Sumbing, sebuah lembah yang cukup dalam memanjang ke arah barat. Di sebelah utara lembah terdapat desa Bowongso. Di sebelah selatan terdapat desa Lamuk. Lembah inilah yang oleh penduduk disebut Jurang Grawah .
Di lembah jurang grawah yang nampak lebih temaram . Suasana temaran ditambah dengan semak belukar liar, menambah pemandangan yang menakutkan. Binatang-binatang kecil atau ular berbisa mungkin masih banyak bersembunyi di situ. Sementara itu di tengah cekungan lembah terdapat sungai yang airnya sangat jernih . Bebatuan kecil dan sedang terdapat di situ. Suara gemericik aliran airnya terdengar berirama.
Aaagghh….! Terdengar sebuah desahan kecil dari mulut yang menyeringai. Mukanya penuh carut marut goresan duri dan belukar. Tak lama kemudian mata yang kuyu itu berkedip-kedip. Yang terlihat olehnya pertama-tama adalah semak belukar. Kemudian ia melihat aliran sungai kecil yang mengalir gemericik. Fauzi tengadah . Ia dapat melihat langit, tetapi itu berada di antara dua buah tebing yang tinggi.
“Aku? Aku ? Bukankah ini puncak Sumbing?” tanyanya pada diri sendiri. Ia melihat jemari tangannya yang terbungkus kaos tangan tebal. Kini ia raba bagian wajah yang terasa perih. Goresan-goresan belukar dan duri meninggalkan darah-darah kering . Bibirnya meringis.
“Bukankah aku Fauzi? Ya, aku ingat …. aku ingat ,  Ya Allah… atas nama kebesaran kuasaMu, aku masih hidup ya Allah! Alhamdulillaaah….. aku masih kau sempatkan hidup . ” gumam Fauzi. Air matanya meleleh membasahi pipi. Bersamaan dengan itu  ingatannya pulih kembali . Fauzi ingat ketika mulai mendaki. Ketika sampai di puncak, ketika turun. Ketika muntah-muntah. Benar, ia hanya ingat sampai itu. Selebihnya tidak.
Ketika ia sulit untuk menghubungkan keadaan sekarang dengan saat pendakian, ia bingung. Dihelanya nafas dalam-dalam. Badannya terasa remuk. Fauzi memandangi gemericik air . Kerongkongan terasa kering. Ia berusaha menjangkau aliran air itu.
Aucchhhh…..!
Bibirnya meringis. Fauzi memegangi bagian tumit kanannya dekat mata kaki. Rupanya kakinya terkilir. Namun ia tetap berusaha menggapai aliran air yang bening itu. Dengan susah payah akhirnya Fauzi dapat menggapai air itu. Dengan menunduk ia sorongkan mukanya ke air yang bening. Semula ia kaget dengan rasa air yang teramat dingin. Namun ia paksakan minum lumayan banyak hingga perutnya merasa kenyang.
Setelah minum badannya terasa segar. Pikirannya terus berputar mencari tahu posisi dirinya dibandingkan ketika dirinya menuruni puncak Sumbing. Beberapa jenak ia mencoba mengira-ngira, tetapi tidak berhasil. Tapi ada juga pikiran bahwa ia tersesat atau terperosok ke jurang . Ia raba ransel yang masih menempel di punggungnya. Benda itu diturunkan. Tangannya meraba ke dalam ransel, kemudian ia keluarkan kantong  keresek. Benda berbunyi gemerisik itu dibukanya. Isinya diambil.
Edelweis…..!
Gumamnya ketika matanya melihat bunga-bunga edelweis. Mulut Fauzi terkatup. Kepalanya digeleng-gelengkan. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa benci kepada dirinya sendiri. Ia geram. Ia merasa sangat bodoh, bahkan mungkin sangat bodoh dengan mengambil bunga-bunga edelweis. Tetapi ketika ia ingat Lestari yang meminta, hatinya sedikit terhibur. Namun hati kecilnya mengatakan, justru permintaan Lestari adalah ujian bagi seorang anggota pecinta alam.
“Aku gagal! Gagaaaal!” tanpa sadar Fauzi berteriak. Kantong keresek berisi edelweis pesanan Lestari ia lempar. Namun ketika beberapa jenak ia tertegun, ia merangkak mengambil barang itu kembali. Keresek berisi edelweis kembali ia masukkan ke dalam ransel.
Allahu Akbar! Allaaahu Akbar!
Fauzi terhenyak. Di ketemaraman kabut dan kesendirian di semak belukar, telinganya menangkap sayup-sayup suara adzan. Ia heran. Ia berfikir bahwa itu hanya halusinasinya. Tetapi ketika kumandang itu berlanjut, ia yakin bahwa itu bukan halusinasi.
“Berarti tempat ini tidak terlalu jauh dari pemukiman….. “ pikirnya .
Berhitung seperti itu, dengan susah payah ia beranjak dari tempatnya. Kakinya yang sakit terkilir ia lawan dengan semangat keinginan sampai ke pemukiman penduduk. Sejenak ia basuh mukanya. Ia mengambil air wudhu sedapatnya. Hanya membasuh muka dan telapak tangan. Ketika selesai keyakinannya berwudhu, ia berniat shalat. Namun Fauzi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia melihat arloji di tangannya telah pecah, jarumnya terhenti menunjuk angka 04.35.
“Dzuhur atau Ashar? Aaaahhh… tapi rasanya masih siang! Ya Allah…. Hamba shalat tak mengenal waktu ya Allah, ampunilah aku….” gumam Fauzi seraya berbaring terlentang. Tangannya bersedekap. Ia yakini bahwa waktu itu adalah waktu Ashar, maka iapun memastikan niatnya shalat Ashar.
Dengan menghitung bahwa masa maghrib segera tiba, berarti ia harus bergelut dengan kegelapan, maka ia kembali bersemangat untuk segera menuju ke pemukiman. Hingga beberapa lama ia menyusuri aliran sungai kecil. Beruntung ia tak menjumpai tempat terjal seperti layaknya sungai-sungai di pegunungan.
Ketika perjalanan cukup lama, hatinya berdetak begitu melihat lahan lapang.
“Tembakau……” Gumamnya.
Di hadapannya terbentang ladang tembakau. Di beberapa tempat tumbuh batang-batang kaliandra yang sedang berbunga merah. Bibir Fauzi bergumam. Ada semangat baru yang nampak di sinar matanya. Ia semakin cepat melangkahkan kakinya, walaupun tertatih-tatih menahan sakit. Kadang langkahnya tak terkontrol. Batang-batang tembakau yang tumbuh subur ia injak hingga berantakan. Fauzi menelan ludah. Hatinya merasa bersalah telah merusak tanaman orang lain, tetapi iapun tak dapat berbuat apa-apa ketika ia rasakan bahwa itu bukan kesengajaan. Langkah Fauzi kini semakin gontai terseok-seok. Rerimbunan perdu dan pepohonan di tengah lembah yang baru saja ia tinggalkan memang telah cukup jauh, namun iapun belum melihat adanya pemukiman.
Suasana semakin temaran. Kabut mendadak turun. Pandangan matanya hanya mampu menembus sejauh sekitar sepuluh meter ke depan, sementara posisi tanah semakin tidak keruan. Terasering yang ada membuat berkali-kali ia harus menuruni hamparan ladang tembakau dengan menggelindingkan diri.  Entah pada gelindingan yang ke berapa, tenaganya benar-benar hampir habis. Ia terjerembab. Wajahnya menyusur tanah yang kering dingin.
Aaaaggghhhh!
Kaaak! Kaaaaak! Cekekeeeerrrrr! Ciak-ciak!
Jantung Fauzi berdegup keras ketika dua meter di hadapannya melintas ayam hutan yang ketakutan. Hati Fauzi masygul. Inilah pertama kali melihat ayam hutan asli di habitatnya. Biasanya ia melihat ayam hutan di pasar burung, atau di tempat ayah Nanto sahabatnya di Banjarnegara. Belum hilang kekagetan hatinya, kini jantungnya kaget bercampur girang ketika telinganya mendengar suara kayu dipotong-potong.
Crak! Crak! Crak!
“Tolooooong! Tolooooongggg!” Fauzi berteriak keras. Suara tebasan golok atau mungkin juga kapak berhenti. Hingga beberapa jenak suasana sepi. Fauzi menelan ludah.
“Tolooooooong! Tolong sayaa Paaaaaaaaaaak!” Fauzi kembali berteriak.
Teriakan Fauzi membawa hasil. Tak berapa lama nampak dua orang lelaki muda  umur dan seorang laki-laki tua  mendatangi tempatnya. Keduanya menggenggam golok di tangannya. Namun demi melihat Fauzi yang terkapar, keduanya saling pandang, kemudian menurunkan golok masing-masing.
“Anak ini siapa?” tanyanya menyelidik.
“Aduh pak… tolong saya … kaki saya sakit. Saya minta air Pak…. saya sudah jauh dari… dari kali tadi….haus Pak”
“Anak ini siapa?” Lelaki setengah baya itu kembali bertanya.
“Saya … pendaki gunung. Saya tersesat pak…… saya…saya Fauzi…… air pak.” kata Fauzi .
Mendengar keterangan Fauzi keduanya kembali berpandangan. Namun keduanya tidak bereaksi. Keduanya menggelengkan kepala.
“Tidak ada air …. “
“Tooo……tooo…. “
Kalimat Fauzi terhenti. Mata pemuda itu nanar. Kemudian tubuhnya ambruk menindih batang-batang tembakau. Pingsan. Kedua lelaki itu kaget.
Ditulungi apa ora iki? Mengko gek-gek memedi! Aku takut ia makhluk jadi-jadian Jurang Grawah.” Kata lelaki tua ragu-ragu.
“Hantu itu tidak menyentuh tanah! Biarlah ia hantu, paling pol kita itu hanya mati kan? Sudahlah pak… ayo kita tolong…. kasihan kalau dia manusia beneran, bukan hantu!”
Sore itu padukuhan Semanding ramai. Besar kecil tua muda memenuhi rumah Pak Sipon – lelaki tua yang menolong Fauzi -  untuk melihat temuan orang tersesat. Fauzi yang dibaringkan di ruang tamu masih belum siuman. Kepala padukuhan, Pak Mahmud , dan para tetua padukuhan telah berkumpul di situ. Semua menantikan sadarnya Fauzi. Ruangan yang sempit itu terasa pengap. Asap rokok kemenyan memenuhi ruangan yang menjadi hingar-bingar. Asap rokok itu ternyata bukan hanya berasal dari orang tua saja, tetapi anak-anak kecilpun nampak dengan lihai memainkan rokok tingwe. Rata-rata dari mereka berselempangkan kain sarung kumal. Sebagian memakai ponco, karena hawa di daerah itu teramat dingin. Sebagian lagi memaki syal. Demikian pula kaum wanitanya, mereka ada memakai baju rangkap dua, bahkan ada yang rangkap tiga. Sebagian memakai jaket kulit kumal.
Aaaagghhhhh! Fauzi menggeliat.
Sontak kegaduhan di ruangan itu terhenti demi melihat Fauzi menggeliat. Pak Mahmud memberi isyarat kepada yang lain agar diam.
“Di mana aku?” Fauzi terhenyak, kemudian duduk memandang heran kepada kerumunan orang yang mengelilingi.
“Kamu ditemukan pingsan di buntas ladang dekat jurang Grawah. Sekarang kamu berada di padukuhan Semanding.”
“Semanding? Aaaagggh…. Apa pula ini ? Aduuuuh, kepalaku pusing!
Mereka sadar Fauzi masih belum sepenuhnya pulih. Satu dari mereka menyorongkan teh hangat ke bibirnya. Fauzi menyeruputnya. Rasa hangat dengan cepat menjalar di seluruh tubuhnya. Sementara itu di luar, anak-anak kecil beramai-rama berteriak kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.
Medine uwis tangi! Medine uwis tangi! Medine uwis tangiiiiiiii!
Hati Fauzi dongkol mendengar anak-anak mengatakan dirinya medi – hantu . Namun kemudian ia membaca istighfar. ***

(Bersambung)

Keterangan Bahasa Jawa :
1. Ditulungi apa ora iki? Mengko gek memedi!  = Ditolong apa tidak ini ? Jangan-jangan hantu !
2.  rokok tingwe = Rokok Nglinting Dhewe ( Menggulung Sendiri – bukan buatan pabrik )

3. Medine uwis tangi! Medine uwis tangi! Medine uwis tangiiiiiiii! = Hantunya sudah bangun! Hantunya sudah bangun! Hantunya sudah banguuun!

Post a Comment