3. SENDAINYA FAUZI MASIH ADA ,  NUR !

N
urjanah semakin cemas . Sudah dua hari penyisiran dilakukan oleh Tim SAR  dan para relawan, baik yang datang atas nama pribadi atau atas nama LSM. Hasilnya masih nol. Kecemasan hati gadis itu semakin dalam ketika pihak yang berwajib menyatakan akan membuat menentukan deadline. Jika dua hari lagi Fauzi tidak ditemukan, maka Fauzi dinyatakan hilang dan pencarian aka dihentikan.
Dua hari merupakan hari yang sangat menyiksa Nurjanah. Kadang-kadang air matanya tak bisa dibendung ketika ia baca berita-berita di media massa tentang hilangnya Fauzi. Ia benar-benar merasa menyesal. Dialah yang terakhir bertemu Fauzi ketika akan kembali dari pendakian. Gadis itu menjambak-jambak rambutnya sendiri.
Hhhhh! Tololnya aku! Sering ia menyembunyikan wajahnya di bawah bantal ketika  ingat kejadian terakhir di puncak Sumbing. 
Ya Allah !….. kenapa aku memaki-maki diriku sendiri. Memang aku ini ketua Muhipala, tapi apakah tanggung jawabku harus seberat ini jika memang Fauzi tidak kembali ? Toh seandainya Fauzi benar-benar hilang, maka bukankah itu sudah taqdir-Mu Ya Allah. Gumam hatinya menghibur diri. Jika sudah demikian barulah kegelisahan Nurjanah berangsur hilang.
Dua hari telah berlalu. Penyisiran benar-benar dihentikan. Fauzi dinyatakan hilang.
Nurjanah menangis sejadi-jadinya di kamarnya. Ibunya yang selama ini memperhatikan tingkah putrinya masuk. Rambut putri kesayangannya itu dibelainya.
“Nur …. sudahlah. Bu Rahmat saja telah mengikhlaskan Fauzi, mengapa kamu seperti ini. Bukankah ini tidak adil. Bu Rahmat ibu kandungnya. Cobalah kau belajar dari sikap beliau, kebesaran dan ketawakkalan beliau. Beliau menyadari, bahwa Fauzi adalah milik-Nya. Maka jika Allah menghendaki, ya sudah …. cobalah kau banyak belajar dari kisah Nabi Ibrohim. Seberapa sayangnya Nabi Ibrohim kepada Nabi Ismail? Toh ketika yang punya hak atas manusia, yaitu Allah, mengambil yang kita cintai … bukankah kita tidak bisa berbuat apa-apa?”
“Tapi kenapa semua harus lantaran Nur bu? Kenapa Nur yang harus dipertemukan dan berdialog terakhir dengan Fauzi? Kenapa waktu
itu Nur tidak mau memaksa Fauzi untuk turun bersama-sama. Nur tahu, Fauzi sedang sakit waktu itu … “
Ibu Nurjanah tak bisa berkomentar lebih banyak , sebab dari luar ayah Nurjanah memanggilnya. Ketika ibunya akn ke luar kamar, Nurjanah menggamit tangan ibunya.
“Ada apa?” tanya ibunya sambil mengernyitkan dahi.
“Salahkah Nur jika Nur menghubungi ayah Fauzi?”
“Hmh….. “ Ibu Nurjanah tidak segera menjawab.
“Mungkin ibunya sudah menghubungi.”
“Tapi mungkin juga tidak kan Bu, beliau berdua sudah bercerai. Mungkin Bu Rahmat tak mau lagi berhubungan dengan bekas suaminya itu.”
“Yah.. mungkin saja…. tapi, cobalah saja kau hubungi. Kau punya nomor teleponnya?”
“Ada Bu….”
Sepeninggal ibunya, Nurjanah mengambil diary . Di bagian depan terdapat catatan nomor-nomor telepon siapa saja yang ia kenal dan merasa suatu saat dibutuhkan. Ketika nomor Pak Rahmat, ayah Fauzi, telah diperoleh, gadis itu mengirim SMS. Itupun untung-untungan. Siapa tahu setelah satu tahun keluarga Fauzi pecah, nomornya telah diganti. Tapi mungkin juga tidak. Gadis itu segera menulis SMS :
Bapak, saya Nurjanah, teman Fauzi di SMA Muhiba. Saya mengabarkan bahwa sudah seminggu ini Fauzi hilang pada saat pendakian gunung Sumbing. Pihak berwajib telah menghentikan pencarian. Mohon maaf jika pemberitahuan ini mengganggu Bapak. Nurjanah, Bawang-Banjarnegara.”
SMS telah terkirim. Hati Nurjanah berdebar-debar. Semoga nomor Pak Rahmat belum berubah. Semoga Pak Rahmat mau membalas SMS-nya.
Ring! Lala! Lala!
Nada dering SMS HP-Nurjanah berbunyi. Dengan serta merta ia angkat HP. Hatinya kecewa ketika SMS itu datang dari Lestari, bukan dari Pak Rahmat.
“Nur, nanti malam jam 7 kamu datang ke rumahku. Harus datang. Teman-temanmu yang lain , Darto, Mayang Cs juga kuundang.”
Seperti diingatkan, sudah seharian ini nama Lestari tidak diingatnya. Nurjanah teringat ketika Lestari histeris mendengar hilangnya Fauzi. Sejak saat itu Lestari hampir tidak pernah berbicara kepada siapapun. Nurjanah tahu, Lestari menaruh hati terhadap Fauzi. Kedekatan Fauzi dengan Lestari memang belum terlalu lama, ibaratnya sedang semangat-semangatnya kini harus berpisah dengan paksa. Ketika kasus hilangnya Fauzi sebagai  anggota Muhipala, tentu saja gadis itu menyalahkan Nurjanah sebagai ketua Muhipala. Bahkan dua hari yang lalu Lestari sempat memaki-maki Nurjanah dengan mengatakan sebagai ketua yang tidak bertanggung jawab. Nurjanah mencoba tidak menanggapi makian Lestari. Ia maklum. Dan memang ia sendiri memang merasa bersalah.
Jadi, Nurjanah bertanya-tanya ketika Lestari mengundangnya nanti malam. Dan mengapa pula yang disebut Darto dan Mayang Cs, itu artinya anggota Muhipala. Ada apa dengan Muhipala?
Ring! Lala! Lala!
Nurjanah kaget. Nada dering SMS-nya berbunyi. Dengan segera ia buka kiriman pesan itu. Pak Rahmat! Alhamdulillaaaah! Gumam Nurjanah dengan mata berbinar-binar.
“Terima kasih atas pemberitahuannya. Semoga anakku dalam lindungan Allah. Bapak akan ke Banjar besok. Kamu tahu sendiri keadaan Bapak dan ibunya Fauzi kan? Jadi, tolong , bapak akan singgah ke rumahmu, ke  rumah bapakmu. Bukankah kau putrinya Pak Dahlan ?”
Nurjanah berlari keluar kamar mencari orang tuanya.
“Yah! Ayah kenal dengan Pak Rahmat?”
“Bapaknya Fauzi? Kenal.. tapi tidak terlalu. Dulu, kebetulan ketika ada undangan orang tua siswa, bapak duduk bersebelahan dengan Pak Rahmat. Memang beberapa kali ketemu juga di jalan. Bapak justru lebih mengenal Fauzi , sebab dia sering main ke sini. Enggg…sepertinya Fauzi simpati padamu Nur… hahahaaa!” Ayah Nurjanah tertawa terbahak-bahak. Ibunya ikut tertawa. Hanya Nurjanah yang cemberut.
“Simpati apaan! Ayah bisa saja mengarang!”
“Hahaaa.. ya… ya…. sudah, sudah! Ada apa dengan Pak Rahmat? Kata ibumu kamu sudah menghubungi Pak Rahmat?”
“Sudah! Nur kirim SMS. Nih…. Pak Rahmat sudah membalas, hanya karena beliau sudah bercerai dengan Bu Rahmat, maka mungkin agak malu. Makanya besok katanya mau ke Banjar, tapi singgahnya di sini. Boleh kan Yah?” kata Nurjanah seraya menyorongkan HP agar ayahnya ikut membacanya.
“Boleh.. boleh. Besok ayah ada. Biar kakakmu yang latihan jaga barang di pasar.”
“Terimaksih Yah!” kata Nurjanah sambil berlari kembali ke kamar dengan wajah riang. Kedua orang tua Nurjanah hanya saling pandang. Kemudian keduanya tersenyum.
Malam hari sekitar pukul 19.00 malam.
Nurjanah dan teman-temannya gelisah. Sudah lima menit Lestari belum muncul. Kata pembantunya sedang ganti baju. Jari-jari Nurjanah mengais-ngais karpet merah yang terhampar. Semua temannya tegang. Tak ada canda seperti biasanya ketika anggota Muhipala berkumpul. Penuh tawa.
“Kenapa sepi?” tiba-tiba terdengar suara kecil. Namun sanggup mengagetkan Nurjanah dan teman-temannya.
“Oooo Tari….. kamu sehat?” tanya Nurjanah seraya bangkit kemudian memeluk Lestari. Lestari membalas pelukan Nurjanah. Keduanya berpelukan erat.
“Saya sehat Nur… maafkan saya tempo hari.” kata Lestari dekat telinga Nurjanah.
“Tidak apa-apa Tari… saya paham, pikiranmu sedang kalut.” kata Nurjanah seraya melepaskan pelukan. Nurjanah memegangi kedua pundak Lestari. Kedua gadis itu berpandangan. Lestari menitikkan air mata, entah kenapa. Demi melihat air mata bening mengalir di pipi Lestari, mata Nurjanah terasa panas. Gadis itupun menitikkan air mata. Keduanya berpelukan. Teman-teman Nurjanah yang lain hanya bisa diam. Ketika suasana sudah agak mencair, Lestari mendekati Mayang. Gadis itupun dipeluknya sebentar. Kemudian teman-teman laki-laki disalaminya. Ketika Lestari hampir selesai menyalami teman-temannya, kedua orang tua Lestari muncul. Serentak mereka berebutan untuk menyalami sambil mencium tangan kedua orang tua Lestari.
“Malam ini, saya akan pergi ke rumah Pak Murad. Atasan Bapak. Nanti anak-anak semua makan kue-kue yang ada sesukanya, kalau suka. Hahahaha! Sekenyangnya, Tari akan menemani.”
“Bapak, biar bapak sampaikan sekarang saja maksud kita mengundang mereka. Biar nanti enak…. .” pinta Lestari. Ayah Lestari tertegun sejenak. Namun kemudian menyetujui permintaan putrinya.
“Begini anak-anak. Bapak tahu, kalian semua adalah sahabat Lestari yang bapak kenal. Termasuk Fauzi yang saat ini masih hilang…” semua terdiam. Suasana terasa mencekam ketika ayah Lestari menyebut nama Fauzi.
“Barangkali ini kesempatan terakhir bagi Lestari, anak Bapak, juga kami, orang tua Lestari, untuk minta maaf barangkali ada kesalahan pada anak-anak sekalian.”
“Sssst ada apa nih?” Mayang berbisik seraya menyikut pinggang Nurjanah .
“Tak tahu…. “
“Sebentar lagi kami, akan meninggalkan kota Banjarnegara.”
“Och!” Nurjanah kaget. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangannya.
“Selaku anggota TNI, Bapak tak dapat menolak tugas. Keluarga juga harus ikut. Bapak ditugaskan di tempat baru di Kalimantan Barat, tepatnya di kota Sintang.”
Suasana mencekam. Nurjanah tertunduk. Gadis itu menitikkan air mata. Lestari juga demikian. Di tengah-tengah keheningan terdengar tangis terisak-isak. Ya , Lestari tak kuasa menahan tangisnya. Ayah Lestari diam. Diliriknya putrinya yang menangis terisak-isak.
“Begini anak-anak, maukah kalian memaafkan Lestari?”
“Ya pak, kami mau. Tetapi sebenarnya Lestari tak pernah berbuat kesalahan apa-apa dengan kami.”
“Kadang manusia berkuat kesalahan yang tidak disadari Nak.”
Setelah beberapa saat semua larut dalam suasana haru, kedua orang tua Lestari berpamitan hendak menghadap atasannya. Keduanya berpesan agar mereka segera menikmati hidangan ala kadarnya. Mereka mengiyakan.
Beberapa jenak kemudian anak laki-laki telah berebut kue-kue yang dihidangkan. Sementara itu Lestari memberi isyarat agar Nurjanah mendekat. Gadis itu mendekat.
“Nur, kau ikut ke kamarku ya …. ada yang ingin aku obrolkan denganmu.” kata Lestari memohon. Nurjanah menoleh ke arah Mayang.
“Mayang?”
“Mayang tak usah diajak. Ini hanya obrolan kita berdua.” kata Lestari berbisik. Nurjanah mengangguk. Kemudian ia mendekati Mayang.
“Tari memintaku ke kamarnya sebentar. Kamu tidak ikut ya?”
“Oh, silakan! Aku tidak apa-apa kok! Aku juga tahu, pasti itu masalah kalian berdua, jadi silakan selesaikan. Jangankan sebentar, lama juga tidak apa-apa…”
Setelah minta ijin pada Mayang, Nurjanah mengikuti Lestari ke kamarnya. Keduanya duduk bersila di atas tempat tidur berhadapan.
“Nur… ini saat terakhir kita bicara serius.”
“Ah Tari! Kau bisa membuat aku deg-degan seperti ini!”
“Ini masalah Fauzi.”
“Oooo…. “
“Terus terang saja Nur, aku yakin Fauzi orangnya terbuka. Aku yakin pula jika ada masalah ia akan bercerita kepada siapa saja yang ia percayai. Kamu, Nur, adalah termasuk salah orang yang dipercayai oleh Fauzi.” kata Lestari mantap sambil menatap mata Nurjanah dalam-dalam.
“Ah bisa saja!” Nurjanah tersipu disanjung seperti itu.
“Aku yakin Fauzi bercerita tentang bunga edelweis kepadamu … “ kata Lestari mantap. Nurjanah mendesah. Bibirnya terkatub rapat.
“Iya.”
“Nur, sebelum Fauzi berangkat mendaki, aku sempat ribut dengannya.”
“Hmh.”
“Aku minta diambilkan bunga edelweis … bunga lambang keabadian.”
“Hmh.”
“Kau tahu apa yang dikatakan Fauzi padaku?” tanya Lestari seraya mendekap bantal.
“Fauzi menolak.” kata Nurjanah datar.
“Persis. Ya seperti itulah. Ia malah tawarkan anggrek atau apa kemarin dulu itu, emm ya, bunga melati katanya. Tapi aku tidak mau. Aku inginkan edelweis.”
“Terus?”
“Ia belum sempat berkomentar, aku keburu ngambek dan pergi . Aku kesal Nur. Aku sebenarnya hanya ingin menguji kesungguhan persahabatannya denganku. Terus terang aku menyukai Fauzi. Mungkin bahkan lebih dari sekedar suka. Cinta atau apalah, aku tak tahu. Tapi memang aku suka Fauzi.”
“Tapi kau menempatkan ujian yang sangat sulit baginya. Ia bingung. Fauzi , setahuku, juga menyukaimu Tari…. tapi sebagai anggota Muhipala, ia terdidik nuraninya untuk mencintai alama secara hakiki. Bukan mencintai hanya dengan simbol lembaga atau organisasi pecinta alam. Menurut penilaianku, Fauzi merupakan kader pecinta alam sejati. Aku tahu selama ini ia termasuk katagori itu. Kini aku tidak tahu apa yang diputuskan Fauzi.” kata Nurjanah panjang lebar. Kemudian terhenti. Gadis itu berpikir sesuatu.
“Sempatkah di puncak ia memetik edelweis Nur?”
“Seingatku tidak. Saya hanya melihat ketegangan di wajahnya ketika di hadapannya tersebar batang-batang edelweis. Yah, seingatku ia tidak memetik edelweis.”
“Mungkin ia lebih mencintai edelweis , dengan cara tidak menyakiti edelweis itu.”
“Ya, benar! Begitulah, kalau kita mencintai sesuatu, kita memang tidak boleh menyakiti apa yang kita cintai. Tetapi untuk Fauzi sendiri, aku tidak tahu sepeninggalku apa yang Fauzi lakukan. Fauzi adalah orang terakhir yang turun gunung. Mungkin di tengah kesendirian, ia memutuskan untuk memetik edelweis untukmu. ” kata Nurjanah semangat. Lestari tersenyum.
“Kamu hanya berandai-andai kan Nur?”
“Aku bahkan sempat memaksanya untuk memetik demi kau Tari.”
“Tidak Nur , biarkan Fauzi melakukan keputusannya sendiri  . Sehingga aku bisa menyimpulkan sikap Fauzi kepadaku. Aku kadang meragukan kesungguhan perhatian  Fauzi kepadaku . Apa memang dia tidak sungguh-sungguh ya?” tanya Lestari sambil memainkan jemarinya ke bantal yang didekapnya.
“Aku tidak tahu Tari.”
“Nur, kamu jangan marah ya… aku mau bertanya sesuatu….” kali ini kata-kata membuat jantung Nurjanah berdebar.
“Tentang apa?”
“Fauzi suka sama kamu Nur… kau tahu itu bukan ?” tanya Lestari pelan tetapi membuat wajah Nurjanah memerah.
“Ngaco kamu Tari!”
“Aku kadang-kadang cemburu Nur, sering dalam pembicaraan apa saja, ia mengambil contoh tindakan, atau perkataanmu. Kamu bagi Fauzi seperti panutan. Fauzi adalah pengagummu.” kata Lestari sambil tersenyum. Nurjanah menghela nafas.
“Tari… , Fauzi seperti itu karena aku adalah ketua Muhipala. Kalau bukan ketua mana mungkin apa yang aku omongkan akan diturutnya. Fauzi itu orangnya agak-agak tinggi hati. Ia merasa tidak terlalu perlu untuk mendengar teman yang satu level. Tapi untuk para senior, katakanlah atasan hahaha! Ia sangat patuh.”
“Sampai sejauh itu perhatianmu terhadap sifat Fauzi Nur.”
“Ah tidak juga kok! Karena sering bersama-sama, jadi mungkin lebih sedikt tahu. Tari, di Muhipala itu, selain kegiatannya bersifat rekreatif, juga kami memupuk ketajaman pikiran kami di dalam mengamati perilaku lingkungan. Tanggap ing sasmita. Teruji intuisinya untuk merespon tanda-tanda segala hal, atau sasmita itu!”
“Omonganmu dalam sekali Nur. Saya salut!”
“Ah jangan berlebihan Tari. Jadi malu aku…..”
Untuk beberapa saat keduanya diam. Keduanya tertunduk. Namun pikirannya berkecamuk. Nurjanah tidak mau mendahului Lestari. Ia menunggu hingga Lestari berkata atau mengajak apa lagi.
“Sejak peristiwa hilangnya Fauzi, aku tidak sempat datang ke rumah Bu Rahmat.”
“Ya tidak apa-apa.”
“Aku sebenarnya malu Nur . Jika aku datang, mau ngomong apa. Aku tidak terbiasa ngobrol dengan orang tua. “
“Tari, saya pikir kedatangan orang tuamu ke rumah Bu Rahmat waktu itu cukup mewakili. Bu Rahmat tahu kau masih shock. Bahkan secara bercanda, Bu Rahmat berterima kasih atas ungkapan perhatianmu itu.”
“Perhatian yang mana?”
“Ya shock itu hahahaa! Shock kan berarti kau kehilangan Fauzi kan?” kata Nurjanah sambil tertawa. Lestari tersipu-sipu.
“Ih! Dasar kamu!”
“Sudahlah Tari…. “
“Tapi Fauzi sekarang sudah tidak ada. Nur, seandainya Fauzi adapun, rasanya aku tetap tidak bisa melanjutkan hubungan dengannya. Kau tahu, aku harus ikut keluargaku ke Kalimantan. Iya kan? Kita masih terlalu kecil untuk menjalin hubungan yang lebih jauh, menikah misalnya .  Kita masih duduk di SMA. Kita bukan mahasiswa Nur….” kata Lestari lirih.
“Sudahlah Tari ….  “
“Seandainya Fauzi ada, aku lebih senang Fauzi menyukaimu Nur, simpati kepadamu, mencintaimu ….. terus… terus…. hubungan kalian dilanjutkan ke …. “
“Sssst! Sudah! Sudah! Katanya kita masih terlalu kecil, jangan bicara seperti itu ah!”
Lestari menggelengkan kepala. Tak ada suara lagi. Nurjanah mendesah ***

(Bersambung)




Post a Comment