4. JEMARI ITU KEMBALI BERTAUT

S
ejak tadi pagi pak Rahmat , ayah Fauzi , sudah berada di rumah ayah Nurjanah. Semula laki-laki itu bingung harus ngapain di Banjarnegara. Di kota itu sudah tak ada siapa-siapa lagi. Hanya ada satu wanita, Bu rahmat, ibunya Fauzi. tapi wanita itu sekarang bukan mukhrim lagi. Keduanya bercerai setahun yang lalu. Tetapi yang lucu, orang-orang tetap memanggil ibu Fauzi dengan Bu Rahmat. Nama aslinya adalah Muniroh. Lucunya lagi, ibu Muniroh ini tetap merasa enak saja dipanggil dengan sebutan Bu Rahmat.
Sebenarnya waktu itu Fauzi sudah mencoba menghalang-halangi kedua bercerai, namun sebagai anak merasa kurang memiliki kemampuan untuk itu. Hingga akhirnya masa-masa yang menakutkan, yang mengecewakan dan menyakitkan harus ditanggung olehnya. Semenjak kedua orang tuanya berpisah, ia memilih tinggal bersama ibunya. Ayahnya kembali ke rumah orang tuanya – kakek Fauzi -  di Purwojati, Banyumas .
Selama ini pula sebenarnya Fauzi masih tetap merasakan campur tangan ayahnya. Ia amsih tetap menerima kiriman uang dari ayahnya. Baik itu untuk membayar uang sekolah atau untuk jajan. Bahkan kadang-kadang berlebih. Jika ia rasakan terlau banyak, biasanya diserahkan kepada ibunya. Ibunya kadang-kadang tidak mau menerimanya, tetapi lebih sering mau menerimanya. Tetapi lebih uang itu ditabungnya.
Kini cerita itu telah berlangsung satu tahun. Ketika mendengar kabar Fauzi hilang pasa saat melakukan pendakian gunung Sumbing, pak Rahmat datang. Namun laki-laki itu nampak ragu.
“Aku harus datang ke mana?” Tanya Pak Rahmat kepada pak Dahlan, ayah Nurjanah.
“Aduuuh bapak ini bagaimana? Ya ke orang yang selama ini tinggal bersama Fauzi!”
“Ke rumah mantan istriku?”
“Ya iyalah! Ke mana lagi kalau bukan ke situ?”
“Tapi… waaaah malu …. Nanti dikira mau ngapa-ngapain!”
“Hahahaaa! Pak Rahmat, Pak rahmat …. Kalau mau ngapa-ngapainya nggak papa kok! Ayo dong, bapak jangan seperti anak kecil.”
Hari itu benar-benar merupakan hari yang membingungkan bagi Pak Rahmat. Hatinya gundah. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap bekas istrinya. Kalau tidak dipaksa oleh Pak Dahlan, mungkin laki-laki ini memilih pulang kembali.
Assalaamu’alaikum!
Pak Dahlan memberi salam seraya mengetuk pintu. Laki-laki itu manggut-manggut lucu. Pak Rahmat yang di belakangnya semakin gerah tidak keruan. Tak lama kemudian pintu dibuka.
“Ooohhh ayahnya Nur… mari masuk!” Sambut Bu Rahmat ramah mempersilakan.
“Terimakasih Bu. Tapi saya tidak sendirian, ada teman saya…. “ Kata pak Dahlan sambil menggamit lengan Pak Rahmat.
Demi melihat bekas suaminya di hadapannya, Bu Rahmat terhenyak kaget. Wajah perempuan  itu nampak kebingungan.
Hingga beberapa jenak ketiganya berdiri tanpa ada berkata sepatah katapun.
“Oh.. mari silakan masuk.” Bu Rahmat menguasai diri, kemudian mempersilakan.
Ketika ketiganya sudah duduk, suasana sangat kaku. Pak rahmat kelihatan gelisah. Namun akhirnya laki-laki itu memulai berbicara.
“Putri Pak Dahlan, Nurjanah, memberiku kabar bahwa Fauzi hilang…. “ Inilah kalimat pertama laki-laki itu sejak perceraiannya.
“Aku… aku …. sendiri tidak menyangka Mas.” Kata Muniroh atau Bu Rahmat hampir tak terdengar. Seperti diingatkan akan nasib anaknya, perempuan itu menunduk. Kemudian terdengar isak tangisnya.
“Kalau aku tahu dari awal, mungkin aku akan ikut mencari anakku. Ia harapanku satu-satunya.”
“Maaf Mas, pikiranku kalut. Aku tidak sempat berfikir bahwa Mas adalah ayahnya. Benar-benar pikiranku buntu. Aku tidak tahu apa yang arus aku perbuat. Tetangga-tetangga yang menyarankan kita tahlilan belum aku jawab. Aku pusing Mas…… “
Sementara itu Pak Dahlan yang melihat seperti ada suasana pencairan ketegangan, merasa gembira. Laki-laki itu menyela pembicaraan.
“Maaf, saya permisi dulu … mau beli rokok!” Kata Pak Dahlan seraya berdiri kemudian tanpa menunggu dijawab, ia telah melangkah keluar meninggalkan Pak dan Bu Rahmat berdua.
“Saya minta maaf Jeng .. . aku menelantarkan anakku.” Kata Pak Rahmat hampir tak terdengar.
“Aku yang minta maaf, aku terlalu egois. Mestinya aku beri Mas kebebasan untuk bergaul dengan siapapun. Belum lama ini Fauzi cerita kalau perempuan yang dulu aku benci ternyata orang gila. Aku terlalu percaya ketika ada yang melaporkan foto Mas dipeluk wanita gila itu.”
“Sudahlah…. semua sudah lewat. Sekarang tinggal bagaimana upaya kita mencari Fauzi. Aku ingin banyak informasi tentang Fauzi….”
“Mungkin sudah takdir Mas. Kata petugas SAR, seluruh ngarai sebelah timur, sekitar jalur pendakian sudah disisir semua. Tak ada tanda-tanda. Pihak berwajib telah mengklaim anak kita hilang, seperti Gagah Pribadi yang hilang di kelebatan hutan gunung Slamet waktu itu.”
“Tapi aku tidak yakin kalau Fauzi meninggal, hilang hingga meninggal. Rasanya Fauzi masih selamat. Tapi tidak tahu yaaaahhh. Aku harus bagaimana dulu.” Kata Pak Rahmat dengan wajah nampak kebingungan.
“Aku buatkan minum Mas.”
“Oh ya terimakasih.”
Bu Rahmat ke belakang. Mata Pak Rahmat mengikuti dari belakang. Laki-laki itu tak menyangka perempuan yang ia cintai pernah galak tak terkendali hingga terjadi perceraian yang sangat di luar dugaan laki-laki. Tapi ia memilih mengalah.
“Ini diminum ….” Kata Bu Rahmat sambil meletakkan kopi di gelas gambar ayam hutan. Gelas khusus dirinya ketika dulu masih bersama. Pak Rahmat mengambil gelas itu, kemudian diseruputnya kopi yang masih mengepul.
“Hmmh…. Kamu masih hafal kesukaanku Jeng.”
“Seingatku Mas. Mestinya sekarang istri Mas juga sudah mengerti kesukaan Mas.”
“Kamu salah duga Jeng, kalau aku mau kawin lagi, tentu kau kukabari. Seberat apapun pasti kukabari…… “
Ketika menjelang dzuhur, Pak Dahlan kembali ke rumah Bu Rahmat. Di tangannya nampak bungkusan kantong keresek.
“Bapak lama sekali, ke mana saja?” Tanya Pak Rahmat.
“Mampir ke kakak di Madukara. Rencananya malah belum mau pulang, tapi ingat Pak Rahmat di sini. Oh ya, Bu, maaf ini ada dawet ayu! Kata Pak Dahlan seraya meletakkan kantong keresek di hadapan Bu Rahmat.
“Untuk bapak saja. Untuk Nur di rumah , di sini tak ada yang makan. Saya sendiri masih tidak enak makan. Kalau tidak karena takut sakit, malah inginnya tidak makan terus….”
“Jangan begitu Buu… ibu harus jaga kesehatan.”
“Insya Allah.”
“Sambil terus berdoa agar Fauzi dilindungi Allah, diselamatkan, dipertemukan kembali dengan  ibu, dengan Pak Rahmat. Biar bisa main ke sana kemari bersama anak saya…”
“Insya Alloh Pak…. Semoga saja.”
Siang itu kedua laki-laki itu meninggalkan rumah Bu Rahmat. Namun ketika sampai di halaman, Pak Rahmat berbalik lagi menemui Bu Rahmat. Pak Dahlan berhenti, kemudian memandangi Pak Rahmat, kemudian menggelengkan kepala.
“Sekali lagi kalau ada apa-apa, informasi tentang Fauzi, cepat kabari aku!” Kata Pak rahmat berbisik.
“Iya.”
“Biarpun aku sedang memasok barang ke Jakarta atau Cirebon, aku pasti akan datang.” Kata pak Rahmat meyakinkan.
“Iya.”
“Besok aku telpon kamu jam delapanan Jeng.”
“Iya.”
“Kok iya, iya melulu! Apa tidak ada kalimat lain?”
“Iya.”
“Astaghfirullah…… aku pamit. Assalaamu’alaikum !”
Perempuan itu dengan segera masuk ketika kedua lelaki itu tidak nampak di halaman. Ketika kembali matanya melihat pada amplop yang tadi ditinggalkan oleh bekas suaminya. Pak Rahmat mengamanatkan kalau memang tetangga-tetangga mendesak memintanya tahlilan untuk mendoakan Fauzi, ikuti saja. Hanya saja sebelum ada kejelasan nasib Fauzi, acaranya jangan tahlilan, tetapi doa bersama agar Allah melindungi anaknya itu.
Sore itu pak Rahmat langsung pulang ke Purwojati. Laki-laki itu hanya titip salam untuk Nurjanah dan istri Pak Dahlan sambil mengucapkan terimakasih atas bantuannya ditemani hingga bertemu bekas istrinya.
“Terimakasih sekali lagi…..”  Kata Pak Rahmat yang sudah siap di bus Kurnia yang akan membawanya langsung ke Purwokerto.
“Sama-sama Pak Rahmat…. Jangan lupa, sering-sering saja hubungi Bu rahmat. Kasihan… benar kasihan. Sudah ditingal suaminya, kini ditinggal anaknya. Bu Rahmat perlu dihibur lhoooo…..”
“Aaah Pak Dahlan memancing-mancing saja!”
“Lhoooo…. Saya serius Pak rahmat. Serius seratus persen!”
“Iya, iya ! Terimakasih atas dukungannya.”
“Benar lho ya?”
“Hahahaa!”
Ketika bus Kurnia yang membawa Pak Rahmat menuju Purwokerto mulai meninggalkan terminal Banjarnegara, pak Dahlan melambaikan tangan. Dari dalam nampak pula Pak Rahmat membalas lambaian tangan. Ketika bis semakin menjauh, Pak Dahlan masih mematung. Hatinya berdoa semoga laki-laki itu kembali kepada bekas istrinya.
Menjelang Ashar, Pak dahlan tiba di rumahnya. Kedatangannya telah dinanti oleh Nurjanah yang kemudian menghambur. Kantong keresek di tangan ayahnya  direbutnya.
“Wuuihhhh! Segar! Dawet Ayu Pak Munarjo!” Teriak Nurjanah ketika tahu isi kantong itu. Gadis itu memang sangat suka dengan dawet ayu Banjarnegara. Biarpun ia orang daerah Banjarnegara asli, tapi rasanya tak bosan-bosan minum dawet ayu. Bisa dibayangkan, tentu orang yang tidak atau belum mengenal dawet ini akan ketagihan ketika mencobanya. Dawet ini adalah dawet tepung beras khas daerah Banjarnegara yang telah tersohor ke mana-mana. Hampir semua kota besar seperti Semarang, Jogja, Cirebon, Bandung dan Jakarta , ada penjual dawet ayu Banjarnegara. Mungkin setenar Soto Kudus, Soto Lamongan , Ayam Goreng Kalasan dan sebagainya.
“Kamu tidak menanyakan Pak Rahmat?”
“Aiih! Lupa yah… gara-gara dawet ini! Mhm…. Benar, bagaimana pertemuan Pak rahmat dengan bekas istrinya yah? Lucu ya? Seperti orang mau PDKT!” Tanya Nurjanah sambil masih meminum dawet ayu.
“Apa itu PDKT?” Pak Dahlan mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti.
“Pendekatan! Pendekataan itu lho…. kalau seorang laki-laki mau mendekati perempuan. Tahap-tahap awal hihihi!”
“Ih dasar kamu Nur! Ini tadi sih bukannya lucu, tetapi serius!”
“Serius? Maksudnya apa?”
“Sepertinya mereka sudah berbaikan.”
“Yang benar Yah?”
“Benar.”
“Nggak bohong nih!”
“Begini, tadinya pembicaraan Pak Rahmat dengan bekas istrinya sepertinya lancar-lancar saja. Makanya, ayahmu ini memilih mengungsi.”
“Mengungsi?”
“Iya, mengungsi. Tadi ayah ke uwakmu di Madukara.”
“Wah! Berarti mereka ditinggal hanya berdua?”
“Iya
“Kan mereka bukan mukhrim. Tidak boleh ditinggal berdua-duaan begitu. Nanti yang ketiganya setan datang lho pak!”
“Tidak, ayah yakin tidak akan datang seruan setan. Kalau ABG iya, gawat! Darahnya masih muda, mudah bergelora! Pengaruh setan mudah menempel! “
 “Ayah pengalaman ya ?”
“Hus! Yang ABG itu kamu Nuur! Kok malah ayah! Kamu ini kan sedang jadi ABG! Ya kamu lah yang sekarang hati-hati, kalau bergaul harus dipertimbangkan baik buruknya. Tempat bertemu dipertimbangkan, memberi peluang setan untuk masuk apa tidak…… paham?”
“Huuuu kok jadi ke saya.’”
“Ah enggak! Kamu kan putri ayah yang shalihah! Benteng keimanan kamu kuat kok!”
“Uh ayah bisa saja!”
“Eh, bener Nur, ayah bangga. Biarpun kamu seorang wanita, tetapi jiwa kepemimpinanmu nampak.” Ayahnya melanjutkan memuji anaknya.
“Hmh”
“Menjadi ketua Muhipala!”
“Dan gagal!”
“Kau tidak gagal Nur…”
“Andai saja Bu Rahmat tidak pasrah, maka buntut peristiwa ini akan panjang. Aku sebagai ketua Muhipala pasti akan dimintai keterangan polisi. Mungkin dengan tuduhan membunuh dan sebagainya.”
“Aaah sudahlah Nur jangan ngaco kamu!”
“Akan menyeret Pak Jumantoro selaku pembina Muhipala. Sekolah terbawa-bawa….”
“Sudahlah Nuur, yang penting Bu Rahmat sudah mau menerima takdir ini. Pak Rahmat juga. Mudah-mudahan atas kesabarannya menerima kenyataan ini, beliau berdua mendapatkan rahmat dari Allah.”
Nurjanah mengamini. Gadis itu mengamini dengan sepenuh hati. Ia tidak mau memungkiri, setiap doa yang ia panjatkan menyangkut keluarga Fauzi, ia selalu sungguh-sungguh dan sangat khusyu. Bagaimanapun juga, gadis itu tidak dapat begitu saja membuang perasaan bersalah dalam waktu yang singkat, walaupun nasehat sudah datang dari banyak orang agar jangan menyalahkan diri.
* * *
Suatu siang, ketika Nurjanah pulang sekolah, mendapat kiriman SMS dari Pak rahmat :
Tolong sampaikan ke ayahmu, Pak Rahmat mau numpang menginap besok. Kali ini boleh tidak harus boleh. Hahaha! Dan tolong katakan kepada ayahmu, agar jangan ke mana-mana. Trimakasih”
Nurjanah tak habis pikir. Ayah Fauzi seperti mengancam. Tetapi ketika ingat bahwa Pak rahmat orangnya suka bercanda, maka iapun menduga bahwa semuanya adalah canda. Ketika SMS diperlihatkan kepada ayahnya, ayahnya malah tertawa terbahak-bahak.
“Kok ayah tertawa?”
“Ya tertawa …. Permintaan Pak Rahmat serius, tapi dalam SMS ada hahahanya!”
“Ada keperluan apa Yah? Bukankah urusan tahlil atau mendoakan Fauzi sudah ditangani Bu Rahmat. Apa urusannya dengan kita?”
“Kita ini orang penting! Hahahaaa!”
Benar juga, hari berikutnya menjelang maghrib Pak Rahmat benar-benar datang. Malamnya laki-lai itu ngobrol panjang lebar dengan ayah Nurjanah. Nurjanah sebenarnya sangat ingin ikut dalam obrolan itu, tetapi karena tidak dipanggil, maka ia tak bisa berbuat apa-apa. Namun di luar sepengetahuan kedua orang tua dan tamunya, gadis itu ikut menguping pembicaraan.
Di balik gordyn Nurjanah duduk di kursi plastik tak terlalu jauh dari ruang tamu. Setiap kali pembicaraan sampai ke hal-hal lucu, ketiganya tertawa, namun Nurnajah menjadi kesal. Namun rasa penasaran itu menjadi ketegangan yang sungguh-sungguh ketika Pak Rahmat memperkecil suaranya dan berbicara serius. Jantung Nurjanah berdegup cepat.
“Begini …. Pak dan Bu Dahlan sudah saya anggap saudara sendiri. Jadi, kepada siapa lagi saya harus minta tolong, mohon bantuan kepada bapak dan ibu.”
“Ah sudahlah Pak…. Jangan diungkapkan masalah itu. Kalau memang kami bisa membantu Pak Rahmat, kenapa tidak.”
“Terimakasih sebelumnya Pak, dan juga Ibu. Emm saya mau minta tolong, besok menemani saya ke rumah Bu Muniroh.”
“Bilang saja ke rumah Bu Rahmat ….. hihihi…”
“Ya, ke rumah Bu Rahmat … tapi kok jadi lucu. Pak Rahmat mau ke rumah Bu rahmat minta ditemani….. tapi sudahlah…..  Pak Dahlan sekalian, saya sudah memutuskan untuk kembali, rujuk dengan bekas istri sayaaa.” Kata Pak Rahmat hampir tak terdengar.
“Alhamdulillaaaahhhh……..” Pak Dahlan dan istrinya mengucap syukur bersamaan. Nampak Bu Dahlan menyeka air matanya yang menitik karena terharu.
Sementara itu di balik gordyn, jantung Nurjanah serasa berhenti. Tak terasa ada air mata bening menyusuri pipinya. Gadis itu berlari ke kamar. Ia mengambil dan memakai mukena. Sejurus kemudian gadis itu telah bersujud syukur di hamparan sajadah. Air matanya semakin deras menyambut kebahagiaan hatinya.
“Andai saja kau masih ada Fauzi , andai  saja  masih ada …. occhh…. Fauziii……. Be..beta…betapa bahagianya kamu Fauzi….. “ Gumam Nurjanah dalam tangisnya.***


(Bersambung)





























Post a Comment