Pukul 14.30.
Panas matahari mulai berkurang. Pohon-pohon  palem yang menjulang di halaman sekolah dekat jalan raya bergoyang-goyang. Beberapa buah palem yang telah berwarna merah kehitaman berjatuhan. Zaniar mendesah. Gadis itu sendirian di bangku taman yang mengarah ke jalan raya. Matanya memandang ke arah buah-buah palem tua yang berserakan. Ia hitung hingga lima, namun konsentrasinya buyar. Ia mencoba mengulangi lagi, namun gagal.
Setelah beberapa menit lewat, dari ruang lobby sekolah tak ada yang memanggil seperti biasanya. Tak ada kelebat bu Endang. Sosok perempuan muda yang termasuk dalam deretan guru yang dikaguminya, hari ini tidak tampak. Bu Endang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Perempuan itu tengah mengandung sekitar enam bulanan. Perutnya tampak buncit. Kadang Zaniar mencuri pandang ke arah Bu Endang ketika sedang saling diam memikirkan soal. Ada sinar mata kelelahan dalam diri perempuan itu. Namun ketika keadaan mulai dinamis, perempuan itu begitu semangat menerangkan cara penyelesaian soal olimpiade secara efektif. Zaniar menilai, tipe seperti inilah yang cocok dengan dirinya. Pandai menyembunyikan masalah dirinya.
Hampir setengah jam Zaniar duduk. Gadis itu menjadi gelisah sendirian. Ia beranjak dari duduknya menuju ruang lobby sekolah. Di situ ada teman satu kelompoknya, Irfan, Sumanto dan Lusi.
“Lhaaa…. ini Niar. “ seru teman-teman demi melihat Zaniar datang.
“Maksudnya apa?”
“Nggak ada maksud! Iseng saja.”
“Astaghfirullaaaahh…..”
“Mending istighfar Niar!” celutuk salah satu temannya.
“Sialan kamu!”
“Naaah itu yang asli! Pakai sialan-sialan!”
“Huuuh! Sebel! Memang nggak boleh istighfar ya?” tanya Zaniar kesal.
“Aneh saja!”
“Orang tobat kok aneh!” sambung Zaniar sekenanya.
“Kamu tadinya tersesat ya Neng?”
“Iya, tersesat sampai ke Cibatu, di bukit sana!”
Memang teman-teman Zaniar tak ada yang tahu kalau dia belajar di pesantren. Makanya sebenarnya ia ingin agar tetap menjadi Zaniar yang jutek. Yang suka marah-marah ke temannya, walaupun bukan marah betulan. Zaniar sendiri juga ingin tetap memakai kata “sialan” jika kesal. Baginya yang penting asalkan tidak melanggar aturan agama dalam bicara. Tetapi namanya juga kebiasaan, kadang-kadang terbawa keluar tanpa disadari.
Kalimah thoyibah di pesantren merupakan hal yang ia dengar setiap dua hari per minggunya di Tretes. Kadang-kadang ia ingin melakukannya di kelas. Tetapi ia merasakan lucu terhadap dirinya
sendiri. Seperti tadi. Ia kaget sendiri. Dan teman-temannyapun langsung merespon.
“Anak-anaaak!” Dari arah ruang guru muncul Pak Nanto memotong obrolan mereka.
“Oo Bapak.”
“Ya, bu Endang tidak bisa melatih kalian sore ini.”
“Yeaaahhh….. aku bisa pulang siang!” seru Irfan reflek. Yang lain tersenyum.
“Ya, kalian pulanglah. Bu Endang ada keperluan.”
Tiga teman Zaniar yang memang biasanya kurang konsentrasi langsung meninggalkan ruang lobby. Dua orang menuju ke tempat parkir. Irfan memboncengkan Sumanto, sementara Lusi menunggu angkot yang lewat.
“Kamu tidak langsung pulang dengan mereka?”
“Sebentar lagi Pak. Emmm, kalau boleh tahu, memangnya Bu Endang ke mana Pak? Kalau rahasia ya tidak usah dijawab.”
“Bu Endang sakit.”
“Sakit?”
“Iya. Baru saja Bu Endang menelpon Bapak.”
“Parah Pak? Atau hanya sakit ringan?”
“Tidak begitu jelas si. Tapi tadi Bu Endang mengatakan akan memeriksakan kandungannya.”
“Oooo …. kontrol barangkali.”
“Mungkin. Mudah-mudahan saja tidak ada masalah dengan kandungannya.”
“Sepertinya Bu Endang terlalu memforsir diri Pak. Beliau suka mengajari kami seperti tak kenal lelah. Bahkan sampai mengesampingkan keluarganya dulu ….. “
“Ya maklum Niar, kan waktu olimpiade sebentar lagi. Bu Endang ceritanya pernah dimarahi Pak Layang gara-gara tahun kemarin tak satupun wakil matematika sekolah kita yang lolos.”
“Pak Kepala pernah marah ke Bu Endang?”
“Ya. Memang beliau kayanya ditakdirkan menjadi orang yang paling banyak marah. Tadi pagi Bapak juga dituduh menceritakan rahasia bahwa beliau tak pernah memarahi guru yang terlambat. Artinya tak ada tindakan ke guru, lain halnya jika siswa yang terlambat.”
“Menceriterakan rahasia kepada siapa?”
“Kepada kamu.”
“Ke saya?”
“Iya, ke Za-ni-ar!”
“Astaghfirullah ……. … segitunya Pak Kepala.”
“Ya begitulah …. makanya sebenarnya Bapak ingin Niar cerita tentang perihal masalah yang katanya pernah kamu alami.”
“Emmm …. tapi ….” Zaniar ragu-ragu.
“Kalau keberatan ya tidak apa-apa.”
“Emmmm …. maaf Pak, apakah kalau saya cerita ke Bapak ada untungnya bagi Bapak?”
“Insya Allah ada. Paling tidak Bapak punya peta masalah. Siapa tahu Bapak bisa membantumu mengurangi masalah, yaaah mengurangi beban masalah.”
“Tapi masalahnya berat Pak.”
“Itulah. Bapak semakin ingin tahu, masalah itu berat berarti kamu memikulnya. Jangan-jangan Ibumu juga tidak kamu beritahu ya?”
“Iya Pak. Memang ibu saya tidak tahu.”
“Tapi tahu bahwa kamu punya masalah dengan Pak Kepala?”
“Ya waktu itu kan Pak Nanto pas datang ke rumah. Ingat nggak Pak?”
“Ah  iya, iya ….. “
Adzan ‘Ashar berkumandang dari masjid sekolah. Anak-anak Dewan Keluarga Masjid (DKM) selalu tepat waktu. Zaniar memandang Pak Nanto memberi kode bahwa adzan telah dilantunkan. Keduanya terbiasa menunda urusan mengadahulukan shalat. Zaniar bergegas ke masjid duluan. Pak Nanto mengambil abdas di tempat wudhu dekat ruang guru.
Sekitar setengah jam, keduanya telah usai menjalankan shalat. Kedua tampak kembali ke lobby sekolah. Pak Nanto begitu bersemangat ingin mendengarkan penuturan Zaniar. Lain halnya dengan gadis itu. Ia tak yakin bahwa ceritanya akan mengurangi beban. Namun sepertinya ia telah memberi harapan bagi Pak Nanto untuk mendengarkan ceritanya.
“Bisa dimulai?” Tanya Pak Nanto.
“Hmh …. dari mana ya Pak?”
“Ya dari mulai kamu bermasalah dengan Pak Layang.”
“Mmm ….. begini Pak ….” Kata Zaniar memulai ceritanya.
Pukul 06.00 pagi.
Matahari mulai memancarkan sinarnya. Semburat warna terang telah menyeruak langit dari balik gunung Ciremay. Jalan Abdul Halim dekat pasar lawas masih belum terlalu ramai. Zaniar menunggu angkot yang lewat dekat gedung KNPI.
“Ayo naik bareng saya …… “ Zaniar kaget ketika di hadapannya berhenti mobil mewah warna hitam metalik tepat di depannya berdiri. Zaniar lebih kaget lagi ketika hafal yang berada di balik setir adalah Pak Haji Layang, kepala sekolah tempat ia belajar.
“Maaf Pak … silakan duluan.”
“Kamu hafal saya kan?”
“Iya. Bapak kepala sekolah.”
“Makanya ayo bareng saya …. Saya tahu kamu anak SMA Kota Angin, namamu Zaniar.”
“Ooohh…. bapak tahu nama saya?”
“Tahu. Tapi jangan ge-er. Ayo naik …. “
“Terimakasih Pak, silakan duluan. Saya masih menunggu teman….” Kata Zaniar berbohong.
“Jadi tidak mau naik?”
“Terimaksih Pak.”
“Baiklah. Tapi cepetan ya, nanti begitu sampai di sekolah kamu saya tunggu di ruangan saya.”
“Insya Allah Pak.”
Beberapa jenak kemudian mobil Pak Layang melaju meninggalkan Zaniar yang masih bingung. Mengapa kepala sekolahnya hafal namanya? Padahal ia sama sekali belum pernah bertemu secara langsung. Paling-paling Pak Nanto atau Bu Endang yang bercerita kepada Pak Layang perihal dirinya. Tapi yang tidak habis pikir, mengapa seorang kepala sekolah mau mengajak murid yang belum dikenalnya.
Zaniar tak berfikir panjang lagi ketika ada bunyi klakson di depannya. Angkot warna kuning yang sudah hampir penuh berhenti di depannya. Zaniar naik. Dalam duduknya gadis itu gelisah. Ia bertanya-tanya apa yang akan disampaikan Pak Layang terhadap dirinya. Yang paling besar berkecamuk dalam hatinya adalah ketika tadi Pak Layang memandanginya dengan senyum misterius.  
Delapan menit perjalanan angkot ke sekolah terasa sangat cepat bagi gadis itu. Hati Zaniar semakin berdetak ketika gerbang sekolah mulai tampak di penglihatannya. Angkot berhenti di seberang gerbang. Semua turun. Teman-teman berlarian menyeberangi jalan yang dijaga polisi lalu lintas. Namun Zaniar terpekur sejenak. Gadis itu menghela menahan nafas, kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah itu ia melangkah menyeberangi jalan memasuku gerbang sekolah.
Masuk melewati lorong tengah lewat pos Gerakan Disiplin Nasional (GDN) Zaniar berpapasan dengan ketua kelasnya, Danton.
“Ton ….. minta tolong boleh nggak? Ini minta tolong, bukan menyuruh….” 
“Buat kamu boleh. Tolong apa?”
“Tolong bawakan tas-ku ke kelas.”
“Lah? Kamu mau kemana?”
“Ada urusan gawat!”
“Biasa! Urusanmu selama ini yang gawat melulu!”
“Bisa ya?”
“Tapi ajarin aku PR!”
“Yaaah ….. nggak dimintai tolong biasanya juga aku ngajarin kamu!”
“Ya, mana tasmu ….”
“Ini. Awas jangan dibuka-buka ya!”
“Ada HP-nya ya?”
“Ngejek ya? Dari dulu aku nggak punya HP tahu!”
“Terus apa isinya?”
“Catatan utang!”
“Hahahaaa…..”
Setelah tas dititipkan ketua kelas, Zaniar bergegas menuju ruang guru. Beberapa guru telah ada di ruang guru. Dia mencari Pak Mahmud, guru kimia yang mengisi jam pertama.
“Assalaamu’alaikum….” Zaniar menyalami guru yang ada.
“Wa’alaikumussalaaam…. Mau ke siapa Niar?”
“Pak Mahmud, beliau sudah datang pak?”
“Sudah di laboratorium. Katanya jam  pertama ada praktek.”
“Yaa saya sampai lupa Pak.  Terima kasih ….”
Jam pertama tinggal empat menit lagi. Jika menemui Pak Mahmud dulu di laboratorium tentu akan terlambat, namun yang penting memang adalah bertemu kemudian minta ijin ke Pak Mahmud. Menemui kepala sekolah bisa kapan saja. Itu pertimbangannya. Oleh karena itu Zaniar bergegas menuju laboratorium.
“Zaniaaar!” Belum jauh beranjak, Zaniar mendengar ada yang memanggil. Itu suara kepala sekolah. Zaniar hafal. Perlahan Zaniar berhenti kemudian menoleh.
“Ya pak…..”
“Masuk ke ruangan saya!” Perintah Pak Layang.
“Mohon ijin saya mau ke Pak Mahmud di lab. Jam pertama saya harus praktek di lab, saya harus ijin dahulu.”
“Tidak perlu ijiiiin…..”
“Tapi Pak.”
“SMS saja!”
“Tapi Pak….. nggg…..”
“Tidak punya pulsa ya?”
“Bukan Pak.”
“Ya sudah SMS, katakan bahwa kamu saya panggil.”
“Saya tidak punya HP …… “
“Oooo …. tidak punya HP? Bagaimana kalau ada keluargamu menghubungi kamu?”
“Kan ada peratuan jika orang tua perlu, maka telpon saja pihak sekolah. Dalam tata tertib siswa juga dilarang membawa HP. Tapi nyatanya hampir seratus persen teman-teman membawa HP….”
“Peraturan yang mana?”
“Yang ada di wakasek kesiswaan…..”
“Kok saya malah baru tahu ….”
“Itulah makanya sekolah ini tidak pernah maju Pak.” Kata Zaniar dengan berani.
“Maksudnya apa?”
“Peraturan tidak ditegakkan.”
“Mmm…… yaaa…..yaaaaa….. nanti saja, nanti saja hal itu akan kuurus. Sekarang masuk dulu ke ruanganku.” Kata Pak Layang sambil mendahului melangkah.
“Tapi Pak Mahmud bagaimana?”
“Tak usah dirisaukan …”
Zaniar menghela nafas dalam. Sama sekali ia tak mengerti jalan pikiran kepala sekolahnya. Menurutnya pikiran kepala sekolah itu sama sekali tidak mencerminkan pikiran orang tua, apalagi kepala sekolah. Tetapi sebagai siswa ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengalah.
Ruangan Pak Layang cukup luas. Dindingnya kedap suara. Lantainya ditutup karpet warna merah. AC-nya cukup representatif. Ketika Zaniar masuk, ia merasakan sangat kedinginan. Hingga beberapa saat Zaniar terpaku di depan pintu.
“Masuk sini, tutup pintunya. AC akan rusak kalau udara luar masuk.” Kata Pak Layang. Zaniar mengangguk.
“Ya Pak.”
“Duduk.”
“Ya Pak terimakasih, saya berdiri saja.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa Pak.”
“Terlalu mewah sofanya ya?”
“Iya Pak, saya tidak pantas duduk di sini.”
“Duduklah …..”
“Tapi….”
“Ayo, silakan….”
Setelah Zaniar duduk, Pak Layang melepas kacamatanya kemudian meletakkannya di atas meja sofa tamu. Kepala sekolah itu tidak duduk di kursi meja kerjanya.
“Niar ….. yang pertama harus buang dalam pikiranmu adalah, jangan sampai kamu merasa ge-er ketika Bapak mengenal namamu.” Kata Pak Layang memulai.
“Tidak pak. Hal yang biasa bapak ibu guru mengenal saya karena katanya saya ini orangnya keras. Suka menjawab atau mendebat kata-kata bapak atau ibu guru.”
“Naaah itulah!”
“Saya akui Pak. Saya dikenal karena saya nakal.”
“Nakal sih tidak, tapi kelewat berani. Bapak juga tahu, suka mendebat itu menunjukkan kepribadian yang mantap. Tapi rasanya kalau mendebat guru itu tidak baik di depan anak-anak yang lain. Jadi sebaiknya para siswa itu diam ….. “
“Tapi Pak….”
“Sebaiknya para siswa itu diam.” Pak Layang menandaskan ucapannya.
“Ooo… yaaa…. maaf Pak.” Kata Zaniar buru-buru ketika menyadari maksud kepala sekolah
“Begini Niar, Bapak mau tanya satu hal . Tapi ini sifatnya sangat pribadi … “
“Tentang apa Pak?”
“Tentang ibumu…..”
“Tentang ibu saya?”
“Iya. Tentang ibumu. Emmm….. pernahkah ibumu berceritera tentang masa lalunya?”
“Sss…. Saya tidak paham maksud Bapak apa ….”
“Yaaa kamu kan sudah terhitung dewasa, masa lalu ibumu tentu sudah diceritakan semuanya kepadamu.”
“Ah tidak Pak. Kami orang desa. Kami tidak punya masa lalu yang aneh. Saya tidak tahu mengapa Bapak tiba-tiba menanyakan hal itu kepada saya. Jangan-jangan Bapak sudah tahu siapa ibu saya?”
“Mmm…. ng… ng . Begini Niar, tidak ada apa-apa. Tapi tolong satu hal, ya, tolong satu hal jangan halangi keinginan saya….” Kepala Sekolah itu berkata dengan sungguh-sungguh.
“Keinginan apa?”
“Ibumu punya HP Niar?”
“Tidak Pak. Kami belum butuh.”
“Nah itulah, saya minta tolong, saya mau memberi HP ibumu.”
“Ibu tidak tahu bagaimana cara memakai HP.”
“Lama-lama akan bisa.”
“Bapak mengada-ada….”
“Saya tidak mengada-ada. Saya serius.”

“Saya lebih serius, mengapa Bapak tiba-tiba membahas masalah ini. Kenapa Bapak ingin memberikan HP kepada ibu?
Kepala Sekolah terdiam sejenak. Ia pandangi siswanya dengan ragu. ***

(Bersambung)





Post a Comment