........ Perlahan Wahyu mengeluarkan syal dari tas. Benda itu ia pegang dengan penuh perasaan. Ia pandangi gadis di depannya. Perlahan syal itu ditempelkan di dadanya. Tak banyak kata terucap. Benda sederhana yang dirajut oleh jemari cekatan Alifia, telah mampu membuka kenangan lama yang hampir terlupa. Dan benda itulah yang telah memberinya kekuatan untuk melacak Alifia, hingga ke desa kecil yang dulu tak pernah terbayang dalam pikiran Wahyu....... (cuplikan di akhir cerpen sebelumnya).



“Alifiaaa......” Wahyu mengeja nama gadis itu perlahan sambil menatap gadis di depannya.

Fia menahan senyum. Wajahnya tersipu. Pemuda itu senang. Dulu senang. Sekarang ia rasakan tak hanya rasa senang. Ia merasa senyum Fia dengan wajah tersipu begitu indah.

 “Jangan ngeliatin terus Maaas..... maluuu...” akhirnya Fia tak tahan bicara.

“Kaya mimpi. Ini mimpi atau bukan sih De?”

“Uuuh apaan sih Mas!”

“Syal ini, membawa aku menemui gadis yang aku mimpikan akhir-akhir ini.”

“Akhir-akhir ini?”

“Ya De. Lama setelah De Fia lulus, kita putus kontak. Aku sendiri yaaa begini. Hati rasanya hambar-hambar saja, padahal banyak temanku yang mulai merencanakan rumah tangga, ada yang berumah tangga.”

“Maksudnya apa Mas?”

“Aku nggak tahu, kenapa aku nggak ngiri.”

“Oooh...”

“Baru sekarang ini aku merasa iri dengan mereka. Rasa itu seperti diingatkan oleh sesuatu, nggak tahu kenapa ya De? Mungkin Allah menyimpan rasa iriku. Dulu tidak iri melihat teman-teman menikah, sekarang aku jadi iri.”

“Mas ... kopinya diminum!” kata Fia mengalihkan perhatian. Wahyu menghela nafas dalam.

“Tinggal sedikit De ...” kata Wahyu sambil menyeruput kopi.

“Hihi.. mau aku buatkan lagi?”

“Serius atau basa-basi?”

“Serius.”

“Kalau barang lima atau enam gelas, boleh nggak?”

“Hah?”

“Hehee.... biar kita ngobrolnya lama ....”

“Oooh..... kirain apa!” kata Fia sambil beranjak masuk. Wahyu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia pandangi kepergian Fia ke dalam. Terlintas bayangan, bahwa ini adalah rumah dirinya. Dan ada Fia bersamanya.

Beberapa saat kemudian Fia keluar sambil membawa termos kecil dari stainless. Cepuk kecil berisi kopi dan gula. Gadis itu meletakkannya di atas meja. Wahyu tersenyum melihat gadis itu serius.

“Yakin mau menambah kopinya Mas?”

“Yakin.”

“Nggak takut perih perutnya? Ntar kebanyakan ngopi perutnya perih. Malah jadi nggak baik.”

“Lah terus maksudnya membawa termos ke sini untuk apa?”

“Kan tadi Mas Wahyu minta ditambahin minumnya. Ini. Tapi aku nggak mau membuatkan. Takutnya kenapa-kenapa kebanyakan kopi, nanti aku yang katempuhan. Kalau mau buat sendiri silakan.”

“Kalau kenapa-kenapa kan ada yang ngapain-ngapain.”

“Ngapain-ngapain apa maksudnya?”

“Yaaaahh... barangkali ada yang mau merawat!”

“Ya ada laaah.... nooh ntar dibawa ke puskesmas. Ada rawat inapnya lho!”

“Iiih na’udzubillahi min dzalik!”

“Hihihi...ya sudah, nggak usah ngopi lagi ya?”

“Iya deh! Ya sudah kalau nggak diijinkan.”

“Jangan marah.”

“Enggak, malah terima kasih. Larangan bagus kan?”

“Tahu saja!”

“De Fi!”

“Mmm....”

“Aku ingat sesuatu.”

“Apa?”

“Mmmm.... nggg....” kata Wahyu sambil tersenyum.

“Apaan?”

“Termos itu.”

“Kenapa?”

“Kalikuning.”

“Kenapa Kalikuning?”

“Bukankah ini termos yang de Fia bawa ketika KKN di sana?”

“Kok tahu? Bukannya termos kayak gini banyak? Memang benar, dulu termos ini aku bawa pas KKN.”

“Hanya menebak saja. Barangkali di rumah sini ada beberapa. Engg.... de Fia pernah mencuci termos ini?”

“Ya kadang-kadang.”

“Kalau memang termos ini yang dulu De Fia bawa, pernahkan De Fia membaca pesanku?”

“Pesan? Pesan apa?” gadis itu kaget mendengar pertanyaan Wahyu.

Beberapa saat Wahyu diam. Bibirnya terkatub. Pemuda itu menghela nafas dalam. Ditatapnya mata Fia. Gadis itu mengernyitkan dahi.

“Bacalah tulisan yang ada di bawah termos itu De Fiaaa...”

“Och!” gadis itu terhenyak kaget.  Tangannya tampak gemetar.

Ia melihat ke arah Wahyu dengan tatapan mata tak percaya. Wahyu mengangguk memastikan bahwa ia tak bercanda. Wajah gadis itu tampak memerah tegang. Dengan bibir terkatub, mencoba menahan tanganya yang gemetar memegang termos, kemudian memiringkannya. Ketika pantat termos diteliti, gadis itu melihat ada grafir bertuliskan “Alifia RF – Wahyu Widayat”.

Bibir Fia mengeja perlahan. Speechless. Gadis itu kehilangan kata-kata. Beberapa saat ia diam. Tak berani menatap Wahyu. Sementara Wahyu membiarkan beberapa saat Fia merespon dengan perasaannya. Pemuda itu tahu.

“De Fia...” Wahyu memanggil perlahan. Yang dipanggil mengangkat mukanya.

“Ya Mas.”

“Maafkan aku. Aku lancang tanpa ijin menuliskan sesuatu di barang yang bukan milikku.”

“Hmh...” Fia hanya mendesah. Tampak gadis itu menarik nafas dalam untuk menetralkan perasaannya.

“Maaf ya.”

“Nggak apa-apa Mas. Nggg... kapan Mas Wahyu menulis itu?”

“De Fia ingat nggak waktu aku sakit.”

“Iya, ingat.”

“Waktu kopi, nasi, termos ditinggal di kamar, di situlah aku menggrafirnya. Tulisannya lembut, kecil, hampir tak terbaca. Aku hanya gunakan ujung belati, seandainya saja aku punya alat grafir.”

“Bukannya waktu itu Mas Wahyu sakit?”

“Iya.”

“Jadi sedang sakit Mas menuliskan kata-kata ini?”

“Saat itu rasanya tak ada rasa sakit. Dan akan sulit aku memperoleh kesempatan menulis di termos ini. Setelah aku tulis, rasanya lega. Aku lama menanti respon dari De Fia waktu itu, namun apa daya, hingga KKN usai, tak ada apa-apa. Bahkan sampai hari ini, aku juga baru tahu kalau De Fia belum tahu kata-kata itu. Sepeninggal De Fia lulus, juga demikian, kita hilang kontak.”

“HP-ku hilang Mas.”

“Berapa tahun kita hilang kontak De?”

“Hampir enam tahun.”

“Waktu yang cukup lama. Bahkan sangat lama .... bagi Wahyu ini sangat lama, hingga sekitar dua tahun akhirnya aku lupa, atau melupakan, atau terlupakan, atau dilupakan. Mungkin aku salah menyimpulkan, aku pernah berfikir bahwa De Fia membaca tulisan, tapi tidak berkenan di hati ....”

Fia tertunduk. Wahyu menghentikan kalimatnya. Ia melirik sekilas gadis yang di depannya. Terlihat olehnya ketika gadis itu menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Pemuda itu mendesah dalam. Sejenak tubuh gadis itu berguncang. Tampak menekan perasaan yang membuncah. Hingga beberapa saat Fia tak bersuara. Tak menyahut, tak merespon apa yang ia katakan.

Perlahan tangan pemuda itu mengambil gelas kopi yang tinggal seperempat isinya. Pemuda itu menghabiskan kopi yang sudah dingin. Bersamaan dengan diteguknya tetes terakhir, orang tua Fia keluar kemudian ikut duduk di ruang tamu. Beberapa lama Wahyu ngobrol dengan kedua orang tua Fia.

“Kayaknya waktu sudah siang, tamu sebaiknya makan siang di sini .... ayooo... nak Wahyu!” kata ayah Fia sambil berdiri mengajak Wahyu makan.

“Tapi Pak....”

“Nggak ada tapi-tapian. Pamali menolak rejeki.”

“Apa itu pamali De Fia?” tanya Wahyu sambil terkekeh.

Ora ilok!” kata Fia yang telah paham banyak bahasa Jawa sebab cukup lama tinggal di Semarang semasa kuliah.

“Ooooo...” Wahyu manggut-manggut.

“Apa itu ora ilok?” kini gantian ayah Fia bertanya kepada anaknya.

Pamali!” jawab Fia sambil tertawa.

“Hah? Hahaaaa... oalaah ... pamali itu ora ilok tah? Jadi ora ilok itu pamali!”

“Iya Pak, begitulah .... “

“Ya begitulah, ora ilok nolak rejeki! Ayo Fi, ajak Mas Wahyu makan di dalam.”

“Mas mau nolak?” tanya Fia sambil tersenyum.

“Aaaah ya enggak laaahhh....!”

Makan bareng keluarga Fia sama sekali tak ada dalam skenario kedatangannya ke rumah Fia. Dan mungkin juga, bagi Fia, tak pernah terfikir bahwa hari itu ia dan keluarga akan makan dalam satu meja dengan Wahyu.

“Makanan kampung Mas Wahyu. Mohon dimaklum.”

“Ah sama juga Pak, saya di Magelang juga bukan kotanya. Kampungnya.”

“Silakan itu ada apa saja ... nggak tahu ini, si Fia liburan katanya kepingin masak. Eh hanya begini masaknya. Nggak tahunya ada tamu datang, ya sudah klop.”

“Jadi ini yang masak De Fia?”

“Tuuuh Fi, ditanya!”

“Iya Mas, masakan kampung.”

“Waduuh ... jadi mengganggu acara ya Pak?”

“Enggak ....enggaaak! Mmm ayo itu Nak Wahyu ... itu gepuk daging sapi. Enak lho, nasinya panas ditemanin gepuk masak kuah asem manis."

“Iya Pak terima kasih .... nggg yang ini saja....” kata Wahyu sambil mengambil sesuatu dalam daun yang digulung dibakar.

“Hihihi.....” Fia tertawa melihat Wahyu mengambil itu.

“Bukannya ini daun labu siam?”

“Iya.”

“Isinya? Isinya peda merah pasti!” kata Wahyu menebak.

“Pas!” kata Fia sambil mengacungkan jempol.

“Iya pas banget. De Fia kenapa masak bakar peda merah?” tanya Wahyu sambil membuka daun labu siam pembungkus peda bakar.

“Nggak tahu Mas ... dari kemarin rasanya kepengin masak ini.”

“Firasat?”

“Mungkin.”

“Sayang nggak ada nasi jagung.” timpal Wahyu.

“Hehehee......” Fia terkekeh.

Ayah gadis itu melihat ke arah anaknya.

“Pada ngomongin apa sih?”

“Enggak kok Pak. Ayo Mas .... makan yang banyak!”

Fia tak mempedulikan kata-kata ayahnya. Namun Wahyu melihat Fia menahan senyumnya. Hanya mereka berdua yang tahu, bahwa peda bakar bungkus daun labu adalah makanan khas ketika di KKN-an.

Siang itu Wahyu berpamitan. Pemuda itu diantar hingga ke ujung gang oleh kedua orang tua Fia, yang kebetulan akan bepergian. Namun setelah agak jauh dari rumah, Wahyu menepok jidat.

“Aduuuh ..... ada yang ketinggalan!”

“Ouuu.... “

“Saya balik sebentar ya ...”

“Temanin Mas Wahyu Fi! ” suruh ayahnya.

Akhirnya karena ada yang ketinggalan keduanya kembali ke rumah. Setelah membuka pintu, Fia masuk diikuti Wahyu.

“Apa yang ketinggalan Mas?” tanya Fia sambil melihat ke arah meja, kemudian berkeliling.

“Emmmm....”

“Nggak ada apa-apa. Di meja makan barangkali?”

“Emm enggak... cukup di sini saja. Emm... begini De Fia....”

“Apa Mas?”

“Hari ini aku pamit ... terima kasih atas penerimaan keluarga di sini....” kata Wahyu seraya mengulurkan tangan.

“Apaan sih?”

“De Fia....” kata Wahyu seraya meninggikan tangan mengajak salaman.

“Ah e-Mas mah!” kata Fia sambil menerima uluran tangan Wahyu.

Beberapa saat Wahyu menggenggam telapak tangan Fia yang lembut. Perlahan genggaman dikencangkan. Fia mendesah. Wajahnya memerah.

“Rasanya aku ingin tetap menggenggam tangan ini selamanya .....”

“Mas ....” hanya satu kata terucap. Wahyu melepas genggaman tangan.

“Ada yang ketinggalan di rumah ini De Fia.”

“Apa Mas?”

“Hatiku De Fia, ..... hati ini De, hati Wahyu ketinggalan di sini De ...”

“Emh...”

“Titip ya De...”

“Emh....”

“Simpan baik-baik jika masih ada kesempatan ...”

“Emhh..”

“Jawab iya dong...”

Gadis itu diam tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Wahyu puas telah menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Namun dirinya agak kecewa juga ketika sampai meninggalkan rumah, Fia tak mengiyakan permintaannya.

Waktu yang singkat sama sekali tak memberi kesempatan bagi Wahyu untuk mengenal Fia lebih banyak. Ada jawaban yang tertahan. Mungkin telah ada pemuda lain yang datang mendahului dirinya? Mungkin saja. Bahkan sangat mungkin, pikir Wahyu.

Siang itu Wahyu telah berada di bus umum arah Cirebon. Mendekati perbatasan dari Sumberjaya, mata pemuda itu melihat gerbang “Selamat Jalan” .

Majalengka .... selamat tinggal..... mungkinkah suatu saat aku akan kembali lagi ke sini? De Fia ..... atau , akankah rasa cinta ini akan menjadi sejarah yang menyakitkan bagiku?” gumam Wahyu sambil memejamkan matanya.

Gerbang perbatasan Majalengka – Cirebon semakin jauh ditinggalkan.



***

Selepas Wahyu berkunjung ke Majalengka, pemuda itu merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Beberapa gestur dari Fia memberikan harapan. Namun di sisi lain, ada yang tak terucap ketika terakhir ia menyampaikan keinginan gadis itu agar menjawab. Gadis itu diam. Hingga sekarang setelah jeda sekitar dua bulan, rasa gelisah justru selalu menghantui.

Ada firasat bahwa Fia sudah ada yang memiliki. Bagaimana tidak, dari pendidikan sarjana di universitas Cakra Buana, semakin mentereng. Gadis itu berhasil menembus seleksi Program Magister Psikologi Unpad. Tentu ini menjadi grade tinggi tersendiri. Cantik, nggak usah diragukan. Siapa yang tak ingin mendekatinya? Sama seperti halnya dirinya yang melacak gadis itu hingga ke tempat yang sulit dijangkau, karena dorongan bibit cinta. Bibit cinta itu tumbuh sekitar enam tahun lalu. Jika berfikir demikian, pemuda itu menjadi pesimis, jangan-jangan bibit cinta yang dimiliki akan layu karena didahului orang lain. Gangguan semacam itulah yang menyebabkan Wahyu enggan untuk sekedar kirim SMS, menelpon, atau menyapa lewat WA. Tangannya seolah terkekang oleh sebuah kekuatan yang mengatakan “jangan lakukan itu!”.

Siang itu Wahyu sedang membaca buku di perpustakaan kampus Pleburan. Kampus bawah Undip ini memang mayoritas diperuntukkan bagi program S2 dan S3. Kuantitas dan beratnya beban belajar, maka tak pelak, perpustakaan itu selalu ramai dikunjungi calon magister dan doktor yang mencari buku-buku referensi.

Kini Wahyu memang ada di antara mereka, salah satu calon magister. Sebuah jenjang yang sebenarnya dipicu oleh sebuah kalimat kecil yang pernah terucap dari bibir Fia ketika KKN.

Ntar kalau lulus S1 mau kerja di mana De?” tanya Wahyu waktu itu.

“Nggak. Saya ingin mengejar obsesi saya untuk jadi magister.”

“Ooo....”

“Kalau lulus Mas Wahyu mau langsung kerja?”

“S2 ....”

“Jangan terpengaruh aku Mas ....”

Perjalanan pendidikan yang cukup panjang hingga saat ini, tak bisa dipungkiri memang awalnya pernah tercetus dari dirinya karena memang ia tak ingin kalah dari Fia. Sebenarnya dulu sosok Fia hampir dilupakan, namun ketika ia ingat perkataan Fia, ia merasa bahwa S2 adalah janji untuk dirinya sendiri.

Ting! Ting! Ting!

Wahyu terhenyak. Nada dering masuk. Ia melihat nama pemanggil. Wajah Wahyu mendadak tegang. Dadanya naik turun. Fia! De Fiaaa..... kamu ... kamu telpon aku De Fiaaa .... gumam pemuda itu smabil menenangkan diri. Sekira sepuluh detik, ia menekan tombol terima.

De... De Fiaaa....... ini De Fia?”

“Iya Mas, ini Fia. Sehat Mas?”

“Alhamdulillah sehat De, semoga De Fia juga sehat.”

“Aamiin Mas. Fia sehat kok! Mas Wahyu sedang di mana?”

“Perpustakaan.”

“Kampus Pleburan?”

“Ya iya laaah .... masa perpus yang lain, kan kuliah juga di sini.”

“Iya syukur deh Mas. Semarang kota kenangan ya Mas?”

“Ah kenangan apaan De Fia, indahan kota Bandung. Apalagi kampus Psikologi....”

“Mulai deeeh.... Mas maaf, baru sempat menghubungi. Ini juga terpaksa. Kalau enggak terpaksa, mungkin juga aku nggak akan kontak Mas duluan.”

“Ada apa gerangan De?”

“Mas kapan punya waktu libur?”

“Jumat Sabtu juga libur.”

“Kalau berkenan, mainlah ke Bandung Mas.”

“Ke Bandung? Ke Bandung apa Majalengka?”

“Bandung. Pernah ke Bandung nggak?”

“Pernah laaah .... tapi lewat jalur selatan. Jalur utara nggak hafal, makanya sempat nyasar ke Sumedang kan?”

“Heheee.... iya... iya ...”
“Ke Lembang pernah, aku punya paman di sana.”

“O ya?”

“Iya. Emmm... ada apa to De Fia?”

“Maaf Mas, ada seseorang yang mau ketemu Mas.”

“Siapa?”

“Rahasia Mas. Ntar kalau mau, Mas main ke Bandung, Mas akan aku pertemukan dengan dia.”

“Bilang dooong De Fia.”

“Nggak. Kalau aku ngomong, Mas Wahyu pasti nggak akan datang.”

“Astaghfirullaaaah ..... De Fia... iya, iya, Insya Allah Jumat siang aku ke Lembang, ntar Jumat sore atau Sabtu kita ketemu di Bandung. Bener ya! Awas!”

“Awas apa?”

“Jangan ke mana-mana, ada yang kangen niiih .....”

“Uuuh..... dah ya Mas!”

“De, De ..... De Fia .. aduuuhhhh.........!”

Wahyu menggeleng-gelengkan kepala.

Belum hilang rasa kagetnya karena ditelepon Fia, kini gadis itu pula yang membuat dirinya penasaran dengan menutup telepon. Namun ada perasaan lega, ketika ternyata Foa telah mendahului menelpon dirinya.

***

Jumat siang.

Usai shalat Jumat di masjid raya Lembang, Wahyu melajukan mobilnya. Ia memakai mobil ayahnya, tak memilih memakai bus umum seperti waktu yang lalu. Apalagi kebetulan orang tuanya menitipkan oleh-oleh ciri khas Magelang semacam getuk trio, dan wajik Njonja Week untuk pamannya.

Lama tak main ke kota di atas Bandung itu, Wahyu berniat sambil menikmati tour yang sesungguhnya. Dulu belum ada The Ranchdan Floating Market. Ada rasa penasaran ingin mengunjungi spot wisata semacam itu. Bagaimana jika suatu saat bisa bermain ke tempat itu bersama Fia? Pikirnya. Namun pikiran itu tiba-tiba saja langsung hilang ketika saat ini Fia mengundangnya untuk dipertemukan dengan seseorang. Siapa?

Menjelang bertemu sesuai janji, Wahyu merasa harus bicara dengan Fia. Sambil menyetir ia menelpon Fia.

“De Fia.... aku sudah di Lembang nih, sedang turun. Baru sampai pasar, dekat Floating Market.”

“Ooo.... Mas Wahyu sedang nyetir?”

“Iya.”

“Jangan nyetir sambil nelpon Mas, sebaiknya minggir dulu.”

“Iya, iya ... tapi janji semua pertanyaanku harus dijawab lho ya?”

“Iya.. iya!”

Beberapa menit mobil berjalan pelan, di depan hotel Takashimaya jalan agak lebar. Pemuda itu memarkir mobilnya di sana.

“Aku sudah berhenti De.”

“Oh ya. Syukur, naaaah kayak gitu. Bahaya nyetir sambil nelpon!”

“Siapa orang yang De Fia pertemukan denganku sih?”

“Pandu Mas. Mas Wahyu masih ingat Pandu nggak? Pandu Satrio, anak Lasem, Rembang!”

“Oooo... Pandu! Pandu teman KKN kita itu?”

“Tepat Mas, dia itu Mas Pandu. Sekarang kuliah di Bandung.”

“Ooo syukur, berarti teman lama kita ya!”

“Masalahnya bukan itu Mas, sejak tahun lalu di kuliah di sini, dia sering main ke aku di kosan. Mas Wahyu pengen tahu sesuatu tentang Mas Pandu nggak?”

“Kenapa memangnya?”

“Mas Pandu suka sama aku ....”

“De Fia?”

“Yaaa.... itulah masalahnya ......”

“Jadi De Fia mau menunjukkan bahwa Pandu itu suka sama De Fia, dan Fia mau tunjukkan bahwa dia pacar De Fia dan itulah mengapa dulu nggak mau menjawab pertanyaanku waktu di Sindang. Kalau tahu begini, buat apa jauh-jauh dari Semarang ke sini!” kata Wahyu kesal.

“Tuuuh kan, kalau aku beritahu permasalahan, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Kalau dari kemarin-kemarin aku ngomong, pasti Mas Wahyu nggak mau datang.”

“Lah terus aku harus bagaimana?”

“Mas Pandu menanyakan kabar Mas Wahyu.”

“Aku mau pulang saja!”

“Terserah Mas, kalau memang keberatan memenuhi permintaan Fia ya sudah, aku minta maaf. Pulanglah kembali ke Semarang Mas, sekali lagi aku minta maaf ....”

“De Fia, maksudku .... ngg.....”

“Pulanglah Mas.”

“Nggak... nggak .... tunggu aku, aku datang De Fia.”

“Terima kasih Mas.”

Brag! Tangan Wahyu menggebrag stir mobil hingga mobil tampak berguncang-guncang. Bibirnya dikatubkan. Hatinya kecewa. Ia sama sekali tak mengarti apa arti Fia mengundang dirinya ke Bandung jika untuk dipertemukan dengan orang yang menyukai Fia. Dan lagi, itu adalah teman KKN dulu.

Ingatan Wahyu mundur kembali ke Kalikuning. Di desa tempat KKN dulu, memang dia sering melihat Pandu mendekati Fia. Tapi ia juga melihat Fia biasa-biasa saja. Hingga akhirnya ketika kejadian ia menggrafir termos, pergaulan antar teman di KKN biasa-biasa saja. Dulu memang dia sempat berharap Fia menemukan tulisan itu, tapi nyatanya tidak. Dan kadang Wahyu mengutuki dirinya sendiri kenapa waktu ia tak terus terang menyampaikan isi hatinya. Wahyu sesungguhnya malu, tak mau bersaing dengan teman sendiri. Sakit memang menekan perasaan yang mulai tumbuh, tapi memang semua harus dirasakan. Dan kini, di saat-saat harapannya mulai tampak, ternyata semuanya meleset. Dirinya harus kembali berhadapan dengan Pandu yang mungkin saja mengejar Fia dengan berkuliah di Bandung juga.

Bismillah..... apapun yang terjadi! Aku harus jadi ksatria yang tak boleh ingkar janji untuk datang. Kata Wahyu bergumam sambil melepas kopling dan menginjak pedal gas. Mobil perlahan bergerak, kemudian semakin kencang menuruni Lembang ke arah Bandung.



***

Siang itu di daerah Setiabudhi, di rumah makan Mak Uneh.

Tiga sosok pemuda dan pemudi yang telah lama berpisah, kembali berkumpul. Pandu tampak sangat gembira bertemu dengan Wahyu. Banyak sekali cerita-cerita lucu yang diselingi dengan gelak tawa.

Setelah sekitar setengah jam bercanda dan menikmati makanan, Wahyu menyeruput teh hangat. Kemudian meletakkannya dengan pelan.

“Pandu, mau nggak nanti malam tidur di Lembang?” Wahyu menawari.

“Di Lembang? Di hoten Pesona Bamboo? Atau Grand? Aahahaa! Aku punya kos-kosan di Bandung Yu!”

“Sekali-sekali laaah.... tapi nggak di hotel kok.”

“Oooo... lalu di mana?”

“Di pamanku.”

“Paman? Paman asli?”

“Iya paman asli, dari Mungkid, adiknya ayahku.”

“Ada acara apa di paman?”

“Hanya memberi tahu .... ada acara penting. Ada yang mau menikah.”

“Oooo.... siapa yang mau menikah?”

“Halaaah! Ya aku laaah!”

“Kamu mau menikah? Beneran Yu? Weeehh .... selamat ya! Tuuuh Fia, Wahyu mau menikah! Pemberani dia, aku saja belum mau buru-buru. Pe-de-ka-te dulu dimantapkan..... ya... ya? Gitu kan Fia?”

“Bener De Fia?” tanya Wahyu membuat Pandu terhenyak.

“Hah Wahyu! Kamu panggil Fia dengan sebutan De?”

“Loh kenapa? Sejak di KKN aku juga panggil gadis cantik ini De, De Fia. Ya kan De?”

“Iya Mas.”

“Ooo.... aku malah panggil Fia-Fia saja.” kata Pandu sambil tertawa.

“Ya nggak apa-apa laah .... masing-masing saja.”

“O ya Yu, gadis mana yang bakal jadi istrimu? Semarang? Atau gadis kampung halaman dari Magelang sono?”

“Nggak. Dia orang Bandung kok.”

What?! Bandung? Bandung sini niiih?”

“Iya Bandung, tapi aslinya bukan Bandung sih. Dari daerah. Dia dari daerah Majalengka.”

“Majalengka? Satu daerah dengan Fia dong? Iya kan Fia?” tanya Pandu.

“Iya. Majalengka.” jawab Fia pelan.

“Kenal dengan calonnya Wahyu Fia?”

“Kamu juga kenal dengan calonku Pandu.”

“Ah yang bener?”

“Bener laah sobaaaat!”

“Siapa ya?”

“Pandu .... yang duduk di depanmu siapa?”

“Fia.”

“Ya De Fia..... De Fia, Alifia Rizki inilah calon istriku .....” kata Wahyu pelan. Pandu terhenyak. Wajahnya memerah tegang.

“Sss.. siapa? Siapa? Fia.. Fia calon istrimu?”

“Iya De Fia ini, inilah gadis idamanku, sejak dulu, sejak kita KKN bareng .....”

Wajah Pandu benar-benar berubah. Tampak keringat dingin membasahi dahinya. Duduknya gelisah. Tiba-tiba pemuda itu bangkit dari kursi, mengambil HP kemudian berpamitan mengatakan ada yang menghubunginya. Belum sempat mengiyakan, Pandu sudah keluar meninggalkan rumah makan. Wahyu menggelengkan kepala.

“De Fi .... maafkan Wahyu ya, tadi entah mengapa tiba-tiba saja aku punya ide seperti itu. Aku tidak tahu yang terjadi sebenarnya, tapi aku hanya mengira bahwa De Fia tidak suka kepada Pandu.”

Fia tertunduk. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Wahyu kepada Pandu sama sekali tak ada dalam pikirannya. Wahyu membiarkan gadis itu diam hingga lama. Pemuda itu membiarkan gadis itu menerjemahkan apa yang baru saja kejadian.



***

02 Oktober 2023.

Detik demi detik.  Jantung Fia semakin kencang berdegup. Ia melihat ayahnya sebagai wali telah memegang telapak tangan Wahyu.

“Aku nikahkan ananda Wahyu Widayat kepada putri saya ananda Alifia Rizki Farhani dengan maskawin cincin emas seberat sepuluh gram, seperangkat perlengkapan sholat dan sebuah syal rajutan tangan dibayar tunai!”

“Aku terima nikahnya putri bapak Alifia Rizki Farhani untuk saya dengan maskawin cincin emas seberat sepuluh gram, seperangkat perlengkapan sholat dan sebuah syal rajutan tangan dibayar tunai!”

Sah! Sah! Saaaah!

Hadirin lega. Perhelatan paling sakral yang telah dilalui dua anak manusia ini benar-benar berjalan lancar . Masjid karpet hijau dekat rumah Fia telah menjadi saksi terciptanya sejarah muara cinta keduanya. Seluruh rangkaian akad telah dilakukan, penandatanganan buku nikah dan data administratif lain telah dilakukan.

Fia terisak. Di dekatnya ada Wahyu yang telah menjadi suaminya. Tetamu yang ada beberapa jengkal di sekitarnya mulai meninggalkan ruangan masjid menuju ke ruang perjamuan. Ayahnya memeluk keduanya.

“Kalian adalah anakku semua, kalian jaga dan pupuk cinta yang kalian miliki .... sampai akhir hayat!”

Wahyu dan Fia tak bisa berucap apa-apa. Bibirnya serasa terkunci. Namun hati keduanya sangat mengamini amanat ayah untuk menjaga cinta hingga akhir hayat.

Ayah Fia beranjak mendahului meninggalkan masjid bersama penghulu. Empat gadis pengapit pengantin masih duduk agak jauh dari keduanya.

“De Fia, syal buatan De Fia telah menjadi milikku. Hari ini benda bersejarah itu telah menjadi jalan mempertemukan kita kembali, kini telah menjadi mahar untuk ikatan setia kita.”

“Iya Mas.”

“De Fia istriku ... aku titip hati ini untuk selamanya ya cantik ...” Wahyu berbisik.

“Iya Mas, Insya Allah, Fia akan selalu menjaga hati Mas untuk selamanya.”

“Aku mencintai De Fia sejak dulu .....  sejak aku dirawat di Kalikuning.”

“Aku juga Mas .... Fia juga merawat Mas waktu itu dengan hati, karena sesungguhnya Fia juga mencintai Mas sejak dulu .....” kata Fia yang tak berlanjut tertahan oleh isak tangis kebahagiaan.

Kata-kata cinta kedua anak manusia itu baru hari ini didengar. Dulu tak pernah terucap . Keduanya memendam cinta dalam waktu lama. Hari ini kata-kata cinta itu teramat indah. Indah, bagaikan sebuah mutiara. Bagi wahyu, Fia adalah mutiara yang hampir hilang. Namun, kini mutiara itu telah menjadi miliknya. Untuk selamanya. Ya, selamanya.***
 
Majalengka, 02 Oktober 2016

* Request Alifia RF - Mahasiswa Pend. BK UPI Bandung
   Alumnus SMAN 1 Majalengka 2016

Post a Comment