Cerpen ini copian yang saya unggah di akun www.kompasiana.com/didik_sedyadi pada Jumat 21 Oktober 2016. Cerpen ini fiksi murni request Putri Bunga Pertiwi - Siswa kelas XII MIPA 6 SMAN 1 Majalengka 2016/2017.


SKENARIO DI GERBONG ARGO LAWU


Putri! Bunga! Pertiwiii!
Gadis itu menulis nama sendiri di belakang halaman bukunya. Ia menyebutnya sebagai halaman bete. Setelah menulis kemudian menyobeknya, meremas-remasnya, kemudian membuangnya ke kolong meja. Sejenak Putri menelungkupkan wajahnya di bangku. Kemudian bangkit, berlari ke luar kelas. Gadis itu tak menyadari bahwa di bagian belakang kelas ada sepasang mata yang sedari tadi mengamati tingkah lakunya.
Sepeninggal Putri, di kelas hanya ada seorang teman yang masih tinggal. Sapto Nugroho. Pemuda itu perlahan mendekati tempat duduk Putri, kertas remasan yang ada di kolong ia ambil. Perlahan ia mendesah, menggeleng. Kemudian kertas remasan itu ia masukkan ke dalam tas Putri.
Dua bulan menjelang kenaikan kelas hati Putri gelisah. Tak ada konsentrasi belajar. Bawaannya malas. Beda dengan anak-anak lain, ketika mengantar perpisahan di bulan Mei dengan kakak-kakak kelas mereka begitu ceria. Mereka begitu  termotivasi dengan banyaknya kakak-kakak kelas yang diterima di perguruan tinggi jalur SNMPTN. Harap-harap cemas dengan nilai yang akan diterima di saat kenaikan kelas yang akan memasok perhitungan dalam persaingan masuk SNMPTN tahun berikutnya.
“Put, kamu kok ngga seperti biasanya.... teman lain pada ceria...“ kata Sapto ketika keluar kelas.
“Apa maksudnya?”
“Enggaaak. Jangan marah, sensi banget!”
“Uh!”
“Dulu juga kamu pernah marah ke diri sendiri kan?”
“Kapan?” Putri heran. Diliriknya Sapto dengan pandangan penasaran.
“Pas kamu menulis nama ..... kemudian meremas-remas kertas ... terus membuangnya ke kolong.”
“Oooooo..... ooooo...... jadi itu .... aduuuuh.... aku ingat, aku ingat .... kertas itu malamnya aku
temukan di dalam tasku.” kata Putri sambil menghela nafas panjang.
“Itu aku yang menaruh.”
“Saptoooo..... kenapa?”
“Aku ingin kamu jangan emosi begitu. Aku tahu bebanmu begitu berat.”
“Beban apaan?” tanya Putri melotot.
“Hahaaa!” Sapta tertawa terbahak sambil berlari mendahului Putri .
“Awas! Kalau lari nggak aku kasih pinjam PR!” ancam Putri. Seperti rem yang pakem menekan cakram, Sapto menghentikan kakinya.
“Hhh .... nyerah kalau begini.....” kata Sapto seraya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Sapto! Beban apa yang kamu maksud?”
“Enggg.....”
“Kamu terlalu masuk ke wilayah privacy-ku!”
“Ya maaf ... kan aku ngomongnya sambil bercanda.”
“Iya, sekarang jelaskan apa candamu?”
“Put, maafin Sapto. Emmm.... apa ... Pupuuut...”
“Cepet ngomong lah!”
“Puput terbebani ketika Ranu lulus meningalkan SMA ini?”
Mendengar kata Ranu disebut, Puput menghela nafas dalam. Sapto melihat perubahan muka sahabatnya itu.
“Tentang Ranu?”
“Iya Put.”
“Tahu apa kamu tentang Ranu?”
“Satahuku Ranu adalah sahabat karibmu Put. Bahkan aku berfikir lebih dari sekedar karib. Dari dulu aku amati, setiap Ranu nulis status di ef-be, kamu selalu ngasih like. Upload foto, kamu komen. Puput updatestatus, Ranu juga begitu ....”
“Sapto , kenapa kamu kepo banget?”
“Hey! Bukankah kalau update status inginnya dilihat orang? Kalau aku suka kepo ya jangan salahkan aku ya ... klop nggak?”
“Belum!”
“Kok?”
“Kamu suka kepoin orang lain nggak?” Putri balik bertanya.
“Nggak!” kata Sapto sambil tertawa.
“Wah kamu orangnya nggak adil.”
“Biar! Ngapain juga adil-adil ngepoin orang. Ngga ada manfaatnya Put.”
“Memang ngepoin aku ada manfaatnya?”
“Hehe.... banyak lah.”
“Misalnya apa?”
“Ya tahu tentang Ranu itu laaah!”
“Ranu lagi, Ranu lagi ... memang tahu seberapa jauh tentang Ranu?”
“Hanya tahu dari jauh saja ....”
“Terus buat apa?”
“Mengkhayal.”
“Hah? Buat mengkhayal?”
“Iya.”
“Mengkhayal apa?”
“Mengkhayal jadi Ranu heheee.....”
Putri tidak menimpali kata-kata Sapto. Dalam hati kecil gadis itu sebenarnya tahu, Sapto sering memperhatikan dirinya. Dalam banyak hal, walaupun hal-hal kecil sering diberikan Sapto kepadanya. Sederhana. Misalnya saja pemuda itu menanyakan “Put, tadi pagi bangun jam berapa?”. Pertanyaan sederhana yang tak terlalu diperhatikan. Tapi di suatu saat hati Putri sempat gelisah ketika pulang kegiatan sore Sapto menawarkan jasa “Put, mau nggak nanti malam aku SMS jam dua malam untuk shalat tahajud....”. Puput sampai heran, sebab bahkan Ranu yang paling akrab dengan dirinya tak pernah menyatakan satu kalimatpun yang menyentuh perasaannya.
Kenyataan sekarang Ranu telah lulus.
Kepergian Ranu yang telah diterima SNMPTN memang membuatnya merasa kehilangan. Tetapi jika dipikir dalam, apa yang membuat kehilangan? Toh tak pernah ada perjanjian apa-apa. Tak pernah ada kata-kata yang  membuatnya terikat. Tak pernah ada sesuatu yang besar yang menuntut dirinya untuk membuat keputusan besar pula dalam hidupnya.
Putri mendesah.
Ranu, arti nama itu adalah sungai. Mungkinkah sungai dengan konten air dan seluruh sifatnya akan selalu mencari celah untuk mencapai tujuannya sendiri? Ketika dibendungpun, sungai sebenarnya tak pernah kompromi selalu menekan bendungan dengan energinya. Samakah seperti Ranu yang tak pernah mau berhenti dalam bendungan, tetapi alirannya selalu mencari tempat yang ia inginkan?
Gadis itu teringat pula bagaimana Nur, sahabatnya, yang ditinggalkan Bayu, kekasihnya. Bayu, artinya angin. Apakah sifat angin yang ingin selalu bebas tanpa kekangan memberikan gambaran watak yang sesungguhnya? Entahlah. Yang menjadi cermin diri bagi Putri, adalah ketegaran Nur yang ditinggalkan Bayu. Tak pernah mengeluh. Tak pernah menyesali apa yang telah digariskan Tuhan. Apalagi Nur pernah curhat kepada dirinya: Kita masih kecil, masih SMA. Masa-masa persahabatan dengan lawan jenis bukanlah sesuatu yang sangat serius. Guru kita pernah memberikan nasehat, bahwa persentase mereka yang berpacaran sejak di SMA ini, hanya nol koma sekian persen. Lainnya hilang tak berbekas!
Puuut!
Putri kaget ketika Sapto memanggilnya. Gadis itu tergagap. Ia kebingungan melihat Sapto tersenyum lucu.
“Kenapa tersenyum?”
“Kamu itu lucu! Tadi aku bilang aku ingin berkhayal seperti Ranu, eh kok malah kamu yang melamun sampai lama!”
“Aku melamun?”
“Iya laaah.... tapi sudahlah. Lupakan itu! Put, aku pinjam buku catatanmu .... boleh ya?”
“Buku apa?”
“Matem!”
“Yiaaah ..... ntar dipulanginnya sambil diselipin surat ya? Hehee.....”
“Kata siapa?”
“Kata guru matem kita laaah!”
“Hahaaa.... kayaknya guru kita pengalaman gitu ya?”
“Hus! Kawalat ngomongin beliau lho!”
“Yaudah Put, sini ... nggak aku bawa pulang kok! Sebentar saja, sambil menunggu shalat ‘Asyar di masjid. Ntar aku balikin lagi.”
“Diselipin surat nggak?”
“Nggaaak! Ntar aku selipin seratus ribuan hahaa!”
Keduanya tertawa terkekeh.
Putri mengeluarkan buku catatan matematika, kemudan menyerahkannya pada Sapto. Pemuda itu manggut-manggut sabil tersenyum.
“Apaan tersenyum?”
“Tulisanmu bagus.”
“Uuuh ... baru tahu ya?”
“Hhhh.... kalau saja ..... kalau saja ........ nggg...... “
“Kalau saja apa?”
“Boleh kan suka sama tulisannya?”
“Nggak boleh. Aku nggak boleh pacaran dulu!”
“What???! Kamu komen apa sih Put?” Sapto kaget.
“Lah aku ngomong apa sih?” gadis itu juga kaget. Wajahnya memerah.
Hari-hari berikutnya tak banyak cerita.
Bagi Sapto, Putri adalah misteri. Entah gadis itu tak tanggap, atau memang tak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pacaran. Bagi Putri, Sapto adalah teman biasa. Bahkan sampai dengan saat-saat menjelang kelulusan, tak banyak catatan penting dan berkesan. Bagi Putri, ia tak memusingkan segala hal. Detik-detik hingga dirinya benar-benar diwisuda menjadi alumnus SMAN 1 Majalengka, almamaternya tak memberinya cerita indah tentang persahabatan dengan anak laki-laki. Yang berkesan adalah persahabatan yang tulus dengan Nur, juga kesan terhadap nasehat guru-guru yang menginspirasi, guru-guru yang memberinya teladan dalam banyak.

***
Tahun 2020.
Dua tahun kuliah di Yogyakarta, ternyata sangat membuka wawasannya. Banyak sahabat dari seluruh pelosok tanah air berkumpul di kota pelajar. Sosio kultural khas Yogyakarta mewarnai ranah berfikirnya. Kebinekatunggalikaan benar-benar ditunjukkan di sana. Atau itu karena benar-benar ia sedang merasakannya.
Di kota gudeg itu, ia telah menemukan sebagian kedewasaan berfikir dan merespon. Hanya ada satu hal yang belum bisa berubah dalam diri Putri.
“Putri .... kamu nggak ingin main ke Makasar?”
“Terlalu jauh.”
“Ahh ya tidaklah, hanya dua jam naik pesawat. Mau ya? Kamu akan kerasan di sana. Pengalamanmu akan bertambah.”
“Orang tuaku sekarang tidak mengijinkan aku menyeberang ke pulau lain.”
“Lah nanti kalau kamu naik haji?”
“Kan nanti, kalau aku sudah punya penghasilan sendiri.”
“Nanti aku temanin ya?”
“Terima kasih, Nggah usah repot-repot!”
“Mmmm... atau kapan-kapan aku main ke Majalengka, boleh?”
“Ya boleh. Majalengka itu kota wisata kok! Ada bandara internasional.”
“Ke rumah Putri.”
“Oooo.... kalau itu jangan ah ..... nggak enak dengan orang tua.”
“Putri sudah punya pacar barangkali? Atau calon malah?”
“Enggak... itu privacy ....”
Hhhh..................!
Gadis itu mendesah dalam. Beberapa rekan di kampus berlaku semacam itu. Ia paham maksudnya, akan tetapi ia juga masygul, tak seorangpun yang mampu menggoyahkan kesendiriannya. Setelah kelulusan, memang beberapa kali Ranu mengontak dirinya, akan tetapi semuanya terasa flat, datar-datar saja.
Pagi di Stasiun Tugu.
Putri mengantri di peron. Lima menit lagi kereta Argo Lawu akan masuk dari arah Solo. Petugas mulai membuka pintu peron. Gadis itu bergegas masuk sambil membetulkan tas bawaanya. Ketika dari timur mulai tampak gemuruh suara kereta, gadis itu melihat tiket yang dipegangnya. Gerbong 5 tempat duduk 8 D.
Gerbong 5. 
Hup! Gadis itu meloncat ke dalam gerbong. Hawa dingin AC cukup lumayan ia rasakan untuk menggantikan rasa gerah di badan yang ia rasakan selama menanti di stasiun ini.
“Permisi ... numpang lewat ke kursi D!” kata Putri ketika penumpang di kursi 8C menyelonjorkan kaki menghalangi jalan ke kursinya.
“Oh silakan... silakan.....”
“Terima kasih.... permisi.” kata gadis itu sambil sedikit ragu melewati penumpang itu. Kemudian ia duduk, menata tas yang dibawanya, kemudian ia edarkan pandangannya keluar jendela.
“Emm ... maaf Mbak.... mau ke Jakarta?” tanya penumpang di sebelahnya.
“Enggak ..  ke Cire... Ciiii....ciiii......” bibir Putri tergagap demi melihat wajah di depannya.
“Puu...putri? Maaf, saya salah ....”
“Sapto? Saptokah?”
“Putri .... ya Allooooh ..... iya ini Sapto!”
Keduanya bersalaman.
Setelah itu dengan tak sadar gadis itu menabok-nabok lengan Sapto, kemudian mencubitnya.
“Saptooo.... iiiihh..... “ kata gadis gemas.
“Ssstt.... ssst .... malu penumpang lain.”
“Habisnya sih kamu lucu!”
“Apanya yang lucu?”
“Sudah tiga tahun jadi mahasiswa wajahmu nggak berubah!”
“Aaah ngaco kamu Put. Tapi nggak apa-apa, aku orangnya stabil kok. Beda dengan Putri, dulu dengan seragam putih abu-abu kayak anak kecil. Sekarang... Masya Allooh Puuut .... aku hampir tak mengenali. Tambah dewasa.” kata Sapto sambil tak berkedip.
“Uuuh....”
“Tambah dewasa .... tambah cantik.”
“Saptooo.... aahh....” kata Putri sambil menahan senyum, membuang muka ke arah luar. Bibir Putri terkatub. Matanya berkaca-kaca.
Pertemuan dengan Sapto di gerbong kereta Argo Lawu sama sekali tak terduga. Sapto telah lama hilang terkabur banyak hal dalam ingatannya. Selama sejak lulus dari SMA. Memang gadis itu tahu, Sapto kuliah di Solo. Tapi hanya sekedar tahu. Sejak saat kelulusan hingga akhirnya ia kuliah di Yogyakarta hampir tiga tahun, Sapto tak pernah kontak. Ketika tahun lalu ada ulang tahun almamater dengan bazaar-nya, reuni angkatannya juga tak dijumpai Sapto.
“Putri ..... masih jadi kembang tanah air?” tanya Sapto yang memaksanya menoleh. Ia tahu, kembang tanah air adalah panggilan Sapto dulu di SMA ketika menerjemahkan namanya Putri Bunga Pertiwi.
“Masih laaah .... Sapto masih ultah tanggal tujuh?”
“Ya masih laaah .... kalau tanggal sepuluh namaku harus Dasa, Dasamuka? Bermuka sepuluh hahaa!”
“Kamu masih suka bercanda kayak gini?”
“Masih Put. Buat apa bersedih, bercanda banyak membuat kita fresh. Selalu bisa mematri motivasi, selalu bisa meyakini apa yang diyakini.”
“Wiih ... dalam sekali?”
“Ya, mungkin .. tapi kayaknya standar banget. Oh ya Put, tumben kok sendirian?”
“Iiih apaa sih! Ngatain tumben sendirian segala! Memangnya biasanya rombongan apa?”
“Enggak begitu. Sobatmu Nur sudah menikah ya?”
“Sapto tahu?”
“Lihat saja di sosmed. Hanya nggak sempat datang saja, tapi kirim ucapan saja lewat WA. Putri kapan?”
“Kapan apanya?”
“Apanya apanya? Menikah laaah....”
“Masih kecil! Hihihi..... “
“Haha kaya omongan waktu SMA dulu!”
Pukul 09.20 kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Tugu. Bagi Putri, perjalanan kali ini benar-benar tak terbayang sebelumnya. Semula ia membayangkan bahwa perjalanan Yogya Cirebon akan banyak diam, terpekur, melihat persawahan yang dilewati, atau kawasan-kawasan di belakang perkotaan yang dilewati rel kereta api. Namun tidak. Kali ini ada sesuatu yang ia rasakan beda. Ia merasa bersemangat. Bahkan ada setitik perasaan bahagia menghinggapi lubuk hatinya. Satrio. Entah kenapa tiba-tiba saja ia suka berada di samping pemuda itu.
“Put ... aku mau tanya nih... serius.”
“Ih, matak deg-degan saja kamu ah! Tanya apa sih?”
“Sudah sejauh apa skenario Allah yang kamu rasakan?” tanya Sapto berbalik.
“Nggak ngerti apa maksudnya.”
“Nggak ngerti?”
“Iya, nggak tahu.”
“Put ...... sebentar ya.....”
Satrio mengambil tablet dari tas. Ia aktifkan sejenak. Setelah tablet aktif, ia menoleh ke arah Putri.
“Put, tulisanmu masih bagus nggak?”
“Nggak ngerti kenapa kamu tanya itu.”
“Masih bagus nggak?”
“Ya , tulisanku belum berubah. Kayaknya dulu waktu SMA kamu pernah ngomong gitu deh. Memujiku. Ah kamu mah biasanya memang memuji. Tulisanku bagus, terus pinjam buku matem, terus ng.... nggg....”
“Kalau tulisan ini kamu masih ingat nggak?” kata Sapto seraya menyodorkan tablet ke Putri.


Gadis itu nenerimanya. Mata Putri terbelalak demi melihat gambar yang ada di tablet milik Sapto.
“Saptoo? Ini ... ini tulisanku kan? Tulisan yang ada di buku itu, di halaman belakang?”
“Yah. Kamu benar Put.”
“Kenapa ada di tabletmu?”
“Aku memotonya dulu.”
“Iya kenapa? Apa alasannya?”
“Aku suka kalimat itu.”
“Bagian mananya?”
“Skenario Allah.”
“Skenario Allah? Apa maksudya?”
“Put .... maafkan Sapto. Dulu memang aku mengagumi tulisanmu. Aku foto. Pas dapat kalimat ini, nggak tahu kenapa waktu hati aku berdebar-debar. Waktu itu nggak terasa, aku mengeja nama Putri, Pu-tri Bu-nga Per-ti-wiiii.... Aku merasa, aku merasa .... waktu itu aku, Sapto, Sapto merasa bahwa aku ada dalam skenario itu Putriiii......”
“Saapp... Sapto ...”
“Putri, kalimat itu bersabar dalam segala skenario yang diberikan Alloh. Waktu itu, aku merasa bahwa kalimat itu untuk diriku Put. Aku yakin. Aku memang bersabar ... sejak bersahabat dengan Putri, terhalang oleh kedekatan Putri dengan Ranu. Aku hanya diam. Setelah Ranu pergi, aku pun tak pernah mendapat respon dari Putri ...  dulu ketika Ranu pergi, Sapto berharap bisa menggantikan Ranu. Itu pernah aku katakan. Tapi Putri tidak merespon, hingga aku berkelana lama, kuliah di Solo, yang sesungguhnya dekat dengan Yogya. Aku kangen Putri .... aku mau kontak takut, takut Putri sudah melupakan Sapto. Putri ..... seperti apakah skenario yang Putri bayangkan?”
Sapto bicara panjang dekat telinga Putri yang semakin menunduk. Gadis itu tak bisa menimpali kata-kata. Namun ia dengarkan dengan jelas apa yang Sapto katakan.
“Puuut .....”
“Ya...”
“Kapan rencana ke Yogya lagi?”
“Insya Allah Sabtu depan.”
“Nomor HP-mu?”
“Sudah ganti. Dulu HP-ku hilang.”
“Boleh aku minta nomornya?”
“Biar aku yang misscall saja. Nomormu masih aku simpan Sapto. Aku hafal nomormu.”
“Alhamudulilaaah Putri, kamu masih simpan nomorku? Masih hafal?”
“Masih, sebab nomor HP-mu ujungnya adalah 1607.”
“Benar Put, nomor HP-ku adalah nomor cantik. Secantik yang ulang tahun tanggal enam belas bulan tujuh. Terima kasih ya Put ..... “
***

Majalengka. Jumat sore.
Besok adalah hari sabtu Hari yang direncanakan bagi Putri untuk kembali ke Yogyakarta usai liburan pasca UTS. Sore itu tampak Sapto ada di teras rumah Putri. Dari dalam orang tua Putri keluar hendak bepergian.
“Putri mau berangkat besok pagi Nak Sapto. Nak Sapto kapan?”
“Besok juga Bu.”
“Lah kalau begitu ya bareng saja .... sekalian titip Putri tuh. Suka tidur di kereta hehee....”
“Aaah ibu! Buka rahasia saja!”
“Ya sudah dilanjutkan ngobrolnya, kami pergi dulu....”
Sepeninggal orang tua Putri, Sapto tersenyum.
“Dengar nggak Put?”
“Dengar apa?”
“Kata ibu tadi, sekalian titip Putri ....”
“Huuuu.....”
“Sayang tadi aku nggak sempat menjawab.”
“Mau jawab apa?”                     
“Mau jawab ... ngggg.... siap bu, Putri akan aku jaga selamanya.”
“Uuuuh Saptooo....”
“Oh iya Put, aku akan lama-lama. Ada acara di uwak. Besok kita bareng lagi. Jangan lupa itu.”
“Ya belum tentu laah.... aku mendadak beli tiketnya besok kok!”
Lalawora kamu Put! Kalau nggak ada kursi kosong? Gimana?”
“Ya naik bis umum laaaah.”
“Besok duduk dekat aku lagi ya?”
“Belum tentu, aku mendadak beli tiket besok.”
“Memang bisa beli tiket tanpa KTP?”
“Ya harus pakai KTP lah!”
“Ini apa?” tanya Sapto sambil menunjukkan KTP milik Putri.
“Dulu itu pas kamu turun sebentar di Kutoarjo beli jajan, KTP-mu jatuh. Aku ambil aku simpan.”
“Saptoooo..... jahat banget sih!”
“Ya nggak jahat laaah... kan dengan KTP ini aku bisa beli tiket buatmu Put. Dan aku bisa duduk jejer kamu lagi selama ke Yogya. Nomor kursi 8 CD lagi. Ini apa Put?” kali ini Sapto menyorongkan dua lembar tiket ke hadapan Putri. Gadis itu terbelalak.
“Saptooo....”
“Putri ... inilah arti dan buah dari bersabar dalam skenario Allah.”
“Saptoo....”
“Put .... boleh ya aku mengagumi tulisanmu yang ada di tabletku?”
“Iya... iya.....”
“Sama yang punya tulisan.”
“Saptooo.... iiiihhhh....”
“Putri ... jayab iya dong....”
“Nggak tahuuu.....”
“Put, Sapto menyimpan rasa kangen selama tiga tahun sejak kita lulus SMA. Terima kasih, sejak di Argo Lawu itu ... rasa kangenku terobati. Tapi rasanya rasa kangenku semakin besar setelah melihat senyum Putri ..... senyum yang semakin dewasa. Senyum yang Sapto kagumi sejak dulu ..... “
Speechless. Putri kehilangan kata-kata. Dulu ia telah melihat tanda-tanda itu dari Sapto. Tapi ia tak menyadarinya. Kini, tanda-tanda itu telah menjadi nyata. Selama tiga tahun pemuda itu menyimpan foto tulisannya, dan yang baru ia dengar ..... senyum yang Sapto kagumi sejak dulu .....
Putri diam. Sapto meninggalkan teras. Ia pandangi pemuda itu. Ia ingat, pemuda itu dulu di SMA pernah mengatakan kalimat “Put, mau nggak nanti malam aku SMS jam dua malam untuk shalat tahajud....” kalaimat itu kembali terngiang-ngiang di telinganya.
Gadis itu menghela nafas dalam. Ia ingin mengadukan perasaannya kepada sang pembuat skenario nasib dan jodoh manusia. Ia ingin mengadukan kesadaran dirinya akan kehadiran Sapto kembali. Dan ia berniat menambah dalam doanya: Pilihkanlah Sapto untukku jika skenario-Mu menentukan demikian. ***
 Majalengka, 21 Oktober 2016

Keterangan Bahasa Sunda:
1) Matak deg-dega = Bikin deg-degan
2) Lalawora = Ngawur / gegabah


Post a Comment