A.
Pendahuluan
Penciptaan Adam sebagai
manusia pertama dalam sejarah peradaban umat manusia yang mengamanatkan suatu
tata kelola terhadap alam semesta menjadi awal atas munculnya kebutuhan akan
pendidikan. Dialog Tuhan dan Malaikat tentang keberadaan Adam sebagai khalifah
di bumi merupakan bukti teologis sekaligus menjadi landasan moral bagi manusia
untuk mencapai suatu pengetahuan tertentu dalam rangka melaksanakan amanah
khalifah yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah
satu cara untuk mendapatkan pengetahuan. Pendidikan dalam hal ini berfungsi
sebagai pemberi makna atas perjalanan hidup seseorang. Dengan pendidikan,
pengetahuan manusia akan meningkat dan dengan meningkatnya pengetahuan
seseorang, niscaya derajat dan kedudukannya pun ikut meningkat. Hal ini sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Mujadilah : 11 yang artinya : “…niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”.
Dalam Islam, pendidikan
merupakan salah satu kegiatan wajib yang mesti dilakukan oleh setiap muslim
sepanjang hayat –long life education-.
Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat
manusia, -meminjam istilah John Dewey- pendidikan telah menjadi “kebutuhan
hidup” untuk menunjang eksistensi mereka agar tetap survive. Dengan kata lain bahwa antara pendidikan, proses hidup dan
kehidupan manusia adalah kesatuan yang mesti berjalan serempak dan tidak
terpisah satu dengan yang lainnya.[1]
Sebagai kebutuhan hidup
yang menunjang keseluruhan aspek kehidupan yang terus mengalami perubahan,
pendidikan perlu diarahkan kepada terealisasinya relevansi dan kemampuannya
dalam menjawab tantangan serta masalah-masalah kemanusiaan. Dalam hal ini,
pendidikan memerlukan adanya kajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh,
baik secara konseptual maupun operasional, sehingga menghasilkan output yang berdaya saing dan berdaya
guna. Corak pengkajian dan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh atau dengan
kata lain berpikir secara filosofis terhadap pendidikan mutlak dilakukan, baik
terkait dengan landasan ontologis, epistemologis maupun landasan aksiologis
dari sebuah pendidikan.
Berpikir filosofis
mengandung arti upaya menggali hakekat pengetahuan secara menyeluruh, mendasar
dan spekulatif. Menyeluruh mengandung makna bahwa sebuah pengetahuan atau ilmu
tidak cukup dikenali dari sudut pandang pengetahuan atau ilmu itu sendiri,
melainkan harus didasarkan pada pijakan konstelasi pengetahuan lainnya. Adapun
berpikir secara mendasar merupakan aktifitas yang secara fundamen membongkar
dan menelusuri kebenaran dari suatu pengetahuan atau ilmu. Corak berpikir
semacam ini merupakan upaya mempertanyakan mengapa suatu hal dapat disebut
benar, bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan,
apakah kriteria itu sendiri benar, dan apakah yang dimaksudkan dengan benar itu
sendiri, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang seperti sebuah lingkaran yang
dimulai dari suatu titik awal. Berpikir mendasar artinya mencari titik awal
dari suatu pengetahuan atau ilmu tersebut. Sedang spekulatif mengandung maksud
tidak adanya kepastian dalam suatu pengetahuan yang hendak dijadikan sebagai
pijakan awal di dalam langkah-langkah berpikir.[2]
Dalam kajian filsafat,
banyak disiplin ilmu yang telah ditemukan, sebut saja seperti rumpun ilmu-ilmu
alam (the natural science), rumpun
ilmu-ilmu social (the social science),
dan rumpun ilmu-ilmu humaniora. Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu alam mengalami
perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan dua rumpun lainnya, yang
sedikit mengalami “stagnasi” keilmuan, walaupun pada akhirnya kedua rumpun
inipun juga ikut berkembang.
Sebagai bagian dari
kehidupan manusia, pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah
sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan
nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar
nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya.[3] Berangkat dari hal inilah,
peran dari sebuah analisa dan pemikiran yang mendalam mutlak diperlukan. Dengan
kata lain bahwa sebuah analisa filosofis diorientasikan untuk menjawab
persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis pula, yang tidak cukup
selesai hanya dengan menggunakan analisa ilmiah semata.
B.
Pengertian
Ilmu dan Kedudukan Filsafat Ilmu Dalam Kajian Pendidikan
Suatu hal dapat disebut
sebagai ilmu jika memenuhi sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan,
aktifitas dan metode. Ketiga-tiganya merupakan suatu kesatuan logis yang harus
ada secara berurutan. Pemahaman yang menempatkan ilmu sebagai pengetahuan,
aktifitas dan metode, menurut The Liang Gie[4] dapat digambarkan seperti
bagan berikut :
|
|
|
Sebagai sebuah
aktifitas penelitian, ilmu merupakan rangkaian aktifitas yang membentuk sebuah
proses yang bersifat rasional, kognoitif dan teleologis. Proses ini dilaksanakan
untuk mencapai pengetahuan, kebenaran, pemahaman, penjelasan, peramalan dan
pengendalian, di mana tujuan-tujuan ini harus didasarkan pada prosedur tertentu
atau dalam bahsa ilmiah disebut dengan metode ilmiah.[5]
Sebagai sebuah metode
ilmiah, ilmu adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, tata langkah dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan pengetahuan yang ada. Dalam hal ini langkah-langkah yang
dilakukan oleh imu adalah (1) pola procedural yang meliputi pengamatan,
percobaan, pengukuran, survai, deduksi, induksi, analisis dan lainnya; (2) tata
langkah yang terdiri dari pnentuan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan
data, penurunan kesimpulan dan pengujian hasil; (3) berbagai taknik yang berupa
daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, pemanasan dan lainny a; dan (4) aneka alat yang meliputi
timbangan, meteran, perapian, computer, dan lainnya.
Sebagai pengetahuan
sistematis ilmu mengandung arti keterangan-keterangan dan data-data yang
tersusun sebagai kumpulan pengetahuan yang mempunyai hubungan-hubungan
ketergantungan dan teratur. Dalam hal ini, ilmu memiliki ciri-ciri empiris,
obyektif, analitis dan verifikatif. Dengan demikian ilmu dapat diartikan
sebagai rangkaian aktifitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai
metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan
atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan
penjelasan ataupun melakukan penerapan.
C.
Perkembangan
Teori Pendidikan
Perbedaan pendekatan
yang digunakan oleh para ahli filsafat atau para filosof pada rentang waktu
tertentu dalam menyikapi suatu obyek permasalahan hidup telah melahirkan berbagai
macam pandangan atau aliran, termasuk di dalamnya filsafat pendidikan. Hal ini
dikarenakan sifat pemikiran filsafat yang tidak pernah mandeg dan tidak
mengenal istilah final, sehingga di dalam percaturan filsafat, sering kali
hanya berkisar pada permasalahan serupa, baik sebagai suatu bentuk persetujuan
maupun penolakan terhadap kesimpulan yang telah ada.
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, secara garis besar pemikiran
tersebut dapat dibedakan ke dalam lima aliran pokok yang mencakup
pemikiran-pemikirannya terhadap dunia pendidikan.[6] Kelima aliran tersebut
adalah :
1.
Aliran
Progresivisme
Progresivisme adalah
aliran filsafat pendidikan yang memiliki pandangan hidup fleksibel (tidak kaku,
tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin
menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati yang terbuka).
Aliran ini sangat berpengaruh pada abad ke 20, di seluruh dunia utamanya di
Amerika Serikat. Akiran ini menawarkan pembaharuan dalam lapangan pendidikan.
Sebagai sebuah aliran
pemikiran, progresivisme baru muncul pada pertengahan abad ke 19. Akan tetapi
jika ditarik garis perkembangannya ke belakang, maka pemikiran progresivisme
senyatanya telah ada sejak masa Yunani kuno, yakni sejak masa Heraklitus (± 544
– 484 SM), di mana sebagai seorang filosof, dia mengemukakan bahwa sifat yang
terutama dari realita adalah perubahan. Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap
di dunia ini, kecuali asas perubahan itu sendiri. Hal ini kemudian dikuatkan
oleh Socrates (469 – 399 SM) yang berusaha mempersatukan antara epistemology
dengan aksiologi. Menurut Socrates, bahwa yang baik dapat dipelajari dengan
kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik dapat menjadi pedoman bagi manusia
untuk melakukan kebajikan. Selanjutnya Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran
dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak melainkan relative yaitu tergantung
kepada waktu dan tempat. Aristoteles menawarkan moderasi dan kompromi (jalan
tengah) dalam kehidupan.[7]
Pada masa modern, sejak
abad 16 – 19, pemikiran Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel
dapat merepresentasikan aliran progresivisme. Francis Bacon memberikan
sumbangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode
eksperimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Pandangan Locke yang
mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan oleh
faktor dari luar dan dari dalam dirinya, yaitu pengalaman baik yang sengaja
maupun tidak. Menurutnya pendidikan dapat menentukan jalan hidup manusia.[8] Jean Jacques Rousseu yang
menawarkan bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang
baik dari manusia.[9]
Dalam hal pendidikan Rousseu menawarkan tiga pinsip belajar mengajar yang
berpusat pada anak didik, pendidikan dan sekolah.[10] Kant memulyakan manusia,
menjunjung tinggi akan kepribadian manusia memberi martabat manusia suatu
kedudukan yang tinggi. Bagi Kant, kebenaran merupakan pencocokan realitas
terhadap intelek.[11] Sedang Hegel mengajarkan
bahwa alam da masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan
gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tidak ada hentinya.
Pada abad ke 19 – 20,
tokoh-tokoh seperti Thomas Paine dan Thomas Jefferson, melalui kepercayaan
mereka terhadap demokrasi dan penolakan mereka terhadap sikap dogmatis, telah
mengantarkan progresivisme ke pada puncak keberpengaruhannya di Amerika
Serikat.
Dalam hubungannya
dengan pendidikan, progresivisme tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan-keyakinan filsafat seperti pragmatism, instrumentalisme, dan
eksperimentalisme, di mana untuk merealisasikan tujuan umum pendidikan, yang
dalam bahasa John Dewey disebut sebagai warga masyarakat yang demokratis,
pelaksanaan pendidikan, mulai dari konten, metode, dan praktik pendidikan harus
dilaksanakan secara integratif dan tidak terpisah-pisah antara satu mata
pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.[12]
2.
Aliran
Esensialisme
Aliran ini muncul pada
zaman Renaissans,[13]
di mana ia memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas.[14] Hal ini berbeda dengan
progresivisme yang lebih menekankan pada aspek fleksibilitas.
Dalam filsafat
esensialisme merupakan bagian dari metafisika yang mengakui keunggulan zat.
Menurut faham ini, setiap wujud jenis (kebendaan), memiliki kumpulan
karakteristik tertentu. Esensialisme adalah generalisasi yang menyatakan bahwa
sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh suatu kelompok (orang misalnya,
hal-hal, ide-ide) bersifat universal dan tidak tergantung pada konteks.[15] Faham ini memiliki
pandangan bahwa anggota kelompok tertentu mungkin memiliki karakteristik lain
yang tidak diperlukan untuk membuat keanggotaanya tidak menghalangi keangotaan
lainnya, tetapi esensi tidak hanya mencerminkan cara pengelompokan obyek,
menghasilkan sifat dari obyek.
Dalam pendidikan,
aliran esensialisme tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia ikut diwarnai oleh
paham-paham dari penganut aliran idealism dan realism. Menurut Imam Barnadib,[16] tokoh-tokoh yang ikut
berperan dalam penyebaran aliran ini adalah :
a.
Desiderius
Erasmus, yaitu seorang humanis Belanda yang hidup antara akhir abad 15 dan
permulaan abad 16. Ia menawarkan bahwa kurukulum sekolah harus bersifat
humanistis dan internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum
aristocrat.
b.
Johann
Amos Comenius (1592-1670), seorang realis-dogmatis. Ia berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena menurutnya, dunia adalah dinamis dan bertujuan
c.
John
Locke (1632-1704), seorang tokoh Inggris yang memiliki sekolah kerja untuk
anak-anak miskin. Ia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan
situasi dan kondisi.
d.
Johann
Henrich Pestalozzi (1746-1827) yang memiliki kepercayaan bahwa sifat-sifat alam
ini tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya. Menurutnya bahwa manusia juga memiliki hubungan
transcendental langsung dengan Tuhan.
e.
Johann
Friederich Frobel (1782-1852), seorang kosmis-sintetis. Ia berkeyakinan bahwa manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga
manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Menurutnya anak
adalah sebagai makhluk yang berekspresi secara kreatif, yang dalam tingkah
lakunya akan Nampak adanya kualitas metafisis. Oleh karenanya tugas pendidikan
menurutnya adalah memimpin anak didik kea rah kesadaran diri sendiri yang
murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f.
Johann
Friederich Herbert (1776-1841), seorang murid Kant, ia berpendapat bahwa tujuan
pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak
dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan. Tujuan pendidikan
menurutnya adalah “pengajaran yang mendidik”.
g.
William
T Harris (1835-1909), seorang tokoh dari Amerika Serikat. Ia berpandangan bahwa
pendidikan memiliki tugas untuk mengijinkan terbukanya realita berdasarkan
susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Dalam hal ini, menurut
Harris, sekolah berperan sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah
turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan
umum dari sebuah pendidikan, maka menurut aliran esensialisme, isi pendidikan
harus mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia. Sedangkan kurikulum sekolah menurut aliran ini merupakan
miniature dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan
kegunaan.[17]
Dalam filsafat pendidikan esensialisme, anak-anak harus belajar mata pelajaran
dasar tradisional, yang harus dipelajari secara menyeluruh dan disiplin.
Program pengajaran dilaksanakan secara progresif, dari ketrampilan kurang
komplek sampai lebih komplek. Adapun materi pengajaran biasanya diarahkan mulai
dari membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni
dan music.[18]
Aliran esensialis bertujuan untuk menanamkan hal-hal penting seperti
pengetahuan akademik, patriotism dan pengembangan karakter bagi setiap anak
didik.
3.
Aliran
Perenialisme
Dalam Oxford Learner’s Dictionary of Current
English, perennial diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “lasting
for a very long time”-abadi atau kekal. Dalam filsafat, aliran perenialisme
mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai yang bersifat
kekal dan abadi. Aliran ini menawarkan konsep “kembali kepada kebudayaan masa
lampau” regressive road to culture untuk
mengatasi krisis kemanusiaan yang timbul sebagai akibat dari modernism. Sebagai
sebuah aliran flsafat pendidikan, perenialisme bersumber pada dua asas, yaitu
perenialisme teologis di bawah ajaran Thomas Aquinas dan perenialisme sekuler
yang berpegang pada ide dan cita-cita Plato.
Dalam bidang pendidikan
pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga
ketertiban social hanya mungkin bila ide telah menjadi ukuran. Tujuan
pendidikan dalam hal ini adalah membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan
asas-asas normative tersebut dalam semuaaspek kehidupan. Menurut Plato, manusia
lahir dengan membawa tiga potensi kodratiah, nafsu, kemauan dan pikiran. Maka
pendidikan menurutnya diorientasikan pada upaya pemenuhan potensi-potensi
tersebut.
Sejalan dengan Plato,
Aristoteles dan Thomas Aquinas mengembangkan ide-ide Plato dengan lebih
mendekatkan kepada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan bagi Aristoteles adalah
“kebahagiaan” dan menurutnya untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka
aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan
bagi Thomas Aquinas tujuan pendidikan adalah sebagai usaha mewujudkan kapasitas
yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas. Menurut paham filsafat
pendidikan Thomas Aquinas, seorang guru berperan untuk mengajar, memberikan
bantuan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada
dirinya,[19]
baik potensi-potensi yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat materi
(fisik). Hal ini dipengaruhi oleh pemahamannya tentang manusia. Menurutnya
manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri atas bentuk
jiwa dan materi.[20]
Dalam pandangannya tentang jiwa, menurutnya, jiwa memiliki lima daya, daya jiwa
vegetative, daya jiwa sensitive, daya jiwa yang menggerakkan, daya jiwa untuk
berpikir dan daya jiwa untuk mengenal.
4.
Aliran
Rekontruksionalisme
Latar kemunculan aliran
ini sebanarnya sama dengan perenialisme, yaitu untuk mengatasi krisis kehidupan
modern, akan tetapi jalan yang ditempuh sedikit berbeda. Dalam
rekontruksionalisme, untuk mengatasi problem-problem kehidupan modern, maka
perlu dilakukan pembinaan terhadap suatu consensus yang paling luas dan paling
mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia, atau
disebut dengan restore to the original
form. Hal ini sedikit berbeda dengan perenialisme yang lebih mengedepankan
pada proses kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal
yang telah terpuji ketangguhannya.
Bagi
rekontruksionalisme, kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat
mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya,
harus segera didapatkan. Maka bagi aliran ini, lembaga dan proses pendidikan
dijadikan sebagai sarana untuk mengubah tata susunan lama dan membangun tata
susunanhidup kebudayaan yang sama sekali baru.[21] Para penganut aliran ini
berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia mempunyai hasrat yang sama untuk
menciptakan satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu
kedaulatan dunia, dalam pengawasan mayoritas umat manusia.
5.
Aliran
Eksistensialisme
Dalam filsafat
eksistensialisme merupakan mazhab yang mempunyai prinsip bahwa segala gejala
bertolak dari eksistensi, yaitu suatu cara pandang keberadaan dunia dan manusia
berada yang membedakan dengan makhluk lain.[22] Aliran ini merupakan
reaksi atas peradaban manusia yang hamper punah pasca perang dunia kedua.[23] Mereka bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang
dimiliki dan dihadapinya.
Keberadaannya sebagai
sebuah aliran filsafat berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme
secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat
eksistensi adalah sebuah filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai
tema sentral.[24]
Dalam hal ini eksistensialisme mengandung makna suatu penolakan terhadap suatu
pemikiran abstrak, tidak logis dan tidak ilmiah, ia menolak segala bentuk
kemutlakan rasional.
Terkait dengan
pendidikan, eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan
dalam segala bentuk dan oleh karenanya, bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang ini, tidak dapat diterima. Aliran ini menawarkan sebuah
konsep kebebasan yang bukan dipahami sebagai arbitrium liberum di mana hampir semua hal yang mungkin dan mana
nilai-nilai yang tidak penting untuk pilihan dan tindakan. Kebebasan
eksistensialisme tidak terletak di beberapa jenis ruang abstrak, di mana
semuanya mungkin, karena orang bebas, dan karena mereka sudah ada di dunia,
maka tersirat bahwa kebebasan mereka hanya di dunia ini, dan bahwa hal itu juga
terbatas.[25]
D.
Kontriusi
Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Pendidikan
Pendidikan adalah
upaya-upaya dan keinginan untuk menyampaikan pengertian, pengalaman dan
kemampuan generasi terdahulu kepada generasi penerus agar mereka dapat
melaksanakan fungsinya sebagai manusia.[26] Dalam pengertian ini,
pendidikan memiliki makna sebagai transfer
of knowledge yang berada di dalam perilaku manusia yang berada di
dalam proses belajar mengajar. Pendidikan memiliki makna hakiki, yakni sebagai
proses untuk “memanusiakan manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pendidikan
maka manusia tidak akan menjadi manusia dalam arti sebenarnya, yaitu manusia
yang utuh , dengan segala fungsinya, baik fisik maupun psikis.
Dalam sejarah,
pendidikan terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya manusia
dan lingkungannya. Sebuah perkembangan yang melibatkan keseluruhan potensi
manusia yang diarahkan untuk menemukan temuan-temuan baru melalui
percobaan-percobaan, baik yang dikendalikan oleh pemerintah maupun swasta
dengan berbagai pendekatan dan metodologi, di mana muara akhir dari
perkembangan pendidikan ini adalah “tercapainya kedewasaan” yakni tercapainya
titik optimal dari perkembangan semua potensi manusia yang mencakup
fungsi-fungsi individualitas, sosialitas dan moralitasnya.[27]
Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji tentang hakikat ilmu. Ia
merupakan bagian dari pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu.
Meskipun secara metodologi, ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu social, namun dikarenakan permaslahan teknis yang bersifat khas, maka
filsafat ilmu sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat
ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya pendidikan.
Menurut Jujun S
Suriasumantri,[28]
filsafat ilmu merupakan suatu telaahan secara filsafat untuk mendapatkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang berupa (1) obyek
apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? (2) bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar? Apa yang disebut pengetahuan itu sendiri? Apakah
kriteianya? Cara/teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? (3) untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut mewakili setiap jenis dari landasan ilmu, di mana kelompok pertanyaan
pertama disebut sebagai landasan ontologis, kelompok kedua sebagai landasan
epistemologis dan kelompok ketiga sebagi landasan aksiologis. Ketiga landasan
ini melekat pada setiap jenis pengetahuan, baik ia berupa ilmu, seni ataupun agama.
Dengan demikian sebuah pengetahuan diketahui berdasarkan ketiga landasan
tersebut atau dengan kata lain untuk membedakan jenis pengetahuan satu dengan
jenis pengetahuan lainnya, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah : Apa
yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)? Bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan tersebut (epistemologis)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut
dipergunakan (aksiologis)? Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut akan memudahkan
seseorang untuk membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam
khasanah kehidupan manusia. Dengan demikian, jenis-jenis pengetahuan seperti
ilmu, seni dan agama mudah dikenali dan diletakkan pada tempatnya
masing-masing. Pengenalan setiap ciri pengetahuan secara benar akan
menyelamatkan kita dari kesalahan dalam menggunakan ilmu.
1.
Pendekatan
Ontologi
Pendekatan ontologis
biasa juga disebut dengan pendekatan metafisis, ia membiacarakan obyek ilmu,
hubungan antara subyek dengan obyek. Pada saat manusia menjawab obyek ilmu,
obyek ilmu meliputi obyek material (subyek
matter) dan obyek formal (focus of interst).[29] Obyek material ilmu dapat
dibedakan menjadi dua, obyek konkret dan abstrak, dan karenanya, kedua obyek
tersebut telah melahirkan dua paham dalam metafisika, yakni realism dan
idealism. Paham realism menitikberatkan pada kenyataan dalam obyektivitasnya,
oleh karena itu hakikat yang ada adalah materi atau benda. Kenyataan konkret
dapat diketahui atau dipahami melalui indra manusia. Sebaliknya idealism
berpandangan bahwa kenyataan yang sesungguhnya adalah bersifat rohani atau
kejiwaan. Oleh karena bersifat abstrak, kenyataan yang ada dapat dipahami
melalui persepsi mental berupa kegiatan berpikir, menalar maupun intuisi.
Landasan metafisis ilmu terletak pada obyek, baik konkrit maupun abstrak. Obyek
ilmu juga berpengaruh pada subyek untuk menentukan metode apa yang digunakan
untuk memahaminya.
Sedangkan obyek formal
ontology adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran materialism, idealism, naturalism, atau hylomorphisme.[30] Dalam pendidikan focus
kajian dari pendekatan ontologis ini adalah mengenai hakikat pendidikan itu
sendiri. Ia mencoba menafsirkan makna pendidikan ini sebagaimana adanya, ia
mempertanyakan wujud hakiki dari pendidikan itu, ia juga mempertanyakan
bagaimana hubungannya dengan manusia, sehingga muncul ilmu pendidikan.
Dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi, pendekatan ini memiliki peranan, di antaranya : (1)
mengajarkan cara berpikir cermat dan tidak lelah untuk menjawab
persoalan-persoalan yang bersifat teka-teki; (2) adanya tuntutan orisinalitas
berpikir untuk mengupayakan penemuan-penemuan baru maupun untuk menguji
kebenaran-kebanaran yang pernah ditemukan; (3) memberikan bahan pertimbangan
dan pijakan yang kuat terutama dalam pra anggapan; (4) memberikan ruang pada
perbedaan visi dalam memahami realitas, sehingga dapat memahami perbedaan
pandangan yang muncul dalam mencari solusi problematika.[31]
Lebih khusus lagi,
terhadap pendidikan Islam, masalah-masalah
yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin[32] adalah bahwa dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat
dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini berkisar pada: apa saja potensi
yang dimiliki manusia? Kata fitrah yang ditemukan dalam al-Qur’an maupun
al-Hadis apakah sama dengan “potensi” dalam kamus pendidikan secular? Jika
keduanya adalah sama, maka Potensi dan/ atau fitrah apa dan dimana yang perlu
mendapat prioritas pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau
fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami
perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor
ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya
yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya
ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujud dalam realitas sejarah umat Islam
yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang
perlu mendapat penegasan.[33]
2.
Pendekatan
Epistemologi
Epistemology, biasanya
didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat
yang membahas ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Ia
disebut sebagai theory of knowledge. Epistemology
berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu.
Sementara knowledge atau ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.[34] Pengetahuan merupakan
khasanah kekayaan mental yang secara langsung maupun tidak langsung turut
memperkaya kehidupan kita, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Pada dasarnya, setiap
jenis pengetahuan merupakan jawaban atas pertanyaan yang tertentu. Oleh
karenanya untuk dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita, maka harus kita
ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan
tertentu, dengan kata lain bahwa kita perlu mengetahui kepada pengetahuan
manakah suatu pertanyaan diajukan.
Epistemology dalam hal
ini merupakan upaya untuk menyusun pengetahuan yang benar agar dapat memberikan
jawaban yang benar sebagaimana yang diharapkan setiap orang yang mengajukan
pertanyaan. Landasan yang digunakan oleh epistemology ini kemudian disebut
sebagai metode ilmiah. Dengan kata lain bahwa metode ilmiah merupakan cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Setiap jenis
pengetahuan memiliki ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana
(epistemology) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan ini saling berkaitan; ontology ilmu terkait dengan epistemology ilmu
dan epistemology ilmu terkait dengan aksiologi ilmu. Jadi kalau kita ingin
membicarakan epistemology ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontology
dan aksiologi ilmu.[35]
Inti pendekatan
epistemology adalah mempersoalkan bagaimana proses terjadinya ilmu pengetahuan,
termasuk di dalamnya sarana ilmiah, sikap ilmiah, metode, kebenaran ilmiah.
Pemikiran merupakan landasan utama dalam melakukan kegiatan ilmiah yang akan
menggabungkan kemampuan akal dengan pengalaman dan data yang diperoleh selama
melakukan kegiatan ilmiah.[36]
Masalah epistemology
bersangkutan dengan pertanyaan tentang pengetahuan.[37] Dari sini kemudian muncul
dua paham, rasionalisme dan empirisme. Paham rasionalisme menekankan pada
peranan akal dalam memperoleh pengetahuan. Paham ini berpandangan bahwa sumber
pengetahuan manusia adalah akal dan rasio. Menurutnya syarat suatu pengetahuan
dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan adalah yang diperoleh melalui
kegiatan akal. Rasionalisme memiliki ciri pokok, pertama, adanya pendirian bhawa kebenaran hakiki secara langsung
dapat diperoleh dengan sarana akal dan kedua,adanya
suatu penjabaran logis atau deduksi yang dimaksudkan untuk memberikan
pembuktian seketat mungkin mengenai seluruh sisi bidang pengetahuan berdasarkan
atas apa yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran hakiki.[38]
Idealisme merupakan
akar dari paham rasionalisme, mereka menggunakan metode deduktif, akal, apriori
dan koherensi di dalam mengembangkan pemikiran mereka. Sebaliknya empirisme
menekankan kepada pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Dalam pandangan
empirisme, pengalaman manusia meliputi pengalaman lahir yang menyangkut dunia
dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Akar dari paham ini
adalah realism yang menjadikan metode induktif dalam mencari kebenaran ilmiah.
Upaya untuk mempertemukan kedua paham yang jelas-jelas berbeda ini telah
dilakukan oleh Emanuel Kant dengan menawarkan paham kritisisme, di mana dalam
pandangan paham ini pengetahuan pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh
adanya kerja sama antara bahan-bahan yang bersifat indrawi yang kemudian diolah
oleh akal sehingga terdapat hubungan sebab akibat. Kebenaran ilmiah memerlukan
data dan fakta yang akurat kemudian diolah dengan metode ilmiah atau metodologi
yang digambarkan sebagai the rule of the
game dalam ilmu yang pada dasarnya tidak pernah berakhir.[39]
Dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan termasuk pendidikan, setiap manusia memiliki sarana berpikir
yang meliputi logika, matematika, statistika dan bahasa. Logika adalah
pengetahuan tentang kaidah berpikir atau usaha untuk menarik simpulan melalui kaidah-kaidah
formal. Logika mempelajari argument, yakni wacana yang terdiri atas pernyataan
simpulan yang ditarik dari dua atau lebih pernyataan yang daligus sebagai
isebut premis. Matematika adalah bahasa artifisial yang bersifat cermat dan
terbebas dari unsur emosi. Matematika memberikan sifat kuantitatif kepada
pengetahuan keilmuan yang sekaligus sebagai sarana berpikir deduktif.
Statistika membantu kita dalam penarikan simpulan secara induktif dari
fakta-fakta empiris. Adapun bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak
di mana obyek-obyek factual ditransformasikan menjadi symbol-simbol bahasa yang
bersifat abstrak.
Dalam pendidikan, analisis epistemologis dilaksanakan
terkait dengan landasan dan metode pendidikan. Di mana tujuan pendidikan adalah
manusia, maka oleh karenanya menyentuh filsafat tentang manusia. Pendidikan
merupakan kegiatan mengubah manusia sehingga mengembangkan hakikat kemanusiaan.
Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap manusia dan oleh manusia, yang bertujuan
mengembangkan potensi kemanusiaan. Hal ini dapat terjadi jika manusia sebagai “animal
educandum, educabile, dan educans”.
Epistemology ini dikembangkan oleh Langeveld, seorang Paedagog Belanda.
Dalam kapasitasnya sebagai animal educandum, educabile dan educans, analisis fenomenologis tentang
manusia sebagai sasaran tindakan pendidikan telah menempatkan paedagogik (ilmu
pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan.
Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan
yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Dengan demikian, analisis
epistemologis dan metode fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut
Dimyati- telah melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan
analisis epistemologi dengan pragmatismenya melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat
khusus. Dari sudut pandang pragmatisme,
kegiatan pendidikan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan; kegiatan pendidikan
dipandang sebagai penerapan pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[40] Implikasinya, dapat diilustrasikan jika
manusia dipandang sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap
manusia adalah membuat manusia menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan
mengembangkan akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas
tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan
memerlukan analisis yang mandiri atas data paedagogi (pendidikan anak) dan data
andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein)
dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal
dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan
itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang
normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas
manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan
antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.[41]
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya
pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh sebab itu
setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil.
Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti
kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (telaah
pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (telaah pendidikan
makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan
telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang
lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah
hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan sebagainya.
Menyangkut pendidikan Islam, menurut
Muhaimin, pertanyaan-pertanyaan epistemologis yang dikembangkan adalah
menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta
mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja
isi kurikulum pendidikan Islam yang perlu diberikan? Dengan menggunakan metode
apa pendidikan Islam itu dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan dididik
dalam pendidikan Islam? Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya
manusia saja, atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan
Islam?[42]
Pertanyaan-pertanyaan diatas
mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar
berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu
jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul
Munir Mulkhan maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah
juga merupakan problem pendidikan Islam.[43]
3.
Pendekatan
Aksiologi
Perkembangan
ilmu pada akhir-akhir ini telah melampui batas yang dapat diperkirakan oleh
manusia di masa-masa sebelumnya. Karena dewasa ini, ilmu telah mampu
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu tidak saja menimbulkan
gejala dehumanisasi, tetapi bahkan kemungkinan dapat mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, karena ilmu tidak lagi hanya sekedar sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi keberadaan ilmu telah
mampu menciptakan tujuan hidup itu sendiri.[44]
Menghadapi
kenyataan seperi itu, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya.
Pertanyaan-pertanyaan ilmu telah bergeser kepada untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Dan ke arah
mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan inti dari pendekatan aksiologis.
Ilmu pada umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia
atau untuk memanusiakan manusia. Oleh karenanya, dalam hal pendidikan, focus
pertanyaan aksiologisnya adalah pengetahuan yang bagaimanakah yang harus
dipelajari dalam pendidikan, agar terjadi keseimbangan antara manusia sebagai
makhluk social dengan lingkungannya?
Lebih
dari pada itu, pendidikan yang didasarkan kepada landasan aksiologis ilmu harus
selalu didasarkan pada pijakan nilai-nilai etis dan estetis. Mengingat keberadaanya
sebagai fenomena sosial, kultural dan keagamaan, pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari sistem nilai. Begitupun
halnya dengan estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, karena
keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah.
Tuhan sendiri Maha Indah dan menyukai keindahan.
Itu
sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan
interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti
komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi.
Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak
menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban
manusiawi
E.
Penutup
Ilmu
merupakan soko guru bagi kehidupan umat manusia, sedangkan pendidikan, baik
formal maupun informal adalah sarana untuk meperoleh ilmu. Antara ilmu,
pendidikan dan manusia adalah satu kesatuan tunggal, yang jika dipisah-pisahkan
akan membentuk suatu bangunan yang tidak utuh. Untuk membentuk suatu bangunan
peradaban yang memanusiakan manusia, keberadan ilmu dan pendidikan tidaklah
dapat ditawar-tawar.
Sejarah
panjang perjalanan ilmu, yakni sejak keberadaan manusia itu sendiri harus terus
dilanjutkan dengan berbagai tindakan ilmu, melalui berbagai metode ilmu
sehingga mampu menghasilkan produk ilmu yang berdaya guna bagi kelangsungan
kehidupan umat manusia. Upaya untuk terus menggali berbagai fenomena dari sudut
pandang ilmu tidak boleh berhenti sampai dengan berakhirnya kehidupan itu
sendiri, begitu kiranya pesan dari seorang bijak “menuntut ilmu sejak dari
dalam kandungan sampai dengan masuk ke liang lahat”.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhairini, dkk. Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
The Liang Gie, Pengantar
Ilmu Filsafat, Yogyakarta : Liberty, 2004.
Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi, Manajemen Bisnis
dan Sektor Publik”, dalam Peran Filsafat
Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007, 98-112.
Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung : Penerbit Alfabeta,
2013.
Ayi Sofyan, Kapita
Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982.
Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan,
Malang : Penerbit IKIP, 1978.
Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As Philophys, New Jersey :
Prentice-Hall, 1969.
Fuad Hasan, Kita
dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Ahmad Ludjito dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996.
Lasiyo, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana
Universitas Airlangga, 2007.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam : di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
http://jhonisamual.blogspot.com/2013/09/filsafat-ilmu-definisi-tujuan-implikasi.html
Senin, 9 Maret 2015
Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ; perspektif Barat dan
Islam, Depok : Gema Insani, 2014.
Karl R Popper, Realism anda The Aim of Science, New
Jersey : Rowman and Litlefield, 1983.
M. Dimyati,
Dilema Pendidikan Ilmu Pengetahuan,
Malang : IPTI, 2001.
Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993).
[1] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta :
Bumi Aksara, 1995, 2.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1993, 20-22.
[3] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 11.
[4] The Liang Gie, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta :
Liberty, 2004, 90.
[5] Muntu Abdullah, “Jurnal Akutansi,
Manajemen Bisnis dan Sektor Publik”, dalam Peran
Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Teori Akutansi, Vol. 4 No 1, Oktober 2007,
98-112.
[6] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 19-31.
[7] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 22-23.
[8] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan, Bandung :
Penerbit Alfabeta, 2013, 28.
[9] Zuhairini, dkk. Filsafat…,23.
[10] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 29.
[11] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, Bandung : Pustaka Setia, 2010, 186.
[12] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 24.
[13] Renaissans berasal dari Bahasa
Perancis renaissance yang berarti
kelahiran kembali. Istilah renaissans merujuk pada berbagai periode kebangkitan
intelektual yang terjadi di Eropa, khusunya di Italia sepanjang abad ke- 15 dan
abad ke- 16. Istilah ini mulanya dikenalkan oleh seorang ahli sejarah kenamaan,
Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burchardt. Lihat Ayi Sofyan, Kapita…, 62-69.
[14] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 25.
[15] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 39.
[16] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Yayasan
Penerbit FIP IKIP, 1982, 34-40.
[17] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 27.
[18] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…, 43.
[19] Zuhairini, dkk. Filsafat…, 28-29.
[20] Ayi Sofyan, Kapita…, 175
[21] Muhammad Noor Syam, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Malang : Penerbit IKIP, 1978, 183
[22] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,44.
[23][23] Fernando R Molina, The Sources of Eksistensialisme As
Philophys, New Jersey : Prentice-Hall, 1969, 1.
[24] Fuad Hasan, Kita dan Kami, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, 7-8
[25] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,53-54
[26] Muslim A Kadir dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar atas kerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 1996, 51
[27] Ahmad Ludjito dalam Reformulasi…, 21.
[28] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…, 33-35.
[29] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 105.
[30] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,16.
[31] Lasiyo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Hand Out Kuliah Filsafat Ilmu, Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, 2007, 2.
[32] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam : di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, 65.
[34] Ardian Husaini, Filsafat Ilmu ;
perspektif Barat dan Islam, Depok : Gema Insani, 2014, 27.
[35] Jujun S Suriasumantri, Filsafat…,105.
[36] Muntu Abdullah, “Jurnal…, 106.
[37] Wowo Sunaryo Kuswana, Filsafat…,17.
[38] Lasiyo, Filsafat…, 2.
[39] Karl R Popper, Realism anda The
Aim of Science, New Jersey : Rowman and Litlefield, 1983, 103
[42] Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 66.
[43] Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[44]
Wowo sunaryo Kuswana, Filsafat…, 18.
Posting Komentar