Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di saat masa kerasulan Nabbi Muhammad SAW. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam.
Prosedur pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW tentang cara pemilihan/suksesi kepemimpinan Islam sepeninggal beliau. Hanya saja,bb penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad SAW dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4) dan keturunan beliau SAW dari garis Ali bin Abi Thalib lah yang akan meneruskan kepemimpinannya atas umat Islam.


Abu Bakar Ash-Shiddiq
Ketika Muhammad SAWsakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam shalat. Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam jika beliau SAW meninggal. Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal, terjadi perdebatan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan Islam selama 3 hari lamanya, yang akhirnya menghasilkan keputusan bersama umat Islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat Islam sepeninggal Muhammad SAW. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun 632 M sejak kematian Muhammad SAW hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu Bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab, hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Byzantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun. Dalam masa sesingkat itu terjadi masalah dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Oleh karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Kekuasaan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Jazirah Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.

Umar Bin Khattab
Pada zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh ke wilayah kekuasaan Islam tahun 635 M. Setahun kemudian, setelah tentara Byzantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya, Umar mulai mengatur dan menertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijriyah.

Utsman Bin Affan
Pada masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Pemerintahan Utsman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Selain itu, seorang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk Islam membuat hasutan dan fitnah kepada masyarakat Islam untuk menjatuhkan Utsman bin Affan. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/655 M, Utsman bin Affan dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijakannya mengangkat anggota keluarganya untuk menjabat posisi strategis. Kondisi itulah yang dimanfaatkan Abdullah bin Saba’ untuk menebar fitnah dan hasutan kepada masyarakat untuk menjatuhkan Utsman, dan pada akhirnya Utsman bin Affan terbunuh oleh orang-orang yang termakan hasutan Abdullah bin Saba'. Meskipun begitu Utsman tercatat berjasa dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Pada masa pemerintahannya tercatat Utsman banyak membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabawi di Madinah.

Ali bin Abi Thalib
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Dapat dikatakan, masa pemerintahan Ali adalah yang paling tidak stabil diantara para Khulafaur Rasyidin lainnya. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah pelik yang bergejolak di dalam negeri sehingga memaksa khalifah Ali untuk menghabiskan waktu dan usahanya meredam pergolakan tersebut.
Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali enggan memberi hukuman dikarenakan ia enggan adanya peperangan sesama umat Islam. Dia lalu mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak, akibat tidak ada kata sepakat maka pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Peperangan ini dimenangkan pihak Ali, sedangkan dari pihak Aisyah, dua sahabat Nabi, Zubair dan Thalhah harus meregang nyawa. Aisyah kemudian ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

Bersamaan dengan itu, ada beberapa kebijakan khalifah Ali yang mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi karena merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan oleh khalifah Ali. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan munculnya golongan ketiga, kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik besar yang mengguncang kekhalifahan Ali, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (661 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.

Post a Comment