Sore itu wajah Nisa keruh.
Tas yang dibawanya dibanting di atas kasur. Sebagian buku bahkan ada yang terlontar jatuh ke lantai. Ia tidak peduli. Yang penting puas melampiaskan kekesalan terhadap kejadian di jam terakhir tadi.
Sangat tergambar dengan jelas dalam diri gadis kelas XI MIPA 6 kejadian tadi siang, tatkala ia menjadi pemrasaran acara diskusi kelompok. Betapa Agung, anak pindahan bari membuat dirinya kesal.
"Saya bertanya, mengapa dalam proses integral tiba-tiba memunculkan differensial dari sin x, setahu saya untuk arah integral itu dinisbatkan kepada posisi delta pada sumbu X." komentar Agung kepada kelompok yang dipimpinnya.
"Dalam proses boleh saja kita mengambil pemisalan. Dengan substitusi kita bisa lakukan itu." jelas Nisa dengan entengnya.
"Ya, tapi maksudnya kalau delta pada sumbu X terbayang, tetapi kalau dalam sin X, apa yang kita bayangkan sebagai bentuk delta? Atau katakanlah limit delta dengan notasi de-sin X tadi! Apanya?"
"Saya katakan, itu hanya algoritma untuk menyederhanakan proses!"

"Tidak bisa!" kata Agung sambil bangkit dari duduk kemudian berdiri.


"Bisa!"
"Tidak bisa! Tetap harus ada ekspresi geometrisnya!"
"Tidak selalu!"
"Apakah saudara ketua tak pernah membayangkan jika sumbu vertikalnya sumbu Y, tetapi sumbu datarnya adalah sinusoidal! Lucu kan!"
"Bukan itu maksudnya!" jawab Nisa dengan wajah yang mulai memerah menahan kesal.
"Lah iya, lalu penjelasan anda, sebagai ketua kelompok, atau penjelasan anggota kelompok lain bagaimana? Itu yang saya minta! Penjelasan! Sekali lagi penjelasan!"
"Anda paham analogi dasar integral x dengan mengganti x-nya dengan bentuk apapun? Dia selalu akan selalu menghasilkan setengah x kuadrat ditambah konstanta C sembarang."
"Anda tidak menjelaskan pertanyaan saya! Bukan itu yang saya maksud!"
"Ya sudah kalau begitu, nanti kita minta penjelasan dari Pak Guru!" kata Nisa sedikit mereda.
"Tidak bisa!" tiba-tiba Agung menolak jawaban Nisa.
"Maksudnya apa?!" kini suara Nisa meninggi kembali demi melihat Agung ngotot.
"Ini diskusi kita! Diskusi siswa! Bilang saja kalian tidak bisa menjawab, gunakan aturan ilmiah, etika diskusi. Break dulu, minta diskusi sesama anggota ... atau apa lah yang elegan!"
"Kamu menggurui saya!!" tiba-tiba gadis itu berteriak sambil menunjuk ke arah Agung.
"Hmh!"
"Ingat Gung! Kamu anak baru di sini, ingat... anak baru! Anak pindahan!" kata gadis itu sambil menggebrak meja di depan anak laki-laki itu.
"Anak pindahan haknya sama Nur!"
"Jangan panggil aku Nur! Nisa tahu!"
"Apa salahnya?"
"Sudah Nis.... Niiis... sabar..... " Fida yang berdiri di dekatnya memegang pundak Nisa yang masih tampak emosi.
Semua yang melihat kaget bukan kepalang. Tak terbayang sama sekali bahwa diskusi akan berubah menjadi suasana yang sangat panas. Dan tentu saja suasana ilmiah menjadi hilang seketika.
Melihat keadaan yang tiba-tiba menjadi tidak kondisif tadi, guru menengahi. Meredakan ketegangan yang terjadi, hingga akhirnya mengajak seluruh siswa untuk istighfar.
Astaghfirullahal a'dziiiim!
Nisa tertelungkup di bantal. Gadis itu menangis. Ia tidak habis pikir mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu marah. Ini adalah marah pertama yang ia rasakan dalam hidupnya. Dan yang lebih tak percaya lagi, ia sampai menggebrak meja di forum diskusi.
Perlahan gadis itu duduk. Disekanya air mata dengan punggung tangannya. Perlahan ia pandangi kedua telapak tangannya.
"Astaghfirullah ... ya Allah ampuni hamba. Tangan ini ya Allah .... betapa selama ini tak pernah terbayang hamba akan menggunakan tangan ini untuk mencubit, memukul atau menyakiti orang lain. Tapi kali ini ya Allah...... hamba malu ya Allah, mungkin teman lain tak menyangka aku bakal sekeras tadi. Jangankan teman hamba ya Allah, hamba sendiri juga heran. Menggebrak meja .. ya menggebrak meja? Ini bukan sifat Nisa ya Allah ... Nisa tidak sekasar ini ya Allaaaah....ataukah ini Nur? Yang tadi disebut Agung di kelas?"
Agung, Agung Wijanarko..... perlaham gadis itu berguman. Kamu yang mengubah hidupku! Bibir Nisa itu terkatub. Ia mencoba mencoba menahan gejolak kemarahan yang kadang sulit untuk diredam. Ia pejamkan mata. Wajahnya tengadah. Gadis itu menarik nafas dalam, hingga lama, kemudian perlahan ia hembuskan. Ia lakukan itu berulang-ulang.
Setelah beberapa jenak, detak jantungnya semakin tertata. Gadis itu berdiri perlahan. Ia berdiri di depan cermin lemari. Ia tatapi bayangan wajahnya hingga lama. Perlahan ia gelengkan kepala. Bibirnya kembali mengucap istighfar.
Aku Nisa ya Allah .... jangan Kau ubah diriku seperti tadi siang. Aamiin.

                                                                          ***

Memasuki gerbang sekolah Nisa gelisah.
Di kelas itu tentu ia bakal bertemu dengan Agung lagi. Dalam hati ia berharap anak itu tidak masuk, ijin, dispensasi, atau apalah. Kalau perlu pindah sekolah lagi, pikirnya.
"Nur!"
"Ya Allah ya Rabb! Astaghfirullaaah....." gadis itu berjingkat kaget demi mendengar ada suara di sampingnya. Ia menoleh. Agung. Wajah gadis itu memerah. Rasa kesalnya kini muncul, bahkan naik ke ubun-ubun.
"Nur..."
"Siapa Nur?"
"Maafkan atas kejadian kemarin."
"Hmh."
"Maafkan aku ya Nur ..."
"Aku Nisa!"
"Annisa Ainuurahma. Nur.... Apa salahnya?"
"Kamu selalu mendebat orang!"
"Iya maafkan aku."
"Hmh...!"
"Maafkan aku Nisa ... Nisa ... bukan Nur!"
"Hmh."
Nisa bergegas mempercepat langkah meninggalkan Agung yang akhirnya berhenti. Anak laki-laki menggeleng-gelengkan kepala kemudian menggaruk-garuknya. Sementara itu Nisa bahkan setengah berlari menuju kelasnya. Gadis itu merasakan hari ini ketidaknyamanan dalam belajar mulai dirasakan.
Jam istirahat. Kantin sekolah.
Beberapa saat Nisa masih memegangi sendok diputar-putar dengan jarinya. Fida, sahabatnya, yang duduk di depannya berhenti mengunyah ramen. Dengan mengernyitkan dahi ia menyentuh mangkok Nisa dengan sendoknya.
Ting!
Nisa kaget. Fida menggeleng. Ditatapnya sahabantnya itu hingga beberapa saat.
"Kamu sakit Nis?"
"Nggak... nggak....."
"Makan tuh! Dingin! Buruan."
"Iii...iya...."
Melihat hal itu Fida kembali menggeleng, kemudian ia sendiri memulai lagi menyuapkan ramen perlahan.
"Ada apa sebenarnya Nis?"
"Nooooh .... Tuh anak itu bikin sebel semalaman!" kata Nisa sambil menunjuk ke arah lapak baso Mang Ojak. Fida mengikuti arah yang ditunjuk.
"Agung? Agung atau Dani?"
"Anak pindahan itu."
"Agung? Kamu masih marah pada dia?"
"Bikin gerah saja anak itu Fid!"
"Ahaha! Itu kemarin acara ilmiah Nis! Benar Agung... gunakan etika ilmiah."
"Eiiih kamu bela dia Fid?"
"Iya laaah ... hehee.... Heheee....."
"Apa haha-hehe?"
"Ganteng sih!" kata Fida sambil tertawa lepas. Nisa cemberut.
"Uuuuh! Ganteng apaan! Kegantengan iya!"
"Kamu kaya dendam gitu Nis?"
"Aku pengen pindah kelas saja!"
"Haha! Nggak diijinin sama kurikulum! Ngrepoton saja! Alasannya nggak logis!"
"Habisnya bagaimana?"
"Kalau pindah sekolah malah diijinin."
"Iiiiihhhh Fidaaa! Kamu suruh aku pindah sekolah?"
"Heheee... ya enggak lah! Maksudnya kenapa mesti harus berfikir sejauh itu? Biasanya sahabatku ini orangnya tenang, menghadapi masalah juga tenang, berfikir bening, menyampaikan pendapat dan sanggahan juga runtut, enak didengar. Beda dengan kasus kemarin wuah! Kenapa Annisa Ainurrahma-nya hilang? Bahkan aku kemarin sambil pegang pulpen sampai mencelat jatuh lho Nis!"
"Astaghfirullah! Benarkah Fid?"
"Benar. Aku kaget benar. Kemarin aku mau ngomong ke kamu, eh kamunya keburu lari pulang."
"Gondok Fid, nggak ketahan!"
"Sekarang biasa saja. Woles.... jangan sampai kedatangan Agung jadi malapetaka buatmu. Jangan sampai orang yang nggak ada sangkut pautnya denganmu malah berpengaruh ke prestasi kamu. Kamu mau prestasimu jeblok Nis?"
"Ya nggak mau laaah..... hahaaa!"
"Lho? Kenapa tertawa?" kini Fida yang kaget melihat Nisa tertawa.
"Kamu seperti ibu-ibu Fiiiid! Ibu-ibu lagi nasehatin anaknya!"
"Ah kamu Nis! Dinasehatin malah ngetawain!"
"Terimakasih nasehatnya Bu Fida."
"Naaah gitu Nak Nisa!"
"Tapi aku janji Bu ..... jangan salahkan kalau Nisa tetap cuekin Agung."
"Hatimu terbuat dari apa sih Nis? Batu?"
"Dari pualam Bu!"
"Aiiisss! Sudahlah sudah .... Terserah kamu lah Nak! Ibu nggak ikut campur kalau ada apa-apa."
"Terimakasih Bu ..... ibu yang bayarin ramen ya Bu!"
"Iiiih manggil Ibu, tahunya modus!"
"Ya iyalah ... mana lucu kalau anaknya yang mbayarin!"
"Awas kamu Nis!"
Apa yang menjadi ucapan Nisa tampaknya bukan main-main. Ketika kenaikan kelas ke kelas XII, Nisa masih menutup diri terhadap Agung yang selalu berusaha mendekat. Akhirnya selama kelas XII anak laki-laki tampak tak intens lagi untuk berbaik-baik dengan Nisa.

Suatu kali tanpa disengaja, usai pelajaran pukul setengah empat sore gadis itu menjalankan shalat 'Ashar di masjid sekolah. Usai shalat di lantai dua khusus untuk akhawat, secara tak sengaja ia melihat ke bawah. Agung ada di sana.  Anak laki-laki terpekur dekat mihrab. Nisa menggeser duduknya perlahan dekat jeruji, ia berjingkat berdiri mengamati Agung dari situ. 

Lama Agung terpekur.
Beberapa kali Nisa melihat anak itu menghela nafas, menunduk dalam. Gadis itu menggelengkan kepala. Apa saja yang dipinta anak itu dalam doanya? Pikir Nisa. Perlahan gadis itu bangkit dari duduknya, membereskan mukena kemudian bergegas menuruni tangga. Ketika sampai di lantai bawah, ia sempatkan menengok ke dalam. Agung masih terpekur.
Nisa terhenyak ketika tiba-tba hatinya berdebar. Ada apa? Ada keinginan kuat untuk sekali lagi menoleh ke arah Agung. Agung masih duduk bersimpuh. Belum beranjak.
Ya Allaaaah ...... apa yang Engkau kirimkan ke dalam hatiku ya Allah? Gumam gadis itu seraya bergegas meninggalkan halaman masjid melintasi lapangan olah raga.
***
Mei 2018. Happy Smansa Majalengka Graduation 2018.
Hari perpisahan. Para siswa dengan baju resmi, stelan jas berdasi untuk alumnus laki-laki, dan baju daerah untuk alumnus putri. Keceriaan sangat tampak di wajah-wajah mereka. Inilah masa SMA, masa yang terindah bagi mereka. Masa persekolahan di mana mereka masih dididik oleh para guru dengan nasehat-nasehat yang mengalir bak sungai tanpa henti. Masa-masa menjelang pelesatan inner-potential, peralihan dari dari masa-masa cenderung pasif dalam interaksi, menuju masa-masa mandiri secara psikis.
Masa SMA adalah masa yang tak terlupakan. Banyak kisah, baik pribadi maupun dalam kebersamaan. Dinamika interaksi yang sangat humanistis ala anak-anak , biarpun secara fisik sudah dewasa, namun uniform putih abu-abu, akan tetap membawa makna anak-anak.
Ada friksi, konflik dan penyelesaian, belajar bersama, belajar saling membantu, belajar membangun empati terhadap keterbatasan teman, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar menggali potensi, belajar mandiri, belajar berkolaborasi dalam perbedaan potensi. Memupuk dedikasi, membangun karater diri dengan pertemanan, dengan persahabatan, baik sahabat yang akhirnya menjadi sahabat sementara, maupun yang akan tetap terjaga menjadi sahabat sejati sampai kapanpun.
Simpati, iba, rasa kekaguman, rasa cemburu, rasa cinta juga menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak terucapkan karena ketidak beranian, cinta yang bersambut, cinta yang gagal, cinta yang memberikan pengalaman untuk memahami karakter di masa muda. Banyak pelajaran yang diambil dari pengalaman cinta.
Kekaguman terhadap teman yang berprestasi, kekaguman terhadap teman yang selalu berusaha walaupun gagal berkali-kali, kekaguman terhadap teman yang selalu mau berbagi, kekaguman terhadap teman yang selalu membuka ruang untuk menerima curahan isi hati.
Kekaguman terhadap para guru. Kekaguman terhadap guru yang lucu, kekaguman terhadap guru yang rajin dan santun, kekaguman terhadap guru yang menginspirasi, kekaguman terhadap guru yang kreatif, kekaguman terhadap guru yang tangguh yang selalu mengerti kondisi para siswa, kekaguman terhadap guru yang memahami potensi dan bakat yang dimiliki, kekaguman terhadap guru yang tak pernah menunjukkan rasa lelah, kekaguman terhadap guru yang tak pernah marah, kekaguman terhadap guru yang mampu menjadi sahabat para siswanya.
Siapa yang memiliki kekaguman itu? Tentu, si putih abu-abu. Semua ada di SMA Negeri 1 Majalengka, sekolah yang telah tiga tahun menjadi tempat bermain, menjadi almamater atau ibu asuh yang akan selalu mencintai dan mendoakan para alumninya.
Hari itu aula sekolah benar-benar menjadi tempat terakhir menyampaikan banyak ucapan dengan berbagai ragam tendensi. Ada tangis karena harus berpisah dengan sahabat, ada yang bertaruh untuk dulu-duluan menjadi orang sukses. Apa saja dilakukan untuk memberikan sesuatu yang bermakna di akhir masa sekolah. Masa SMA. Masa yang tak akan terulang lagi sampai kapanpun.
Kebahagianpun hari ini menjadi milik Nisa, sebab menjadi salah satu calon mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN jalur undangan. Matematika Unsoed Purwokerto. Ya, sebuah perguruan tinggi yang telah lama diimpikannya.
Di tengah acara berlangsung, Fida berbisik ke arah Nisa.
"Nis .... barusan aku dapat japri dari Agung, dia pengen ketemu kamu terakhir kali. Niih bacaaa..." kata Fida sambil berbisik kepada Nisa yang duduk di sampingnya.
"Datang sendiri kenapa sih? Napa harus nitip pesan."
"Dia sudah menyerah Nis ... sudah lelah. Kamu pemenangnya."
"Pemenang apaan?"
"Kamu dominan. Benar. Agung sama sekali sampai kehabisan ruang untuk bergerak. Untuk bicara sama kamu saja tampaknya ia sudah takut. Buktinya? Ia minta bantuan aku."
"Hmh...."
"Kamu puas Nis? Kamu puas melihat Agung yang dulu tegar dan galak ketika diskusi, sekarang tak ada keberanian lagi mendekati kamu. Dia hanya sekedar mau ngomong minta maaf dan minta dimaafkan."
"OkOkeee.... boleh, nanti dia boleh temui aku."
"Benarkah Nis? Di mana?"
"Iya benar. Di depan Graha OSIS."
"Serius Nis?"
"Napa nggak lah Fiiid!"
Fida memeluk sahabatnya kencang. Gadis itu memang sangat mengharapkan semua anggota kelasnya kompak, tak ada yang terlibat persaingan atau bahkan permusuhan. Satu masalah ia harapkan akan selesai hari ini.
Sekitar pukul dua Nisa dan Fida sudah menunggu di bangku batu di depan Graha OSIS. Keduanya menunggu kedatangan Agung. Suasana sangat tegang. Fida tampak gelisah. Keduanya banyak diam. Sesekali Fida melihat jam tangannya. Sementara Nisa lebih banyak tertunduk sambil memainkan kuku jemarinya.
Assalaamu'alaikum!
"Wa'alaikumusalam!" yang menjawab keras Fida. Nisa turut menjawab namun perlahan. Gadis itu tampak memerah wajahnya.
"Maaf lama, kalian menunggu...." kata Agung seraya mengambil duduk di depan Fida dan Nisa.
"Iya lama sekali Gung! Kami hampir pulang tadi lho!"
"Maaf... maafkan saya Fid, Nis..."
"To the point, Nisa sudah bersedia ke sini. Mau ngomong sama Nisa? Aku menjauh dulu ya?"
"Fida di sini saja ..... " kata Nisa menyela.
"Yakin nggak ada rahasia?"
"Nggak ada laaah...... terima kasih banget kalian sudah mau menunggu aku." kata Agung dengan wajah ceria.
"Buruan bicara Gung ... Nisa sudah gerah tuuuuh!"
"Nisa, salamat atas suksesnya. Keren! Matematika Unsoed! Selamat ya.... " kata Agung sambil mengulurkan telapak tangan.
Nisa mengatubkan bibir. Desahnya dalam. Gadis itu tak merespon uluran tangan Agung. Fida menggelengkan kepala. Muka Agung memerah. Perlahan tangannya turun.
"Terakhir kali Nisa, Annisa Ainurrahma .... Agung mengaku salah. Bener, demi Allah Agung mengaku salah telah berlaku tidak seharusnya di acara diskusi dulu di kelas XI. Nisa, di saat terakhir kali ini kita bertemu di SMA ini .... Agung minta maaf, bahkan memohon, memohon maaf kepada Nisa ... gadis yang baik hati. Maafkan Agung ....."
Nisa tetap diam. Bibirnya terkatub rapat. Wajahnya tegang.
"Niiis....!" Fida yang tak tahan dengan diamnya Nisa.
"Sekali ini Nisa ...." kembali Agung berkata,kini dengan suara pelan.
Hingga beberapa lama Nisa diam. Fida yang di sampingnya ikut kesal melihat sikap Nisa. Agung berkali-kali menggaruk-garuk kepalanya kahabisan akal.
"Mmmh.... Oke! Oke.... rupanya hari ini bukan hari baik untuk ishlah. Fida sahabatku, Fida jadi saksi ya. Mau ya Fid?"
"Iyah."
"Nisa.... ingat, agung meminta maaf, Agung ingin mendengar kata maaf dari Nisa. Tapi kalau tidak, ya sudah, tak jadi soal. Nisa, catat, sampai kapanpun, di mana ada kesempatan kita bertemu lagi, Agung akan tetap berharap kata maaf dari Nisa. Bahkan walau sampai aku jadi kakek-kakek Nisa ...... Assalaamu'alaikum!"
Setelah mengucap salam Agung bergegas cepat meninggalkan Fida dan Nisa. Beberapa saat Agung sudah hilang dari pandangan berbelok ke arah pintu keluar dekat Aula.
Fida menoleh ke arah Nisa. Kedua pundak Nisa ia pegang. Mata Nisa ia tatap tajam.
"Nisa..... hati kamu terbuat dari apa hah? Kamu terlalu Nisaaa!" kata Fida seraya mengguncang-guncang tubuh Nisa.
"Fid!"
"Nisa, nama Nisa akan menjadi catatan tersediri bagi Agung. Agung tak bakal melupakan keegoisanmu selama hidupnya.... paham kamu Nis?"
"Aku nggak tahu Fidaaaaa..... Fiiiid...... hkhh....hk....."
Tiba-tiba Nisa menangis terisak, kemudian memeluk tubuh sahabatnya. Fida mendekapnya. Kepala Nisa ia benamkan ke dadanya. Ia membiarkan gadis terisak itu menumpahkan perasaanya.
Seminggu sejak kejadian itu ada satu hal yang sangat disayangkan Fida. Namun sebagai sahabat ia tetap menyampaikannya ke Nisa.
"Nisa, aku dapat japri dari Agung. Niiih baca sendiri ........ " kata Fida sambil menyodorkan HP kepada Nisa agar membaca WA dari Agung.
"Fid, ini adalah WA terakhirku. Aku tak lagi memakai nomor yang ini. Maafkan semua kesalahan Agung selama kita kenal dan bersama-sama Fid. Titip kata buat Nisa: Nisa yang cantik, semoga bisa sukses menjadi dosen, sesuai cita-cita. Dosen yang punya hobby membaca novel-novel.... "
Usai membaca WA dari Agung, mata Nisa terasa panas. Air matanya mengembang. Dari mana Agung tahu bahwa cita-cita dosen dan hobbyku membaca novel? Batinnya.
Aguuung..... tak terasa bibirnya mengeja nama itu perlahan.

***

Juli 2024.
Tahun ini adalah tahun kedua Nisa kuliah S2 di ITB Bandung. Sebuah kesempatan yang sangat langka bagi sahabat-sahabat seangkatannya dulu. Setelah lulus S1 Matematika Unsoed Purwokerto tiga tahun yang lalu, kini ia mengakrabi kota Bandung.
Dulu selepas dari Unsoed sebenarnya ia langsung ikut seleksi masuk menjadi mahasiswa ITB, namun waktu itu gagal di skor English Language Proficiency Tes (ELPT)  atau TOEFL. Skore yang ia miliki hanya bebarapa point di bawah passing grade. Sementara untuk skore TPA Bapennas gadis itu memperoleh nilai tinggi, sebab memang ini merupakan tes yang mengekspresikan kecerdasan bawaan. Beda dengan TOEFL, materi harus dipelajari secara intensif.
Barulah setahun kemudian setelah ia mempersiapkan diri memperdalam  materi untuk ELPT, ia mendaftarkan lagi. Berbekal rekomenasi dari dosen Unsoed yang dulu pernah menjadi dosen wali dan pembimbing skripsi, akhirnya ia mampu menembus program magister matematika ITB .
Ting!
WA masuk. Nisa tergagap. Dengan serta merta ia membuka HP-nya. Pak Widayat! Gumamnya. Laki-laki yang disebut adalah asisten doktor Wahidin pembimbing tesisnya.
"Nisa ada informasi penting tentang National Conference di Graha Bagaskara. Kita ngobrol langsung."
"Iya Pak, siap. Saya datang."
Beberapa saat kemudian Nisa sudah duduk di hadapan Pak Widayat.
"Mmm.... Nis, sudah ada e-mail dari panitia konferensi?"
"Belum Pak, kalau menurut informasi nanti malam sekitar pukul dua puluh dua."
"Selamat Nisa!" tiba-tiba Pak Widayat mengulurkan tangan.
"Ada apa Pak?" sambil tak urung gadis itu mengulurkan tangan menerima salaman.
"Bapak malah sudah dapat berita, makalahmu lolos uji!"
"Bener Pak?"
"Iya."
"Aduuuhhh..... Bapak, terima kasih atas bimbingannya, juga atas bimbingan Pak Doktor."
"Tapi yakinkan dulu, lihat di e-mailmu, mudah-mudahan jawaban sudah ada."
"Iya Pak, alhamdulillaaah mudah-mudahan segera ada informasi di saya. Akhirnya harapan saya terkabul, presentasi di Malang .... Oh Malang."
"Jangan lupa, persiapkan segalanya. Mudah-mudahan tanggal 19 hingga 21 Oktober bisa menjadi hari yang bersejarah buat kamu."
"Iya Pak, tentu, tentu."
"Kamu kelihatan bahagia banget Nisa?"
"Iya Pak. Harus."
"Kelompok lain mau berangkat tanggal 17-nya. Kita berangkat tanggal 18 saja."
"Iya Pak bisa."
"Nanti bapak belikan tiket pesawatnya sekalian." kata Pak Widayat sambil tersenyum.
"Och.... mmmhh .... jangan Pak. Jangan ngrepotin."
"Enggak apa-apa Nisa."
"Emh benar Pak, nggak usah saja terima kasih. Kebetulan saya punya saudara di Malang, nanti juga akan dijemput."
"Aduh Nisa, aku sudah booking tiket lho...."
"Aduh Bapaaaak..... gimana ya?"
"Ya sudah gimana nanti saya ya Nis. Tapi bapak berharap kita bisa berdua satu pesawat Nis lho...."
"Emh iya.... maafkan Nisa Pak..."
Hari itu benar Nisa bingung. Pak Widayat adalah dosen muda. Lajang. Nisa tahu dan merasakan gelagat bahwa dosen itu memiliki perhatian khusus terhadap dirinya. Namun ia sama sekali tak berfikir jauh tentang dosen muda itu, walaupun secara intens bertemu dalam urusan bimbingan tesis.
Aaaah..... tak tahulah. Pupus Nisa sambil meninggalkan kampus.
***

Malam pukul 21.03
Setelah merevisi beberapa bagian tesis, gadis itu membuka laptop. Tak ada yang diharapkan selain malam ini ada informasi dari panitia National Conference & Workshop On Mathematics Analisys (NCWOMA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Magister Matematika Indonesia.
Beberapa saat kemudian yang ditunggu muncul. Ada notifikasi pada emailnya. Dengan penuh semangat gadis itu membuka email terbaru. Apa yang diharapkan datang. Surat pernyataan penerimaan makalah bahan presentasi dan jawal kegiatan ada di sana. Segera ia mengunduh file-file ekstensi PDF, kemudian mengeprint-nya.
Dengan bersandar pada punggung kursi, ia membaca daftar acara presentasi. Betapa bangganya hati gadis itu demi melihat namanya berjajar dengan mahasiswa, dosen dan pakar matematika dalam acara tersebut.
Ups! Mendadak gadis itu terhenyak, kemudian menata duduknya. Ia kembali menyusuri nama-nama peserta dan pembicara yang ada di sana.
Agung Wijanarko, M.Si. Agung? Dari Unversitas Nasional Semarang? Mungkinkah ini Agung yang ia kenal dulu? Batinnya.
Namanya benar. Ia mendesah, jika benar itu Agung berarti ia sudah lulus tahun lalu. Namun ia langsung ingat bahwa dirinya pernah terhenti satu tahun ketika gagal menembus S2 di tahun pertama.
***
Food-court. Graha Bagaskara Malang.
Pagi pukul sepuluh Nisa bersama rekan-rekannya dari Bandung datang ke lokasi konferensi. Menunggu acara pembukaan mereka ngobrol tentang berbagai persiapan konferensi sambil menikmati makanan ringan.
Sementara itu Nisa memisahkan diri dari teman-temannya sebab ia lupa men-charge batere laptopnya.  Setelah minta ijin kepada pemilik, ia memilih meja di bagian pinggir yang masih kosong. Sambil batere di-charge,ia membuka laptopnya.
"Assalamu;alaikum!" ada seseorang yang datang.
"Wa'alaikumussalam."
"Maaf boleh duduk di sini?"
"Silakan .... "
"Nisa?"
"Och...." Nisa terhenyak demi mendengar orang yang baru datang menyebut namanya. Ia memperhatikan dengan seksama.
"Nisa? Benar ini Nisa dari ITB?"
"Iii... iya benar Mas." Kata Nisa dengan panggilan Mas sebab ini sedang di Jawa Timur.
"Kenalkan ..... " kata orang yang baru datang mengulrkan tangan. Nisa yang masih bingung dengan sikap orang itu terpaksa menerima uluran tangannya.
"Emmm iya... saya Nisa."
"Saya anak pindahan!"
"Maksudnya?"
"Waktu SMA saya anak pindahan ......"
"Oooh......"
"Nisa lupa sama saya?"
"Siapa ya?"
"Hmh..... Nisa tak berubah. Mungkin saya yang terlalu banyak berubah. Saya anak pindahan, anak yang tak pernah mendapat maaf dari Nisa."
Mendengar kalimat itu Nisa terhenyak. Ia kaget. Ia pandangi mata orang yang di depannya. Dari sinar matanya gadis itu merasakan pernah mengenal tatap mata itu. Bibir Nisa bergetar.
"Nisa masih ingat suara saya?"
"Aaaa...... Aaaa...."
"Agung, Ya saya Agung."
"Agung? Agung, Agung  yang sekelas denganku?"
"Iya Nisaaa... ini Agung..."
"Oooochhh... Aggung ..... aku, aku ... pangling Mas, eh Gung......"
"Apanya yang bikin pangling?"
"Berewok, cambang ini ya Allah ...." kata Nisa sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya hingga beberapa lama. Laki-laki di depannya tersenyum.
"Nisa....." 
"Ahhh..... benarkan ini Agung?" tanya Nisa setelah menurunkan telapak tangan dari wajahnya, Senyumnya tak bisa disembunyikan.
"Yakinlah Nisa, ini Agung ..... Nisa apa kabarnya?"
"Aaah .... baik , kabar Baik ..... Aku tak menyangka bisa ketemu di sini." kata Nisa seraya masih tetap tak percaya dengan menatap Agung.
"Aku juga Nis , ketika melihat jadwal konferensi, aku baca nama Annisa Ainurrahma ITB, aku harap itu adalah sabahat terbaikku di SMA."
"Nyindir ya Mas, eh Gung?"
"Ya enggak, seingatku selama kita diam-diaman dua tahun, Nisa anak yang baik. Diam itu emas."
"Aaah norak! Mas, eh Gung, dulu itu sebenanya  pas dapat jadwal dari panitia, aku sudah curiga jangan-jangan presenter yang satu ini Agung yang dulu itu."
"Hehee... syukurlah Nisa sudah menduga-duga, emmmh .... Nisa, tadi di awal Nisa panggil aku pakai Mas kan?"
"Iya, kebawa hawa Jawa Timur sih, maafkan saya salah memanggil."
"Eh nggk kok! Malah Agung rasa kedengarannya enak, nyaman di telingan gitu hehehe..."
"Mas Agung? Hehe... lucu ah!"
"Biar lah, da Agung mah sekarang sudah norolong tua. Berewokan, jadi panggil saja Mas ya Nis?"
"Serius nih?"
"Serius Nisa, kapan Agung tidak serius?"
"Ahhh... tapi lucu sih!"
"Aku lama di Semarang. Rasanya telinga ini sudah akrab dengan Mas-masnya. Dan Nisa kuliah S1-nya di Unsoed Purwokerto. Di sana banyak Mas-nya. Banyu saja dari Mas, Banyumas."
"Tahu dari mana aku kuliah di Unsoed?"
"Agung selalu tahu tentang Nisa ... "
"Kenapa?"
"Takut kehilangan jejak."
"Aaaah....!"
Hari itu bagi Nisa adalah hari yang aneh.
Sore hari, usai acara hari pertama Agung mengajak Nisa duduk di food-court lagi. Ia tak tahu mengapa dengan mudahnya ia menuruti ajakan Agung. Beda dengan dulu ketika SMA.
"Nisa hebat, sekarang di ITB-nya hampir selesai?"
"Iya Mas, tinggal tesis. Sedikit lagi."
"Mudah-mudahan lancar sidangnya."
"Sudah sidang kok!  Insya Allah akhir bulan ini revisi selesai, awal bulan depan wisuda."
"Wah ... selamat dong kalau begitu."
"Terima kasih  Gung, eh Mas. Eh, Mas Agung  sudah lulus kan? Sudah punya gelar magister."
"Bukan lulus lagi, bahkan aku sudah menjadi pengajar di almamaterku."
"Di Universitas Nasional?"
"Iya. Tahu apa arti yang tersirat?"
"Nggak tahu."
"Maaf, artinya aku berhasil mendahului Nisa mengejar cita-cita jadi dosen. Hehee.... dosen yang suka baca novel!"
"Emang dari mana tahu cita-citaku?"
"Laaaah ... kan dulu waktu awal presentasi di slide juga dipampangkan biodata penyaji."
"Ah Mas mah curang, hal kecil saja diingat-ingat."
"Ya Allah Nisa, cita-cita itu bukan hal kecil. Hal utama yang bakal melecut semangat kita dalam belajar. Emmm..... oh iya, ngomong-ngomong judul makalah yang mau ditampilkan apa? Tentang Jalan Acak?"
"Iya, On Scaling Limit of Leisure Random Walk."
"Keren judulnya. Kayaknya masalahnya rumit. Bakal banyak pertanyaan. Ingat ya Nis, nanti aku jadi peserta di ruanganmu lho!"
"Kenapa emangnya?"
"Aku boleh bertanya di forum nggak?"
"Tanyalah sesukanya."
"Nggak takut berantem kaya dulu lagi?"
"Nggak lah. Dulu di SMA itu kan Nisa kecil, sekarang beda. Tapi kalau ada yang mau menjatuhkan aku di forum ya aku ladenin kok!"
"Uiiih ..... galaknya mulai muncul lagi."
"Jangan mengejekku Mas."
"Eh maaf, bukan mengejek, begitu seharusnya gaya ilmiah. Apapun pertanyaannya, aku ladenin!  Tapi nggak akan nggebrak meja lagi kan?"
"Paling nggebraknya entar di luar forum hihihi......"
Mendengar jawaban Nisa, Agung tertawa. Wajahnya tampak ceria. Nisa mengernyitkan dahi.
"Kenapa tertawa?"
"Ini tawa bahagia Nis. Seandainya dari dulu Nisa kaya gini, penuh humor..... penuh tawa .... mmh.... betapa..... emmh..."
"Emmh kanapa?" tanya Nisa sambil menatap tajam mata Agung.
"Enggak.... Ngg...nggak apa-apa..." kata Agung serak hampir tak terdengar. Kemudian pemuda itu mengatubkan bibir sambil menggeleng.
Ketika Agung menggeleng, Nisa kaget. Ia melihat mata Agung tampak berkaca-kaca. Bahkan untuk beberapa jenak Agung berbalik, ia tampak seperti sedang menenangkan diri. Hingga akhirnya Agung kembali menghadap dirinya.
"Nisa, malam ini aku ada acara di sesi lain. Sebenarnya aku pengen ngobrol banyak. Tapi ya bagaimana lagi. Sampai jumpa besok ya, di acara presentasi Bu Annisa Ainurrahma,  calon dosen. Ingat, usai penutupan aku juga pengen ngobrol lagi ..... mau ya?"
"Iyah...."
"Aku panggil dengan Nur, boleh?"
"Bebas."
"Nggak marah kayak dulu?"
"Apa salahnya?"
"Naah itu kalimatku dulu Nis!"
"Iya bener, dulu pas marahan di kelas kalimat itu muncul."
"Tapi aku suka panggil Nisa, Annisa."
"Boleh....."
"Terima kasih Annisa Ainurrahma ....."
Nisa hanya tersenyum mendengar Agung menyebut nama lengkapnya. Melihat Nisa tersenyum, Agung tertegun. Nisa masih mempertahankan senyumnya.

"Masya Allaaah........ " kata Agung sambil menggeleng, kemudian menutup wajah dengan kedua tangannya hingga beberapa saat.
"Kenapa?"
"Allah menciptakan debaran hati Agung." kata Agung seraya menurunkan telapak tangan dari wajahnya.
"Nggak ngerti...."
"Senyummu Nisa.... Masya Allaaaahh......"
                                                                              ***
Sepeninggal Agung Nisa buru-buru menghubungi Fida sahabatnya yang kini kuliah di Undip Semarang. Tak berapa lama yang dihubungi menjawab.
"Tumben menelpon, katanya sibuk acara di Malang Nis!"
"Justru ini sangat penting untuk kamu."
"Untuk aku?"
"Nggak bukan untuk kamu Fid, tapi maksudku, kamu perlu tahu,"
"Ada apa sih?"
"Ada laki-laki brewok, dia pemrasaran di acara konferensi."
"Hialaaaah! Norak kamu Nis! Kirain apa. Yang pemrasaran di konferensi ya macam-macam, brewok, klimis, gondrong... kerenpeng aaaah macam-macam!""
"Bukan norak, laki-laki itu dosen Un-Nas Semarang, dosen muda. Tadi pagi dan baru saja, dia ngajak aku ngobrol. Dan aku nggak bisa menolak untuk menemanainya ngobrol Fid."
"Itu namanya cinlok!"
"Fida ... dengar.... dengar.... dia itu Agung, Agung Wijanarko."
"Agung teman sekelas kita?"
"Iya Fid!:
"Astaghfirullaaaah Niiiis! Agung musuhmu itu ...."
"Nggak tahu Fid, nggak tahu musuh atau apa, tapi yang jelas mulai tadi pagi seperti tersihir aku memanggil dia dengan sebutan Mas. Mas Agung."
"What?!"
"Hehe iya swear! Sebab dia lama di Semarang, dan akupun di Purwokerto dulu terbiasa memanggil teman-teman laki-laki dengan sebutan Mas."
"Hihihi... terserah kamu lah Nis. Eh Nis, Agung bilang minta maaf lagi nggak?"
"Enggak."
"Kamu sih kayaknya sudah memaafkan dari sikapmu."
Banyak curhatan Nisa tentang Agung. Fida sebagai sahabatnya hingga saat ini selalu dapat menjadi tempat mencurahkan unek-uneknya.

***

Sore hari seluruh peserta dan pemrasaran menerima sertifikat.
Membaca nama dirinya tertulis dalam sertifikat, ada kebanggan tersendiri. Namun bagi Nisa, ada sebuah kesan tersendiri di kota Malang selama tiga hari itu. Kehadiran Agung. Ia sama sekali tak merasakan apa yang ia rasakan terhadap Agung dulu. Tak ada perasaan kesal atau sejenisnya. Ia merasa Agung seperti sahabat lama.
"Nisa masih tinggal di jalan Siti Armilah bersama ayah ibu?"
"Alhamdulillah masih, itu tanah tumpah darahku hehehee...."
"Nisa sekarang pasti pinter masak ya? Dan kayaknya penggemar mangga."
"Apa sih Mas,? Nggak ngerti maksudnya."
Agung menyodorkan tabulet yang dipegangnya. Nisa melihat ada tayangan video. Tiba-tiba matanya terbelalak manakala ia melihat lokasinya ada di pasar Balong.
"Pasar Balong?" Nisa bertanya tak percaya.
"Iya...... lihat siapa yang pakai baju pink. Nah yang turun dari motor noooh ......" kata Agung sambil mempercerah layar. Nisa semakin kaget.
"Ini..... ini kan ...."
"Ya, itu Nisa."
"Iya, Ini aku sedang belanja sayuran ya? Ya Allaaaah Mas, ini video dari siapa Mas?"
"Aku sendiri yang rekam."
"Ya Allaaaaah.... Mas. Beneran? Berarti ini waktu SMA kan?"
"Iya."
"Mas kok mbuntutin aku sih?"
"Habisnya ngobrol biasa nggak bakal diterima, ya sudah dengan cara gini saja."
"Mas, Mas .... aku nggak nyangka...."
"Nisa, selain video, aku punya banyak foto Nisa pas belanja di Pasar Balong lho!"
"Maksudnya?"
"Biasanya usai jogging pagi hari Minggu, jam setengah tujuh aku tunggu di dekat toko aluminium. Dari tempat itulah aku selalu menunggu kedatangan seorang gadis Siti Armilah yang sering belanja sayur di hari Minggu."
"Aaaahhh..... beneran Mas?"
"Nanti suatu saat, Nisa dapat melihat foto-foto koleksiku."
"Foto tanpa ijin itu?"
"Heheee .... yang aku lihat di pasar adalah alam. Alam yang boleh dinikmati keindahannya oleh siapa saja."
"Aaah bisa saja ngeles. Awas ya lain kali aku lihat foto-foto itu, kalau ada yang norak hapus. Kalau perlu hapus semua!"
"Kalau tidak perlu?"
"Iiih!"
"Nis, maafin aku ya, tapi bagi Agung, suasana pasar ini momen yang paling aku suka. Nisa yang suka belanja, anak SMA yang feminim dengan mengerjakan ciri khas kaum ibu. Aku sungguh suka. Makanya aku yakin, sekarang Nisa pinter masak kan?"
"Mmmm... hehee iya, tapi yaaa ..... dikit-dikit aja."
"Kapan-kapan Agung dimasakin ya Nis?"
"Ngaco!"
"Serius!"
"Ngaco, ngacoo!" kata Nisa sambil tak urung tak bisa menahan tawa.
"Hehee.... ya udahlah ... emmmm Nis, ini ada lagi ada adegan yang lucu Nis..... lihat sebentar lagi..... naaah....... Itu waktu Nisa menerima keresek .... Eh...... naaaahhhh........!"
Ketika tampilan video berikutnya Nisa terpekik.
"Ouchhhh..... ini waktu keresek jebol dan mangganya  bergelundungan ke jalan ya?"
"Iya."
"Astaghfirullah Maaas, kenapa waktu itu nggak nolong, malah memvideo penderitaan orang?"
"Nisa... bagaimana mungkin mau menolong, mendekati Nisa saja sulitnya bukan main."
"Hihihi..."
"Yaaa SMA yang hampa, dua tahun adalah SMA yang hampa ..... yang tak ada kata maaf."
Sampai kata-kata ini Nisa terdiam. Apa yang diduga Fida kemarin mulai mendekati kenyataan. Agung mulai mempersoalkan kata maaf. Wajah Nisa yang semula ceria, sedikit menyusut.
"Nisa ...."
"Hmh...."
"Dulu di SMA Nisa adalah Nisa kecil, sekarang adalah Nisa yang dewasa. Yang sebentar lagi bakal jadi magister. Akankah perasaan  kesal waktu SMA masih mau disimpan sampai sekarang?"
Mendengar pertanyaan Agung demikian, Nisa terdiam. Gadis itu tertunduk. Hingga lama gadis itu memainkan kuku-kuku jemarinya.
"Aku yang seharusnya minta maaf Mas." tiba-tiba gadis itu mengeluarkan kata yang di luar dugaan Agung.
"Nisa? Aku nggak salah dengar?"
"Enggak Mas, Mas Agung nggak salah dengar."
"Kenapa?"
"Dulu Mas Agung menjadi seorang pemberani, berani minta maaf. Aku yang ciut nyali Mas, Mas tahu betapa sesungguhnya aku malu banget waktu itu. Seorang Nisa kecil sampai menggebrak meja. Itu sebuah ekspresi yang sangat tidak menghargai Agung waktu itu. Justru aku yang waktu itu tak punya keberanian untuk minta maaf. Aku merasa kesalahanku lebih besar dibanding Mas Agung. Nisa yang tidak menghormati harga diri Agung dengan menggebrak meja. Itulah Mas.... aku .... aku ..... yang seharusnya minta maaf Mas."
Tertegun Agung mendengar jawaban Nisa demikian. Sebuah jawaban yang sama sekali tak pernah terlintas di benaknya bahwa sebenarnya justru gadis itu yang lebih merasa memiliki rasa bersalah juga.
Kini Nisa tertunduk dalam. Agung diam. Sementara itu dari sudut mata Nisa tampak air mata meleleh menyusuri pipi. Perlahan gadis menyekanya dengan sapu tangan.
"Mas ..... sekarang Nisa yang minta maaf atas kelakuanku dulu."
"Nggak usah Nisa, justru Nisa harus tahu yang sebenarnya."
"Apa Mas?"
"Dulu ketika diskusi memang aku sengaja memancing kemarahan Nisa."
"Och..."
" Dan itu berhasil. Itulah cara Agung agar Nisa selalu mengingat Agung, walaupun mengingat dengan kekesalan. Agung ingin Nisa tidak pernah melewatkan nama Agung dari pikiran Nisa. Hanya cara ekstrim inilah yang waktu itu aku putuskan untuk aku lakukan."
"Kenapa Mas lakukan?"
"Karena aku mengagumi Nisa ... "
"Och.."
"Awal aku pindah ke  SMAN 1 Majalengka. aku suka dengan cara-cara Nisa berdialog dan berdiskusi di kelas. Namun justru ... entah mengapa, rasa kagum tentang sikap, lambat laun ternyata menjadi kagum yang lain. Kagum yang tak terbendung ....."
"Mas...."
"Ketika dulu Nisa menolak perminatan maaf saya, Nisa tahu apa yang aku lakukan kemudian?"
"Nggak tahu Mas."
"Sejak saat itu, nama Nisa selalu Agung sebut dalam setiap akhir shalatku. Tentu bersama doa-doa yang lain. Agung selalu memohon agar Allah selalu menjaga Nisa, dan membuka jalan untuk bertemu Nisa agar memaafkan Agung. Nisa hitung sendiri, berapa lama waktunya? Dua tahun di SMA, empat tahun selama kuliah S1 ditambah S2."
"Tak seharusnya Mas Agung lakukan itu."
"Nisa, lima bulan lalu Agung umroh. Di tempat-tempat mustajabah, Nisa Agung doakan. Nama Nisa selalu Agung sebut. Yang terindah adalah ketika di Roudhoh, taman sorga di masjid Nabawi Madinah."
"Mas..."
"Maafkan Agung."
"Kenapa?"
"Agung telah terlanjur  selalu menyebut nama Annisa Ainurrahma tanpa ijin." kata Agung semakin perlahan.
Kini tak terbendung air mata Nisa.
Gadis itu sama sekali tak menyangka apa yang dilakukan Agung selama ini. Ia bahkan hampir tak pernah menyadari. Kadang dalam keadaan setengah sadar, hatinya tiba-tiba berbebar. Baru kali ia mengkaitkan, jangan-jangan debaran yang kadangkala datang adalah karena doa Agung yang sampai ke 'Arsy.
Ketika beberapa jenak diam, tiba-tiba suara HP Agung berdering. 
"Nisa .... Agung pamit dulu ya. Teman-teman dari bandara sudah memanggil. Besok siang aku sudah harus memberi kuliah di Semarang."
"Iya Mas .... semoga perjalanan Mas dilindungi Allah. Maafkan Nisa Mas....."
"Iya Nisa, yang lalu sudahlah saya ikhlaskan. Maafkan Agung ya, maafkan cara-cara Agung hingga membuat kita seperti tak kenal ketika di SMA."
"Iya, maafkan Nisa juga Mas."
Suara HP bordering lagi. Agung menggeleng.
"Nisa, besok tanggal 22 Oktober kan?"
"Oh iya, iya, besok 22 Oktober. Kenapa?"
" Ada yang berulang tahun. Siapa yang berulang tahun ya?" tanya Agung sambil tersenyum. 
"Och? Mm..mmh...Mas Agung ingat ulang tahun saya?" Nisa kaget.
"Tak ada yang bisa Agung lupakan segala sesuatu yang terkait dengan Nisa."
"Aaah...."
"Tapi sayang saat ini Agung nggak bisa ngasih hadiah."
"Nggak usah repot."
"Tapi aku akan tetap ngasih hadiah, ngasih hadiahnya nanti malam."
"Nanti malam? Bukannya di Semarang?"
"Iya, hadiahnya aku kirim dari Semarang ...... mmm.... ya sekitar pukul 00.0+ . "
"Maksudnya?"
"Lihat di Instagram .... Agung kirim hadiah buat Nisa."
"Ooooohhh.......:"
Agung menyalami Nisa. 
Nisa menerima uluran tangan Agung. Gadis itu merasakan telapak tangan Agung bergetar.
Sepeninggal Agung, ia justru ingat kata-kata Pak Widayat ketika dulu diterima proposal makalahnya "Mudah-mudahan tanggal 19 hingga 21 Oktober bisa menjadi hari yang bersejarah buat kamu."
Apakah pertemuannya dengan Agung merupakan terjemahan dari kalimat itu? Tapi mungkin ada benarnya. Demikian harapan hati Nisa.
                                               ***
Pukul 23.47.
Nisa gelisah. Sejak tadi sore ia telah membuka Instagram Agung. Postingan terakhir Agung adalah gambar interior masjid Nabawi Madinah. Postingan selumnya adalah gambar masjid SMAN 1 Majalengka. Sebenarnya ia sudah beberapaka kali ngepo-in Instagram Agung. Ia ingin tahu di mana ia tinggal. Namun di setiap postingan selalu tak meninggalkan jejak add-location. Hingga baru kemarinlah ia tahu dari Agung langsung bahwa pemuda itu tinggal di Semarang. Gadis itu juga melihat keterangan pemilik akun, "Agung W - AA". Jangan-jangan itu adalah inisial nama dirinya, AA, Annisa Ainurrahma. Ada perasaan bahagia, namun ia pupus, namun  juga jika memang itu singkatan namanya, berarti Agung benar-benar telah memulai sesuatu. 

Pukul 00.02 instagram Agung tak ada postingan baru. Sekira 00.05 Nisa me-reload. Beberapa detik kemudian instagram Agung tampil dengan postingan terbaru. Jantung gadis itu berdebar. Ada postingan baru. Dengan segera Nisa membacanya.



Jantung Nisa serasa berdetak lebih cepat ketika  membaca caption dalam gambar "bidadariku, yang pernah hadir dalam kekhusyu'an sujudku di taman surga, Roudhoh. 22.10.24,"

Bibir Nisa terkatub. Matanya terasa panas. Sejurus kemudian air matanya berlinang. Wajahnya tertunduk di depan laptop. Ia kembali melihat gambar di Instagram. Agung Wijanarko ... gumamnya.
Ring!
Nisa terhenyak. Panggilan suara masuk. Agung.
"Assalaamu'alaikum Nisaaaa....."
"Wa'alaikumussalam Mas."
"Belum tidur Nisa?"
"Belum."
"Sudah lihat Instagramku?"
"Iya, sudah sejak sore Nisa gelisah menunggu, bisa saja Mas ini bikin penasaran."
"Sudah dilihat postingannya?"
"Iya, sudah."
"Hadiah untuk sosok yang sering Agung mimpikan, yang Agung harapkan."
"Terima kasih hadiah ucapan di hari ultahku Mas, tetapi Mas Agung memuji terlalu tinggi."
"Tidak Nisa, Agung yakin, Nisa adalah sosok yang telah tercatat di Lauful Mahfudz, yang telah dijaga Allah bertahun-tahun .... untuk....untuk... Agung."
"Mas...."
"Sebentar lagi Nisa wisuda. Agung siap mendampingi."
"Mas....."
"Annisa Ainurrahma .... Agung .... Agung mencintai Nisa.... ya mencintai Nisa .... sejak ..... sejak dulu ....."

***
Saat Wisuda magister.
Agung memenuhi janji. Pemuda itu mendampingi Nisa  di Sasana Budaya Ganesha.
Pemuda itu tak canggung berbaur dengan keluarga Nisa. Nisa dan Agung sendiri tampak biasa, sama sekali tak mencerminkan keduanya baru saja bertemu, ishlah setelah melewati waktu yang panjang tanpa saling tahu keberadaannya.
Usai acara resmi di ruangan, Nisa bersama rombongan keluarga ke luar gedung untuk berfoto bersama.  Ketika itu Agung telah mempersiapkan bunga untuk Nisa.
"Nisa ...... bunga untuk kamu, wisudawati tercantik..." kata Agung seraya menyerahkan bucket bunga kepeda Nisa.  Gadis itu menerimanya sambil mengucapkan terima kasih yang hampir tak terdengar
"Terima kasih Mas ...."
"Nisa, hari ini hari bersejarah untuk Nisa, juga untuk keluarga. Dan Agung ingin,  ini juga hari bersejarah untuk  Agung. Sejarah yang paling indah dalam hidup Agung."
"Apa maksudnya Mas....."
"Nisa, Agung cinta Nisa sejak dulu di SMA. Agung juga selalu sebut nama Nisa sejak dulu setiap saat.... dan yang terindah Agung rasakan, ketika di Roudhoh, di taman sorga, menyebut nama Annisa Ainurrahma ... dan memohon kepada Allah agar  suatu saat Agung bersama Nisa  bersimpuh, bersujud di Roudhoh......"
"Mas...."
"Nisa ..... Agung melamarmu Nisa .... "
"Mas?!" Nisa kaget menatap mata Agung.
"Untuk menjadi istri, dan suatu saat kita bersama ke Roudhoh ..... Nisa..... taman sorga .... ada bidadari di sana."
Gemetar tangan Nisa, Bunga yang dipegangnya terjatuh. Agung menangkapnya. 
Gadis itu merasakan sesuatu yang sangat hebat telah terjadi di dalam hatinya. Getarannya menyebar ke seluruh pori-pori kulitnya. Ditatapnya pemuda di depannya lekat-lekat.
"Mas...."
"Nanti aku ke ayah ibu."
"Kita baru beberapa hari ta'aruf Mas.... belum saling mengenal banyak."
"Tidak Nisa, Agung telah mengenal Nisa bertahun-tahun. Ta'aruf Agung adalah melalui doa kepada Allah. Allah telah menjaga Nisa hingga saat ini. Agung tahu, Nisa adalah gadis yang baik...."
"Mas...."
"Nisa....  terima Agung ya  ....."
Gadis itu tak menjawab. Air matanya menitik, namun kemudian berubah menjadi isak. Gadis itu berlari memeluk ibunya. Anggota keluarga yang lain belum memahami apa yang telah terjadi.
                                                   ***
Tiga bulan kemudian.
Di hari Minggu Agung berkunjung ke Majalengka menemui keluarga Nisa. Di hari itu juga ada sesuatu yang penting bagi Agung. Ia ingin berkunjung ke almamater. Tempat yang telah lama ia tinggalkan. Keduanya kini duduk di bangku batu di depan Graha OSIS.
"Kita serasa masih SMA Nisa...."
"Ya, sekolah yang tak pernah memberi keindahan di dalamnya...." Sahut Nisa seraya melihat ke arah lapangan.
"Namun menjadi jalan untuk keindahan di ujungnya. Mudah-muadahn akan menjadi keindahan yang abadi di dunia, dan menjadi jalan untuk mendapatkan ridho... bekal kita dan anak keturunan kita di akhirat kelak."
Usai puas bernostalgia di almamater SMA tercinta, Agung mengarahkan mobilnya ke arah kota Majalengka. Keduanya akan mengecek proses pencetakan kartu Undangan pernikahan. Ketika mobil melewati depan Graha Sindang Kasih, Agung menoleh ke arah Nisa.
"Di sana Nisa, di gedung itu,  nanti aku bersanding dengan gadis tercantik yang pernah aku temui, gadis yang baru kembali dari perjalanan panjang tak terlacak!"
Nisa menoleh ke arah Agung. Agung menatap mata Nisa yang berkaca-kaca.  Pemuda itu tidak tahu, betapa dulu ketika saat Agung pergi di acara Happy Smansa Majalengka Graduation 2018  Nisa ingin menangis. Ia merasakan sangat kehilangan Agung, namun ia malu untuk mengatakannya.
Kini Nisa tersenyum bahagia. Agung akan menjadi peneduh hatinya. Ia akan katakan nanti semuanya kepada Agung...... dengan menanti  detik-detik bersejarah dalam hidupnya. ***

                                                   Majalengka, 18 November 2017
 * Request : Annisa Ainurrahma -
    Kelas XII MIPA 6 Tahun 2017/2018
 * Cerpen ini adalah fiksi murni.
     (Note: Semoga Unsoed menjadi kenyataan Nisa)

 (Diposting pertama di kompasiana.com/didik_sedyadi  
  tanggal 18 November 2017)

Post a Comment