Ruang kelas akselererasi sepi. Dewi memandangnya.
Dewi melihat jam tangan. 06.03. Gadis itu merasa terlalu pagi datang ke sekolah. Namun sebenarnya ada satu hal cukup menarik yang mendorong hati kecilnya untuk menoleh ke arah kelas itu. Sinar mata aneh. Sinar mata anak aksel. Sinar mata asing. Sinar mata maya.  Ukuran 2% ketertarikan dari sinar mata, mungkin merupakan sebuah bahasan bagi anak-anak penghuni kelas itu. Kelas super, begitu anak-anak jalur reguler menyebutnya. Ia berharap, juga 2% ketertarikan ada di dalam diri anak itu.
Ehem!
Dewi kaget. Gadis itu menoleh ke arah belakangnya. Pandu. Anak kelas aksel. Dewi mendesah. Ini nol persen. Anak laki-laki yang baru datang tersenyum.
"Ada apa dengan kelasku?" tanya Pandu.
"Aaah enggak ......"
"Yang benar saja. Beberapa kali ... emmm..... namanya Dewi Febriyanti kan?"
"Kok tahu?" kata Dewi dengan muka merah karena malu ditebak anak yang belum kenal.
"Nggak apa-apa kan?"
"Tahu namaku dari mana?"

"Banyak sumber. Aku anak Talaga."
"Eeeh nggak nyambung."
"Aku sering lihat Dewi naik Buhe."
"Kok tahu?"
"Aku juga sering naik Buhe, aku di jok belakang. Mungkin ada sepuluh kali lebih aku lihat Dewi naik di Maja, dekat pasar ntuuu...."
"Ohh .... tahu namaku dari mana?"
"Dari label namamu." kata Pandu sambil menunjuk label nama di baju gadis itu. Kontan wajah gadis itu kembali memerah.
"Astaghfirullaaaahhh......." kata Dewi sambil menutup wajah dengan kedua tangannya karena malu.
Gadis itu berbalik menuju kelasnya.
Bruk! Aaaaaa!
Begitu membalik, dari arah balik tembok ruang Lab Komputer ada yang muncul. Tak bisa dihindari. Gadis itu melanggar si pemuncul. Buku yang dipegangnya berjatuhan. Anak laki-laki yang dilanggar terjajar satu langkah ke belakang.
"Maaf ... maaaf......" kata Dewi sambil memunguti buku.
"Hmh .... "
"Maaf, nggak sengaja..... duaa..... dua persen?"
"Apanya yang dua persen?"
"Ooh maaf, maaf ....." gadis itu tak sadar telah bicara apa.
Ia bergegas masuk ke kelasnya yang bersebelahan dengan kelas akselerasi.
Sampai di kelasnya masih kosong.
Ia menelungkupkan wajahnya di bangku. Pagi itu bagi dirinya sudah memiliki banyak cerita. Bangga disebut nama oleh Pandu, malu oleh Pandu, malu menabrak orang lain, dan refleks mengucapkan dua persen.
Sepintas ia merasakan adegan pagi ini benar-benar seperti adegan dalam sinetron, atau mungkin drakor. Cinemas banget. Seperti penerjemahan skenario dalam aksi. Namun ini alamiah. Sebenarnya ada pembuat skenarionya. Allah.
Memungut buku jatuh, namun ia sendirian memunguti. Jika di sinetron ketika buku berserakan, maka yang ditabrak akan ikut membantu memunguti. Terus keduanya beradu pandang. Saling senyum. Kenal. Jadian. Dan, happy ending.
Dewi mendesah.
Anak yang dotabraknya tidak ikut membantu memunguti. Dia repot sendiri. Mungkin kena karma, sudah bikin orang kaget ditabrak. Lalu, kata-kata dua persen? Ya, pandangan mata yang menyisakan ketertarikan 2% adalah pandangan mata Fathir Azwan, anak laki-laki yang baru ditabraknya. Tapi itu bukan pandangan mata Fathir pagi ini. Itu terjadi sekitar satu bulan yang lalu.
Masya Allaaah.....!
Gadis itu bergumam perlahan. Mengapa Allah membuat peristiwa pagi ini menjadi semakin lekat di pikirannya. Jangan-jangan ini adalah skenario Allah. Gadis itu mengambil nafas dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jantungnya berdetak cepat. Entah mengapa tiba-tiba ia ingin meralat kata-kata dua persen. Ia yakin. Dua persen adalah salah. Ia mengkalkulasi dalam khayal, bahwa kali menjadi dua puluh lima persen. Super!
"Wiiiii................" ada kata mengagetkan dirimya. Ia menghentikan lamunan.
"Ooooh... Al, kirain siapa?" kata Dewi perlahan demi melihat Alya, sahabatnya, datang.
"Kamu melamun Wi? Ini masih pagi lho!"
"Enggak, cuma pagi ini  aku berasa jadi artis ..."
"Artis?"
Beberapa saat kemudian Dewi menceritakan apa saja yang baru dialami kepada Alya. Tentang Pandu dan Fathir.  Usai gadis itu bercerita, Alya tertawa.
"Al! Kenapa tertawa?"
"Lucu!"
"Apanya yang lucu?"
"Buhe! Pandu itu lhooo.... " kata Alya sambil menyebut nama mikrobis trayek Majalengka -- Bandung yang dikenal dengan ngebut kilatnya.
"Lucunya?"
"Muncul inspirasi lucu untuk membuat cerpen, antara kamu dengan Pandu."
"Maksudnya?"
"Baru saja aku terinspirasi judul."
"Apa?"
"Cintaku Bersemi di Buhe Jaya."
"Jiaaah! Norak Al."
"Cintaku di Atas Roda Buhe."
"No-raaak!"
"Cintaku Bersemi di Tengah Gorowok Kondektur Buhe!"
"Alyaaaaaa! Keterlaluan."
"Apanya yang keterlaluan?"
"Lucunya heheee...."
Usai membuat banyolan mengerjai Dewi, Alya melongok ke luar sebentar. Kemudian masuk lagi sambil masih tertawa.
"Cari siapa Al?"
"Pandu!"
"Buat kisahmu saja sama Pandu, Al.. cocok."
"Doakan saja ya.. ehhh! Aaah ketangWi....."
"Hayooo kelepasan, aku aminin Al Nggak boleh diralat, nggak boleh pakai ketang! Alya -- Pandu Aamiin!"
"Dewiiiiii!!!"
Dewi tertawa melihat sahabatnya memerah wajahnya.
***
Buhe Jaya warna pink berhenti di depan kolam renang Tirta Bima.
Turun dari elfBuhe Jaya, Dewi siap menyeberang jalan menuju gerbang sekolah. Suasana masih cukup lengang seperti biasanya. Satpam Nana baru saja bersiap-siap ke tengah jalan untuk menyeberangkan siswa SMAN 1 Majalengka. Berpasangan dengan Satpam, seorang polisi muda juga telah turut siap mengatur lalulintas di depan gerbang.
"Ayo.... cepat dikit De!" kata polisi itu ketika Dewi siap menyeberang.
"Iya makasih Pak ...."
"Dewi...."
"Oooh...."
Gadis itu menoleh sekilas ke arah polisi tersebut. Ganteng juga, batinnya. Ketika ia mendengar polisi itu menyebut namanya ia tidak kaget. Gadis itu bercermin pada kasus dengan pandu, paling juga polisi itu tahu seperti pandu : "Itu, dari label namamu!". Ya, kata-kata Pandu itu terngiang kembali.
Melewati gerbang sekolah, Dewi mengambil jalan tengah. Sampai di depan aula ia tidak naik tangga timur ke lantai 2 seperti biasanya. Ujung lantai 2 adalah kelas akselerasi. Kelasnya Fathir. Entah mengapa tiba-tiba gadis itu merasa enggan lewat depan kelas itu. Malu bertemu Fathir yang kemarin ditabraknya.
Gadis itu mengambil ujung tangga yang satunya, melalui depan ruang multimedia. Melintasi lapangan ia bergegas mempercepat langkah. Ketika ia mulai menapak anak tangga, ia merasa tenang sedikit. Perlahan ia naik dengan mata melihat ujung sepatunya.
Assalaamu'alaikum!
Gadis itu terhenyak sejenak demi mendengar ada suara salam di hadapannya. Namun ia tetap bergumam menjawab salam. Posisi itu lebih tinggi di anak tangga atasnya. Gadis itu melihat ujung sepatu. Perlahan ia melayangkan pandanga  dari sepatu naik ke celana abu-abu, baju, dan wajah.
"Och!" gadis itu kaget demi ia melihat Fathir di hadapannya. Padahal anak laki-laki inilah yang ingin dihindari. Dewi salah tingkah.
"Kenapa kaget?"
"Emh enggak Kak ...., maaf saya mau lewat."
"Ya silakan, kan aku tidak menghalangi jalan...." Kata Fathir menyadarkan Dewi. Memang anak laki-laki itu tidak mengahalanginya sama sekali.
"Och ..... " muka gadis itu tampak memerah menahan malu.
Dengan tergesa Dewi meninggalkan Fathir. Namun sampai di depan laboratorium IPS, telinga gadis itu mendengar suara Fathir.
"Dewi, tunggu!"
"Och! Iii... iya ada apa?" tanya Dewi sambil menghentikan langkahnya.
"Emmm.... nanti istirahat temui aku di sini. Dewi duluan, biar nggak malu. Aku ada perlu."
"Perlu apa?"
"Nanti saja. Ntar bawa keresek, atau koran ...."
"Untuk apa?"
"Nanti saja."
"Och..."
"Bener ya Wi, istirahat pertama Dewi tunggu di sini. Dewi duluan, aku yang belakangan. Oke?"
"Iii... iya ... Insya Allah."
Mulai jam pertama praktis tak ada materi pelajaran yang secar akurat masuk dalam memori pikirannya. Yang ada adalah ajakan Fathir. Mau apa dia? Pikirnya. Inikah konsekuensi mengenal lawan jenis? Mengganggu konsentrasi belajar? Ada yang mengatakan justru menambah semangat belajar. Gadis itu tak tahu pasti mana yang benar. Yang jelas kali ini ia sedang merasakan betapa detik demi detik menuju saat istirahat sangatlah jelas. Terhitung. Perlahan ia melepas jam tangannya. Ia tak ingin terganggu dengan jalannya jarum detik di sana.
Semua akan terlampaui ...., gumamnya sambil membangun konsentrasi ke pelajaran.
Pukul 10.12 menit Dewi belum beranjak dari kelasnya. Ia bisa membayangkan betapa Fathir sudah mengamati tempat agar dirinya datang di depan Lab IPS. Gadis itu menghela nafas dalam-dalam. Detak jantung yang terasa tidak ritmik lagi, ia coba tenangkan. Tas plastik keresek warna hitam telah ia siapkan.
Dengan perasaan tegang ia keluar kelasnya.
Menengok sekilas ke arah kelas Fathir, ia bergegas melintasi Lab Komputer 4, Lab Komputer 3 kemudian menuju depan Lab IPS. Sambil menenangkan diri ia membuka HP. Ia pura-pura memainkannya, padahal sama sekali tak dibukanya.
Plak, plak, plak! Terdengan suara sol sepatu menaiki tangga lantai 2.
Dewi menoleh. Jantung gadis itu merasa berdebar ketika melihat Fathir muncul. Anak laki-laki terlanjur melihat ia tengah menyambut kedatangannya dengan tatapan. Dewi membuang muka.
"Alhamdulillaah...... datang juga!" kata Fathir sambil tersenyum.
"Maaf telat ke sini ..... " kata Dewi sambil melihat ke arah HP tanpa berani menoleh ke arah Fathir.
Gadis itu benar-benar merasa konyol. Ia sering sekali bersama teman-teman menonton drakor ada adegan malu-malu seperti itu. Berduaan, berdampingan, tetapi tak berani saling lihat. Gadis itu ingin berteriak mengusir kekonyolan yang ia rasakan, namun tentu tak mungkin.
"Wiiii....." panggil Fathir perlahan.
"Ya?" dengan perasaan tak menentu ia menoleh.
"Jangan tegang gitu aaah .... biasa sajaaa....."
"Aah enggak kok."
"Jangan gitu, santai saja. Kita ngobrol biasa. Jangan seperti ini, bersandar di bumper, melihat ke depan nggak ada obyek apa-apa. Kaya drakor Wii...."
Dewi kaget. Ia sama sekali tak menyangka bahwa pikiran Fathir juga sama. Berpikir adegan dalam drakor. Kenapa ya? Batinnya.
"Enggak ... mmm maaf telat."
"Nggak apa-apa..."
"Ini kereseknya." kata Dewi sambil mengulurkan kantong keresek hitam. Fathir ternganga.
"Keresek? Apa urusannya?"
"Lho? Kan tadi pagi yang nyuruh aku bawa keresek siapa?"
"Ooooh .... Astaghfirullah .... Iya... iya ..... " kata Fathir sambil menepok jidat.
"Ya kan?"
"Iya Wi, tapi bukan begini caranya. Pegang saja dulu. Aku ada perlu....." kata Fathir sambil membuka map  yang ditentengnya. Gadis itu melihat apa yang dikeluarkan Fathir. Buku.
"Ini untuk Dewi ...." kata Fathir sambil tersenyum.





"Kak? Ini .... ini?"
"Ya, ini bukumu."
"Iya, maksudnya ... aku punya ..."
"Ya, kemarin jatuh waktu Dewi menabrakku."
"Och..."
"Dewi memunguti buku kan? Tetapi buku ini memang agak jauh, agak ke pinggir tembok, jadi tidak terambil."
"Oooo..."
"Atauuuu.... Wi ... atau?"
"Atau apa?"
"Dewi sengaja meninggalkan buku itu untukku?"
"Oh, mmm.. nggak... aku saja kurang teliti. Terima kasih." kata Dewi sambil menerima buku itu.
"Ya sama-sama terima kasih, sebab aku juga sudah baca beberapa bagian."
"Och..."
"Maaf ya, aku lancang. Tapi memang aku tertarik pengen baca, kayak apa sih sebenarnya isi buku yang disenangi anak putri kayak Dewi ini ..."
"Nggak apa-apa, hanya malu saja. Kakak baca bagian depan ya?"
"Yang ada puisinya?"
"Iya."
"Baca dong. Bagus."
"Maluuu....."
"Berarti baca tanggal lahirku juga?"
"Hehee...."
"Malu."
"Maaf ya Wi .... nggak nyangka kita lahir di bulan yang sama."
Dewi terdiam sesaat. Ia mengeluarkan keresek, ia berinisiatif membungkus bukunya dengan barang tersebut.
"Naaah... itu maksudku Wi, keresek itu untuk bungkus buku. Malu kalau teman lain lihat, kamu keluar terus pulangnya bawa buku."
"Iya, aku baru tahu."
"Wi lihat aku punya buku apa?" kata Fathir sambil mengeluarkan buku satu lagi. Dewi terhenyak. Ia tak percaya. Fathir memegang buku yang sama judulnya dengan bukunya.
"Buku itu?"
"Aku beli kemarin sore. Nitip ke teman. Kebetulan kemarin siang, temanku yang kuliah di UPI mau pulang, aku buru-buru nitip ke dia."
"Beli di mana?"
"Di toko bukunya Aa Gym, di Daarut Tauhid."
"Masya Allaaah... aku dulu juga beli di sana."
"Tadinya melihat penulis buku ini adalah Teh Ninih Mutmainnah istri Aa Gym itu, pasti sumbernya di situ. Alhamdulillah dapat. Jadi malemnya aku punya buku, kembaran punya Dewi."
"Oooh..."
"Mau tukar buku nggak Wi?"
"Nggak ah. Lagian Kakak buat apa baca bacaan cewek sih?"
"Wi, kalau kita membaca buku tentang hal yang dilarang itu untuk tahu apa saja yang dilarang. Kalau ada buku tentang ensiklopedi pencuri, agar kita tahu apa saja yang ada di pikiran pencuri. Jadi, kalau aku baca buku bacaan cewek, ya berarti aku ingin tahu kaya apa jiwa cewek itu. Pengen tahu apa imagine-nya, apa target hidupnya. Siapa tahu nanti buku ini akan aku hadiahkan untuk .... aaahhhh..... nanti masih jauuuuh banget."
"Apa itu?"
"Untuk wanita yang mau aku imami, imam dalam hidup."
"Och ...."
"Tapi yang paling enak kayaknya, nanti ... dia malah sudah pernah baca buku ini ....."
"Kak... mmm... maaf!  Ini sudah terlambat masuk! Aku telaaat!" kata Dewi tiba-tiba dengan wajah cemas ketika melihat arloji sudah memunjukkan pukul 10.38. Terlambat delapan menit.
Gadis itu lari meninggalkan Fathir.
Anak laki-laki itu terhenyak kaget juga. Pembicaraan saat itu benar-benar melenakan mereka dari mendengar tanda masuk jam ke-5. Namun terlambat sudah. Dewi sudah lari menjauh. Fathir tampak menepok-nepok jidat sendiri tanda menyesal telah menyebabkan gadis itu terlambat masuk kelas.
Fathir beranjak perlahan menuju kelasnya sendiri.
***
Istirahat pertama hari berikutnya.
Dari kelas akselerasi tampak Pandu keluar dengan membawa coklat. Anak laki-laki itu tampak ceria. Mondar-mandir di depan kelas XI MIPA 1 membuat beberapa temannya menghampiri. Dari jauh tampak gestur yang lumayan sulit ditebak, namun yang tampak tetap tawanya.
"Wue! Ada apa ke sini?" tanya Alya keluar kelas ketika ada yang memberi tahu ada Pandu di luar.
"Galak amat Al! Dewi ada?"
"Mau apa?"
"Iiih kamu tuh ya Al, kayak ibunya Dewi, nanya-nanya mbalik!"
"Biar! Mau apa?"
"Mau coklat nggak?" tanya Pandu seraya menyorongkan coklat di depan wajah Alya. Gadis itu merebutnya, namun Pandu lebih cepat menarik tangannya.
"Katanya mau ngasih!"
"Bukan buatmu Al."
"Lalu?"
"Al... Dewi suruh keluar, suruh dia ke sini, ntar dia aku kasih satu, kamu aku kasih separo!"
"Nooo -- raaaak!"
"Serius! Panggil Dewi."
"Dia sakit."
"Hah?"
"Stress!"
"Hah? Stress kenapa?"
"Kemarin terlambat masuk, sama Pak Dayat dikasih ganjaran suruh mengerjakan soal sebanyak 100 butir dan di pe-erkan!"
"Waduuuh .... bukannya Dewi anaknya rajin?"
"Iya sih, tapi kemarin waktu habis istirahat terlambat. Kayaknya dia habis ke manaa gitu, ditanya diam saja. Tadi pagi ngasih kabar, katanya sakit. Ortunya sudah kontak ke wali kelas kok!"
"Dewi sakit?" tiba-tiba Fathir datang bergabung langsung nimbrung.
"Ya, gara-gara kemarin terlambat masuk."
"Astaghfirullaaaah ......" kata Fathir sambil menepok jidatnya.
Anak laki-laki itu mundur, bersandar ke tembok, kemudian punggungnya melorot hingga ia jongkok sambil masih bersandar. Anak itu ingat benar ketika kemarin Dewi berteriak terlambat. Itu semua karena dirinya.
"Ini anak ngapain! Hei, Fathir .... bangun!"
"Tenang saja ngapa sih nDu?"
"Kayak orang kesambet, lemes. Apa hubungannya dengan Dewi? Ini aku juga mau ngasih coklat ke Dewi juga nggak jadi.
"Oooo....."
"Ntar pulang sekolah antar aku ke rumah Dewi ya Al!" kata Pandu tanpa mempedulikan Fathir lagi.
"Ogah!"
"Aku traktir quota! Tiga GB!"
"Apa?"
"Quota tiga GB! Naaah mau kan?"
"Enak saja kamu! Memang aku ini cewek matre ya?" kata Alya sambil berbalik berlalu.
"Al... Alyaaa..... maaf ya! Tapi tolonglah ......"
"Alamiah saja ngapa sih?"
"Iya, iya!"
"Masih muda saja sudah mau belajar main suap! Dosa tahu!"
"Iya .... iya .... kamu hebat Al,  ih dewasa banget nasehatin teman."
"Enak saja dewasa! Aku masih ABG tahu!"
"Iya ... iyaaaa.... aku ngomong salah terus."
"Sini, coklatnya buat aku saja!" kata Alya sambil mengulurkan tangan. Pandu mengangkat alisnya. Menggeleng, namun kemudian memberikan coklat ke gadis itu.
"Ini, iya ... buat kamu saja Al ... ambil dua sekalian." kata Pandu mengalah.
"Makasih! Ada syarat apa dengan coklat ini?"
"Nggak ada. Nyuap itu dosa Al. Aku ikhlas."
"Alhamdulillaaah .... Begitu laaah nDu! Beranjaklah jadi anak soleh, dari hal-hal kecil."
"Masya Allaaah Al ..... "
Pagi itu ibaratnya semua nihil. Pandu nihil, tak bisa ketemu Dewi. Fathir juga nihil, bahkan ia sempat lemas terduduk karena rasa salahnya. Yang beruntung Alya. Nasehatnya diterima Pandu, dan dapat dua batang coklat.
***
Bukan salah jalan, bukan pula kebablasan tujuan.
Anak laki-laki dengan baju seragam putih abu-abu yang seharusnya turun di Kertabasuki melanjutkan perjalanan sekitar lima kilometer ke Maja. Tak ada yang ada dalam pikirannya, kecuali Dewi yang hari ini sakit. Ia memastikan bahwa hari ini harus ada pernyataan maaf atas semua yang terjadi.
Sementara itu di rumah, Dewi berjalan perlahan ke ruang tamu. Di tangannya tergenggam dua buku, matematika dan buku yang diterima dari Fathir kemarin. Ia meletakkan buku di meja. Ia pandang sejenak. Matematika? Matematika dua hari lagi ulangan. Akan tetapi mengingat materinya irisan dua lingkaran, sekilas datang rasa pusing. Ia mendesah. Dorongan psikologis mendukung kondisinya yang belum fit untuk menolak membuka buku itu. Maka, buku karangan Teh Ninih-lah yang dibukanya.
Belum sampai halaman pengantar, tiba-tiba gadis itu terkejut mendengar ada suara ketukan di pintu. Ia berdiri melongok dari balik gordyn. Jantungnya berdetak lebih cepat. Bibirnya gemetar. Buku yang dipegangnya jatuh.
Faa.....Fathir?Gumamnya.
Hingga beberapa jenak gadis itu hanya bisa diam. Dewi berjingkat ketika mendengar suara ketukan berulang.  Akhirnya dengan perasaan tak menentu ia membuka kunci, tangannya memutar gagang slot.
Assalaamu'alaikum!
Dewi tergagap menjawab salam anak laki-laki itu. Fathir tersenyum. Dewi bingung harus bicara apa. Namun ia sadar bahwa  yang di depannya adalah tamu.
"Mmm... masuk .... " katanya mempersilakan.
"Di teras saja."
"Oh ... baiklah."
Akhirnya keduanya duduk.
"Ini bener Kak Fathir?"
"Hehe.. bercanda ya?"
"Maksudnya tumben, dari mana tahu rumahku?"
"Dari Al."
"Ooo...."
"Dewi sakit ya?"
"Kata siapa?"
"Alya."
"Ooo..."
"Katanya stress, gara-gara kemarin telat masuk. Gara-gara ngobrol dengan aku ..."
"Hihi... bisa saja anak itu. Nggak ... aku nggak sakit karena itu kok."
"Nggak sakit?"
"Sakit sih, tapi sakit perut. Kemarin sore pulang sekolah terlalu banyak makan rujak."
"Oooo..... jadi bukan karena terlambat?"
"Bukan laah .... Itu didramatisir."
"Ooo..."
"O iya, Aa ke sini ada perlu apa ya?"
"Justru ini, mau nengok yang sakit. Sakit karena stress kebanyakan tugas ..."
"Hmh ..."
"Tapi aku bersyukur, tampaknya sekarang wajah Dewi sudah ceria. Sudah sumringah."
"Ya memang tidak sakit. Terima kasih sudah mau nengok, biarpun salah sasaran."
"Nggak apa-apa, malah jadi hafal rumahnya. Siapa tahu lain kali main ke sini lagi ..."
"Hmh..."
"Aku pulang dulu ya .." kata Fathir sambil berdiri.
"Kok? Belum aku ambilkan air."
"Nggak usah. Ntar saja di sekolah."
Sejak saat itu Fathir tampak lebih akrab dengan Dewi.
Dewi sendiri semula berfikir bahwa ketika datang ke rumahnya, Fathir hanyalah caper. Modus dan sejenisnya. Atau sengaja dijebak Alya agar bisa main ke rumahnya. Namun, ke sininya gadis itu tahu bahwa Fathir datang ke rumahnya memang karena Alya mengatakan Dewi terbebani tugas. Dan memang Alya juga tidak mengarang cerita, ia menyimpulkan sendiri bahwa Dewi memang demikian. Alya sama sekali tidak tahu bahwa Dewi sakit perut.
Bagi Dewi, Fathir adalah rahasia.
Ia anak akselerasi. Masuk sama-sama di kelas X, tetapi dia menyalip dirinya. Ketika dirinya baru naik ke kelas XI, Fathir sudah awal kelas XII. Itu artinya ada yang harus mendahului lulus meninggalkan sekolah ini. Ini yang menjadi pikiran Dewi. Bersahabat sedikit lebihdengan anak askel banyak diamnya. Jangka tiga tahun yang harus ditempuh dalam dua tahun tanpa ada pengurangan materi pelajaran, jelas merupakan sebuah pemampatan yang luar biasa tekanannya. Itu merupakan salah satu sebab mengapa anak-anak dari kelas aksel jarang kongkow , kurang bersosialisasi dengan teman se-SMA yang lain. Wajar jika dalam kenyataan akhirnya tampak di mata teman-teman lainnya, anak-anak kelas aksel adalah anak-anak yang sombong, tidak mau bergaul. Namun dalam diri menemukan satu orang yang tidak seperti dugaan teman lain. Fathir yang tidak sombong.
Hubungan antara Dewi dan Fathir lama kelamaan juga diketahui beberapa temannya. Namun informasi juga kadang ada yang membuat hatinya jengah. Termasuk pagi ini Alya menggamit tangannya mengajak menjauh dari teman lain.
"Ada apa?" tanya Dewi.
"Ternyata kamu memilih orang yang salah!" kata Alya serius.
"Maksudnya?"
"Fathir."
"Kenapa?"
"Tadi pagi aku lewat depan kelas aksel, Eh di situ sedang ramai .... ternyata ada sesuatu tertulis di papan .... makanya ramai!
"Tulisan Fathir Love Enny!" kata Alya sambil jarinya memperagakan gambar daun waru.
"Astaghfirullaaah ......"
"Gimana pendapatmu Wi?"
"Enny itu siapa Al? Kamu tahu?"
"Dia teman SMP Fathir."
"Teman apa teman?"
"Itulah masalahnya ........"
Informasi dari Alya tentang hal baru pagi ini menyebabkan Dewi benar-benar kehilangan konsentrasi untuk belajar. Kadang-kadang gadis itu sendiri merasa malu. Kenapa cerita di SMA tentang ABG seperti dirinya dan teman-temannya tak jauh-jauh dari itu. Belajar, PR, LKS, nyontek PR, menyalin LKS teman, modus, caper, PHP, cinta, cemburu, dipasang-pasangkan, kongkow dan sebagainya. Dan kini ia mengalaminya.
Sekilas wajah Fathir muncul, melintas di matanya. Anak laki-laki itu tersenyum. Namun hanya sedetik. Kemudian hilang. Muncul wajah Enny, kemudian datang menggamit Fathir membawanya berjalan jauh.
***
 Priiit! Priiit!
Pukul tujuh kurang beberapa menit, jalan di depan sekolah Dewi ramai. Sebentar lagi bel berbunyi. Banyak anak-anak dengan seragam OSIS yang tergesa-gesa menyeberang jalan. Lokasi depan sekolah benar-benar ramai, sebab dua buah sekolah, SMA dan SMP berhadap-hadapan. Seorang polisi lalu lintas muda mengatur daerah di depan sekolah. Menghentikan mobil, memberi kesempatan anak-anak SMA dan SMP menyeberang jalan. Di masing-masing gerbang sekolah berdiri security sekolah yang membantu kegiatan polisi.
Hari ini Dewi benar-benar sial. Akibat tadi malam larut dalam keasyikan mengerjakan tugas, tidurnya sampai lewat tengah malam. Itu berarti kebiasaan tidur enam jam tidak tercukupi. Dewi terlambat bangun. Sampai di jalan raya, mobil penuh, baik penuh dengan anak-anak sekolah, maupun pegawai yang mengejar masuk pukul 07.00. Keringat dingin membasahi dahinya. Gadis kelas XI itu gelisah. Dalam kegelisahannya, ia mencopot jam tangannya. Ia menyeting ulang jam tangan digitalnya. Angka yang seharusnya menunjuk pukul 07.00, ia setting mundur menjadi 06.48. Itu disiapkan untuk dalih jika terjadi sesuatu nanti. Dewi agak lega.
Kiriiii Paaak! Teriak Dewi .
Elf Buhe Jaya berhenti. Dewi turun. Benar apa yang diduganya. Gerbang sekolah telah terkunci. Anak-anak yang terlambat pasti telah dibariskan di lapangan dalam untuk diberi tugas membantu guru piket. Dewi menatap jam tangannya. Namun ia menjadi gelisah ketika jalan ramai. Ia tidak bisa menyeberang. Polisi muda yang tadi membantu anak-anak sekolah menyeberang telah siap pergi dengan motornya. Namun ketika dalam kilatan pandangannya sejenak, polisi muda ini melihat ada seorang yang terhalang keramaian lalu lintas sehingga tidak bisa menyeberang. Polisi muda itu turun dari motornya. Dewi melihat itu.
Beberapa detik kemudian polisi itu berjalan ke arah kendaraan yang melaju. Priiit.....!
Polisi muda memberi isyarat agar kendaraan berhenti. Dewi terhenyak. Ia kaget ketika polisi muda itu melambaikan tangannya.
"Ayo cepat menyeberang!"
"Iiii... iya ....."
Dewi berlari melintasi jalan. Ketika ia sampai di seberang, polisi muda itu meniup peluitnya memberi aba-aba agar kendaraan berjalan kembali.
"Terlambat De? Gerbang sudah ditutup." kata polisi muda yang sudah berdiri di samping Dewi.
"Iii ...iya Pak." Dewi tergagap.
"De... orang tua ade siapa namanya ?" polisi itu tiba-tiba menanyai Dewi. Dewi kaget.
"Apa Pak?"
"Nama orang tua ade siapa?"
"Un... untuk apa?"
"Saya mau menolong ade. Lihat gerbang sekolah sudah ditutup. Ade tidak bisa masuk."
"Terus kenapa tanya orang tua saya Pak?"
"Astaghfirullah. Ade ini! Saya ini alumnus sekolah ini, lima tahun yang lalu!"
"Oooo...... alumnus? Kakak kelas jauh?"
"Iya. Panggil saya Kakak. Namaku Bayu."
"Terus kenapa Pak Bayu?"
"Uuu...gghhh... Pak Bayu. Kak Bayu!"
"Enggak ah, nggak sopan."
"Ya sudah terserahlah, begini , sebagai alumnus, saya hafal peraturan sekolah ini. Saya juga pernah mengalami terlambat. Untung kantor ayahku dekat, jadi ayahku datang segera setelah kutelpon. Kalau diantar orang tua boleh masuk kan? Atau paling tidak diantar saudara."
"Yaaa...iya memang begitu."
"Nah kalau ade mau saya tolong masuk ke lingkungan sekolah, saya mau mengaku sebagai anak uwakmu. Mau nggak?"
"Anak uwak?"
"Kan peraturan di sekolah ini, yang terlambat boleh masuk kalau diantar oleh orang tua atau walinya. Iya kan?"
"Iiii... iya siiiih..."
"Makanya, tolong sebut, nama orang tua, alamat, nama ade sendiri...."
Dewi tak bisa mengelak. Demi bisa masuk ke sekolah tanpa dipermasalahkan, pagi itu ia masuk dengan diantar kakak temuan, Kak Bayu. Dewi geleng-geleng kepala ketika melihat jam tangan yang sudah dirancang untuk berbohong tidak digunakan. Tapi kali ini ia menyetujui ia diajak berbohong oleh polisi muda yang mengaku sebagai anak uwaknya. Tapi bagi Dewi itu masih mending, daripada harus pulang ke rumah yang jaraknya lima belas kilometeran.
Besok paginya, Dewi menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Bayu.
"Sehat Dewi?" kata Bayu singkat ketika Dewi melintas di depannya
"Ya Kak..." kata Dewi sambil tersenyum.
Besok paginya lagi, Dewi menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Bayu.
"Sehat Dewi?"
"Ya Kak..." kata Dewi sambil tersenyum.
Besok-besoknya lagi, Dewi menyeberang bersama-sama anak-anak lain. Ia sengaja pada posisi dekat dengan Kak Bayu.
"Sehat Dewi?"
"Ya Kak..." kata Dewi sambil tersenyum.
Dewi kadang-kadang jengkel. Sudah tiga hari ini Bayu menanyakan ia sehat dengan kalimat yang sama, namun ia lebih jengkel lagi karena ia menjawab dengan kalimat yang sama pula. Hari ini adalah hari ke empat sejak keduanya berkenalan. Ketika Dewi menyeberang, kali ia ini mengambil jarak yang jauh terhalang anak-anak lain.
"Ayo... ayooooo.... Agak cepat menyeberangnya .Tunggu sebentar di pinggir!"
"Och..... " Dewi merasa kalimat polisi itu aneh meminta semua yang menyeberang menunggu sebentar. Benar saja, semua yang menyeberang minggir menanti polisi bernama Bayu. Polisi itu mengkode  security sekolah untuk menggantikan diri mengatur penyeberangan. Kemudian polisi muda itu berjalan ke pinggir.
"Eh maaf, ade-ade. Maksud saya yang saya minta menunggu di seberang itu ini, Dewi. Adik saya, bukan yang lain. Yang lain silakan lanjut......" kata Bayu sambil tersenyum. Semua yang mendengar memahami.
"Ada apa Kak?" tanya Dewi setelah tinggal berdua.
"Besok aku sudah tidak tugas lagi di lokasi ini."
"Och! Pindah ke mana?"
"Lokasi SMA PGRI."
"Oooo..."
"Sehat Dewi?"
"Alhamdulillah sehat. Kakak juga?"
"Ya sehat. Sing rajin belajar ya ..... biar pinter."
"Ya terimakasih....."
Hanya beberapa kalimat dialog singkat yang berlangsung, Bayu kembali ke tengah jalan. Dewi tertegun. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kehilangan. Dewi menggigit bibirnya. Ia tak lekas beranjak dari tempatnya berdiri. Ia perlahan mundur, berjalan ke belakang gerbang. Tubuhnya bersembunyi di balik gerbang sekolah, melihat Bayu yang masih mengatur lalu lintas.
"Dewiiii......"
"Och!" Dewi kaget demi melihat Fathir menegur di belakangnya. Wajah gadis itu memerah.
"Polisnya ganteng ya Wi?"
"Oh.. eh, apa maksudnya?"
"Nggak apa-apa..... kenapa memangnya?"
"Cuma nanya saja. Aku sering lihat Dewi dialog dengan dia ya?"
"Ya namanya menyeberang jalan. Dia kan polisi lalin."
"Hehee... iya..."
"Kak ... masuk yok."
"Dewi saja duluan ....."
Akhirnya Dewi meninggalkan Fathir sendirian dekat gerbang. Ia berjalan cepat, Namun entah kenapa ia ingin menengok ke arah Fathir. Gadis itu menghentikan langkahnya. Mendadak hatinya menjadi tidak enak. Ia melihat Enny datang kemudian bercakap-cakap dengan Fathir. Setelah itu keduanya menyeberang jalan menuju kios fotokopi. Dewi hanya bisa mendesah.
Suatu hari. Usai latihan angklung bersama grup-nya.
Dewi usai shalat 'Ashar. Sekolah sudah sepi, tinggal beberapa anak angklung dan ekstra lain yang masih ada di lingkungan sekolah. Di teras masjid ia duduk sambil melihat ke arah kelas Fathir yang ada di lantai 2 ujung utara. Kelas itu sepi. Ia membayangkan ada Fathir di sana. Namun tiba-tiba dalam bayangan juga datang Enny. Keduanya saling bicara berhadapan. Dewi menggeleng. Ia mencoba menghilangkan bayangan itu.
Perlahan ia bangkit.
Gadis itu berjalan ke arah selatan menyusuri pinggir lapangan upacara. Kemudian menyusuri jalur Pembina upacara. Di depan Lab Multimedia gadis itu berhenti. Ia menengok ke kiri. Setelah mengambil nafas dalam, ia memutuskan untuk berjalan lurus ke arah timur melintasi lapangan voli. Dari jarak sekitar lima belas meter dari depan ruang kepala sekolah ia berhenti.
Gadis itu diam mematung. Matanya perlahan  menyusuri lantai bawah, kemudian ke lantai atas. Kelas Aksel, kelas Fathir. Kelas yang menjadi sebuah bayangan penting bagi dirinya akhir-akhir ini.

Beberapa saat ia terus memandangi kelas itu.

"Dewiiii....." ada suara di belakangnya. Gadis itu menoleh. Mukanya memerah demi melihat siapa yang memanggil.
"Teh Enny?"
"Hehe... iya ... kenapa Wi? Kamu belum pulang?"
"Habis latihan angklung."
"Oooo.... iya, ya. Untuk tampil nanti di pameran pendidikan itu ya?"
"Iya betul."
"Mmmm..... Wi, dari tadi kok aku lihat kamu kaya tersihir melihat ke kelas aksel itu, ada apa sih?"
"Ah enggak .... Nggaak ada apa-apa!"
"Itu kelasnya anak-anak hebat."
"Iya."
"Aku punya sobat karib di sana ...."
"Oh iya ya?"
"Fathir Azwan. Dewi kenal dia kan?"
"Iya... iya kenal dikit."
"Pengen jadi anak aksel ya?"
"Ah enggak ... regular saja ..."
"Aaahh.... Sudahlah yok! Pulang, sudah sore! Dewi pulangnya ke mana?"
"Maja!"
"Sejalur dong dengan Fathir."
"Iya hehe...."
Keduanya berjalan beriringan.
Entah apa yang dibicarakan oleh keduanya tak ada yang tahu. Termasuk oleh anak laki-laki yang berlindung di balik dinding ruang lobby yang sejak tadi mengamati keduanya. Fathir.

***
Mei, Smansa Graduation 2017.
Hari ini adalah hari perpisahan. Fathir lulus, Dewi baru mau kenaikan kelas XII. Masuk bareng, lulus berbeda waktu. Anak aksel memang jalur cepat. Tetapi apakah kenal dan persahabatannya dengan Fathir juga jalur cepat dengan adanya informasi Enny yang pernah dibawa Alya?
Dewi hanya memandang sekilas gedung Aula yang megah.
Hari ini perpisahan akan dilaksanakan. Para siswa dengan baju resmi, stelan jas berdasi untuk alumnus laki-laki, dan dress panjang untuk alumnus putri. Keceriaan sangat tampak di wajah-wajah mereka. Inilah masa SMA, masa yang terindah bagi mereka. Masa persekolahan di mana mereka masih dididik oleh para guru dengan nasehat-nasehat yang mengalir bak sungai tanpa henti. Masa-masa menjelang pelesatan inner-potential, peralihan dari dari masa-masa cenderung pasif dalam interaksi, menuju masa-masa mandiri secara psikis.
Masa SMA adalah masa yang terlupakan. Banyak kisah, baik pribadi maupun dalam kebersamaan. Dinamika interaksi yang sangat humanistis ala anak-anak , biarpun secara fisik sudah dewasa, namun uniform putih abu-abu, akan tetap membawa makna anak-anak.
Ada friksi, konflik dan penyelesaian, belajar bersama, belajar saling membantu, belajar membangun empati terhadap keterbatasan teman, belajar menghargai perbedaan pendapat, belajar menggali potensi, belejar mandiri, belajar berkolaborasi dalam perbedaan potensi. Memupuk dedikasi, membangun karater diri dengan pertemanan, dengan persahabatan, baik sahabat yang akhirnya menjadi sahabat sementara, maupun yang akan tetap terjaga menjadi sahabat sejati sampai kapanpun.
Simpati, iba, rasa kekaguman, rasa cemburu, rasa cinta juga menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak terucapkan karena ketidak beranian, cinta yang bersambut, cinta yang gagal, cinta yang memberikan pengalaman untuk memahami karakter di masa muda. Banyak pelajaran yang diambil dari pengalaman cinta.
Kekaguman terhadap teman yang berprestasi, kekaguman terhadap teman yang selalu berusaha walaupun gagal berkali-kali, kekaguman terhadap teman yang selalu mau berbagi, kekaguman terhadap teman yang selalu membuka ruang untuk menerikma curahan isi hati.
Kekaguman terhadap para guru. Kekaguman terhadap guru yang lucu, kekaguman terhadap guru yang rajin dan santun, kekaguman terhadap guru yang menginspirasi, kekaguman terhadap guru yang kreatif, kekaguman terhadap guru yang tangguh yang selalu mengerti kondisi para siswa, kekaguman terhadap guru yang memahami potensi dan bakat yang dimiliki, kekaguman terhadap guru yang tak pernah menunjukkan rasa lelah, kekaguman terhadap guru yang tak pernah marah, kekaguman terhadap guru yang mampu menjadi sahabat para siswanya.
Siapa yang memiliki kekaguman itu? Tentu, si putih abu-abu. Semua ada di SMA Negeri 1 Majalengka, sekolah yang telah dua tahun menjadi tempat bermain, menjadi almamater atau ibu asuh yang akan selalu mencintai dan mendoakan para alumninya.
"Dua tahun... ya .... Kakak hanya dua tahun. Kaka duluan meninggalkan sekolah kita..." gumam Dewi.
Hampir dua tahun justru ada semacam konflik antara dirinya dengan sahabat-sahabatnya. Fathir, juga Enny. Lain dengan Pandu, dulu anak itu seperti mengejar-ngejar dirinya. Namun karena sering dinasehati oleh Alya, Pandu seperti mundur teratur. Justru yang lucu, kini Pandu malah jadian denga Alya. Hari ini juga tampak ada keceriaan khusus bagi Alya, ia sejak pagi selalu bareng Pandu.
Beda dengan Dewi, tampak ada jarak dengan Fathir.
Hingga acara usai seluruh alumnus tengah mengabadikan dengan berfoto di spot-spot yang telah dirancang.
Ting! Ting! Dewi terhenyak ketika ada notifikasi WA masuk.
Kak Fathiiir...gumamnya. Ia membuka WA dari Fathir.
"Dewi dimana? Kakak mau foto bareng niiih...."
"Malu Kak... nggak usah saja."
"Jangan ngambek laaah... kan teman Kakak banyak yang minta foto bareng."
"Iya, maklum Kak, orang ganteng memang banyak yg suka ngajakin foto."
"Ditunggu Wi..."
"Nggak. Dengan Teh Enny saja..."
"Astaghfirulaah Dewi... kenapa hampir kelulusan Dewi nggak percaya kalau Enny itu bukan apa-apaku."
"Hehehe...."
"Sini ya Wi, ditunggu di aula ..."
"Terima kasih Kak ... nggak saja."
"Dewi, aku patah hati sama Dewi ...."
"Aku nggak ngerti."
"Dewi, apakah pak polisi ganteng itu yang telah membuat Dewi berubah?"
"Jangan bawa pak polisi ..... introspeksilah...."
"Dewi, maafkan Fathir."
"Nggak ada yang salah."
"Kalau begitu datanglah, Kakak mau foto bareng."
"Lupakan SMA Kak....."

Karena tak tahan dengan gejolak perasaannya, Dewi mematikan HP. Rasanya campur aduk antara ingin bertemu Fathir dan foto bersama. Namun di sisi lain, Enny. Ya, gadis itu. Enny pernah mengatakan kepada dirinya bahwa ia akan kuliah ikut kemanapun Fathir kuliah. Jika Fathir ke Bandung, ia akan ikut ke Bandung. Jika ke Surabaya ikut ke sana juga biarpun jauh. Jika Yogyakarta, tentu saja. Tak terlalu jauh, juga Ygya sebagai kota yang menyenangkan. Kota pelajar dan kota wisata.
Hmh...... ! Gadis itu mendesah dalam. Acara  Smansa Graduation 2017 ia lalui dengan hampa.
***
Maret 2023. Kantor Imigrasi Cirebon.
Usai shalat dzuhur dan makan siang di food-courtsebelah belakang kantor, Dewi bersama kedua orang tuanya menuju ruang pendaftaran. Kedua orang tuanya masuk duluan, gadis itu berjalan di belakang sambil memainkan HP-nya menjawab beberapa WA yang masuk.
"De! De....." tiba-tiba telinganya mendengar ada yang menyebut "de". Ia menoleh sekilas. Ia merasa tak kenal, mungkin memanggil orang lain. Sejurus kemudian ia melanjutkan lagi berjalan. Namun tiba-tiba ia terhenyak kaget sendiri. Tidak kenal? Ia menoleh ke arah si pemanggil.
Melihat pemuda yang berdiri tak jauh di hadapannya, memori di dalam otaknya bereaksi mengumpulkan semua data. Dalam waktu empat sekon, memori di otaknya memintanya untuk berekspresi lain.
"Kaaa....Kak? Kak Fathir?" kata Dewi tergagap. Jemarinya bergetar. Ia tak sadar HP yang dipegangnya jatuh menimpa ujung sepatunya, kemudian terlontar menyusur lantai.
"Dewiii!"
"Astaghfirullaaahhh...... "
Dalam waktu singkat, pemuda bernama Fathir mengambil HP Dewi. Pemuda itu memandangi Dewi sejenak.
"Kenapa Dewi?" kata Fathir sambil menyerahkan HP.
"Nggak apa-apa .... Assalamu'alakikum Kak!" kata gadis itu seraya menerima HP.
"Wa'alaikumussalaaam ..... masya Allaaaah.... kaya mimpi saja."
"Bener ini Kak Fathir?"
"Dewiii..... masih ragu? Apa yang berkurang dari Fathir? Nggak ada kan? Tetap kurus..."
"Iya sih ... cumaa...."
"Bilang saja tambah tua!"
"Enggak gitu , cuma nggak menyangka Kakak ada di sini."
"Aku juga nggak nyangka."
"Sendirian? Atau samaaa..... pak polisi itu?"
"Astaghfirullah ... itu lagi yang Kakak ingat."
"Aku pernah bilang cemburu, patah hati!"
"Hmh ... bertiga, sama ayah ibu."
"Ooooo....."
Dewi dan Fathir menuju ke ruang tunggu.
Pertemuan yang sama sekali tak disangka sama sekali. Bagi Fathir tiga kali bermain ke rumah Dewi selama di SMA cukup membuatnya kenal dengan kedua orang tua Dewi. Beberapa saat setelah menanyakan berbagai hal, Fathir meminta ijin mengajak Dewi kembali ke food-court.
Keduanya memesan minuman dingin. Duduk berhadapan.
Dewi merasa ada semacam dejavu.Ia merasa ini pernah terjadi. Tapi di mana? Ia hampir tak ingat lagi. Jika di kantin sekolah? Ia merasa belum pernah minum bareng Fathir seperti sekarang ini. Lalu? Pernahkan mimpi seperti ini? Hmhhh..... gadis itu mengambil nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.
Dari Fathir gadis itu memperoleh banyak cerita tentang Yogya. Jika Malioboro, Kaliurang, keraton atau kerajinan perak bakar Kotagede sudah tak asing lagi Dewi. Cerita tentang UGM seisinya-lah yang menarik. Pengalaman lulus meninggalkan SMA kemudian melalui perjuangan SBMPTN yang sesungguhnya, justru memberikan tasteatau sensasi hidup yang tak terlupakan. Ada kebanggaan yang amat sangat.
"Aku dulu hampir menangis ketika gagal SNMPTN....." kata Fathir. Pemuda itu ingat, sejak kelulusan tahun itu, Dewi tak ada di sampingnya.
"Aku malah menangis ketika Kakak gagal SNMPTN. Namun aku punya keyakinan Kak Fathir orangnya hebat. Mampu memahami apa arti trap tangga kehidupan yang harus dilewati. Cita-cita kadang tidak melalui jalan yang lempang."
"Bersyukur dulu aku tidak melihat Dewi menangis. Kalu aku lihat, semangatku akan lemah ....."
"Semua karena karena takdir."
"Hehee... iya .... tapi sudahlah."
"Hehe..."
"Oiya ... btw aku turut bersyukur Dewi bareng orang tua mau umroh .... "
"Alhamdulillah Kak. Terima kasih."
"Titip doa di tempat mustajabah ya Wi?"
"Doa apa Kak?"
"Doakan aku nyusul ke sana kelak ..."
"Insya Allah."
"Juga, doakan gadis yang di depanku ini jadi dosen ... sesuai cita-citanya ..."
"Aaaah ..... kirain apa."
"Doakan yang lain mau nggak?"
"Jika aku kuat, Dewi doakan."
"Doakan aku mendapatkan jodoh wanita yang shalihah....." kata Fathir seraya menatap sekilas mata Dewi. Gadis itu menunduk. Hingga lama ia tak bersuara.
"Bagaimana kabar Teh Enny di Yogya?" tanya Dewi mengalihkan perhatian. Ia masih belum mengangkat kepalanya
"Mengapa harus Enny?"
"Dia yang pantas aku doakan untuk Kakak... cinta pertama Kak Fathir di SMP." Kata Dewi sambil perlahan tengadah.
"Dewiiiii ...... seandainya aku bisa mengendalikan sejarah ...."
"Apa maksudnya?"
"Aku tak ingin ada sejarah tentang Enny. Aku tak ingin di SMP dulu kenal sama dia .... sayang sekali sejarah manusia tak bisa dihapus."
"Timing-nya sangas pas. Kakak kuliah di Yogya, Teteh juga di sana ....."
"Dewi ..... jangan ungkap masa laluku. Aku sudah tak ada di sana ..., tak ada di masa lalu. Dewi masih cemburu dengan tulisan di kelas dulu ya? Heheee..."
"Yogya ....."
"Dewi belum tahu kabar tentang Enny?"
"Belum."
"Tahun kemarin dia sudah menikah."
"Oooo...." wajah Dewi berubah.
"Ya."
"Kakak tidak bohong?"
"Hmh ... Dewi, kapan aku pernah bohong sama Dewi?"
"Astaghfirullah .... maafin Dewi Kak .... iii ... iya ...."
"Ya nggak apa-apa."
"Teteth menikah sama siapa?"
"Enny menikah dengan dosennya."
"Och ....."
Dewi terhenyak.
Kali ini ada semacam keyakinan bahwa memang jalan hidup manusia sulit ditebak. Gadis itu sama sekali tak menyangka bahwa Enny akan menikah dengan orang yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Ia pun kini tak bisa menebak secara pasti, apa yang ada dalam pikiran pemuda di hadapannya itu.
"Wi..."
"Ya.."
"Doakan aku dapat jodoh wanita yang shalihah ya? Yang mencintai aku .... Siapapun itu asal Dewi yang mendoakan, aku, Fathir Azwan berjanji akan menerima ....." kata pemuda itu sambil tersenyum.
"Ya, ya .... gampanglah nanti Dewi doakan."
"Di dua tempat yang wajib Dewi doakan ya?"
"Iya."
"Satu di depan multazam."
"Iya."
"Satu lagi di roudhoh ...."
"Iyaaa..... Kk...Kak, mudah-mudahan nanti Dewi kuat berdoa di sana ..."
Untuk mengurangi perasaan yang tidak menentu Dewi menyeruput minuman dingin di depannya. Fathir melakukan hal yang sama.
"Oh ya Kak, Kak Fathir ke sini mau buat paspor?"
"Ya. Menuruti gejolak pikiran, untuk mengedepankan tuntutan kognitif. Nggak bagus sih sebenarnya ... kenapa harus jauh-jauh membuat paspor segala." kata Fathir seraya bersandar di punggung kursi.
"Magister di luar negeri?"
"Gitu rencananya. Aku sudah lolos tahap pertama."
"Alhamdulillaaaah ....... turut bersyukur Kak, percaya sama orang yang hebat Dewi mah!"
"Terim kasih atensinya Wi."
"Luar negernya ke mana Kak?"
"Yang dekat saja. Rencana mau ambil magister Instrumental Analitica Chemistry."
"Ooo... Singapura? Atau Malay?"
"Malaysia."
"University of Malaya dong?"
"Ya ... di situlah ....."
"Masya Allah .... hebat itu universitas fisrt grade."
"Doakan aku sukses Wi."
"Insya Allah ... untuk Kak Fathir semua akan aku penuhi."
"Bener Wi?"
"Insya Allah."
"Kakak ulang ya? Bener Wi, untuk Kak Fathir semua akan aku penuhi?"
"Insya Allah."
"Tunggu sebentar .... aku mau shalat dulu." kata Fathir seraya berdiri.
"Belum shalat dzuhur? Astaghfirullah ....."
"Bukan, hanya pengen shalat sunat mutlak saja...."
Tanpa menanti jawaban Dewi, Fathir bergegas ke masjid di dekat food-court.Perlahan Dewi mengikuti kepergian Fathir dengan pandangan matanya. Gadis itu mengatubkan bibirnya.
Sekira sepuluh menit Fathir kembali. Wajahnya tampak lebih segar. Rambutnya masih basah tersaput air wudhu.
"Wi ...."
"Iya?"
"Ada hal besar dalam perjalanan hidupku yang harus aku putuskan hari ini."
"Oooo .... iya ... silakan. Itu urusan privacy."
"Bukan, ini menyangkut Dewi juga."
"Lho? Kok aku?"
"Kan beberapa menit yang lalu Dewi baru saja berjanji, kata Dewi, Insya Allah ... untuk Kak Fathir semua akan aku penuhi.Iya kan? Ini bukan janji bohong kan Wi? Bukan PHP?"
Panas wajah Dewi. Dadanya bergejolak demikian hebat. Gadis itu tak menyangka bahwa apa yang ia katakan sambil lalu ternyata dimaknai sangat serius oleh Fathir. Dan kini ia takut tak akan mampu memenuhi janjinya. 
"Kaaak... maafkan Dewi, Dewi jadi takut...." kata gadis itu sambil menggenggamkan jari jemarinya.
"Nggak usah takut, Dewi hanya mengiyakan apa yang aku katakan ...."
"Tapi..."
"Dewi ..... aku tadi shalat, intinya untuk mengucapkan bismillahirrahmanirrahim ...."
"Atas apa?"
"Hari ini aku putuskan membatalkan pembuatan paspor."
"Kak?"
"Niatku sudah bulat Wi."
"Tapi kenapa?"
"Testing tahap pertama di UM akan aku batalkan. Aku cabut."
"Och! Kak?!! Itu tidak mungkin. Apa yang sudah Kakak genggam melalui perjuangan yang berat jangan dibuang begitu saja."
"Dewiiii ...... aku hanya ingin Dewi katakana iyagitu saja. Aku akan cabut testing berikutnya di UM. Satu kata dari Dewi, katakana iya. Iya."
"Tidak!"
"Katanya untuk aku, semua akan Dewi penuhi ...."
"Tapi bukan yang ini Kak ...."
"Dewi, justru untuk hal-hal yang berat dan penting dalam hidup Fathir, ini yang ingin aku mintakan persetujuan. Bukan penolakan ...."
Dewi tak bisa berkata apa-apa. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia menangis. Ia sama sekali tak menyangka bahwa dirinya akan dimintai persetujuan untuk hal yang sangat besar. Kesempatan kuliah magister di UM, tak sembarang orang bisa lolos. Tapi kali ini Fathir malah mau mencabutnya.
"Kita baru bertemu lagi Kak ....." kata Dewi yang akhirnya berkata perlahan. Ia sibuk menyeka air mata dengan sapu tangan.
"Iya, maafkan Fathir Wi."
"Kakak telah membebani aku dengan sesuatu yang aku tak mampu berfikir jernih."
"Dewi ...."
"Ya."
"Kuliah S2 tidak harus jauh-jauh ke luar negeri. Aku ingin kuliah di Bandung."
"Kakak akan berjuang lagi?"
"Aku yakin sanggup menembusnya."
"Ya, Dewi juga percaya akan kemampuan Kakak. Tapi mengapa Kak?"
"Dewi ingin tahu?"
"Kalau boleh ..."
"Aku sudah lama kehilangan sesuatu. Kehilangan cukup lama. Aku tak ingin semua yang aku impikan menjadi hilang karena salah perhitungan."
"Aku nggak ngerti Kakak ngomong apa...."
"Dewi, aku ingin kuliah di Bandung ..... bii..... biiar ... biar dekat dengan.. dengan Dewiiii....."  kata Fathir hampir tak terdengar seraya menatap mata Dewi.
"Kak...."
"Dewi yang telah lama hilang, aku telah menemukannya hari ini ..... membatalkan rencana kuliahku di Malaysia sama sekali tak berarti apa-apa. Di Bandung... di Bandung, dekat Dewi yang kuliah S2 di Bandung lebih penting."
"Kakak..."
"Dewi, aku patah hati ......"
"Itu yang dari Kakak ucapkan, yang tak pernah aku mengerti ......"
"Dewi, Fathir Azwan patah hati. Dewi yang mematahkan. Hati Fathir sudah tak mungkin lagi akan bangkit tersambung atau tumbuh untuk orang lain .... "
"Kak..."
"Dewi yang mematahkan.... tak ada lagi yang lain yang bisa Fathir cintai ..... kecuali gadis yang aku minta mendoakan aku untuk mendapatkan istri wanita shalilah ..... yang akan mendoakan di multazam dan roudhoh ...... Dewi Febriyantiiiii....." kata Fathir menyebut nama Dewi perlahan.
Speechless.Tersekat tenggorokan gadis itu tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Bibirnya gemetar. Ia pandang pemuda di depannya. Ia tak sanggup menatap sinar mata Fathir yang tajam. Gadis itu menunduk dalam.
Benar apa yang menjadi rencana Fathir. Siang itu Fathir menuju ke petugas untuk melakukan penarikan berkas-berkas yang sudah didaftarkan. Kepada Dewi Fathir berpesan agar tak diceritakan kepada orang tuanya.
Sambil menemani yang menunggu giliran, Fathir duduk di dekat Dewi.
"Wi ... aku punya sesuatu yang sudah lama aku simpan." katanya sambil menimang-nimang HP.
"Apa?"
"Dulu Dewi artis angklung ya?"
"Heheee... norak ah! Pakai artis segala."
"Artinya dalam jiwa Dewi ada harmoni. Keteraturan tentang keindahan, memanfaatkan potensi alam. Nada. Birama ... bersatu dalam keindahan dalam gelar angklung."
"Yang gelar seribu angklung aku nggak ikut. Belum masuk SMA."
"Ini yang di alun-alun Majalengka kok!"
"Waktu pameran pendidikan?"
"Ya ... waktu Januari 2017 itu."
"Ooo....."
"Ini keindahan yang ada dalam kolaborasi angklung dengan pemainnya. Iiiiiihhh... senyumnya...... bajunyaaa..... indaaah banget. Perpaduan yang pas."
"Apa sih?"
"Ini ....." kata Fathir sambil menyodorkan HP ke hadapan Dewi, Gadis itu terhenyak.
"Ooooh.......... ada akunya?" kata Dewi sambil melihat gambar dirinya.
"Memang fokusnya ke Dewi kok."
"Dulu rasanya yang ngambil gambar petugas dokumentasi sekolah, tapi nggak sempat minta. Kakak dapat dari mana?"
"Nimbrung ngambil gambar di belakang tukang dokumentasinya!"
"Ih curang!"
"Wi.."
"Hmh?"
"Dewi sudah lama?"
"Main angklungnya?"
"Bukan."
"Lalu apanya?"
"Cantiknya..."
"Iiiihhhh....." wajah Dewi memerah disanjung seperti itu.
"Wi .... Hari ini Fathir temukan senyum khas Dewi yang cantik, yang syahdu .... yang pernah aku temui di depan MIPA 1, juga di depan kelas Aksel."
"Nggak lucu......"
"Hehe...lebih lucu waktu Dewi dulu nabrak aku di depan kelas...."
"Aaah ..... sudah, sudah, sana Kakak cepet pulang sono! Belajar TPA OTO BAPPENAS !"
"Nyuruh aku cepat-cepat testing S2?"
"Iya laaah..."
"Nggak nyuruh aku cepet-cepet ngapain gitu?"
"Ngapain apa?"
Fathir hanya tertawa. Pemuda itu melihat ke arah orang tua Dewi yang mulai mengantri. Ia berdiri, mendekat kemudian berbicara sebentar meminta ijin untuk pulang terlebih dahulu.
Sebelum benar-benar beranjak keluar ruangan, Fathir berbisik.
"Yakin Wi, hari ini berkah bagi aku. University of Malaya sudah terkubur."
"Semoga berkah di Bandung nanti...."
"Insya Allah .... Wi, Dewi masih ingat titipan doa untukku di multazam dan roudhoh nanti?"
"Iya, iya..."
Fathir menunjukkan foto di HP-nya kembali. Ia memberi isyarat agar Dewi melihatnya.
"Jangan lupa Wi ..... doakan agar aku mendapat istri yang shalihah."
"Insya Allah."
"Wi..."
"Ya?"
"Doakan aku mendapatkan istri ...mmm....mm.... gadis cantik iniiii....." kata Fathir sambil menunjuk gambar Dewi. 

Gadis itu terhenyak, kemudian menunduk dalam. Fathir membiarkan gadis itu memaknai permintaannya. Sebuah permintaan yang tak kalah pentingnya dengan keputusan membatalkan kuliah di UM. Bahkan ini lebih penting dalam hidupnya.
Siang itu Kantor Imigrasi Cirebon menjadi tempat yang sangat berarti bagi Dewi.
***
Medio 2024.
Balandongan dengan iringan musik degung.
Syahdu. Sakral. Tak terlupakan. Tempat inilah yang tadi pagi telah menjadi saksi bagi Fathir untuk menyatakan janji tanggungjawabnya sebagai suami.
"Sekarang aku panggil Dewi adindaku. Betapa aku masih ingat di Kantor Imigrasi Cirebon...."
"Yang mana?"
"Waktu kita baru bertemu kembali, tangan adindaku bergetar ... kemudian HP yang dipegangnya jatuh."
"Ooooohh...."
"Itulah isyarat yang aku yakini hingga aku memutuskan tak jadi kuliah di Malaysia."
"Ooohhh...."
"Karena getaran tangan dinda menunjukkan getaran cinta Dewi padaku .....aku tahu itu ... hingga aku yakin. Yakin dan semakin yakin ....."
"Hmhh...."
"Wi ...."
"Yah?"
"Aku patah hati. Cintaku terhenti untuk Dewi, tak ada lagi cinta lain setelah ini .... Dewi Febriyanti ........"
Bibir Dewi terkatub. 
 Iringan degung masih menggema mengalun perlahan.
Keduanya kembali berdiri untuk menerima salam dari para tetamu yang datang memberikan doa restu. ***
                        Majalengka 31 Maret 2018.

Request Dewi Febriyanti
          Kelas XII MIPA 6  SMA Negeri 1 Majalengka
Tahun Pelajaran 2017/2018




Dialihkan dari kompasiana.com dengan link:










Post a Comment