Salah satu kenangan manisku bersama Pak Adib Zaen yang sulit aku
lupakan hingga kini adalah saat diboncengkan dengan sepeda onthel di
malam hari. Beliau adalah guruku di MA Al-Muayyad Surakata pada tahun
1980-an. Waktu itu aku baru duduk di bangku kelas 2. Beliau mengajakku
ke Bonoloyo untuk "tilik" kakak-kakak kelas yang sedang menempuh Ujian
Negara Madrasah Aliyah Tahun 1982. Karena waktu itu MA Al-Muayyad masih
baru dan belum bisa melaksanakan ujian di tempat sendiri, maka tempatnya
di MAN Bonoloyo Surakarta.
Mengapa ke
Bonoloyo di malam hari? Ya, karena kakak-kakak kelas lebih baik ditengok
pada malam hari saat mereka sedang belajar menghadapi ujian esok
harinya. Mereka butuh dukungan moral dan bimbingan belajar. Pak Adib
bisa memberikan semua itu kepada mereka. Mereka tinggal di rumah-rumah
penduduk sekitar MAN Bonoloyo selama ujian berlangsung. Itu lebih baik
karena lebih efisien waktu daripada “nglajo” dari Mangkuyudan yang
bisa-bisa malah setiap hari terlambat mengikuti ujian karena jarak ke
Bonolyo kira-kira 5 km. Saat itu sarana transportasi umum masih sulit
karena masih langka.
Aku sudah lupa apa yang
beliau sampaikan kepadaku selama dalam perjalanan, baik sewaktu menuju
Bonoloyo maupun saat kembali ke Mangkuyudan. Tetapi aku masih ingat
bahwa beliau cukup capek mengayuh sepeda onthel memboncengkan aku ke
Bonoloyo. Demikian pula saat kembali ke Mangkuyudan yang waktunya agak
siang dan cuaca mulai panas. Kadang aku mikir, kenapa saat itu aku tidak
berinisitif untuk bergantian memboncengkan?
Aku
memang tidak berani berinisiatif seperti itu karena berbagai
pertimbangan baik yang menyangkut aspek keselamatan bersama maupun
akhlak atau adab murid kepada guru. Badanku kecil dan pendek, sedangkan
Pak Adib cukup tinggi dan besar. Tenaganya juga jauh lebih kuat dari
pada tenagaku. Singkatnya aku adalah pihak yang lebih kecil atau lemah
sehingga tahu diri untuk tidak menawarkan bergantian membocegkan meski
hanya basa-basi.
Kaitannya dengan adab. Pak
Adib Zaen adalah seorang guru yang sangat tawadhu. Beliau cukup paham
bagaimana harus bersikap kepada orang-orang yang beliau hadapi. Beliau
sangat paham apa itu tawadhu’ dan apa itu takzim.
Dari
Pak Adib aku belajar tentang praktik tawadhu’ khususnya dari pengalaman
beliau memboncengkan aku dengan sepeda onthel. Beliau ngos-ngosan
memang, tapi keikhlasannya sangat aku rasakan. Beliau pasti memiliki
banyak referensi, misalnya hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhu:
ليس منا من لم يرØÙ… صغيرنا ويوقر كبيرنا
Artinya:
“Bukanlah umatku orang-orang yang tidak berbelas kasih kepada yang
kecil (muda) dan bukan pula umatku mereka yang tidak menghormati yang
lebih besar (tua).”
Referensi lain adalah apa yang ditulis Syekh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya berjudul Adabu Al-Alim wal Muta'allim (Adab Guru dan Murid), Bab ke-7, yakni Fi Adabil Alim ma'a Talamidzatihi (Adab Guru terhadap Murid), nomor 13, berbunyi:
أن يتواضع مع الطالب
Artinya: "Guru supaya bertawadhu’ (rendah hati) terhadap murid."
Sekarang
aku juga guru bagi murid-muridku, termasuk anak-anakku. Kadang-kadang
aku memboncengkan mereka dan bukan sebaliknya. Tentu ini tidak salah
dilihat dari adab guru kepada murid karena faktanya sang murid belum
cukup dewasa dan masih pantas dilayani dan dilindungi oleh orang yang
lebih besar dan lebih kuat. Demikianlah pelajaran penting di luar kelas
tentang praktik tawadhu’ guru dari KH Drs M Adib Zaen, M.Pd.I puluhan
tahun silam yang baru aku pahami setelah beberapa lama.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Sumber : www.nu.or.id
Posting Komentar