I.
PENDAHULUAN
Sejarah
penafsiran Alquran telah mengalami beberapa periode. Pada periode klasik,
penafsiran Alquran cenderung bersifat mistis, tidak ada kritisisme dalam
menerima sebuah hasil penafsiran. Jadi seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat
diterima begitu saja. Pada periode pertengahan, sudah ditemukan sedikit nuansa
kritisisme namun masih menunjukkan wajah yang ideologis, sebab masih terdapat
pembelaan terhadap madzhab yang dianut oleh mufassirnya. Berbeda dengan
tafsir yang muncul pada periode kontemporer, dimana penafsiran atas ayat
Alquran memiliki kecenderungan ilmiah dan sudah diwarnai pendekatan-pendekatan
yanng lebih bersifat kritis-filosofis.
Alquran
sendiri merupakan otoritas tertinggi dalam Islam. Alquran merupakan sumber
fundamental bagi akidah, ibadah, etika dan hukum. Bagi kaum muslim, Alquran
adalah kalam Allah yang diturunkan dalam bentuk kata dan makna, dan secara
keseluruhan bersifat autentik dalam otoritas Ilahi.[1]
Alquran
secara definitif adalah kitab yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad
dengan menggunakan bahasa Arab yang makna dan lafadz-nya dari Allah. Pandangan
teologis ini tentu tidak mengesampingkan kenyataan bahwa teknik penyampaian
Alquran berkaitan erat dengan kesepakatan-kesepakatan (baca: bahasa
konvensional) masyarakat pemakai bahasanya (baca: Arab) dan hampir semua
kosakata yang terdapat pada Alquran telah digunakan dalam bentuk dan
Weltanschauung tertentu oleh bangsa Arab pra Islam.
Dalam
studi metodologi penafsiran Alquran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode
kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya
adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah,
Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin
Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh Aisyah Abdurrahman bint
Al-Syathi’ dalam tafsirnya Al-Bayan Li Quran Al Karim.
Bint
Al-Syathi’ mengikhtisarkan gagasan-gagasan Amin Al-Khuli dalam empat prinsip
pokok[2],
yaitu:
1.
Basis metode tafsir adalah memperlakukan
apa yang ingin dipahami dari Alquran secara obyektif.
2.
Untuk memahami gagasan tertentu yang
terkandung dalam Alquran, menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan itu
harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya sehingga keterangan-keterangan
mengenai wahyu dapat diketahui. Namun perlu dicatat bahwa pentingnya pewahyuan
terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan
peristiwa pewahyuannya.
3.
Untuk memahami arti kata-kata Alquran,
harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut
dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya.
4.
Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan,
kita mengikuti konteks nash di dalam Alquran, baik dengan berpegang pada makna nash
maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut dikonfirmasikan dengan pendapat
para mufassir.
Pada
perkembangan berikutnya, gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh
Toshihiko Izutsu menjadi sebuah metode yang dikenal dengan teori Semantik
al-Quran. Makalah berikut ini akan membahas tentang semantik sebagai sebuah
pendekatan penafsiran Alquran.
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian Semantik
Semantik
diturunkan dari kata semainein dalam bahasa Yunani yang mempunyai makna
‘to signify’ (memaknai). Menurut Lyons, semantik pada umumnya diartikan sebagai
suatu studi tentang makna (semanthics is generally defined as study of
meaning).[3]
Sementara itu, Mulyono secara lebih rinci menjelaskan bahwa semantik adalah
satu cabang linguistik yang bertugas menelaah makna kata, bagaimana mula
bukanya, bagaimana perkembangannya, dan apa sebabnya terjadi perubahan makna
dalam sejarah bahasa.[4]
Semantik
merupakan cabang dari linguistik yang membahas aspek-aspek makna bahasa yang
mencakup deksripsi makna kata dan makna kalimat. Dalam bahasa Inggris dikenal
istilah semantics dan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ‘ilm
al-dilalah.[5]
Semantik
menelaah tentang lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna,
hubungan makna yang satu dengan makna yang lain dan pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata,
perkembangan, dan perubahannya.
Adapun
semantik, menurut Toshiko Izutsu, adalah kajian analitik terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia)
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara
dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan
penafsiran dunia yang melingkupinya.[6]
Dalam
perkembangannya, semantik mengalami setidaknya tiga fase, yakni pertama,
fase awal dimana batas antara etimologi dan studi makna memang belum jelas. Kedua,
fase dimana semantik dikatakan sebagai ilmu yang murni historis. Dan ketiga,
adalah fase dimana semantik menjadi lebih jelas arah perkembangannya, yakni
dengan adanya karya Ferdinand de Saussure, yang berjudul Course de
Linguistique Generalle.[7]
B.
Unsur-unsur Semantik
Sebuah kata
terikat kuat dengan orang yang menuturkannya, makna katapun bergantung pada
orang yang mengucapkannya. Seseorang tidak akan mengetahui seseorang yang
mengungkapkan suatu pendapat sebelum dia menyamakan persepsinya tentang makna
kata terhadap orang yang mengucapkan pendapat tersebut. Contohnya kata makanan,
dalam bahasa Indonesia kata tersebut memiliki makna jenis-jenis benda yang bisa
dimakan atau segala sesuatu yang baik untuk dimakan. Berbeda dengan suku Banjar
di Kalimantan yang memaknai makanan sebagai ajakan untuk makan.
Bahasa adalah
lambang bunyi. Secara garis besar, elemen bahasa terdiri dari dua macam, yaitu
bentuk dan makna. Bentuk merupakan elemen fisik tuturan.[8]
Bentuk dari tataran terrendah sampai dengan tataran tertinggi diwujudkan dengan
bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Makna
adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per
orang.[9]
Kata-kata
memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu di luar dirinya. Makna
adalah objek dari simbolisasi itu, kata-kata adalah label yang dihinggapi
sesuatu, dan sesuatu itu adalah makna dari kata itu.
Ferdinand de
Saussure mengemukakan bahwa hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer
dan konvensional. Arbitrer berarti antara bentuk dan makna memiliki hubungan
klausal, logis, alamiah ataupun historis, dan sebagainya. Arbitrer berarti
dipilih secara acak tanpa alasan. Tidak ada hubungan baku antara bentuk/simbol
dan maknanya (yang disimbolkan). Sedangkan konvensional menyarankan bahwa
hubungan antara bentuk dan makna berdasar atas konvensi atau kesepakatan
bersama.[10]
Saussure
menjelaskan bahwa makna adalah hubungan atara objek, gagasan, dan sebagainya (signifie)
dengan bahasa yang diucapkan untuk mengacu padanya (signifiant atau significant).[11]
Signifie (the thing signified) dan signifiant (the thing which
signifies) memiliki hubungan yang erat. Hubungan ini disebut sign atau signification.
C.
Jenis-jenis Makna
Ada berbagai
jenis makna dalam bahasa. Secara dikotomis, makna-makna tersebut dibedakan
menjadi beberapa macam. Penggolongan tersebut dilihat dari berbagai sudut
pandang yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut antara lain:[12]
1)
Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal adalah makna leksem (kata)
ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk
derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang terdapat dalam kamus.
Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya
sebuah leksem di dalam kalimat.
2)
Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif adalah makna kata yang
didasarkan atas penunjukan yang lugas, polos, dan apa adanya (obyektif). Sedang
makna konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan
atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan
pendengar. Aspek makna yang ditimbulkan bersifat nilai emotif.
3)
Makna literal dan makna figuratif
Makna literal merupakan makna lugas atau
harfiyah sebuah kata yang mengacu pada referennya secara harfiah. Sedangkan
makna figuratif adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang (atau
disimpangkan) dari referennya biasa kepada referen lain untuk berbagai tujuan.
4)
Makna primer dan makna sekunder
Makna primer adalah makna satuan kebahasaan
yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks. Adapun makna sekunder adalah
makna satuan kebahasaan yang hanya dapat diidentifikasikan melalui konteks
pemakaian bahasa tersebut.
Selain pembagian makna-makna sebagaimana
dijelaskan di atas, masih terdapat pembagian-pembagian makna lain karena
perbedaan sudut pandang terhadap makna tersebut, diantaranya makna struktural,
makna konstruksi, makna kognitif, makna deskriptif, makna referensial, makna
ideasional, dan lain sebagainya.
Toshihiko Izutsu mengklasifikasikan
jenis makna menjadi:
1)
Makna dasar
Dalam
teori semantik, kata akan bisa dilacak dengan mencari makna atau arti dari kata
itu sendiri, ini yang dimaksud dengan “Makna Dasar”. Makna dasar ini menjadi
langkah awal dalam teori semantik untuk mencari makna dari sebuah teks atau
kata tertentu. Kata dasar dari sebuah kata tertentu akan selalu melekat kapan
pun dan dimana pun kata itu diletakkan. Dalam konteks Al-Quran, kata dasar dapat
diterapkan dengan memberikan makna dasar atau kandungan kontekstualnya pada
kata tertentu dalam Al-Quran, walaupun kata dasar tersebut diambil dari luar
konteks Al-Quran. Kata kitab misalnya, baik makna dasar yang ditemukan dalam
Al-Qur`an atau pun di luar Al-Qur’an maknanya sama yaitu kumpulan wahyu.[13]
Kata
dasar dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara leksikal
dan meneliti dengan pandangan historis perkembangannya, dengan cara ini
otomatis akan mengetahuai Weltanschauung kata tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa makna dasar kata merupakan sesuatu yang melekat pada kata itu
sendiri, yang selalu terbawa di mana pun kata itu diletakkan.[14]
2)
Makna relasional
Makna
relasional menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada
makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi
tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting
lainnya dalam sistem tersebut. Dalam studi Al-Qur`an, makna relasional mengkaji
hubungan gramatikal dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam
posisi tertentu.
Sebagai
gambaran tentang bagaimana makna relasional terbentuk, maka perlu diungkapkan
disini analisis kata yaum yang mempunyai makna dasar “hari”. Di dalam
kajian semantik terdapat medan-medan semantik. Sebagai contoh, kata yaum
mempunyai persamaan kata dengan qiyamah, ba’ats, din, dan hisab. Meski
sama-sama bermakna hari tetapi makna tersebut menunjukkan sebuah relasional
(hubungan) dimana qiyamah berarti kiamat, ba``ats berarti
kehidupan setelah mati, din berarti pengadilan terakhir dan hisab
berarti perhitungan.[15]
Bidang
atau jaringan konseptual yang dibangun oleh kata-kata tersebut biasa disebut
sebagai medan eskatologis. Seperti halnya alam, kekuatan atmosfir yang luar
biasa meliputi seluruh medan dan menguasainya. Tepat di dalam atmosfir itu anda
bisa meletakkan kata yaum bersama dengan makna persisnya. Mungkin kita
akan menyatakan netral- “hari” dalam situasi biasa; pertama kita melihat
variasi bentuk asosiasi kenseptual mengelilinginya dan konsep “hari” ini
sedikit ditandai dengan warna eskatologis. Pendek kata, al-yaum “hari”
dalam medan khusus ini bukanlah hari biasa, tetapi Hari Akhir, yaitu Hari
Pengadilan. Penjelasan yang sama persis digunakan dalam al-Qur’an terhadap kata
sa’ah yang makna dasarnya adalah “saat”. Dalam hal ini pengertiannya
adalah “Saat Kiamat”. Kata ini tidak membutuhkan kombinasi khusus secara aktual
dengan kata-kata lainnya yang memiliki asosiasi eskatologis yang lebih
eksplisit; kata sa’ah itu sendiri sudah cukup menyampaikan semua
kepentingan maksud eskatologis jika hanya, kita tahu, digunakan tidak dalam
makna dasarnya, tetapi dala pengertian khusus pada medan semantik ini.[16]
D.
Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan
Sintaksis
Objek studi
semantik adalah bahasa dengan berbagai komponen dan tatarannya. Komponen bahasa
adalah leksikon atau kosakata dari bahasa tersebut. Sedang tataran bahasa
adalah fonologi dan gramatika (tata bahasa) yang mencakup morfologi dan
sintaksis.
Verhaar
menggambarkan secara jelas mengenai aspek semantik dilihat dari sistematika
bahasa.[17]
Gambaran tersebut dapat diamati pada bagan berikut:
Dari ketiga
aspek kebahasaan tersebut, hanya fonologi yang kosong dari semantik. Namun
tiap-tiap fonem juga berfungsi sebagai pembentuk dan pembeda makna. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ruang lingkup semantik meliputi seluruh komponen
dan tataran analisis bahasa.
E.
Manfaat Semantik dalam Penafsiran Alquran
Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah
saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima petamanya.
Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa adalah
perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia.”[18]
Dengan demikian, kerangka komunikasi dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan
sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, dan Muhammad sebagai komunikator pasif, serta bahasa Arab
sebagai kode komunikasi. Hal senada juga disampaikan Syahrur yang berpendapat
bahwa bahasa adalah satu-satunya media yang paling memungkinkan untuk
menyampaikan wahyu. Wahyu Al-Qur’an berada pada wilayah yang tidak dapat
dipahami manusia sebelum ia menempati media bahasanya.
Bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran
agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan kepada
orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Alquran, seseorang harus
memahami bahasa yang dipakai oleh Alquran, mengetahui dengan jelas makna-makna
yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa sendiri merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna
dan merujuk pada objek tertentu, baik itu objek fisik maupun objek psikis. Oleh
karena itu, diperlukan metode yang bisa mengungkap makna yang terdapat di dalam
kata-kata tersebut sehingga bisa dihasilkan sebuah pemahaman yang menyeluruh
terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam dalam sebuah ucapan
maupun tulisan.
Alquran merupakan tulisan dari kalam Ilahi yang disampaikan melalui
lisan Muhammad saw. Wahyu yang awalnya berbentuk ucapan kemudian dibukukan
dalam bentuk tulisan agar tidak terjadi kekeliruan di masa yang akan datang
ketika ajaran tersebut mulai menyebar luas. Di sisi lain, media tulisan
merupakan media efektif yang terjamin orisinalitasnya dari sang penulis dan
bisa dibawa kemana saja tanpa takut akan kehilangan detail dari memori tentang
suatu hal.
Al-Qur’an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad yang
lalu. Kita tidak akan mengerti makna dan pengetahuan apa saja yang terdapat di
dalam Alquran jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia
diturunkan. Menurut Amin al-Khuli, salah satu cara memahami isi Alquran adalah
dengan melakukan studi aspek internal Alquran. Studi ini meliputi pelacakan
perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu di dalam Alquran dalam
bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini dalam berbagai generasi
serta pengaruhnya secara psikologi-sosial dan peradaban umat terhadap
pergeseran makna.[19]
Berdasarkan
ungkapan di atas, pemaknaan Alquran terikat oleh historisitas kata yang
digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, semantik merupakan salah satu
metode yang ideal dalam pengungkapan makna dan pelacakan perubahan makna yang
berkembang pada sebuah kata sehingga bisa diperoleh sebuah makna yang sesuai
dengan maksud penyampaian oleh sang author (Tuhan). Pendekatan yang cocok dalam
pengungkapan makna serta konsep yang terkandung di dalam Alquran diantaranya
adalah semantik Alquran.
Menurut
Izutsu, Alquran adalah suatu bidang semantik yang sangat luas, yang telah
mengintegrasikan seluruh sistem kata-kata, dari manapun asalnya, ke dalam suatu
interpretasi sistemik baru yang menyeluruh.[20]
Penggunaan istilah weltanschauung (pandangan dunia) oleh Izutsu ketika
mendeskripsikan metodenya, memberikan kunci bagi pemahaman Izutsu tentang
semantik sebagai studi tentang hakikat dan struktur pandangan dunia suatu
bangsa pada suatu periode sejarah yang signifikan, yang dilakukan dengan
menggunakan sarana analisis metodologis atas konsep-konsep kultural yang
dihasilkan oleh bangsa itu sendiri dan terkristalisasi dalam kata-kata kunci
bahasanya.
Pada
masa Arab pra-Islam, terdapat tiga sistem kata yang berbeda secara pandangan
dunianya. Pertama, kosakata badui murni. Kedua, kosakata kelompok pedagang yang
memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata badui dan memiliki pandangan
dunia sendiri. Ketiga, kosakata yahudi-kristen yang memiliki sistem religius
yang juga hidup di tanah Arab. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur
analisis diakronik yang urgen terhadap kosakata Arab pra-Islam.[21]
Sedangkan
pandangan metodologi Sinkronik adalah sebuah analisis terhadap sistem kata
statis yang merupakan satu permukaan dari perjalanan sejarah suatu bahasa
sebagai konsep yang diorganisasikan dalam sebuah jaringan yang rumit. Kondisi
statis dalam kata tersebut dipengaruhi oleh sesuatu yang artifisial. Kata
tersebut di hasilkan oleh satu pukulan atau gerakan arus sejarah terhadap semua
kata-kata dalam sebuah bahasa pada satu titik waktu tertentu.[22]
Penjelasan
tentang perubahan-perubahan semantik memberikan pemahaman tentang sejarah
bahasa Arab yang lebih bernuansa. Terlepas dari persoalan bahwa semua bahasa
pasti mengalami perubahan waktu ke waktu, penjelasan tentang
perubahan-perubahan semantik telah menyingkap kejumudan pemahaman terhadap
Alquran, khususnya terhadap konsep-konsep ‘sakral’ yang selama ini telah
dianggap baku dan ‘selesai’.
F.
Contoh Penafsiran Alquran dengan Pendekatan
Semantik
Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas mengenai pendekatan semantik dalam penafsiran
Alquran, berikut ini contoh penafsiran konsep Rabb (رب) dalam Alquran dengan analisis semantik.
Pertama-tama yang
kita cari adalah makna dasar dari kata tersebut, berdasarkan yang dikenal oleh
orang Arab. Dalam bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”,[23]
“yang menguasai”,[24]
“yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, “yang
merubah”.
Dalam Lisanul Arab,
kata ‘rabb’ dimaknai sebagai مالك
(pemilik) dan مستحق (pemilik).[25]
Sementara ‘rabb´ dalam bentuk fiil (verba) berarti
memiliki/merajai. Ibn ‘Anbary menjelaskan bahwa kata ‘rabb’ terbagi
menjadi tiga makna; pertama, bermakna ‘raja’ (malik); kedua,
bermakna ‘tuan yang harus ditaati’ (as-sayyid al-mutha’); ketiga,
bermakna ‘pemilik yang berbuat baik’ (ar-rabb ul-mushlih).[26]
Menurut
Izutsu Tuhan (Allah) dalam Alquran
adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas di mana tidak
satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya. Secara semantik rabb adalah
kata fokus tertinggi dalam kosa-kata Al-quran, yang menguasai seluruh medan
semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb)
ini dilawankan dengan kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab,
manusia, sifatnya, perbuatan, psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi
pusat perhatian pemikiran Alquran. Dalam hal ini, bagaimana manusia bereaksi
terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama.[27]
Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat
beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan selalu taat kepada perintah
Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam Alquran di sebut dengan rabbani.
Dalam bahasa Arab maupun Al-quran istilah
rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar
bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba
berasal يرب - رب yang berarti
نشاء الشيئ من
حال الى حال الى حال الثمام
(Mengembangkan
sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang
sempurna).
Huruf Ya’ yang berada di belakangnya
adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan). Artinya,
penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT.[28]
Yaitu orang yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, rabbani
adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga
ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani
(orang yang dididik Tuhan)[29]
atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua
ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Jika tali hubungannya
dengan Allah sangat kuat, maka ia tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun
kitabnya.
Dalam Alquran terdapat beberapa makna yang
menyuratkan kembali beberapa makna rabb, diantaranya:
1. Kata rabb bermakna pemilik atau pemimpin
!$yJ¯RÎ) ßNöÏBé& ÷br& yç6ôãr& Uu ÍnÉ»yd Íot$ù#t7ø9$# Ï%©!$# $ygtB§ym ¼ã&s!ur @à2 &äóÓx« ( ßNöÏBé&ur ÷br& tbqä.r& z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÒÊÈ
2. Kata rabb bermakna pengatur
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
3. Kata rabb bermakna pendidik
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
4. Kata rabb bermakna pencipta
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
5. Kata rabb bermakna pemelihara
tA$s% óOs9r& y7În/tçR $uZÏù #YÏ9ur |M÷WÎ6s9ur $uZÏù ô`ÏB x8ÌçHéå tûüÏZÅ ÇÊÑÈ
6. Kata rabb bermakna pemilik
(#rßç6÷èuù=sù ¡>u #x»yd ÏMøt7ø9$# ÇÌÈ
Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan
suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna
lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi
kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal,
pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua
perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga bermakna raja dan
pemilik. Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya.
III. KESIMPULAN
Semantik sebagai salah satu cabang linguistik merupakan metode yang
relevan dalam penafsiran Alquran. Semantik merupakan kajian analitik terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia
masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan
berpikir, tetapi sebagai alat pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya.
Dengan menggunakan metode semantik, seorang mufassir bisa
mengungkap makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an
dengan lebih matang dan lebih rinci. Semantik juga mengungkapkan bahwa konsep
atau pandangan dunia Alquran memuat banyak pesan-pesan yang berguna dalam
kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung:Sinar
Baru Algesindo. 2001.
Baidhawy, Zakiyuddin. Studi
Islam:Pendekatan dan Metode. Yogyakarta:Insan Madani. 2011.
Bintusy-Syathi’, Aisyah
Abdurrahman. Tafsir Bintusy-Syathi’. terj. Mudzakir Abdussalam.
Bandung:Mizan. 1996.
Halim, Muhammad Abdul. Memahami
Al-Quran, Pendekatan Gaya dan Tema. Terj.Rofik Suhud. Bandung:Marja’. 1999.
Hasanah, Mamluatul. Proses Manusia Berbahasa Perspektif al-Qur’an dan
Psikolinguistik. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt,
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap
Al-Qur’an. terj.Amirudin. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya. 2003.
Ma’luf, Luis. al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām. Beirut:al-Maktabah
al-Syarqiyyah. 2007.
Mahmud, Abdul Halim. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an: Tadarus Kehidupan di
Bulan Ramadlan. terj. Irwan Raikhan dan Abu Fahmi. Yogyakarta:
Madani Pustaka Hikmah. 2000.
Mulyono, Slamet. Semantik: Ilmu
Makna, Jakarta:Djambatan. 1964.
Suwandi, Sarwiji. Semantik
Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta:Media Perkasa. 2008.
Syamsuddin, Sahiron. Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam
Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Wahdi, Muhammad Farid. Dairotul Ma’anfil Qur’an: Kamus Umum Bahasa Arab.
Bairut: Darul Ma’rifat. 1971.
Wijana, Dewa Putu & Rohmadi, Muhammad. Semantik:Teori dan Analisis. Surakarta:Yuma Pustaka. 2008.
Yusron, M & dkk., Studi
Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an.
terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKiS. 2005.
[1] Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Quran,
Pendekatan Gaya dan Tema, Terj.Rofik Suhud, Bandung:Marja’. 1999, 21-22.
[2] Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi’, Tafsir
Bintusy-Syathi’, terj. Mudzakir Abdussalam, Bandung:Mizan, 1996, 41-42.
[5] Mamluatul Hasanah, Proses Manusia Berbahasa Perspektif al-Qur’an dan
Psikolinguistik, Malang: UIN-Maliki Press, 2010, 72.
[6]Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan
Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin, Yogyakarta:Tiara
Wacana Yogya, 2003, cet.II, 3.
[8] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori
dan Analisis, Surakarta:Yuma Pustaka, 2008, 9.
[12] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori
…, 22-26. Dan Sarwiji Suwandi, Semantik …, 68-100.
[18] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, 2005, 19.
[21] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan
Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin,
Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003, cet.II,
35.
[22] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan
Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin, Yogyakarta:Tiara
Wacana Yogya, 2003, cet.II, 31.
[24] Sahiron Syamsuddin, Metode
Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an
Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 2002, cet. I, 145.
[27] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan
Semantik Terhadap al-Qur'an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, cet.II, 77-78. lebih lanjut, Izutsu membagi relasi
antara manusia dengan Tuhan, yakni relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi
Tuan-hamba, dan relasi etik.
[28] Muhammad Farid Wahdi, Dairotul
Ma’anfil Qur’an: Kamus Umum Bahasa Arab, Bairut- Libanon: Darul Ma’rifat,
1971, 176.
[29] Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an
fi Syahril Qur’an: Tadarus Kehidupan di Bulan Ramadlan, dari judul asli al-Qur’an
fi Syahril Qur’an, terj. Irwan Raikhan dan Abu Fahmi Yogyakarta:
Madani Pustaka Hikmah, 2000, 26.
Posting Komentar