I.     PENDAHULUAN
Sejarah penafsiran Alquran telah mengalami beberapa periode. Pada periode klasik, penafsiran Alquran cenderung bersifat mistis, tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah hasil penafsiran. Jadi seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat diterima begitu saja. Pada periode pertengahan, sudah ditemukan sedikit nuansa kritisisme namun masih menunjukkan wajah yang ideologis, sebab masih terdapat pembelaan terhadap madzhab yang dianut oleh mufassirnya. Berbeda dengan tafsir yang muncul pada periode kontemporer, dimana penafsiran atas ayat Alquran memiliki kecenderungan ilmiah dan sudah diwarnai pendekatan-pendekatan yanng lebih bersifat kritis-filosofis.
Alquran sendiri merupakan otoritas tertinggi dalam Islam. Alquran merupakan sumber fundamental bagi akidah, ibadah, etika dan hukum. Bagi kaum muslim, Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan dalam bentuk kata dan makna, dan secara keseluruhan bersifat autentik dalam otoritas Ilahi.[1] Alquran secara definitif adalah kitab yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab yang makna dan lafadz-nya dari Allah. Pandangan teologis ini tentu tidak mengesampingkan kenyataan bahwa teknik penyampaian Alquran berkaitan erat dengan kesepakatan-kesepakatan (baca: bahasa konvensional) masyarakat pemakai bahasanya (baca: Arab) dan hampir semua kosakata yang terdapat pada Alquran telah digunakan dalam bentuk dan Weltanschauung tertentu oleh bangsa Arab pra Islam.
Dalam studi metodologi penafsiran Alquran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh Aisyah Abdurrahman bint Al-Syathi’ dalam tafsirnya Al-Bayan Li Quran Al Karim.
Bint Al-Syathi’ mengikhtisarkan gagasan-gagasan Amin Al-Khuli dalam empat prinsip pokok[2], yaitu:
1.      Basis metode tafsir adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Alquran secara obyektif.
2.      Untuk memahami gagasan tertentu yang terkandung dalam Alquran, menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya sehingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dapat diketahui. Namun perlu dicatat bahwa pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.
3.      Untuk memahami arti kata-kata Alquran, harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya.
4.      Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita mengikuti konteks nash di dalam Alquran, baik dengan berpegang pada makna nash maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut dikonfirmasikan dengan pendapat para mufassir.
Pada perkembangan berikutnya, gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu menjadi sebuah metode yang dikenal dengan teori Semantik al-Quran. Makalah berikut ini akan membahas tentang semantik sebagai sebuah pendekatan penafsiran Alquran.

II. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Semantik
Semantik diturunkan dari kata semainein dalam bahasa Yunani yang mempunyai makna ‘to signify’ (memaknai). Menurut Lyons, semantik pada umumnya diartikan sebagai suatu studi tentang makna (semanthics is generally defined as study of meaning).[3] Sementara itu, Mulyono secara lebih rinci menjelaskan bahwa semantik adalah satu cabang linguistik yang bertugas menelaah makna kata, bagaimana mula bukanya, bagaimana perkembangannya, dan apa sebabnya terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.[4]
Semantik merupakan cabang dari linguistik yang membahas aspek-aspek makna bahasa yang mencakup deksripsi makna kata dan makna kalimat. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah semantics dan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ‘ilm al-dilalah.[5]
Semantik menelaah tentang lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan makna yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangan, dan perubahannya.
Adapun semantik, menurut Toshiko Izutsu, adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[6]  
Dalam perkembangannya, semantik mengalami setidaknya tiga fase, yakni pertama, fase awal dimana batas antara etimologi dan studi makna memang belum jelas. Kedua, fase dimana semantik dikatakan sebagai ilmu yang murni historis. Dan ketiga, adalah fase dimana semantik menjadi lebih jelas arah perkembangannya, yakni dengan adanya karya Ferdinand de Saussure, yang berjudul Course de Linguistique Generalle.[7]
B.     Unsur-unsur Semantik
Sebuah kata terikat kuat dengan orang yang menuturkannya, makna katapun bergantung pada orang yang mengucapkannya. Seseorang tidak akan mengetahui seseorang yang mengungkapkan suatu pendapat sebelum dia menyamakan persepsinya tentang makna kata terhadap orang yang mengucapkan pendapat tersebut. Contohnya kata makanan, dalam bahasa Indonesia kata tersebut memiliki makna jenis-jenis benda yang bisa dimakan atau segala sesuatu yang baik untuk dimakan. Berbeda dengan suku Banjar di Kalimantan yang memaknai makanan sebagai ajakan untuk makan.
Bahasa adalah lambang bunyi. Secara garis besar, elemen bahasa terdiri dari dua macam, yaitu bentuk dan makna. Bentuk merupakan elemen fisik tuturan.[8] Bentuk dari tataran terrendah sampai dengan tataran tertinggi diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang per orang.[9]
Kata-kata memiliki makna karena mereka sebagai simbol bagi sesuatu di luar dirinya. Makna adalah objek dari simbolisasi itu, kata-kata adalah label yang dihinggapi sesuatu, dan sesuatu itu adalah makna dari kata itu.
Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Arbitrer berarti antara bentuk dan makna memiliki hubungan klausal, logis, alamiah ataupun historis, dan sebagainya. Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan. Tidak ada hubungan baku antara bentuk/simbol dan maknanya (yang disimbolkan). Sedangkan konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan makna berdasar atas konvensi atau kesepakatan bersama.[10]
Saussure menjelaskan bahwa makna adalah hubungan atara objek, gagasan, dan sebagainya (signifie) dengan bahasa yang diucapkan untuk mengacu padanya (signifiant atau significant).[11] Signifie (the thing signified) dan signifiant (the thing which signifies) memiliki hubungan yang erat. Hubungan ini disebut sign atau signification.
C.     Jenis-jenis Makna
Ada berbagai jenis makna dalam bahasa. Secara dikotomis, makna-makna tersebut dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan tersebut dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut antara lain:[12]
1)   Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal adalah makna leksem (kata) ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti yang terdapat dalam kamus. Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat.
2)   Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif adalah makna kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas, polos, dan apa adanya (obyektif). Sedang makna konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Aspek makna yang ditimbulkan bersifat nilai emotif.
3)   Makna literal dan makna figuratif
Makna literal merupakan makna lugas atau harfiyah sebuah kata yang mengacu pada referennya secara harfiah. Sedangkan makna figuratif adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang (atau disimpangkan) dari referennya biasa kepada referen lain untuk berbagai tujuan.

4)   Makna primer dan makna sekunder
Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks. Adapun makna sekunder adalah makna satuan kebahasaan yang hanya dapat diidentifikasikan melalui konteks pemakaian bahasa tersebut.
Selain pembagian makna-makna sebagaimana dijelaskan di atas, masih terdapat pembagian-pembagian makna lain karena perbedaan sudut pandang terhadap makna tersebut, diantaranya makna struktural, makna konstruksi, makna kognitif, makna deskriptif, makna referensial, makna ideasional, dan lain sebagainya.
Toshihiko Izutsu mengklasifikasikan jenis makna menjadi:
1)   Makna dasar
Dalam teori semantik, kata akan bisa dilacak dengan mencari makna atau arti dari kata itu sendiri, ini yang dimaksud dengan “Makna Dasar”. Makna dasar ini menjadi langkah awal dalam teori semantik untuk mencari makna dari sebuah teks atau kata tertentu. Kata dasar dari sebuah kata tertentu akan selalu melekat kapan pun dan dimana pun kata itu diletakkan. Dalam konteks Al-Quran, kata dasar dapat diterapkan dengan memberikan makna dasar atau kandungan kontekstualnya pada kata tertentu dalam Al-Quran, walaupun kata dasar tersebut diambil dari luar konteks Al-Quran. Kata kitab misalnya, baik makna dasar yang ditemukan dalam Al-Qur`an atau pun di luar Al-Qur’an maknanya sama yaitu kumpulan wahyu.[13]
Kata dasar dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara leksikal dan meneliti dengan pandangan historis perkembangannya, dengan cara ini otomatis akan mengetahuai Weltanschauung kata tersebut. Dapat disimpulkan bahwa makna dasar kata merupakan sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di mana pun kata itu diletakkan.[14]
2)   Makna relasional
Makna relasional menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dalam studi Al-Qur`an, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.
Sebagai gambaran tentang bagaimana makna relasional terbentuk, maka perlu diungkapkan disini analisis kata yaum yang mempunyai makna dasar “hari”. Di dalam kajian semantik terdapat medan-medan semantik. Sebagai contoh, kata yaum mempunyai persamaan kata dengan qiyamah, ba’ats, din, dan hisab. Meski sama-sama bermakna hari tetapi makna tersebut menunjukkan sebuah relasional (hubungan) dimana qiyamah berarti kiamat, ba``ats berarti kehidupan setelah mati, din berarti pengadilan terakhir dan hisab berarti perhitungan.[15]
Bidang atau jaringan konseptual yang dibangun oleh kata-kata tersebut biasa disebut sebagai medan eskatologis. Seperti halnya alam, kekuatan atmosfir yang luar biasa meliputi seluruh medan dan menguasainya. Tepat di dalam atmosfir itu anda bisa meletakkan kata yaum bersama dengan makna persisnya. Mungkin kita akan menyatakan netral- “hari” dalam situasi biasa; pertama kita melihat variasi bentuk asosiasi kenseptual mengelilinginya dan konsep “hari” ini sedikit ditandai dengan warna eskatologis. Pendek kata, al-yaum “hari” dalam medan khusus ini bukanlah hari biasa, tetapi Hari Akhir, yaitu Hari Pengadilan. Penjelasan yang sama persis digunakan dalam al-Qur’an terhadap kata sa’ah yang makna dasarnya adalah “saat”. Dalam hal ini pengertiannya adalah “Saat Kiamat”. Kata ini tidak membutuhkan kombinasi khusus secara aktual dengan kata-kata lainnya yang memiliki asosiasi eskatologis yang lebih eksplisit; kata sa’ah itu sendiri sudah cukup menyampaikan semua kepentingan maksud eskatologis jika hanya, kita tahu, digunakan tidak dalam makna dasarnya, tetapi dala pengertian khusus pada medan semantik ini.[16]
D.    Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis
Objek studi semantik adalah bahasa dengan berbagai komponen dan tatarannya. Komponen bahasa adalah leksikon atau kosakata dari bahasa tersebut. Sedang tataran bahasa adalah fonologi dan gramatika (tata bahasa) yang mencakup morfologi dan sintaksis.
Verhaar menggambarkan secara jelas mengenai aspek semantik dilihat dari sistematika bahasa.[17] Gambaran tersebut dapat diamati pada bagan berikut:

Dari ketiga aspek kebahasaan tersebut, hanya fonologi yang kosong dari semantik. Namun tiap-tiap fonem juga berfungsi sebagai pembentuk dan pembeda makna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang lingkup semantik meliputi seluruh komponen dan tataran analisis bahasa.
E.     Manfaat Semantik dalam Penafsiran Alquran
Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima petamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia.”[18] Dengan demikian, kerangka komunikasi dalam bingkai ini terdiri dari: Tuhan sebagai komunikator aktif yang mengirimkan pesan, dan Muhammad  sebagai komunikator pasif, serta bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Hal senada juga disampaikan Syahrur yang berpendapat bahwa bahasa adalah satu-satunya media yang paling memungkinkan untuk menyampaikan wahyu. Wahyu Al-Qur’an berada pada wilayah yang tidak dapat dipahami manusia sebelum ia menempati media bahasanya.
Bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Alquran, seseorang harus memahami bahasa yang dipakai oleh Alquran, mengetahui dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa sendiri merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna dan merujuk pada objek tertentu, baik itu objek fisik maupun objek psikis. Oleh karena itu, diperlukan metode yang bisa mengungkap makna yang terdapat di dalam kata-kata tersebut sehingga bisa dihasilkan sebuah pemahaman yang menyeluruh terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam dalam sebuah ucapan maupun tulisan.
Alquran merupakan tulisan dari kalam Ilahi yang disampaikan melalui lisan Muhammad saw. Wahyu yang awalnya berbentuk ucapan kemudian dibukukan dalam bentuk tulisan agar tidak terjadi kekeliruan di masa yang akan datang ketika ajaran tersebut mulai menyebar luas. Di sisi lain, media tulisan merupakan media efektif yang terjamin orisinalitasnya dari sang penulis dan bisa dibawa kemana saja tanpa takut akan kehilangan detail dari memori tentang suatu hal.
Al-Qur’an yang kita pegang saat ini memuat bahasa 14 abad yang lalu. Kita tidak akan mengerti makna dan pengetahuan apa saja yang terdapat di dalam Alquran jika tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia diturunkan. Menurut Amin al-Khuli, salah satu cara memahami isi Alquran adalah dengan melakukan studi aspek internal Alquran. Studi ini meliputi pelacakan perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu di dalam Alquran dalam bentuk tunggalnya, kemudian melihat indikasi makna ini dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologi-sosial dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.[19]
Berdasarkan ungkapan di atas, pemaknaan Alquran terikat oleh historisitas kata yang digunakan dalam kitab tersebut. Oleh karena itu, semantik merupakan salah satu metode yang ideal dalam pengungkapan makna dan pelacakan perubahan makna yang berkembang pada sebuah kata sehingga bisa diperoleh sebuah makna yang sesuai dengan maksud penyampaian oleh sang author (Tuhan). Pendekatan yang cocok dalam pengungkapan makna serta konsep yang terkandung di dalam Alquran diantaranya adalah semantik Alquran.
Menurut Izutsu, Alquran adalah suatu bidang semantik yang sangat luas, yang telah mengintegrasikan seluruh sistem kata-kata, dari manapun asalnya, ke dalam suatu interpretasi sistemik baru yang menyeluruh.[20] Penggunaan istilah weltanschauung (pandangan dunia) oleh Izutsu ketika mendeskripsikan metodenya, memberikan kunci bagi pemahaman Izutsu tentang semantik sebagai studi tentang hakikat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa pada suatu periode sejarah yang signifikan, yang dilakukan dengan menggunakan sarana analisis metodologis atas konsep-konsep kultural yang dihasilkan oleh bangsa itu sendiri dan terkristalisasi dalam kata-kata kunci bahasanya.
Pada masa Arab pra-Islam, terdapat tiga sistem kata yang berbeda secara pandangan dunianya. Pertama, kosakata badui murni. Kedua, kosakata kelompok pedagang yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata badui dan memiliki pandangan dunia sendiri. Ketiga, kosakata yahudi-kristen yang memiliki sistem religius yang juga hidup di tanah Arab. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur analisis diakronik yang urgen terhadap kosakata Arab pra-Islam.[21]
Sedangkan pandangan metodologi Sinkronik adalah sebuah analisis terhadap sistem kata statis yang merupakan satu permukaan dari perjalanan sejarah suatu bahasa sebagai konsep yang diorganisasikan dalam sebuah jaringan yang rumit. Kondisi statis dalam kata tersebut dipengaruhi oleh sesuatu yang artifisial. Kata tersebut di hasilkan oleh satu pukulan atau gerakan arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam sebuah bahasa pada satu titik waktu tertentu.[22]
Penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik memberikan pemahaman tentang sejarah bahasa Arab yang lebih bernuansa. Terlepas dari persoalan bahwa semua bahasa pasti mengalami perubahan waktu ke waktu, penjelasan tentang perubahan-perubahan semantik telah menyingkap kejumudan pemahaman terhadap Alquran, khususnya terhadap konsep-konsep ‘sakral’ yang selama ini telah dianggap baku dan ‘selesai’.
F.      Contoh Penafsiran Alquran dengan Pendekatan Semantik
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pendekatan semantik dalam penafsiran Alquran, berikut ini contoh penafsiran konsep Rabb (رب) dalam Alquran dengan analisis semantik.
Pertama-tama yang kita cari adalah makna dasar dari kata tersebut, berdasarkan yang dikenal oleh orang Arab. Dalam bahasa Arab, kata rabb berarti “yang memiliki”,[23] “yang menguasai”,[24] “yang menjaga”, “yang memelihara”, “yang membimbing”, “yang mendidik”, “yang merubah”.
Dalam Lisanul Arab, kata ‘rabb’ dimaknai sebagai مالك (pemilik) dan مستحق (pemilik).[25] Sementara ‘rabb´ dalam bentuk fiil (verba) berarti memiliki/merajai. Ibn ‘Anbary menjelaskan bahwa kata ‘rabb’ terbagi menjadi tiga makna; pertama, bermakna ‘raja’ (malik); kedua, bermakna ‘tuan yang harus ditaati’ (as-sayyid al-mutha’); ketiga, bermakna ‘pemilik yang berbuat baik’ (ar-rabb ul-mushlih).[26]
Menurut Izutsu Tuhan (Allah) dalam Alquran adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, realitas di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya. Secara semantik rabb adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata Al-quran, yang menguasai seluruh medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini dilawankan dengan kata “manusia” (‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan, psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran Alquran. Dalam hal ini, bagaimana manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama.[27]
Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam Alquran di sebut dengan rabbani. Dalam bahasa Arab maupun Al-quran  istilah rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal يرب  - رب  yang berarti
نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام
(Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna).
Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan). Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah SWT.[28] Yaitu orang yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah, dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya oleh Allah SWT.  Oleh karena itu,  rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan)[29] atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan. Jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, maka ia tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya.
Dalam Alquran terdapat beberapa makna yang menyuratkan kembali beberapa makna rabb, diantaranya:
1.      Kata rabb bermakna pemilik atau pemimpin
!$yJ¯RÎ) ßNöÏBé& ÷br& yç6ôãr& žUu ÍnÉ»yd Íot$ù#t7ø9$# Ï%©!$# $ygtB§ym ¼ã&s!ur @à2 &äóÓx« ( ßNöÏBé&ur ÷br& tbqä.r& z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÒÊÈ
2.      Kata rabb bermakna pengatur
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ
3.      Kata rabb bermakna pendidik
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ
ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ


4.      Kata rabb bermakna pencipta
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
5.      Kata rabb bermakna pemelihara
tA$s% óOs9r& y7În/tçR $uZŠÏù #YÏ9ur |M÷WÎ6s9ur $uZŠÏù ô`ÏB x8̍çHéå tûüÏZÅ ÇÊÑÈ
6.      Kata rabb bermakna pemilik
(#rßç6÷èuù=sù ¡>u #x»yd ÏMøt7ø9$# ÇÌÈ
Menurut Toshiko Izutsu, ia juga menemukan suatu relasi kata rabb dengan kata-kata lain yang mengindikasikan makna lain terhadap kata rabb, yakni: Tuhan yang menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara, mengawasi di samping juga memperbaiki segala hal, pemimpin, kepala yang diakui kekuasaannya yang berwibawa dan yang semua perintah-perintahnya dipatuhi dan diindahkan, ia juga bermakna raja dan pemilik. Makna-makna ini adalah relasi rabb dengan sifat-sifatnya.

III. KESIMPULAN
Semantik sebagai salah satu cabang linguistik merupakan metode yang relevan dalam penafsiran Alquran. Semantik merupakan kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi sebagai alat pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Dengan menggunakan metode semantik, seorang mufassir bisa mengungkap makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dengan lebih matang dan lebih rinci. Semantik juga mengungkapkan bahwa konsep atau pandangan dunia Alquran memuat banyak pesan-pesan yang berguna dalam kehidupan manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung:Sinar Baru Algesindo. 2001.
Baidhawy, Zakiyuddin. Studi Islam:Pendekatan dan Metode. Yogyakarta:Insan Madani. 2011.
Bintusy-Syathi’, Aisyah Abdurrahman. Tafsir Bintusy-Syathi’. terj. Mudzakir Abdussalam. Bandung:Mizan. 1996.
Halim, Muhammad Abdul. Memahami Al-Quran, Pendekatan Gaya dan Tema. Terj.Rofik Suhud. Bandung:Marja’. 1999.
Hasanah, Mamluatul. Proses Manusia Berbahasa Perspektif al-Qur’an dan Psikolinguistik. Malang: UIN-Maliki Press. 2010.
Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt,
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an. terj.Amirudin. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya. 2003.
 Ma’luf, Luis. al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām. Beirut:al-Maktabah al-Syarqiyyah. 2007.
Mahmud, Abdul Halim. Al-Qur’an fi Syahril Qur’an: Tadarus Kehidupan di Bulan Ramadlan. terj. Irwan Raikhan dan Abu Fahmi. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah. 2000.
Mulyono, Slamet. Semantik: Ilmu Makna, Jakarta:Djambatan. 1964.
Suwandi, Sarwiji. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta:Media Perkasa. 2008.
Syamsuddin, Sahiron. Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Wahdi, Muhammad Farid. Dairotul Ma’anfil Qur’an: Kamus Umum Bahasa Arab. Bairut: Darul Ma’rifat. 1971.
Wijana, Dewa Putu & Rohmadi, Muhammad. Semantik:Teori dan Analisis. Surakarta:Yuma Pustaka. 2008.
Yusron, M & dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras. 2006.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an. terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKiS. 2005.



[1] Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Quran, Pendekatan Gaya dan Tema, Terj.Rofik Suhud, Bandung:Marja’. 1999, 21-22.
[2] Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi’, Tafsir Bintusy-Syathi’, terj. Mudzakir Abdussalam, Bandung:Mizan, 1996, 41-42.
[3] Sarwiji Suwandi, Semantik Pengantar Kajian Makna, Yogyakarta:Media Perkasa, 2008, 9.
[4] Slamet Mulyono, Semantik: Ilmu Makna, Jakarta:Djambatan, 1964, 1.
[5] Mamluatul Hasanah, Proses Manusia Berbahasa Perspektif al-Qur’an dan Psikolinguistik, Malang: UIN-Maliki Press, 2010, 72.
[6]Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin, Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003, cet.II, 3.
[7]Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2001, 15-17.
[8] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori dan Analisis, Surakarta:Yuma Pustaka, 2008, 9.
[9] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori…, 11.
[10] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori…, 12.
[11] Sarwiji Suwandi, Semantik Pengantar Kajian Makna, Yogyakarta:Media Perkasa, 2008, 12.
[12] Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi, Semantik:Teori …, 22-26. Dan Sarwiji Suwandi, Semantik …, 68-100.
[13] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia… 11.
[14] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia… 12.
[15] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia… 13.
[16] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia… 13.
[17] Sarwiji Suwandi, Semantik …, 15.
[18] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, 2005,  19.
[19] M. Yusron dkk., Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Teras, 2006, 18.
[20] Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam:Pendekatan dan Metode, Yogyakarta:Insan Madani, 2011, 81.
[21] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin, Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003, cet.II,  35.
[22] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.Amirudin, Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2003, cet.II, 31.
[23] Luis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lām, Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyyah, 2007, 243.
[24] Sahiron Syamsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002, cet. I, 145.
[25] Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 1546.
[26] Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 1547.
[27] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur'an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, cet.II, 77-78. lebih lanjut, Izutsu membagi relasi antara manusia dengan Tuhan, yakni relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi Tuan-hamba, dan relasi etik.
[28] Muhammad Farid Wahdi, Dairotul Ma’anfil Qur’an: Kamus Umum Bahasa Arab, Bairut- Libanon: Darul Ma’rifat, 1971,  176.
[29] Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an fi Syahril Qur’an: Tadarus Kehidupan di Bulan Ramadlan, dari judul asli al-Qur’an fi Syahril Qur’an, terj. Irwan Raikhan dan Abu Fahmi Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2000,  26.

Post a Comment