I.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses
membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan. Dalam
arti luas, pendidikan, baik formal maupun informal, meliputi segala hal yang
memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat
mereka hidup.[1] Sedangkan
Kamal Hasan yang dikutip Imas Kurniasih mendefinisikan pendidikan sebagai suatu
proses seumur hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan
peranannya sabagai khalifatullah di muka bumi.[2]
Dengan pengertian tersebut, proses pendidikan ditujukan sebagai usaha untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam diri manusia.
Dalam masyarakat yang
peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada
semenjak munculnya peradaban manusia.[3]
Sebab, semenjak awal manusia diciptakan upaya membangun peradaban selalu
dilakukan. Manusia mencita-citakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera.
Melalui proses kependidikan yang benar dan baik maka cita-cita ini diyakini
akan terwujud dalam realitas kehidupan manusia.
Pendidikan pada umumnya
ditujukan untuk menanamkan nila-nilai dan norma-norma tertentu sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yaitu nilai atau norma yang
dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.[4]
Namun tidak dapat dipungkiri, seringkali dasar filosofis tersebut belum
terkonsep secara matang oleh pelaku pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada
lembaga pendidikan tertentu dimana pola dan sistem pendidikan yang
dilembagakan cenderung tidak stabil.
Oleh karena itu, dalam
rangka mempersiapkan pendidikan yang baik maka perlu diawali dengan menetapkan
dasar filosofis yang mantap dan ditunjang oleh seperangkat teori kependidikan
yang memadai. Hal ini dikarenakan proses pendidikan yang dilakukan senantiasa
didasarkan atas suatu keyakinan tertentu, yaitu suatu pandangan atau pemikiran
yang bersifat idealis-filosofis-teoritis[5],
termasuk pandangan tentang manusia dan masyarakat.
Manusia merupakan makhluk
individu sekaligus makhluk sosial yang tereduksi dalam sebuah komunitas atau masyarakat..
Melalui konsep zoon politikon, Thomas Aquinas secara tidak langsung
mengakui eksistensi sosial sekaligus individual manusia di atas. Meski beberapa
ahli lebih menyatakan teori zoon politikon tak lebih dari kebutuhan
manusia untuk bereksistensi di dalam masyarakat politik, tetapi bagi Aquinas, zoon
politikon merupakan konsep yang menyatakan bahwa melalui kemampuan akal dan
berbicaranya manusia bekerjasama untuk mendirikan komunitas politik, yaitu
perkumpulan “manusia-manusia bebas”. Manusia bebas menurut Aquinas manusia yang
dapat mengarahkan dirinya sendiri.[6]
Kemampuan mengarahkan diri sendiri yang menunjukkan kesempurnaan makhluk inilah
yang kemudian mendasarinya menyebut manusia sebagai persona.[7]
Bagaimana dengan Islam? Pengakuan
Islam atas eksistensinya sebagai individu maupun makhluk sosial salah satunya
dapat kita lihat dari proses penciptaan manusia itu sendiri. Secara umum,
al-Qur’an menyatakan manusia diciptakan dari yang satu, yaitu Adam, yang
darinya Allah menciptakan perempuan, yaitu Hawa. Dan dari keduanya manusia
berkembang biak. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً ….
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. …. (QS. An-Nisa’: 1)
Bila diteliti secara
mendalam, di dalam al-Qur’an terdapat dua informasi penciptaan manusia, yaitu; pertama,
penciptaan secara primordial, yakni tentang penciptaan manusia pertama, Adam
as. Penciptaan ini berbeda dengan penciptaan manusia yang lain. Di dalam
penciptaan jenis pertama ini, di dalam al-Qur’an, Allah sebagai al-Khaliq
menggunakan kata ganti (dhamir) tunggal. Misalnya di dalam QS. Al-Baqarah ayat
30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ
فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah ayat 30)
QS. Al-Hijr ayat 28:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.” (QS.
Al-Hijr ayat 28)
Dhomir tunggal ini menunjukkan
tidak diperlukannya campur tangan pihak lain dalam proses penciptaan, kecuali
Allah sendiri.[8] Ini
menunjukkan kepada kita betapa sesungguhnya Allah mengajarkan kita akan
kemampuan manusia secara individu untuk mengatur dirinya.
Penciptaan kedua
adalah penciptaan manusia secara umum. Di dalam penciptaan ini, di dalam
al-Qur’an dituliskan bahwa kata ganti Allah sebagai Sang Pencipta menggunakan
kata ganti jamak. Kita bisa lihat dalam QS. Yasin ayat 77:
أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ
نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
Dan
Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air
(mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! (QS. Yasin: 77)
Juga di dalam QS. Al-Insan
ayat 2 yang berbunyi:
$¯RÎ) $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB >pxÿôÜR 8l$t±øBr& ÏmÎ=tGö6¯R çm»oYù=yèyfsù $JèÏJy #·ÅÁt/
Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[1535] yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia
mendengar dan melihat. (QS.
Al-Insan: 2)
Dengan kata ganti (dhamir)
jamak tersebut menunjukkan bahwa Allah melibatkan pihak lain dalam penciptaan
manusia, yaitu manusia lain.[9]
Ini mengindikasikan bahwa eksistensi manusia sebenarnya tidak terlepas dari
eksistensi manusia lainnya. Di sinilah posisi manusia sebagai makhluk sosial.
Di dalam makalah ini penulis
tidak hendak membahas eksistensi manusia secara pribadi, melainkan manusia
sebagai makhluk sosial yang terkumpul dalam sebuah masyarakat manusia dilihat dari
sudut pandang Islam. Berdasar pada prinsip-prinsip yang menjadi pandangan Islam
mengenai masyarakat manusia ini kemudian akan dicari implikasi serta aplikasi
pandangan tersebut di dalam Pendidikan Islam serta supervisi Pendidikan Agama
Islam.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Masyarakat dalam Terminologi
Modern
Masyarakat dipandang sebagai
sebauah sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah organisme yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling bergantung karena memiliki fungsinya
masing-masing dalam keseluruhan.[10]
Bagian-bagian yang dimaksud adalah individu-individu yang menjadi anggotanya.
Masyarakat terdiri atas
individu-individu manusia yang membentuk dan dibentuk oleh organisasi.
Masyarakat adalah manusia organisasi. Masyarakat adalah perpaduan antara
heterogenitas dan keteraturan. Masyarakat adalah bentuk paling modern dari
peradaban manusia hingga saat ini, dari bentuk awalnya komunitas homogen
berkembang menjadi massa yang heterogen.[11]
Terdapat beberapa ciri-ciri
dari konsep masyarakat, antara lain:[12]
1.
Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya
terdiri atas dua orang.
2.
Bercampur atau bergaul dalam waktu cukup lama.
Berkumpulnya manusia menimbulkan manusia-manusia baru. Sebagai akibat hidup
bersama itu muncul sistem komunikasi dan peraturan yang mengatur hubungan antar
manusia.
3.
Sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
4.
Merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem
kehidupan bersama ini dapat memunculkan kebudayaan.
B.
Term Masyarakat di Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup manusia berlaku secara universal. Artinya al-Qur’an meski diturunkan
dalam bahasa Arab namun isi dan kandungannya tidak terbatas oleh negara, suku,
ras, dan warna kulit.
Diturunkannya al-Qur’an ke
dalam Bahasa Arab sendiri diakui oleh al-Qur’an melalui ungkapan eksplisit ke
dalam dua bentuk. Bentuk pertama dengan ungkapan قرأناً عربيًا
(al-Qur’an yang berbahasa Arab) sebanyak enam kali. Dan bentuk kedua dengan
ungkapan لسانٌ عربيٌ (dengan Bahasa Arab) sebanyak tiga kali.[13]
Salah satu keistimewaan bahasa Arab yang dipilih Allah menjadi
bahasa al-Qur’an adalah redaksinya singkat, teliti lagi padat serta kaya isi
dan makna yang dalam. Sehingga penalaran dan informasinya memuaskan semua pihak
yang mempunyai pemahaman dan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda pada setiap
masa dan tempat.[14]
Dengan demikian pemilihan kosakata di dalam ayat al-Qur’an tentu tidak semata karena
alasan kepraktisan redaksional semata, melainkan memiliki makna besar di
dalamnya.
Pengungkapan al-Qur’an tentang masyarakat atau
komunitas manusia melalui bentuk term yang bervariasi. Term-term tersebut
antara lain; qaum, ummah, sya’b, qabilah, firqah, thaifah, hizb,
dan fauj. Di dalam makalah ini akan dijelaskan pengertian dua term
diantara berbagai term yang ada, yaitu qaum dan ummah.
1.
Qaum
Menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam al Maqayis fi
al-Lughah yang dikutib oleh Ali Nurdin, Qaum (terdiri dari tiga
huruf; qaf, wawu, dan mim) memiliki dua akar makna dasar, yaitu
“kelompok manusia” dan “berdiri tegak atau tekad”.[15] Berdiri
tegak di sini diartikan sebagai mampu memelihara sesuatu agar tetap ada.[16]
Sedangkan Muhammad Syahrur berpendapat setidaknya
terdapat tiga definisi bagi term qaum, antara lain;
a. Qaum bermakna sebagai komunitas laki-laki, sebagai lawan
kata an-nisa’ (komunitas perempuan)[17], seperti
yang tertulis dalam QS.al-Hujurat: 11 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا
نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا
أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan
Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS.al-Hujurat: 11)
b. Qaum bermakna sebagai komunitas manusia berakal, baik
laki-laki maupun perempuan pada kondisi sosial masyarakat tertentu.[18]
Salah satu ayat yang menunjukkan makna ini adalah QS. Nuh ayat 1-2.
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا
إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ (١) قَالَ
يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (٢)
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab
yang pedih", Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu. (QS. Nuh: 1-2)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ
إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Kami
tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. Ibrahim: 4)
Dengan pengertian-pengertian tersebut di
atas, maka dapat kita simpulkan bahwa qaum berarti komunitas manusia berakal
yang mempunyai perangkat pemikiran serta alat komunikasi yang dengannya mereka bersama-sama
menjaga/memelihara eksistensi mereka sendiri.
Kata qaum ini
digunakan secara berulang sebanyak 383 kali di dalam al-Qur’an. Jumlah ini
lebih banyak dibandingkan dengan term lain yang menunjukkan arti masyarakat. [20]
2.
Ummah
Term ummah berasal
dari kata amma yang kemudian berderivasi menjadi banyak kata, misalnya; imam
(pemimpin yaitu orang-orang yang menganjurkan kebaikan dan diikuti perilaku dan
petuahnya oleh manusia), dan al-ummi (bodoh).[21]
Selain makna tersebut, term ummah
juga bermakna sebagai binatang-binatang yang ada di bumi (QS. Al-An’am: 38),
makhluk dari bangsa jin dan manusia (QS. Al-A’raf: 38), waktu yang terekam (QS.
Hud: 8).
Ummah juga bisa
bermakna kumpulan makhluk hidup (manusia) yang berakal yang memiliki perilaku
seragam.[22] Hal ini dapat
dilihat dari QS. Al-Baqarah: 123 yang berbunyi:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي
نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلا تَنْفَعُهَا
شَفَاعَةٌ وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ
Dan takutlah
kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang
lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak
akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan
ditolong. (QS. Al-Baqarah:
123)
a.
Generasi manusia yang kepada mereka diutus
seorang nabi atau rasul. QS. Al-An’am: 42 berbunyi:
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ
Dan
Sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum
kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri. (QS.
Al-An’am: 42)
b.
Suatu jamaah atau golongan manusia yang
menganut suatu agama. QS. Al-A’raf: 159 berbunyi:
وَمِنْ
قَوْمِ مُوسَى أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Dan di antara
kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan
hak dan dengan yang hak Itulah mereka menjalankan keadilan. (QS.
Al-A’raf: 159)
c.
Suatu jamaah manusia dari berbagai golongan sosial
yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka bersatu. QS. Al-Mu’minun: 52
berbunyi:
وَإِنَّ
هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ
Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah
Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu’minun: 52)
Berdasarkan uraian di atas
maka dapat kita simpulkan bahwa term ummah lebih ditujukan pada pengertian sekelompok
manusia yang telah diikat dalam sebuah ikatan aturan (agama misalnya).
Berdasarkan dua pengertian
dua term al-Qur’an yang merujuk pada pengertian masyarakat tersebut di atas,
maka masyarakat di dalam al-Qur’an dapat dimaknai sebagai sekelompok manusia
berakal yang dapat berkomunikasi dan diikat dalam sebuah aturan untuk menjaga/memelihara
eksistensinya.
C.
Prinsip-Prinsip Pandangan Islam Mengenai
Masyarakat
Masyarakat merupakan arena
tempat dimana individu dan kelomok berinteraksi, menjalin hubungan sesamanya,
dimana usaha berpadu, saling memahami dan menyatakan rasa masing-masing.[24]
Prinsip-prinsip masyarakat dari
sudut pandang Islam antara lain:
1.
Prinsip pertama; kepercayaan bahwa masyarakat adalah sekumpulan dan sekelompok individu yang diikat
oleh kesatuan tanah air, kebudayaan dan agama.[25]
Bila kita
bandingkan dengan pengertian term-term al-Qur’an yang merujuk pada makna
masyarakat di atas tentu kita akan sedikit menemukan perbedaan. Paling tidak
pada keluasan cakupan ikatan yang menyatukan masyarakat itu sendiri. Perbedaan
tersebut menjadi wajar jika kita melihat bahwa sudut pandang dan waktu
pengambilan definisi yang berbeda pula.
Definisi
al-Qur’an merupakan definisi eksplisit yang diambil dari teks-teks (ayat-ayat)
yang bersifat baku. Sedangkan definisi terakhir yang dikemukakan merupakan
definisi yang seringkali digunakan oleh sosiolog muslim modern.
Pertanyaannya
adalah apakah perbedaan pengertian yang demikian merupakan hal yang prinsip
atau bukan. Omar
Mohammad al-Taoumy al-Syaibany menyadari bahwa di dalam sumber-sumber Islam
yang pokok seperti Al-Qur’an, Sunah dan Riwayat Salafus Salih mungkin tidak
ditemukan definisi masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam ilmu sosiologi
modern.[26]
Dan bila kita amati secara cermat, hemat
penulis, sebenarnya tidak terdapat perbedaan signifikan dari kedua pengertian
tersebut selain sekedar keluasan cakupan ikatan yang menyatukan masyarakat
saja. Pengertian yang diambil dari al-Qur’an menitik-beratkan agama sebagai
pengikat individu manusia di dalam masyarakat, sedangkan pengertian sosiolog
modern meletakkan tanah air, budaya, dan agama sebagai pengikatnya.
Sebagai petunjuk
hidup (guidance of life) dan jalan hidup (way of life), Islam mengatur
tidak sekedar hubungan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga memberi
petunjuk bagaimana hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungannya. Maka semakin terlihat kentara bahwa Islam datang untuk membangun
masyarakat yang baik dan utama[27]
yang bersifat menyeluruh bagi semua manusia di dunia dengan segala perbedaan
yang dimilikinya.[28]
Di dalam QS.
Al-Anbiya: 107 Allah berfirman:
!$tBur
»oYù=yör&
wÎ)
ZptHôqy
úüÏJn=»yèù=Ïj9
Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS.
Al-Anbiya: 107)
Lafald rahmatal
lil ‘alamin di dalam ayat tersebut menunjukkan Islam datang dengan ajaran
yang bersifat universal, tentu dengan konsekuensi mengakui segala perbedaan
yang ada, baik perbedaan suku, ras, maupun agama. Ini dibuktikan dengan sikap Islam
menyangkut kebebasan untuk menganut kepercayaan. Kita bisa lihat hal ini di
dalam QS. Al-Kafirun ayat 6 maupun QS. Al-Baqarah ayat 256.
2.
Prinsip kedua; kepercayaan bahwa masyarakat Islam mempunyai
identitas khas dan ciri-ciri tersendiri.[29]
Dalam dunia
modern dengan berbagai macam corak masyarakat, maka nilai universalitas Islam,
seperti yang telah dikemukakan pada prinsip pertama, menjadi sangat penting. Dengan
nilai universal di atas, Islam mampu bergaul dengan segala jenis dan bentuk
masyarakat. Pada posisi ini, Islam telah memasuki arena komunikasi di antara
berbagai bangsa yang memiliki kepercayaan, kebangsaan, dan kebudayaan yang
berbeda beda dengan pemikiran terbuka tanpa perasaan curiga.
Meski masyarakat
Islam merupakan masyarakat yang universal yang mengakui perbedaan bangsa, suku,
warna kulit, dan agama, namun masyarakat Islam memiliki identitas dan ciri
khusus yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dengan ciri khusus ini-lah
kemudian Islam berusaha membangun masyarakat ideal, yang di dalam al-Qur’an
disebut dengan term ummatan wasathan (masyarakat pertengahan, moderat,
adil)[30],
ummatan muqtashidah (masyarakat yang tidak berlebih-lebihan)[31],
dan khaira ummah (masyarakat terbaik, unggul, ideal)[32].
Al-Syabany melalui
bukunya “Falsafatut Tarbiyah Al-Islamiyyah” yang disadur oleh Hasan
Langgulung, menyebutkan ciri-ciri masyarakat Islam[33],
antara lain:
a. Masyarakat Islam terwujud atas tonggak iman kepada Allah SWT, para nabi, rasul dan
kitab-kitab samawi, ahri akhir, hari kebangkitan, hari berkumpul dipadang
maksar, perhitungan dan balasan. Prinsip tersebut disebut prinsip tauhid,
artinya menghilangkan kesyirikan, salah satunya syirik sosial (menjadikan
manusia lain seperti Tuhan dan penguasa mutlak), dan hanya mengakui satu
penguasa, Sang Penguasa, yaitu Allah SWT.
b. Agama diletakan pada proposi yang tertinggi
c. Penilaian yang tinggi diberikan kepada akhlak dan tata susila.
d. Ilmu diberi perhatian yang tinggi.
e. Masyarakat Islam menghormati dan menjaga kehormatan manusia.
f. Keluarga dan kehidupan keluarga mendapat perhatian yang besar.
g. Masyarakat islam ialah masyarakat yang dinamik.
h. Kerja mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam masyarakat Islam.
i.
Nilai dan peranan
harta diperhitungkan untuk menjaga kehormatan insan dan pembangunan masyarakat umat.
j.
Kekuatan dan
keteguhan yang dilentur oleh agama.
3.
Prinsip ketiga; kepercayaan bahwa dasar pembinaan masyarakat Islam
adalah aqidah keimanan tentang wujud, dan ke-Esaan Allah.[34]
Rukun iman
merupakan salah satu tiang asas masyarakat Islam. Artinya, jika keimanan telah
ada pada semua individu maka dipastikan sesungguhnya masyarakat ideal seperti
halnya ciri-ciri yang telah diuraikan pada prinsip kedua akan segera terwujud.
Keimanan yang
memberikan manfaat adalah keimanan yang memadukan keyakinan di hati dan di
lisan, keimanan yang mampu melahirkan kebaikan.[35]
Dengan sungguh-sungguh beriman kepada Allah maka mendorong manusia lebih
berpegang teguh pada nilai-nilai luhur, keutamaan dan akhlak yang tinggi ketika
bergaul dengan orang lain.[36]
Implikasi nyata keimanan pada diri seseorang adalah dampak positif yang
ditimbulkannya berupa kesehatan jiwa, akal, dan moral. Keimanan kepada Alah
juga merupakan motivator bagi perilaku yang baik, sebab ia menjadikan kebaikan
dan kesalehan sebagai pondasi yang kokoh.[37]
Agama pada
hakikatnya mengarahkan konsep hidup manusia, hubungannya dengan Tuhan, jagat
raya, pribadi dan kelompok masyarakat. Maka melihat Islam bukan semata pada persoalan
fiqhiyah (yang sering dimakanai sebagai ibadah), tetapi juga pada
persoalan-persoalan hubungan manusia dengan lingkungannya (muamalah).
Ibadah dalam
kaidah ubudiyah merupakan tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan ritual
langsung antara hamba dan Tuhannya dimana acara, tatacara, serta upacaranya
telah ditentukan secara terinci dalam al-Qur’an dan Sunah Rasul.[39]
Sedang dalam artian luas, ibadah merupakan segala sikap, gerak-gerik,
tingkah-laku, dan perbuatan yang memiliki tiga tanda, yaitu; niat yang ikhlas
sebagai titik tolak, keridhaan sebagai titik tujuan, dan amal salih sebagai
garis amalan.[40]
Dengan kedua
makna ibadah di atas, maka manusia yang menyatakan dirinya beriman praktis akan
senantiasa mengontrol perbuatannya agar sesuai dengan kaidah yang telah
ditetapkan, tujuannya supaya setiap tindakannya dapat bernilai ibadah.
Sedangkan
muamalah merupakan tata aturan Ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan
hubungan antara manusia dan benda.[41]
Aturan-aturan Islam dalam bidang muamalah inilah kemudian yang seringkali
menjadi dasar konsep masyarakat menurut Islam seperti yang sedang dibahas dalam
makalah ini.
5.
Prinsip kelima; kepercayaan bahwa ilmu itu adalah dasar yang
terbaik bagi kemajuan masyarakat sesudah agama.[42]
Bagi Abdul Munir
Mulkhan, ilmu dianggap sebagai hasil kerja intelektual yang kebenarannya tidak
bersifat final atau relative sehingga membuka peluang bagi lahirnya ilmu-ilmu
baru selain teori-teori yang pernah ada.[43]
Di dalam Islam, keberadaan
ilmu hampir bisa dikatakan selalu terbagi menjadi dua, ilmu yang bersifat
teologia yang berisi tuntunan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, dan ilmu yang
bersifat alamiah yakni ilmu yang berkaitan dengan manusia dalam hubungannya
dengan alam sekitarnya.
Ilmu yang
bersifat teologia yang demikian, mendasarkan dirinya pada ayat-ayat qauliyah
(al-Qur’an dan Hadits). Sedangkan ilmu alamiah mendasarkan pada ayat-ayat
kauniyah, yaitu fenomena alam (natural phenomena).
Di dalam Islam,
term ‘alam seakar dengan al-‘ilm, yang bisa dimaknai sebagai
penunjuk jalan. Dalam konteks ini, ‘alam dengan seluruh fenomenanya
adalah merupakan penunjuk jalan bagi manusia untuk sampai pada makna sesuatu
atau objek ilmu pengetahuan.[44]
Dengan pengertian
term ‘ilmu sebagai petunjuk jalan di atas, maka sudah jelas bahwasanya
Islam memposisikan ilmu di dalam posisi yang tinggi dalam meletakkan pondasi
masyarakat Islam yang ideal. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. Al-Mujadalah
ayat 11.
Perubahan yang
dimaksudkan di sini adalah perubahan yang meliputi struktur masyarakat, sistem,
kebudayaan, nilai, akhlak dan cara hidup, tradisi, kebiasaan, undang-undang,
dan segala sesuatu yang ada dalam masyarakat tersebut. [46]
Sementara itu Selo
Sumarjdan yang dikutip oleh Bagja Waluya merumuskan perubahan sosial sebagai
segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap,
dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[47]
Untuk menjadikan proses
perubahan itu baik dan terpuji hendaklah berlaku dalam batas akidah agama dan
akhlak. Perubahan tersebut harus diawali dari pemikiran dan perencanaan
mendalam dan dilakukan tahap demi tahap sesuai dengan perhitungan matang.[48]
Dalam hal perubahan, Islam
merupakan agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat. Namun perubahan
dalam masyarakat Islam harus tetap pada atas ajaran yang tertuang di dalam
al-Qur’an dan sunah, tauhid yang mutlak, akhlak mulia, rasional, dan realistis
untuk kepentingan manusia.[49]
Sebagaimana diketahui
bahwa kebutuhan manusia berbeda menurut keadaan, masa, dan tempat. Kadangpula
terjadi ketidak-puasan masyarakat akan kondisi sosial, akibat dari tekanan
pihak lain atau kekecewaan, maka masyarakat menginginkan ada perubahan agar
terlepas dari kondisi lama dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.[50]
Ini berarti bentuk pergaulan muamalah dan peraturan harus disesuaikan dengan
keadaan-keadaan tersebut. Seandainya peraturan dan disiplin tidak disesuaikan
dengan kebutuhan, maka ia akan ditinggalkan orang dan mereka mencari yang lain.[51]
7.
Prinsip ketujuh; kepercayaan pada pentingnya individu dalam
masyarakat.
Hubungan-hubungan sosial
yang ada dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan hubungan antara
peranan-peranan individu dalam masyarakat.[52]
Dan oleh karena peranan pentingnya di dalam sebuah komunitas bernama masyarakat
inilah kemudian Islam mengakui harga diri dan nilai diri manusia tersebut.
Pribadi dan
masyarakat mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya
saling bekerja sama saling menyempurnakan antara satu dengan lainnya. Di antara
keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi. Oleh karenanya, pribadi tidak
boleh melepaskan diri dari masyarakat, dan masyarakat tidak akan lepas dari
pribadi.[53]
Keluarga merupakan jiwa
masyarakat dan tulang punggungnya.[55]
Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau
sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keluarga
keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut. Keluarga merupakan unit
terkecil dari suatu Negara.
Menurut pandangan
al-Qur’an, kehidupan kekeluargaan, di samping menjadi salah satu tanda dari
sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi, juga merupakan kenikmatan yang harus
dapat dimanfaatkan sekaligus disyukuri. Di dalam QS. Ar-Rum: 21 Allah
berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Lembaga keluarga
juga merupakan tempat pembentukan karakter anak utama, terlebih pada masa-masa
awal pertumbuhan mereka sebagai manusia. Dalam hal ini keluarga memiliki
investasi afeksi yang tidak dapat tergantikan oleh peranan lembaga lain di luar
keluarga.[56]
9.
Prinsip kesembilan; kepercayaan bahwa segalah yang menuju
kesejahteraan bersama, keadilan, dan kemaslahatan antara manusia merupakan tujuan syariat
dan agama Islam.[57]
a.
Prinsip Maslahat Umat
Secara umum, tujuan yang
ingin dicapai oleh ajaran Islam adalah kemaslahatan umat manusia secara
keseluruhan di dunia dan akhirat.[58]
Syariat Islam bukan untuk memberikan kebahgian dan kebahagiaan golongan
tertentu atau perseorangan semata. Oleh karena pentingnya prinsip kemaslahatn
umat tersebut, maka ulama-ulama Islam meletakkan prinsip-prinsip umum (yaitu
ijma’ dan qiyas) menjadi salah satu sumber utama Islam setelah Qur’an dan
hadist.[59]
b.
Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan sebagian
prinsip Islam. Seluruh umat Islam harus menerapkannya sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Allah berfirman di dalam QS. An-Nisa’: 58 sebagai berikut:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4
¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS. An-Nisa’: 58)
Keadilan di dalam Islam
bukanlah keadilan semu atau sekedar formalitas, tetapi keadilan yang memiliki
makna dalam. Keadilan merupakan suatu nilai absolut, bukan relatif, suatu
kewajiban yang harus diupayakan keada sesama orang beriman dan juga kepada
musuh.[60]
c.
Prinsip Persamaan
Sudah lazim dikemukakan bahwa manusia adalah umat yang satu (ummatan wahidatan).
Perbedaan Bahasa dan warna kulit tidak menjadi penghalang bagi kesatuan dan
persamaan manusisa secara menyeluruh. Perbedaan-perbedaan tersebut sebenarnya
hanyalah sunnatullah dalam kejadian manusia.[61]
Demikian pula adanya berbagai macam suku dan jenis bangsa bukanlah untuk
berpecah belah, melainkan untuk saling mengenal dan saling membantu di dalam
kebaikan. Seperti yang tertuang di dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz
Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
d.
Prinsip Keseimbangan Sosial
Berkaitan dengan prinsip keseimbangan, Nurcholis Madjid, seperti yang
dikutip oleh Mohammad Monib dan Islah Bahrawi menyamaikan:
“Islam
adalah ajaran yang sangat menekankan kesimbangan (al-mizan). Karena itu,
menegakkan kembali ajaran ini – apalagi dalam hal keseimbangan antara hal-hak
pribadi dan kewajiban sosial – adalah hal yang sangat mendesak, dan
kelihatannya agak terlupakan oleh sebagaian kaum Muslimin Indonesia.”[62]
Prinsip keseimbangan sosial adalah prinsip memerangi perbedaan-perbedaan
ekonomi yang buruk dan memerangi kelas-kelas sosial dan ekonomi.[63] Ini
artinya prinsip keseimbangan sosial adalah salah satu prinsip Islam dalam hal sistem
ekonomi Islam. Kesimbangan di dalam pengertian ini menyangkut pertimbangan
antara kepentingan (kebebasan) perorangan dan kepentingan umum harus
dipelihara.
Prinsip ini sangat relevan dengan prinsip yang ada di dalam ushul fiqh,
yaitu maslahah mursalah.[64] Pertumbuhan
ekonomi seharusnya dilihat sebagai suatu proses menuju keseimbangan (growth
with equality). Apabila di dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat
terdapat ketimpangan maka harus ada tindakan untuk mengembalikan keseimbangan
semula.
e.
Prinsip Jaminan
Dan Setia Kawan
Di dalam konteks kekinian, prinsip jaminan sosial muncul melalui
perkembangan hak-hak sosial kaum pekerja dan jelas merupakan pencapaian politik
masyarakat, dan dengan partisipasi orang-orang yang dilindungi di dalam
administrasi institusi.[65]
Namun jauh sebelum masyarakat dan sistem modern merumuskannya, Islam
sudah terlebih dahulu mengajarkan dan bahkan mencontohkan prinsip jaminan dan
setia kawan tersebut.
Salah satu contohnya adalah ketika beliau menerima seorang janda dari
saudara sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, yang dating mengadukan nasib
kedhuafaan anak-anaknya. Pada saat itu beliau bersabda: “Tanggungan
keluargakah yang engkau takuti atas diri mereka itu, padahal akulah penanggung
jawab di dunia dan akhirat”.[66]
Pada kisah di atas, Rasulullah menandaskan betapa pentingnya pemberian
jaminan sosial kepada kaum dhuafa untuk meringankan beban hidup mereka.
D.
Implikasi Dan Aplikasinya Bagi Pendidikan Islam
Berikut ini merupakan
analisis pemakalah mengenai bentuk-bentuk implementasi pandangan Islam mengenai
konsep masyarakat terhadap pendidikan Islam.
1.
Tujuan Pendidikan Islam diarahkan pada
penanaman ketauhidan.
Prinsip
ketauhidan, secara substansial, adalah mengakui ke-Esa-an Allah dan pengakuan
Muhammad sebagai pembawa risalahNya.[67]
Namun, ketauhidan secara luas tidak hanya berhenti sampai di sana. Implikasi
dari pengakuan akan ke-Esa-an Allah dan pengakuan Muhammad sebagai utusan-Nya
akan menyebar luas terhadap seluruh perilaku manusia. Singkatnya, setiap
manusia dengan ketauhidan di atas, maka konsekuensinya adalah menerima seluruh
ajaran Allah, baik segi keimanan, ibadah, muammalah dan juga akhlak. Dengan
demikian ketauhidan akan mengontrol seluruh perilaku manusia.
2.
Pendidikan Islam sebagai jalan menumbuhkan
kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup.
Mengakui Islam
sebagai jalan hidup (way of life) dan juga bimbingan hidup (guidance
of life) berarti memaknai Islam dalam beberapa kaidah, antara lain:[68]
a.
Hanyalah Islam yang mampu menyelamatkan
nilai-nilai kemanusiaan dari ancaman bahaya-bahaya yang membinasakan.
b.
Hanyalah Islam yang mampu memberikan jalan
yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang hakiki.
c.
Hanyalah Islam yang mampu menyelaraskan antara
penciptaan aspek lahiriah dan ketenangan rohaniah.
3.
Pendidikan Islam sebagai sarana penanaman
nilai-nilai universal.
Pendidikan agama
yang selama ini terjadi, seperti yang ditulis oleh Zakiyyudin Baedhawy, disinyalir
telah mengalami kegagalan. Pendidikan yang seharusnya menanamkan nilai-nilai toleransi,
mutual respect, mutual understanding, keterbukaan dalam keragaman
–etnik, kultural dan agama-, malah bercorak eksklusifis, yakni mengajarkan
agamanya sendiri sebagai benar dan satu-satunya jalan keselamatan (salvation
and truth claim), sembari merendahkan agama orang lain.[69]
Melihat hal
tersebut, menurut Zakiyyudin, perlu dilakukan perubahan paradigma mengenai
pendidikan Islam perspektif keberagaman khas multikuluturalis.[70]
Pendidikan multikultural hadir untuk menjawab kelelahan-kelelahan paradigmatik
dan epistimologik pendidikan yang dianggap tidak sesuai tersebut. Pendidikan
multikultural diharapkan mampu memberikan ruang yang sama atas berbagai
kepentingan individu dan kelompok kultural, tanpa mendahulukan dan atau
mengesampingkan hak-hak individu dan kelompok kepentingan tertentu.
4.
Pendidikan Islam harus menjadi peletak pondasi
masyarakat Islami.
Meski di dalam
Islam mengakui nilai-nilai yang bersifat universal (demokrasi), namun
masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki
oleh masyarakat lain. Ciri khas tersebut antara lain; landasan keimanan, amar
ma’ruf nahi munkar, menegakkan keadilan, persaudaraan antara sesame anggota
masyarakat, dan pentingnya ilmu yang kemudian diimplementasikan dalam kerja
nyata.
5.
Pendidikan Islam harus menanamkan ajaran bahwa
Islam bukan sekedar urusan iman, melainkan juga akhlak dan muamalah.
Dengan kesadaran
ini maka umat Islam tidak sekedar berorientasi pada urusan akhirat semata
(hubungan dengan Tuhan semata), melainkan juga memperhatikan hubungannya dengan
sesame manusia dan alam sekitar.
6.
Pendidikan Islam haruslah menanamkan kecintaan
muslim kepada Ilmu.
Dengan pengertian
ini, maka pendidikan Islam diarahkan pada bentuk-bentuk pengajaran yang
menimbulkan rasa kecintaan pada ilmu, salah satu caranya dengan menggunakan
metode yang menggugah rasa ingin tahu (curiosity) peserta didik.
7.
Pendidikan Islam harus menanamkan sifat
terbuka pada hal-hal baru.
Hal ini di dasari
oleh prinsip keenam yaitu kesadaran bahwa masyarakat akan selalu berubah. Untuk
menghadapi perubahan tersebut maka Pendidikan Islam seyogyanya menanamkan sifat
keterbukaan kepada hal-hal yang baru.
8.
Pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar
penghargaan kepada individu.
Dengan memperhatikan implikasi-implikasi
di atas, maka setidaknya terdapat lima aspek yang menjadi bagian dari aplikasi
pendidikan Islam. Ke-enam aspek tersebut antara lain:[71]
1.
Aspek Agama
Aspek ini sangatlah penting dalam pendidikan
Islam. Maka guru hendaknya berusaha semaksimal mungkin menanamkan ajaran agama
di dalam diri anak didik seperti penanaman akidah. Kesadaran lemahnya pondasi
agama mengakibatkan rapuhnya kepribadian anak didik ketika dewasa juga menjadi
pertimbangan penting dalam aspek agama.
2.
Aspek Akhlak
Aspek akhlak juga merupakan aspek penting di
dalam Pendidikan Islam. Untuk itu, para guru harus menanamkan akhlakul karimah
kepada anak didik, kapan dan di manapun tanpa terkecuali.
3.
Aspek Intelektual
Pendidikan intelektual berarti membina anak
didik agar dapat berpikir sehat, menganalisa, membandingkan, dan menghipotesis
dengan bijaksana. Intelektualitas muslim perlu dikembangkan sesuai dengan
kemajuan teknologi yang ada, sehingga Islam dapat mencapai kejayaan dan
terhindar dari keterbelakangan.
4.
Aspek Jasmani
Makna dari pendidikan jasmani tentu saja bukan
semata untuk kesehatan badan, melainkan juga membiasakan anak didik agar
berdisiplin, patuh, bertanggung jawab, tenggang rasa dan suka menolong
sesamanya untuk kepentingan bersama di masyarakat kelak.
5.
Aspek Sosial
Karena manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri, maka sejak kecil anak didik harus dibina dengan
sikap mau bekerja sama dengan orang lain, saling menghargai antara individu, termasuk
juga menghargai dan menghormati lingkungan sekitar.
E.
Implikasi Dan Aplikasinya Bagi Supervisi Pendidikan
Menurut Ross L yang dikutip
Ketut Jelantik, Supervisi pendidikan adalah pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan
menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.[72]
Dengan pengertian ini maka kegiatan supervisi diarahkan untuk membantu guru
dalam kegiatan pembelajarannya.
Prinsip kepercayaan pada pentingnya individu dalam
masyarakat, seperti yang dikemukakan di dalam prinsip pandangan Islam atas
masyarakat di atas, merupakan sebuah pengakuan Islam atas setiap peran individu
dalam masyarakat. Setiap individu di dalam masyarakat memiliki tugas dan
fungsinya masing-masing. Dan oleh karena fungsi dan peran individu tersebut
maka terciptalah sebuah komunitas ideal yang bernama masyarakat.
Selain itu, prinsip persamaan yang
juga telah di kemukakan, merupakan pengakuan akan persamaan kedudukan, hak dan
kewajiban setiap individu. Di hadapan Allah tidaklah ada manusia yang paling
sempurna dan paling baik, kecuali yang bertaqwa.
Sesuai dengan prinsip kepercayaan pada pentingnya individu dalam
masyarakat dan di dasarkan akan prinsip persamaan individu di dalam masyarakat
tersebut maka kesadaran supervisor akan kesamaan derajat antara supervisor dan
guru sangat dibutuhkan. Kedudukan antara guru dan supervisor adalah sama dengan
peran dan fungsinya masing-masing. Tidak ada yang leih tinggi antara satu
dengan lainnya.
III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Di dalam ilmu modern, masyarakat dipandang
sebagai sebuah sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah organisme yang
terdiri atas bagian-bagian yang saling bergantung karena memiliki fungsinya
masing-masing dalam keseluruhan.
2.
Di dalam al-Qur’an, masyarakat dapat dimaknai
sebagai sekelompok manusia berakal yang dapat berkomunikasi dan diikat dalam
sebuah aturan untuk menjaga/memelihara eksistensinya.
3.
Terdapat Prinsip-prinsip masyarakat dari sudut
pandang Islam antara lain:
a.
kepercayaan bahwa masyarakat adalah sekumpulan dan sekelompok individu yang diikat
oleh kesatuan tanah air, kebudayaan dan agama
b.
kepercayaan bahwa masyarakat Islam mempunyai identitas khas
dan ciri-ciri tersendiri.
c.
kepercayaan bahwa dasar pembinaan masyarakat Islam adalah
aqidah keimanan tentang wujud, dan ke-Esaan Allah.
d.
kepercayaan bahwa agama itu akidah, ibadah, dan muamalah.
e.
kepercayaan bahwa ilmu itu adalah dasar yang terbaik bagi
kemajuan masyarakat sesudah agama.
f.
kepercayaan bahwa masyarakat selalu berubah.
g.
kepercayaan pada pentingnya individu dalam masyarakat.
h.
kepercayaan pada pentingnya keluarga dalam masyarakat.
i.
kepercayaan bahwa segalah yang menuju kesejahteraan bersama,
keadilan, dan kemaslahatan antara manusia merupakan tujuan syariat dan agama
Islam.
4.
Implementasi dari prinsip-prinsip masyarakat
dari sudit pandang Islam di atas terhadap Pendidikan Islam antara lain;
a.
Tujuan Pendidikan Islam diarahkan pada
penanaman ketauhidan.
b.
Pendidikan Islam sebagai jalan menumbuhkan
kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup.
c.
Pendidikan Islam sebagai sarana penanaman
nilai-nilai universal.
d.
Pendidikan Islam harus menjadi peletak pondasi
masyarakat Islami.
e.
Pendidikan Islam harus menanamkan ajaran bahwa
Islam bukan sekedar urusan iman, melainkan juga akhlak dan muamalah.
f.
Pendidikan Islam haruslah menanamkan kecintaan
muslim kepada Ilmu.
g.
Pendidikan Islam harus menanamkan sifat
terbuka pada hal-hal baru.
h.
Pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar
penghargaan kepada individu
5.
Sebagai konsekuensi atas implementasi tersebut
maka pendidikan Islam dirumuskan dalam lima aspek, yaitu: aspek agama, aspek
akhlak, aspek intelektual, aspek jasmani, dan aspek sosial.
6.
Implementasi dari prinsip-prinsip masyarakat
dari sudit pandang Islam di atas terhadap supervisi pendidikan antara lain;
a.
Kesadaran akan kesamaan derajat dalam kegiatan
supervisi pendidikan.
b.
Kegiatan supervisi dilakukan dalam kerangka
untuk memperbaiki kualitas pendidikan, tanpa ada sikap otoriter.
[1] Fadlil Yani Ainussyam, “Pendidikan Akhlak”, dalam Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Jakarta: PT. Imtima,
2007, 20.
[2] Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW,
Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010, 63.
[3] Muhammad Noor Syam, “Pengertian dan Hukum Dasar Pendidikan”, dalam Dasar-Dasar
Kependidikan, Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, 2.
[5] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif
di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009,
17.
[6] E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquinas, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002, 243.
[8] Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, Membangun Kerangka
Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan, Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2008, 19
[10] Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat,
Badndung: Setia Purna Inves, 2007, 10.
[11] Gunawan Sumodiningrat dan Riant Nugroho, Membangun Indonesia Emas,
Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Negara Yang Unggul Dalam
Persaingan Global, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2005, 112.
[13] Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri
Konsep Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an, Jakarata:
Penerbit Erlangga, 2006, 55.
[17] Muhammad Syahrur, Tirani Islam, Geneologi Masyarakat dan Negara,
Terj. Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 1994, 59.
[24] Omar Mohammad al-Taoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,
terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979, 163.
[28] Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995, 37.
[35] Syaikh Abdurrahman As-Sa’adi, Bacalah al-Qur’an Seolah Ia Diturunkan
Kepadamu, Terj. Abdurrahim, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2008, 128.
[37] Rod Lahij, Dalam Buaian Nabi: Merajut Kebahagiaan Si Kecil, terj.
M. Ilyas dan Ali bin Umar, Jakarta: Pustakazahra, 2005, 199.
[39] Musthafa Kamal Pasha dan Adabi Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam: Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah, 2000: 256.
[40] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma dan SIstem Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004, 45.
[43] Abdul Munir Mulkhan, Manusia al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas di
Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, 206.
[47] Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat,
Bandung: Setia Purna Inves, 2007, 3.
[55] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan Pustaka, 2007, 253.
[56] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global, Jakarta: Grasindo, 2007, 181.
[58] Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial: Studi Banding Antara
Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, Jakarta: Gema INsani Press, 1999, 116.
, Teori
dan Praktek, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar, Jakarta: Pustaka
Alvabet dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2010, 64.
[61] Amrullah Achmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani Press, 1996, 102.
[62] Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholis Madjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, 198.
[64] Moh. Ali Aziz, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi
Metodologi, Yogyakarta: LKiS, 2005, 29.
[65] Vladimir Rys, Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsip-Prinsip Dasar,
terj. Dewi Wulansari, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011, 49.
[68] Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Syarah Riyadhus sholihin, terj.
M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’I, 2005, 489.
[69] Zakiyyudin Baedhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008, 31.
[71] Adi Sasono, Solusi Islam Atas Problematika Umat: (Ekonomi,
Pendidikan, dan Dakwah), Jakarta: Gema Insani Press, 1998, 133.
[72] A.A. Kett Jelantik, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Panduan
Menuju PKKS, Yogyakarta: Deepublish, 2015, 84.
Posting Komentar