I.
PENDAHULUAN
Secara umum tujuan pendidikan
adalah perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau
usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada
kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar
tentang individu itu hidup, atau pada proses pengajaran sebagai suatu aktivitas
asasi dan sebagai proporsi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[1]
Hasan Langgulung merumuskan
pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai
Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat.[2]
Sementara Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa pendidikan islam adalah pendidikan manusia seutuhnya;
akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilannya. Karena itu,
pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun
perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan
dan kejahatannya, manis dan pahitnya.[3]
Dengan demikian, pendidikan islam bertujuan untuk mempersiapkan manusia untuk
bekal kehidupannya, tidak hanya kehidupan di dunia ini saja, tetapi juga
kehidupan di akhirat kelak.
Jadi yang dimaksud tujuan
pendidikan Islam adalah sasaran yang akan dicapai melalui pendidikan Islam.
Dengan demikian tujuan pendidikan islam merupakan penggambaran nilai-nilai
Islami yang hendak diwujudkan dalam
pribadi manusia didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan kata lain tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan
nilai-nilai Islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik
muslim melalui proses menuju
terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim, beriman, bertakwa dan
berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang
taat.
Namun membicarakan tentang
pendidikan tidak mungkin terbebaskan dari obyek yang menjadi sasaran pendidikan
itu sendiri, yaitu manusia. Abdurrahman an-Nahlawi menyebutkan bahwa proses
pendidikan adalah pengembangan kepribadian manusia, agar seluruh tingkah laku muslim
dapat terlaksana secara harmonis dan sempurna, disamping seluruh potensi
manusia dapat terpadu untuk mencapai satu tujuan yang merupakan pangkal segala
usaha, konsep, tingkah laku dan getar perasaan hati.[4]
Oleh karena itu, demi tercapainya tujuan dari pendidikan, perlu juga
diperhatikan tentang siapa dan bagaimana ‘manusia’ itu.
Manusia memang
makhluk yang serba unik. Dengan keunikan yang dimilikinya, manusia merupakan
makhluk yang rumit dan misterius. Untuk memahami manusia dibutuhkan penjelasan
dan interpretasi yang lebih banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh
selain manusia. Tidak ada makhluk di dunia ini yang lebih membutuhkan
penjelasan dan interpretasi selain manusia.
Ibnu Arabi, salah seorang filsuf
muslim mengatakan bahwa tidak ada makhluk yang lebih bagus dari pada manusia,
yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar,
berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi
mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah di muka bumi.[5]
Al-Ghazali mengatakan manusia tersusun dari materi dan immateri atau jasmani
dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan kholifah Allah di bumi.[6]
Beberapa definisi di atas sudah
cukup memberikan gambaran tentang ‘manusia’, namun diperlukan pembahasan yang
lebih mendalam tentang ‘manusia’ terkait perumusan konsep pendidikan islam.
Oleh karena itu, makalah berikut ini akan membahas tentang pandangan islam
tentang manusia, serta implikasinya terhadap pendidikan islam. Pembahasan akan
lebih banyak mengambil dalil dari Alqur’an karena peran Alqur’an sendiri
sebagai dasar pendidikan islam.
II.
PEMBAHASAN
A.
Term Manusia dalam Alqur’an
Manusia adalah
makhluk yang mempunyai kepribadian. Pada literature barat, terdapat beberapa
pandangan filsafah mengenai hakikat manusia antara lain yang cukup memengaruhi
perkembangan sains ialah paham materialism yang menganggap manusia sebagai
materi. Perilaku manusia yang bersifat biologic, fisiologik, psikologik dan
rohaniah, merupakan efek atau akibat proses perubahan materi pada tubuhnya.
Pandangan ini menganggap manusia hanya terdiri dari tulang-belulang, daging,
darah, saraf, dan zat kimiawi tertentu, sehingga mereka tidak mempercayai
adanya kehidupan setelah mati.[7]
Di dalam Alqur’an, terdapat
beberapa term yang merujuk pada manusia, beberapa diantaranya adalah :
1.
Insan dan derivasinya
Allah secara
berulang kali menyebutkan kata الانسان
(insan) dalam Alqur’an. Begitu
pentingnya kedudukan manusia dalam Islam, sehingga Al-Qur’an mengulang-ngulang
perkataan insan lebih dari 60 kali. Kata insan itu disebutkan atau dituliskan
secara ma’rifah (definitive) dengan memakai alif-lam (kata sandang),
kecuali pada satu tempat saja tanpa memakai alif-lam sehingga menjadi nakirah
(indenfinitif). Penyebutan kata insan dalam Al-Qur’an biasanya dalam konteks
keduniaan, meskipun bukan tidak ada dalam konteks keakhiratan. Pada wahyu
pertama saja, kata insan itu disebut tiga kali. Pada wahyu pertama pula
dijelaskan hakekat insan. Secara lebih terinci diungkapkan proses
penciptaan insan agar manusia dapat mengambil hikmah darinya, dan agar
dengan kesadaran akan potensinya itu ia dapat berhasil dalam pengembaraannya di
muka bumi. Salah satu ayat yang menyebutkan kata insan adalah Q.S.
al-Alaq ayat kedua, yaitu:
t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
Artinya : Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.
Kata الانسان
berasal dari akar kataأنس (unsun) berarti senang, jinak, dan
harmonis, نسي
(nisyun) berarti lupa, dan نوس (nawsun) yang berarti gerak dan
dinamika. Dengan demikian manusia itu tercakup adanya pisik dan psikis yang
mempunyai sifat lupa, selalu ingin bergerak maju dan dinamis.
Penyebutan
manusia dengan kata insan dalam Alqur’an mengandung perkembangan ke arah
yang membolehkan manusia menduduki sifat khalifah di bumi, memikul tanggung
jawab taklif dan amanah.[8]
Kata insan cenderung disebutkan untuk menggambarkan sisi rohaniyah dari
manusia. Konsep al-Insan menggambarkan fungsi manusia
sebagai penyandang khalifah Tuhan yang dikaitkan dengan proses penciptaan dan
pertumbuhan serta proses perkembangannya. Selain itu konsep al-Insan
juga menunjukkan potensi yang dimiliki manusia seperti kemampuan untuk
mengembangkan ilmu. Di samping itu, konsep ini juga menggambarkan sejumlah
sifat-sifat dan tanggung jawab manusia seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka
membantah, kikir, tidak bersyukur dan sebagainya. Namun kepadanya dibebankan
amanah dan tanggung jawab untuk berbuat baik
Selain bentuk insan,
kata ini juga memiliki beberapa derivasi (tashrif) yang terbentuk
dari akar kata yang sama dengan insan. Bentuk kata yang merupakan
derivasi dari kata insan antara lain, kata nas (bentuk jamak dari
insan), serta kata ins (bentuk sosok ‘manusia’, kata ini sering
dihadapkan berlawanan dengan dengan kata jin).
Manusia
disebut an-Nas pada umumnya dilihat dari sudut pandang hubungan sosial
yang dilakukannya. Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga dibebankan
tanggung jawab sosial, baik dalam bentuk lingkungan sosial yang paling kecil
(keluarga) maupun yang lebih besar seperti masyarakat, etnik maupun bangsa.
Manusia pun di sebut sebagai An-Nas untuk menggambarkan aspek spiritual yang
dimilikinya.
2.
Basyar
Kata basyar berasal dari
kata basyara yang berarti hasuna (baik), jamula (indah)
atau bisa juga fariha (senang) . Mulanya ia adalah penampakan sesuatu
dengan baik dan indah, kemudian dari
akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit dan manusia
disebut basyar karena kulitnya tampak jelas.
Kata basyar
بشر dalam Alqur’an disebutkan sebanyak 35
kali, termasuk diantaranya adalah 25 kali penyebutan dalam ayat tentang para
rasul dan nabi sebagai manusia, dengan menegaskan keserupaan dengan gejala
manusia dan sifat kebendaannya.[9]
Kata basyar cenderung digunakan untuk menggambarkan manusia dari sisi
fisik manusia saja. Dari
sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk biologis yang memiliki
dorongan primer (makan, minum, hubungan seksual) dan makhluk generatif
(berketurunan). Sebagaimana dalam Q.S. al-Kahfi ayat 110.
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
3. Bani Adam
Secara harfiah, term ini mengacu pada ‘semua keturunan nabi Adam’.
Dalam pengertian selanjutnya, Bani Adam dipahami sebagai manusia karena
nabi Adam adalah “Bapak/leluhur” seluruh umat manusia, atau dengan kata lain, keturunan
nabi Adam adalah manusia.
Penggunaan kata Bani Adam menurut al-Thabathabai,
menunjuk pada arti manusia secara
umum. Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan anjuran
Allah, dan kedua, mengingatkan pada
keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang mengajak
pada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam
rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya.[10]
Konsep
ini untuk menggambarkan nilai-nilai universal yang ada pada diri setiap manusia
tanpa melihat latar belakang pebedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa
ataupun aliran kepercayaan masing-masing. Bani Adam menggambarkan tentang
kesamaan dan persamaan manusia yang lebih ditekankan pada aspek fisik. Walaupun
tidak sama persis dengan konsep homo (makhluk manusia), namun dari sudut
pandang ini pemahaman konsep barat tentang aspek fisik manusia dapat dikatakan
mirip dengan konsep Bani Adam. Bedanya terletak pada nilai kemakhlukannya.
B.
Kejadian Manusia
Asal usul
manusia dalam pandangan islam tidak terlepas dari figur Adam sebagai manusia
pertama. Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah di muka bumi dengan
segala karakter kemanusiaannya Hakikat asal penciptaan manusia berpangkal
pada dua asal, yaitu asal yang jauh dan asal yang dekat.[11]
Yang dimaksudkan dengan asal jauh manusia adalah kejadian pertama manusia dari
tanah, yakni saat Allah menciptakan manusia pertama, Nabi Adam. Sedang yang
dimaksudkan asal yang dekat adalah kejadian penciptaan manusia dari nuthfah.
Allah ta’ala berfirman dalam Q.S. As-Sajdah ayat 7-9 berikut:
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ ÇÐÈ ¢OèO @yèy_ ¼ã&s#ó¡nS `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ä!$¨B &ûüÎg¨B ÇÑÈ ¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B crãà6ô±n@ ÇÒÈ
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.”
Dalam ayat yang lain, Allah
menyebutkan proses penciptaan manusia melalui proses biologis yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Dalam proses ini manusia diciptakan oleh Allah dari inti sari
pati tanah yang dijadikan air mani (nuthfah), yang tersimpan dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam
rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumpal daging (mudghoh)
dan kemudian dibalut dengan tulang belulang lalu kemudian kepadanya ditiupkan
ruh.[12]
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mukminun ayat 12-14 berikut ini:
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Penciptaan manusia yang berawal
dari penciptaan Adam selalu memberikan penekanan pada tiga hal,[13]
yaitu :
a.
Sisi positif manusia yaitu peniupan ruh
Allah/ruh Ilahiyah, ilmu dan kemampuan yang bila digunakan secara benar akan
menjadikan manusia lebih tinggi dari makhluk lain.
b.
Sifat jahat, keangkuhan dan keserakahan yang
sebenarnya merupakan sifat asli syaitan dan merupakan sisi yang paling rendah
dari manusia karena diciptakan dari unsur tanah yang tidak mampu melihat
kebenaran yang lebih tinggi karena kebenaran tinggi ini hanya pada ruh Allah.
c.
Sifat jahat hanya mampu menyentuh manusia yang
hanya mementingkan kepuasan-kepuasan lahiriah karena diciptakan dari aspek
tanah dan tidak akan menjadi manusia jika manusia benar-benar lebih dikuasai
aspek kejadiaannya.
Ketiga sifat
ini senantiasa ada pada setiap manusia. Tergantung pada bagaimana manusia
mempergunakannya. Dia bisa menjadi makhluk yang paling mulia bahkan melebihi
malaikat sebagaimana diterangkan dalam berbagai ayat Alqur’an jika dia dapat
menempatkan sisi positif pada dirinya. Sedangkan, jika yang terjadi adalah
kebalikannya, maka ia akan mencapai kedudukan yang sejajar atau bahkan lebih
rendah daripada hewan.
C.
Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia
Di dalam Alqur’an sendiri terdapat
keterangan tentang perkembangan manusia. Ayat Alqur’an tersebut adalah Q.S.
al-Hadid ayat 20.
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
Artinya : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Dalam ayat
tersebut, Allah menjelaskan tahapan kehidupan manusia di dunia yang dimulai
dari bermain, dilanjutkan dengan berhias, dan kemudian berbanyak-banyak dan
berbangga-bangga dalam harta dan keturunan. Tahapan perkembangan manusia
tersirat dari ayat tersebut. Tahapan pertama, masa kanak-kanak yang biasanya
banyak diisi dengan bermain. Tahapan kedua adalah masa remaja, dimana biasanya pada
masa remaja suka berhias untuk menarik perhatian. Sedang tahapan berikutnya
adalah masa dewasa manusia yang biasanya mulai berpikir tentang kekayaan dan
membanggakan keturunan.
Dalam hubungan
kesadaran manusia akan eksistensinya, terdapat tiga jenis eksistensi manusia
yaitu:
1. Eksistensi
cultural adalah kesadaran manusia untuk tetap lestari. Dalam hidup dan
kehidupan ini manusia harus berusaha menguasai dan menaklukkan alam ini.
Keasadaran inilah yang menjadi pokok terciptanya kebudayaan manusia.
2. Eksistensi
social adalah kesadaran manusia bahwa dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini
manusia itu serba terhubung dengan manusia lain. Manusia saling tergantung
dengan sesamanya. Kesadaran inilah yang merupakan dasar hakiki timbulnya
masyarakat.
3. Eksistensi
religious adalah kesadaran manusia tentang keterhubungannya sebagai makhluk
dengan khaliknya atau penciptanya yaitu Tuhan yang Maha Esa. Kesadaran inilah
sumber adanya agama.[14]
Manusia bukanlah
sebangsa malaikat atau iblis. Dia tidak pasti taat, tunduk dan patuh, tetapi
juga tidak selalu jahat, membangkang dan sesat. Dia adalah makhluk yang lain
dari kedua makhluk tersebut. Dia bisa tergolong untuk melakukan kemaksiatan,
tetapi juga karena ia adalah makhluk yang memiliki kesadaran memilih, ia juga
berpotensi untuk menjadi makhluk yang taat seperti malaikat. Kelebihan karena
manusia diberi kesadaran dan kebebasan memilih inilah yang menyebabkan status
sebagai khalifah di bumu jatuh ke tangannya.[15]
D.
Sifat & Ciri Asasi Manusia
Sebagai makhluk yang diciptakan
paling sempurna, manusia memiliki keistimewaan sekaligus juga tanggung jawab
yang tidak dimiliki oleh makhluk Allah lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari
firman Allah Q.S. at-Tin ayat keempat berikut ini:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Berdasarkan atas firman Allah dalam
Q.S al-Hijr ayat 29, Hasan Langgulung berpendapat bahwa manusia dibekali dengan
beberapa potensi atau kebolehan sesuai dengan sifat-sifat Tuhan.[16]
Sifat-sifat Tuhan yang dimaksudkan adalah sifat-sifat yang terkandung dalam
nama-nama Allah sebagaimana telah disebutkan dalam Alqur’an, atau yang sering
disebut dengan Asmaul Husna. Ayat 29 Q.S al-Hijr tesebut adalah
#sÎ*sù ¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ
Artinya : “Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
Ketika Allah
menciptakan manusia (menyempurnakan kejadiannya), Allah meniupkan pula ruhNya
pada manusia. Hal ini manusia juga dibekali dengan sifat dan potensi sesuai
deng sifat Allah. Dengan demikian, sesungguhnya manusia telah memiliki bekal
yang sangat hebat dan beragam.
Terdapat
beberapa tesis yang menggambarkan konsep tentang sifat dan ciri manusia, yaitu:
a) manusia sebagai Homo
Mechanicus: Manusia diibaratakan sebagai mesin yang sangat
canggih di bumi dan semesta alam. Homo mechanicus memiliki fungsi-fungsi
mekanis atas jiwanya dan benda sebagai penggeraknya. Kelemahannya manusia punya
ketergantungan antara jiwa dan fisiknya, seseorang bisa saja tidak melakukan
aktivitas apapun karena keterbatasan fisik dan jiwanya. b) Homo
Erectus. Manusia adalah makhluk yang berdiri tegak lurus.
Manusia ini mampu melakukan aktivitas apapun itu katena tegak lurus bandannya.
Tulang belakang manusia sangat berpengaruh pada tulang-tulang yang lain karena
merupakan pusat tulang dari seluruh tulang yang ada. c) Homo Ludens. Manusia adalah sebagai makhluk bermain. Dengan
kebebasan kehendak yang diberikan oleh Tuhan maka manusia dapat memilih suatu
tindakan yang dapat membahagiakannya. Perbuatan manusia atas keputusan
tindakannya merupakan sebuah permainan inti dan arti permainan tersebut
menunjukkan keputusannya. d) Homo Faber. Manusia adalah sebagai makhluk
pekerja. Manusia sebagai makhluk pekerja berarti secara otomatis akan melakukan
perilaku apapun itu baik yang berupa pekerjaanya atau hanya sekedar melakukan
sesuatu untuk mengisi waktu senggang. Homo faber juga disebut dengan “faber
mundi”, di mana dalam bukunya Hamersma tahun 1983 telah membahasnya. Haryatmoko, (2003: 157 ) menyatakan bahwa
“yang menjadi ukuran ideal homo faber adalah kegunaan.” e) Homo Sapiens. Manusia adalah makhluk
yang berpikir. Di mana mencakup dua tesis yaitu animal-rasionale yang artinya
binatang yang berpikir dan animal-symbilicum yang artinya binatang yang
mengenal. Kemampuan manusia menyangkut cipta, rasa, dan karsa. Kemampuan ini
berpengaruh pada pemenuhan hidup manusia bagi dirinya dan orang lain. f) Homo
Recentis. Manusia yang memiliki kepekaan rasa yang nampak pada
kejernihan layar angan-angan seseorang. Menghadapi kehidupan tidak semata-mata
dimaknai dengan menerima begitu saja apa yang didapatkannya. Manusia dan
makhluk lain memiliki kepekaan dalam menghadapi kehidupannya. g) Homo Volens, yaitu memandang harkat kemanusiaan dari
kadar keberaniannya berpetualang dalam kehidupan. Mencari sesuatu yang baru,
sehingga manusia tidak melakukan suatu tindakan secara rutinitas. Intinya homo
volens adalah manusia yang selau berinovasi. h) Homo Mensure. Manusia sebagai makhluk
penilai ( yang menilai ). Homo mensure adalah gabungan dari homo sapiens, homo
recentis dan homo volens. Manusia mampu membuat penilaian atas apa yang telah,
tengah, dan akan terjadi dalam alam semesta ini. Oleh karena itu kebenaran
tergantung pada manusia yang menentukanbenar atau salah dan ada atau tidak ada.
i) Homo
Educandum. Manusia sebagai makhluk berpendidikan ( terdidik ).
Homo educandum adalah gabungan dari homo faber dan homo mensure. j) Homo Economicus. Manusia kebanyakan
menekankan aspek ekonomis pada pendiriannya sekaligus juga sisi
individualitasnya. Manusia berjuang demi dan untuk dirinya sendiri. Aspek
ekonomis artinya manusia akan berusaha mendapatkan keuntungan dari
hubungan-hubungan dengan hal diluar dirinya. Careel, A., menyatakan bahwa “sebagai homo mechanicus,
manusia mengkonsumsi hasil-hasil produksi secara terus menerus, agar
mesin-mesin yang memperbudaknya tetap berputar.” k) Homo
Socius. Manusia
sebagai makhluk yang bermasyarakat. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri
dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Ketergantungannya terhadap orang
lain menunjukkan manusia tidak semata-mata sebagai makhluk individu, tetapi
juga sebagai makhluk sosial. l) Homo
Creator. Ali Mudhofir, menyatakan
bahwa “dalam berkarya manusia bukan sekedar mengunyah atau melumatka bahan
mentah, melainkan memberi bentuk serta isi manusiawi secara pribadi.” Homo
creator artinya manusia adalah makhluk yang berkarya. Bekarya dalam arti
hal-hal yang terwujud sebagai nilai dan memberikan dampak positif. m) Zoon Politicon. Manusia itu adalah zoon politicon, yang
berarti bahwa manusia itu adalah makhluk yang hidup berkelompok dan membentuk
masyarakat. Endang Daruni, menyatakan
bahwa “negara adalah bentuk masyarakat yang baik.” Pembentukan masyarakat ini
diperlukan bagi pemenuhan hidupnya karena manusia sadar bahwa ia tidak dapat
hidup sendiri.
Manusia hidup di muka bumi ini mengemban suatu amanah dan tanggung
jawab, yang mana itu semua akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT,
kelak di akhirat. Amanah yang harus diemban manusia adalah:
1. Sebagai
khalifah Allah SWT di muka bumi (khalifatullah)
Khalifah mempunyai arti wakil atau pengganti
yang memegang tanggung jawab/ mandat untuk mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi. Sebagaimana telah disebut dalam filsafat penciptaan
manusia, manusia dihadapan Allah merupakan wakilNya di bumi. Ini adalah
kehormatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Dalam perwujudannya,
manusia telah diberi kemampuan untuk berbuat dan memilih sesuatu oleh Allah,
yang mengakibatkan manusia dapat semakin terhormat dan mempunyai arti, atau
sebaliknya manusia dapat memilih sesuatu yang dapat menjerumuskannya ke jurang
kesesatan dan kerendahan.
Manusia
sebagai khalifah merupakan gambaran cita ideal. Manusia seharusnya menentukan
nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu.
Manusia mempunyai tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehedak yang
bebas. Manusia yang ideal adalah manusia themorfis denagan sifat-sifat ketuhanan
dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Manusia ideal mempunyai tiga
aspek, yakni kebenaran,kebajuikan, dan keindahan. Dengan ia memiliki
pengetahuan, etika, dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran,
kemerdekaan, dan kreatifitas.Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada
landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia
bertindak sewenang-wenang.
Gambaran cita
ideal yang yang dicerminkan dalam posisi sebagai khalifah merupakan gabungan
antara sifat-sifat yang saling melengkapi. Manusia ideal adalah manusia yang
memiliki otak briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Manusia ideal dengan
kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu
dan teknologi. Juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang
menyebabkan penderitan, kemiskinan, kebodohan, dan kelemahan.
Sebagai
khalifah dimuka bumi manusia tentu mempunyai peran dan tanggung jawab atas
kepemimpinanya untuk benar-benar menjadi khalifah yang diinginkan Sang
Khalik.peran dan tanggung jawab tersebut yaitu:
·
Menagabdi kepada
AllahSWT, dengan beriman kepadaNya, melakukan amal sholeh dalam bentuk yang
sempurna
·
Sebagai hamba, manusia
harus melaksanaka amanh Allah, memakmurkan serta mengawal agama Allah serta
ajaran Allah.
·
Menegakkan amar ma’ruf
serta mencegah kemungkaran
·
Bertanggung jawab dan
memelihara keluarga agar tidak terjerumus kepada neraka Allah
·
Menjaga agama,menegakkan
islam. Sebagaimana yang telah dilakukan rasulullah dan para sahabat Rasul. Dengan
mengamalkan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
2. Sebagai
hamba Allah (abdullah)
Makna yang
esensial dari kata abd’ (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan
manusia hanya layak diberikan kepada Allah SWT yang dicerminkan dalam ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Manusia diciptakan di muka bumi ini ada adalah
semata-mata untuk mengabdi kepada Allah dengan menempatkan dirinya sebagai
pengabdi Allah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Intinya agar mendapat keridhoan
Allah SWT. Dalam arti apapun aktifitas manusia dalam hubungan antarmanusia
maupun antar sesama makhluk selalu ada dasar keridhoan Allah SWT. Gambaran
tersebut dapat dijadikan indicator tentang tingkat kesungguhan manusia dalam
memerankan dirinya selaku “abdi Allah” secara utuh. Bila peran tersebut mampu
dan sejalan dengan tuntunan pedoman Allah, barulah sepenuhnya peran itu
memiliki nilai pengabdian kepada Sang Khalik.
Allah dengan
kehendak kebijaksanaannya telah mencipta makhluk-makhluk yang di tempatkan
dialam penciptaaNya. Manusia di antara makhluk-makhluk Allah dan menjadi hamba
Allah SWT. Sebagai hamba Allah tugas dan tanggung jawab manusia amatlah luas
didalam kehidupannyameliputi semua keadaan dan tugas yang ditentukan padanya.
Tanggung jawab manusia secara umum digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadist
berikut: dari umar RA, berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda yang
bermaksud: semua orang dari engkau semua adalah pemimpin, seorang suami adalah
pemimpin bagi keluarganya, dan akan di tanya tentang kepemimpinannya, seorang
istri adalah pemimpin dirumah suaminya dan akan di tanya kepemimpinannya,
seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta tuannya dan akan di tannya
kepemimpinannya. Maka semua orang dari kamu sekalian adalah pemimpin dan akan
ditanya kepemimpinannya
Dalam
kaitannya dengan pendidikan, Zakiah Darajat mencatat tiga aspek karakteristik
manusia,[17]
yaitu:
1. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia diciptakan oleh Allah
sebagai penerima dan pelaksana ajaran, karena itu, manusia ditempatkan pada
kedudukan yang mulia. Hal ini sesuai dengan Q.S al-Isra’ ayat 70.
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia, Allah melengkapinya
dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Seluruh hal itu dikaitkan
kepada pengabdian kepada Allah sebagai penciptanya.
2. Manusia sebagai khalifah di bumi
Setelah bumi ini diciptakan, Allah
merasa perlu untuk bumi diurus, didiami, dan diolah. Untuk itu Allah
menciptakan manusia yang diserahi tugas sebagai khalifah. Peran sebagai
khalifah ini merupakan suatu anugerah dan sekaligus amanat yang dibimbing
dengan suatu ajaran, yang pelaksanaannya merupakan tanggung jawab manusia itu
sendiri. Secara tegas, Allah menyebutkan peran manusia sebagai khalifah dalam
Q.S al-An’am ayat 165. Berikut ayat tersebut.
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya : “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
(khalifah) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang
lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk paedagogik adalah makhluk
allah yang dilahirkan dengan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik.[18]
Manusia dilengkapi dengan fitrah yang berupa wadah yang dapat diisi dengan
berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya
berbuat merupakan komponen dari fitrah tersebut.
Fitrah yang berbentuk potensi itu
tidak akan mengalami perubahan. Artinya manusia akan terus dapat berpikir,
merasa dan bertindak dan dapat terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan
antara manusia dan makhluk Allah lainnya. Fitrah ini yang membuat manusia itu
istimewa dan lebih mulia sekaligus berarti manusia merupakan makhluk
paedagogik.
Manusia dapat dipandang dari sudut
pandang yang beragam. Satu sisi dapat dipandang sebagai realitas fisik, dan
sisi lain dapat di pandang sebagai realitas psikis.
1. Aspek
fisik manusia
Pandangan satu pihak pada manusia lebih menekankan
pada realitas dan fungsi-fungsi jasmani. Anggapan demikian menunjukkan bahwa
keberadaan dan kehidupan manusia sangat di tentukan oleh fisiknya. Aspek
jasmani yang terdiri atas benda (materi) tunduk kepada hukum-hukum materi atau
hukum-hukum alam yang bekerja secara mekanik. Keberadaannya berasal dari alam
dan bekerja menurut hukum alam. Semua yang dikerjakan dan diperbuat oleh
manusia merupakan kasualitas alami tanpa diintervensi oleh aspek lainnya. Keberadaan
manusia di ala mini sebatas/sepanjang umurnya. Anda tentunya tidak dapat
menahan diri dan tidak dapat menolak hukum alam. Seperti anda tidak dapat
menolak untuk menjadi tua, karena menjadi tua adalah hukum alam yang tidak
mungkin anda hindari.[19]
2. Aspek
psikis manusia
Pandangan lain lebih menekankan pada
realitas dan fungsi-fingsi rohani. Aktivitas dan perbuatan manusia secara lahir
sangat ditentukan oleh aspek rohaninya, karena aspek jasmaninya hanya merupakan
bayangan atau pengejawantahan dari realitas rohani. Aspek ini dianggap telah
ada sebelum manusia lahir ke dunia ini; dan akan melanjutkan kehidupannya di
akhirat nanti setelah jasadnya sudah meninggal dunia. Kehidupan rohani yang
telah mengalamikehidupannya sebelum hidup di dunia ini dan terus akan hidup
secara rohani walaupun jasadnya sudah mati adalah lebih penting. Oleh karena
itu, aspek manusia tidak bersifat fisik semata sebagaimana di deskripsikan di
atas. Pengamatan terhadap aspek fisik semata tidak dapat menjelaskan manusia
secara utuh, bahkan tidak mencukupi untuk memperjelas konsep manusia, karena
manusia tidak diwakili oleh aspek fisiknya belaka.[20]
Dengan demikian, ada dimensi lain
dari diri anda yang tidak bersifat fisik, dan sering disebut psikis (rohani),
sehingga manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang terintegrasi. Aspek
kejiwaan atau aspek rohani adalah sesuatu yang lain dari tubuh dan
bentuk-bentuknya berbeda dengan bentuk tubuh. Secara etimologis, spiritual
berarti jiwa, sesuatu yang immaterial, supramaterial. Makna etimologis semacam
ini meliputi al-Ruh, al-Nafs, al-Qalb, dan al-Aql.
a. Al-Ruh
Ruh dalam pandangan Suhrawardi sama dengan al-Aql
al-Mustafad, sebagai prinsip rasional dan sebagai mode universal, dan berupa
substansi kemalaikatan dan sebagai hakikat manusia, berfungsi mencari
pengetahuan sejati. Ia dipersiapkan untuk mencintai Allah dan menerima cahaya
darinya. Ruh manusia tidaklah sama dengan tumbuhan dan binatang. Ruh pada
tumbuhan mampu menghidupkan tetapi tidak mampu merasakan, dan roh pada hewan
mampu menghidupkan dan menggerakkan namun tidak mampu memberikan pemikiran.
b. Al-Nafs
Nafs adalah substansi spiritual yang berdiri sendiri
dan berasal dari alam ketuhanan, sehingga ia mampu mengenal dirinya sendiri dan
ia tahu bahwa dirinya tahu. Menurut Imam Al-Ghazali al-Nafs adalah keseluruhan
dari potensi kemarahan dan kebahagiaan pada diri manusia.
c. Al-Qalb
Qalb dalam bahasa arab artinya berbolak-balik,
sedang menurut istilah adalah al-Lathifah al-Rabbaniyah (kelembutan tuhan)
sebagai instrument penerapan pengertian rohaniah guna mendapat pengalaman dan
pengetahuan eksoterik dan sebagai pusat pewahyuan. Ia dapat menjadi tempat
ma’rifah (mengenal Allah), karena memang dipersiapkan untuk memandang keindahan
Ilahi. Hati dianggap sebagai batas dan tempat pemikiran yang sangat rahasia dan
murni. Ia merupakan dasar yang paling dala dari sifat pengetahuan.
d. Al-Aql
Al-Aql merupakan
substansi tunggal yang tak dapat dibagi, bersifat spiritual, dan sebagai alat
penyerapan pengertian rohaniah yang dapat memahami dan membedakan kebenaran dan
kepalsuan. Ia merupakan bagian yang merasakan pengetahuan. Dalam pemahaman
Prof. Izatsu, kata “Aql” di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan
praktis (practice intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
dengan kecakapan memecahkan masalah.
E.
Manusia dan Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan
jasmaninya; akhlak dan ketrampilannya. Pendidikan Islam juga berperan sebagai
suatu proses penyiapan generasi muda
untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat.
Omar Muhammad
al-Toumi al-Syaibany memperinci manusia menjadi delapan prinsip, yaitu:[21]
1.
Manusia adalah makhluk termulia dalam jagad
raya
Ayat yang menjelaskan kejadian manusia,
umumnya adalah dalam konteks memberi penghormatan atau supaya diambil I’tibar
dari kejadian itu. disamping ayat Alqur’an yang secara jelas mengemukakan
hakikat manusia, terdapat pula ayat-ayat yang secara tersirat menjelaskan
tentang ciri manusia, sumber, hikmah atau rahasia mengapa ia diciptakan, nasib
terakhir tentang riwayat hidupnya di dunia, dan seterusnya. Hal itu menunjukkan
betapa besar perhatian yang dicurahkan Alqur’an untuk menjelaskan salah satu
makhluk Allah yang bernama manusia itu. Keterangan-keterangan tentang manusia
jauh melebihi keterangan tentang makhluk Allah lainnya.Uraian di atas dapat
dijadikan bukti bahwa manusia adalah makhluk termulia dalam jagad raya ini.
2.
Manusia makhluk mulia
Manusia dilantik menjadi khalifah di bumi
untuk memakmurkannya. Untuk itu manusia diberi amanah taklif. Ia diberi
kebebasan sekaligus juga tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai
keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, bukan karena
fisiknya, harta & pangkatnya, melainkan semata-mata karena iman, takwa,
akhlak serta ketinggian ilmu dan amalnya.
* ª!$# Ï%©!$# t¤y â/ä3s9 tóst7ø9$# yÌôftGÏ9 à7ù=àÿø9$# ÏmÏù ¾ÍnÌøBr'Î/ (#qäótGö;tGÏ9ur `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù ö/ä3¯=yès9ur tbrãä3ô±s? ÇÊËÈ t¤yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
Artinya : “Allah-lah yang
menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan
seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berfikir.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa
makhluk yang secara fisik lebih besar dan kuat dibanding manusia, ditundukkan
oleh Allah untuk manusia. Dengan demikian, Allah memang telah menempatkan
manusia sebagai makhluk mulia.
3. Manusia adalah makhluk sosial yang berpikir dan berbahasa
Manusia mampu menggunakan bahasa
sebagai media berpikir dan berhubungan. Ia mampu mencipta istilah dan menamakan
sesuatu untuk dikenal. Ia mampu berpikir wajar dan dapat menjadikan alam
sekitarnya sebagai obyek renungan. Ia bisa menyingkapkan rahasia fenomena alam
dan membentuk fenomena itu sesuai dengan idealismenya. Setidaknya terdapat
beberapa ciri manusia, yaitu : a) menusia memiliki daya bertutur; b) manusia
memiliki kecenderungan beragama; c) manusia memiliki kecenderungan moral; 4)
manusia memiliki kecenderungan bermasyarakat.
4. Manusia memiliki tiga dimensi
Manusia memiliki tiga dimensi,
yaitu badan, akal, dan ruh. Ketiga dimensi tersebut persis seperti segi tiga
yang sama panjang ketiga sisinya. Tiga dimensi ini merupakan dimensi pokok
dalam kepribadian manusia. kemajuan, kebahagiaan dan kesempuranaan manusia sangat
bergantung pada keselarasan dan keharmonisan antara ketiga dimensi pokok
tersebut.
Sebagai agama fitrah, Islam tidak
hanya mengakui wujud ketiga dimensi itu saja, tetapi juga meneguhkan dan
memantapkan lagi wujudnya. Manusia menurut islam bukan hanya tubuh saja, akal
saja, atau ruh saja, melainkan keseluruhan dari ketiga dimensi tersbut yang
tiap unsurnya saling melengkapi satu sama lain.
Agaknya menarik untuk disimak
tentang sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah berikut ini:
إن لبدنك عليك حقا
Artinya : “Badanmu punya hak
tertentu atasmu.”
Dari hadits tersebut dapat kita
pahami bahwa islam juga sangat memperhatikan dimensi badan, selain dimensi ruh
dan akal. Nampak dari perkataan seorang nabi yang juga menekankan pentingnya
kebutuhan badaniyah yang harus dipenuhi oleh manusia.
5. Manusia dalam pertumbuhannya terpengaruhi oleh faktor warisan
(bawaan) dan faktor lingkungan
Manusia dengan seluruh perwatakan
dan ciri pertumbuhannya merupakan hasil pencapaian dari dua faktor, yaitu
faktor warisan dan lingkungan. Faktor ini mempengaruhi manusia sejak hari
pertama ia menjadi embrio hingga akhir hayatnya. Karena keduanya saling
berpengaruh pada manusia, maka sulit kiranya untuk menentukan rujukan
perkembangan manusia secara pasti kepada salah satu dari kedua faktor tersebut,
kecuali untuk beberapa hal. Dalam hal fisik, misalnya, maka sering dianggap
bahwa faktor keturunanlah yang dominan pengaruhnya.
Tingkat dan kadar pengaruh
keturunan dan lingkungan manusia berbeda-beda menurut segi pertumbuhnan kepribadian
manusia. Kadar pengaruh kedua faktor ini juga berbeda jika dilihat dari usia
dan fase pertumbuhan yang dilalui manusia. Faktor keturunan umumnya lebih kuat
pengaruhnya pada tingkat bayi. Selanjutnya faktor lingkungan menjadi semakin
kuat seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan sosial manusia.
Salah satu dasar yang dapat
dijadikan acuan tentang pengaruh faktor keturunan dalam proses perkembangan
manusia adalah Q.S al-Baqarah ayat 221 berikut ini:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Ayat ini menghimbau manusia untuk berhati-hati dalam memilih
pasangan untuk pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor keturunan juga
berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan manusia.
6. Manusia memiliki motivasi dan kebutuhan
Manusia memiliki motivasi dan
kecenderungan dan kebutuhan yang dimiliki sejak manusia itu lahir, atau karena
adanya proses sosial dengan lingkungannya. Salah satu ciri manusia adalah
adanya syahwat yang dapat menjadi dorongan manusia untuk melakukan suatu
tindakan. Dorongan ini dapat memicu dan memotivasi manusia ke arah yang baik
dan buruk. Selain itu, manusia juga memiliki daya kontrol yang menghindarkan
dirinya dari penyelewengan oleh dorongan jiwanya. Diwaktu sama, daya ini mampu
mengarahkan jiwa manusia itu pada arah yang lebih tinggi dan luhur.
Islam sebagai agama yang fitrah
juga mengakui adanya kecenderungan yang sudah menjadi tabiat manusia.
diantaranya dapat dilihat dari potongan Q.S al-Isra’ ayat 100 berikut ini:
…. 4 tb%x.ur ß`»|¡RM}$# #YqçGs% ÇÊÉÉÈ
Artinya : “…Dan adalah manusia itu
sangat kikir.”
Ayat ini menunjukkan salah satu
kecenderungan manusia untuk cinta harta yang mengakibatkan manusia itu untuk
berlaku kikir. Selain itu juga banyak kecenderungan manusia yang sudah
disinggung oleh Alqur’an, misalnya kecenderungan penakut dan lemah; kecenderungan
untuk berbantah; mudah gembira saat mendapat nikmat dan putus asa saat
kehilangan nikmat; perasaan kebapakan, keibuan dan kasih sayang terhadap anak;
dan lain sebagainya.
7. Setiap manusia memiliki ciri perseorangan yang unik
Meskipun manusia mempunyai
persamaan antar sesama manusia yang lain (karena hubungan sosial), tetapi
setiap manusia memiliki ciri khusus dan unik yang tidak dimiliki oleh manusia
yang lain. Bahkan pada kembar identik sekalipun, pasti ada ciri khusus yang
membedakan antar keduanya. Perbedaan inilah yang disebut denga al-furuq
al-fardiyyah. Hakikat tentang perbedaan dan keunikan individu manusia ini
menyebabkan manusia merasa sebagai satu makhluk yang tersendiri dan
beridentitas, berbeda dengan yang lain. Dalil tentang perbedaan individual
manusia ini dapat dilihat dari Q.S Saba’ ayat 36.
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o âÏø)tur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÏÈ
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki
bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang
dikehendaki-Nya). akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".
Ayat di atas menjelaskan bahwa
memang terdapat perbedaan antara satu individu manusia dengan individu manusia
lainnya.
8. Watak manusia bersifat luwes dan lentur
Sifat dan watak manusia dapat
berubah karena proses yang dialami manusia. Oleh karena itu hendaknya watak tersebut
diolah, dan dibentuk ke arah yang lebih baik. Proses mengubah watak dan sifat
ini sering disebut dengan sosialisasi atau proses pemasyarakatan. Mudah atau
sulitnya proses ini bergantung pada usia dan cara yang digunakan dalam proses
tersebut.
Menurut islam, kelakuan dan
kebiasaan manusia dapat diubah. Perubahan ini bukan terjadi secara otomatis
melainkan dari proses pengajaran dan pengalaman yang dilalui oleh manusia.
Proses tersebut berupa interaksi yang bebas antara unsur intern manusia dan
faktor ekstern yang melingkupi manusia tersebut. Adanya perubahan watak dan
sifat manusia itu tersirat dari Q.S al-Insan ayat 3 berikut ini:
$¯RÎ) çm»uZ÷yyd @Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
Dalam pemikiran pendidikan Islam,
dikenal adanya konsep prophetic intelligence, yaitu sebuah konsep yang
memberikan ruang konstruktif dan sistematis dalam mengantarkan pribadi yang
baik dan komprehensif menjadi manusia yang berperadaban, sehingga dalam
menjalankan kehidupan, prinsip amar
makruf nahi mungkar dapat dilakukan secara maksimal dan sungguh-sunggu
dengan berpegang teguh kepada keniscayaan agama islam sebagai ideology dan
peradaban. Menjadi manusia insan kamil tidak dapat dilakukan secara instan,
melalui prophetic Intelligence yang
menukil dari Al-Quran dan Al-Hadist menjadi sebuah keharusan bagi keberlanjutan
dari pendidikan islam secara konseptual.
Sebagai suatu konsep pendidikan islam dalam hal ini adalah ta’dib sebagai unsur ilmu pengetahuan, ta’lim sebagai orang yang
mentransformasikan ilmu pengetahuan dan tarbiyah
sebagai pembinaan yang baik dalam proses pendidikan Islam.[22]
Hal yang ingin dicapai dalam konsep prophetic
intelligence dalam pendidikan islam adalah membentuk manusia yang sempuran
dengan peradaban-peradaban yang dikembangkan dengan meningkatkan potensi yang
ada dalam diri para generasi ummat muslim secara menyeluruh dengan prinsip rahmatan lil alamin sebagai tujuan akhir
dari sebuah pendidikan yaitu mencetak insan kamil.
Konsep prophetic intelligence ini tertuang
dalam beberapa prinsip yang mendasarinya, yaitu: Pertama, prinsip menyeluruh (universal).
Pendidikan islam diberikan secara maksimal dan tidak setengah-setengah,
begitu juga dengan penerimaannya.
Seseorang yang mempelajari tentang islam, agar mempelajarinya secara utuh dan
sungguh-sungguh. Islam memberikan ketentuan dengan penekanan dalam
mempelajarinya bukan hanya sekedar tahu atau mengetahui, bukan hanya mengerti
dan memahami, tetapi lebih mengarah kepada substansi dari setiap yang
dipelajari yaitu dengan mengkajinya hingga pemahaman tentang makna dari yang
dipelajari dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan kaidah Al-Qura’an dan
Al-Hadist. Makna mengkaji adalah merupakan pemahaman secara menyeluruh dan
seimbanga tentang islam secara substantif, maka sewajarnyalah untuk dimengerti
apa yang sudah diketahui dengan berbagai pemahaman dan pemaknaan secara
continue, sehingga mencapai sebuah
hakikat pendidikan islam yang sebenarnya, yaitu meniatkan dengan hati,
mengucapkannya dengan lidah, dan melakukannya dengan perbuatan.
Kedua, prinsip
keseimbangan dan kesederhanaan. Secara utuh setiap manusia mempunyai kelebihan
dan kekurangan dalam segala aspek kehidupannya. Begitupun dengan pendidikan dan
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Prinisp ini menunjukkan bahwa
dalam proses pendidikan islam, memberikan ruang yang sama dengan tidak
membedakan pandangan yang disampaikan. Lebih indah jika saling melengkapi dari
kekurangan yang ada, dan memberikan saran dari setiap pandangan, tentunya
dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Ketiga, prinsip
kejelasan. Kejelasan dimaksudkan, memberikan pemaknaan substantif dari aspek
intelektual dan aspek spiritual yang diajarkan, untuk mengantarkan kepada
ketentuan dan hukum yang benar dalam menjalankan segala sesuatu yang sudah
dipahami secara benar dan baik. Kejelasan dalam memberikan pengetahuan kepada
seseorang merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar dalam kajian pendidikan
islam. Salah dalam mentransfer ilmu agama, akan berakibat fatal terhadap
doktrin yang diturunkan kepada orang lain. Secara hakiki akan menanamkan sebuah
ketidakbenaran dalam praktek dan kehidupan orang lain. Kehati-hatian dan
keseriusan dalam intelektualisme secara islami menjadi tonggak dari
keberlangsungan pendidikan islam yang diajarkan.
Keempat,
prinsip tak ada pertentangan. Pendidikan sebagai proses pencarian sesuatau yang
ingin diketahui, maka seharusnya setiap pertentangan-pertentangan yang bergejolak
dan qalbunya sedikit dihilangkan, ketika sudah mengetahuinya, karena dalam
sistemnya terdapat komponen-kompoonen yang berkaitan satu sama lain untuk
saling menguatkan dan memperkokoh sistem yang ada. Pendidikan sebagai proses
dengan berbagai sistem yang dimilikinya, sudah sepantasnya saling
memperingatkan, bukan mempertentangkan problematika yang ada didalamnya.
Alangkah eloknya, jika setiap permasalahan dalam sistem pendidikan islam,
dijadikan sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas proses pendidikannya,
yaitu dengna cara bekerjasama dengan prinsip gotong royong dan berinteropeksi
diri dalam segala hilaf serta menyatukan persepsi dan niat yang tulus sesuai
dengan kaidah-kaidah prophetic.
Kelima,
prinsip realisme dan dapat
dilaksanakan. Pemberian pendidikan dalam konteks kehidupan manusia, dituntut
untuk bisa menyesuaikan dengan keberadaan dan keadaannya. Sebagai manusia
modern, misalnya, maka realitas itu menjadi suatu suplemen dalam pengajaran dan
pendidikan islam, agar setiap yang diperoleh dalam pendidikannya, bisa
dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan realitsis elistis, yaitu melakukan
sesuatu sesuai dengan konsep dan keberadaan pengetahuannya, sehingga dapat
dijalankan dan diimplementasikan pada waktu dan tempat yang semestinya. Menjunjung
tinggi konsep realistis dalam kehidupan manusia adalah hal yang lumrah yang
harus terus menerus didorong dalam rangka menciptakan kesinambungan proses
kehidupan yang ada pada masa lalu dengan konsepnya, masa sekarang dengan
keberadaannya, dan masa yang akan dating dengan impian dan harapannya.
Keenam,
prinsip perubahan yang diingini. Al-Quran (Ar-Ra’d:11) memberikan gambaran
bahwa bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,
dimuka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah . Sesungguhnay
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka sendiri. Ayat ini memberikan penjelasan dan pemahaman
yang mendalam tentang kehidupan dan keberadaan manusia itu sendiri. Konsep yang
diberikan adalah Allah tidak akan
mengubah keadaan mereka selama mereka tidak mengubah sebab-sebab kemunduran
mereka. Artinya bahwa, setiap manusia mempunyai kewenangan dan kewajiban yang
diberikan oleh Allah untuk memperbaiki
keadaannya dari segala kemunduran yang akan menimpanya, baik melalui
pendidikan, pengamalan, pelaksanaan dan hal yang menjadi kewajiban manusia agar
selalu dan terus menerus dikembangkan dan diperbaiki selama waktu dan tempat
masih dimilikinya.
Pendidikan Islam memberikan arahan dan perintah dari
Allah yang sangat jelas, terutama dalam
etika dan moral yang notabene menjadi
sumber dari segala sumber permasalahan manusia. Melalui pendidikan Islam, sudah
sepantasnya, setiap insan yang mengetahui tentang mana yang baik dan buruk,
untuk mengimplementasikannya dan melakukannya dengan mengubah sikap yang tidak
baik menjadi baik, yang sudah baik lebih ditingkatkan porsi kebaikan. Perubahan
sikap dan tingkah laku mendorong kepada tingkatan yang lebih tinggi yaitu
perubahan pada semua aspek moral, misalnya, jasamani, rohani, akal, pikiran,
paradigm, dan sosial kemasyarakatan. Setiap manusia, yang selalu memperbaiki
dirinya dengan akal dan ilmunya menuju sebuah perbaikan-perbaikan kehidupannya,
maka sesungguhnya manusia itu adalah manusia yang beruntung, karena pada
prinsipnya, manusia itu adalah merugi. Al-Quran (Al-Asr: 103:1-5) memberikan
gambar tentang masa-masa kehidupan manusia didalam alam semesta-Nya. Demi masa,
sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengamalkan amal saleh, dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. Tuntutan perubahan
dalam prinsip ini harus terus dilakukan oleh setiap insan manusia menuju
kebenaran dalam segala langkah dan tingkah lakunya, hanya orang-orang yang
beriman dan mengamalkan amal salehlah yang dikatakn orang-orang beruntung,
sedangkan lainnya adalah merugi. Perubahan yang dilakukan dalam aspek kehidupan
manusia merupakan amal saleh dengan prinsip kebenaran dan kebaikan untuk
kemanfaatan orang lain.
Ketujuh, prinsip
menjaga perbedaan-perbedaan perseorangan. Perbedaan antar individu dalam
pendidikan islam merupakan sebuah kekhasan dalam dunia pendidikan, saling
menghargai dan menghormati dari segala konsep dan pemikirannya menjadikan
perbedaan itu lebih bermakna dan bermartabat. Perbedaan seyogyanya menjadi
bahan introspeksi bagi diri sendiri untuk melihat kepada aspek internal
kehidupan dirinya sendiri. Apakah benar apa yang disampaikan orang lain terkait
dengan pemikirannya, atau dirinya sendirilah yang kurang memahami dari
pemikrian orang lain. Sepanjang sejarahnya, pendidikan islam memelihara
perbedaan-perbedaan itu.
Kedelapan,
prinsip dinamisme dan modernisme. Perubahan sosial
kemasyarakat, akan mempengaruhi pola piker masyarakat itu sendiri, dengan
budaya yang dibuat oleh mereka sendiri atau diimpor oleh orang lain dengan
tujuan dan konsep tertentu. Pendidikan islam, dituntut untuk mampu
menyeimbangkan pemikiran tentang islam kedalam dunia masyarakat modern dengan
dinamisasi yang harus dipertahankan dan memasukkan ajaran-ajaran agama kedalam
ruh setiap kehidupan manusia untuk memperkokoh dan membentengi dari segala
serangan zaman yang semakin ganas dan tak terkendali. Dinamisasi pendidikan
islam menjadi suatu kebutuhan zaman sekarang, dari segi pemahaman,
pengimplementasian, dan kultur yang harus dipertahankan, dengan tetap memegang
pada prinsip kebenaran dan kebathilan sesuai dengan konsep Al-Quran dan
Al-Hadits.
Prinsip-prinsip diatas menggambarkan bahwa keutuhan
dalam memberikan pendidikan yang merupakan konsep ilmu pengetahuan berorientasi
kepada prinsip ketuhanan. Al-Quran dan Al-Hadist sebagai pondasi dari
pembelajaran pendidikan islam yang merupakan undang-undang bagi kaum muslim
dalam mengarungi bahtera kehidupan yang dikaruniai oleh Allah untuk
dikembangkan secara adil dan baik. Berfikirlah dalam keadaan berdiri, duduk dan
terlentang tentang apa-apa yang ada didalam dunia termasuk keberadaan diri
manusia itu sendiri, berfikir atas segala ciptaan-Nya baik yang di langit
ataupun yang ada di bumi, karena sesungguhnya setiap yang Allah ciptakan itu tidak
ada yang sia-sia. Pikiran sebagai jalan untuk mencari tahu makna dari apa yang
dilakukan oleh panca indra, pendidikan tidak hanya merupakan sebuah pengetahuan
tapi mengakarkan sebuah peradaban yang telah lama dikembangkan oleh para filsuf
muslim.. Pendidikan harus didasarkan atas Al-Quran dan Al-Hadist dengan
penekanan bahwa keberadaan pendidikan ditunjukkan untuk menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar. Ketika pendidikan islam mampu menciptakan sebuah
peradaban baru, maka dapat dipastikan secara otomatis kehidupan dunia akan
tampak secara hirarki antara kedamaian, keadilan, kesejahteraan, dan kebaiakn
bagi alam dan isinya
Implikasi dalam pendidikan islam
yang dapat kita temui dari konsep islam terhadap manusia adalah sebagai berikut
:
1. Tujuan
Tujuan pendidikan Islam yang
diarahkan untuk membentuk manusia manuju al-insan al-kamil, yakni
manusia yang sadar akan kodratnya sebagai hamba Allah dengan menggunakan
seluruh potensi yang telah diberikan pada manusia dalam rangka
menghamba/beribadah kepada Allah. Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya adalah
menyiapkan manusia yang berilmu, berwawasan luas dan juga berakhlak mulia.
Diharapkan dengan pendidikan, manusia akan dapat berfikir terhadap segala yang
ada yang selanjutnya akan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap diri
sendiri, orang lain, alam dan pada akhirnya menumbuhkan rasa tanggung jawab
kepada Allah.
Menurut Abudddin Nata bahwa tujuan
Pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan dimuka bumi dengan
sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi
sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya dimuka bumi
dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut
terasa ringan dilaksanakan.
3. mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga
ia memiliki ilmu, akhlak dan ketrampilan yang semua ini dapat digunakan guna
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5. mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat.[23]
2. Kurikulum
Dalam hal kurikulumnya, tidak ada
dikotomi mata pelajaran agama dan umum. Semua mata pelajaran hendaknya diajarkan dari segi pandangan Islam.[24]Alqur’an
tidak pernah mengajarkan adanya dikotomi mata pelajaran, karena itu sudah
semestinya semua mata pelajaran diajarkan sesuai porsi yang tepat, sesuai
dengan sudut pandang islam.
Corak pendidikan yang dikehendaki
oleh Islam adalah pendidikan yang mampu
membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan
kebijakan. Untuk mewujudkan corak ideal pendidikan Islam ini, maka tidak boleh
ada dikotomi mata pelajaran. Hendaknya pendidikan dilaksanakan secara integral
dan menyeluruh, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip Islam dalam setiap
mata pelajarannya.
3. Metode pengajaran
Metode pendidikan hendaknya
mempertimbangkan bahwasannya peserta didik bukanlah semacam botol kosong yang
selayaknya dapat kita isi dengan sesuka hati kita. Metode pendidikan yang
digunakan hendaknya memperhatikan adanya konsep fitrah-baik yang ada dalam diri
peserta didik yang tidak dapat berubah. Dengan bimbingan yang benar, maka ia
akan memperoleh pilihan yang benar.[25]
Ibnu Sina dalam Hambali[26],
memberikan gambaran tentang metode pendidikan yang diaplikasikan dalam
kehidupan nyata: Pertama, berkisah
atau bercerita. Bercerita merupakan sarana bagi pendidik dalam memberikan
pemahaman secara singkat dan mengena terhadap peserta didik dalam menggambarkan
keberadaan Tuhan dan alam ciptaan-Nya untuk diketahui secara umum dan universal
oleh peserta didik dengan menekankan pentingnya sebuah pengetahuan. Pengetahuan
yang ditancapkan kepada peserta didik akan dibawa oleh imajinasi berpikirnya
dengan mengingat-ingat apa yang telah disampaikan kepadanya melalui media
kisah. Peserta didik akan lebih mengerti dan memahami melalui panca indra
dengan prinsip menyenangkan.
Kedua,
metode
analisis diskriptif. Pendidikan islam ditransformasikan melalui analisa
pemikiran yang jernih dan jelas terhadap apa yang telah diketahui dan
dimengerti serta dipahami dengan prinsip kajian-kajian yang mendalam melalui
narasi dan nalar yang mengarah kepada pemahaman secara principle dan substantive tentang makna yang terkandung didalamnya.
Menganalisa komponen-komponen yang diajarkan melalui imajianasi dengan
mendeskripsikan secara menyeluruh secara sistematis dan konstruktif, sehingga
ditemukan sebuah hakekat dari pendidikan yang diajarkan.
Ketiga,
metode aplikasi. Transformasi pendidikan akan lebih berdampak secara langsung
dengan pemikiran dan paradigma yang telah dibangun melalui pemikiran-pemikiran
secara konseptual ketika pengembangan pendidikan dilalui dengan praktek secara
aplikatif dan continue. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks
pendidikan islam menjadi sebuah keharusan dan kewajiban yang menekankan
pentingnya implementasi yang langsung berhubungan dengan apa yang dipelajari.
Praktek dalam dunia pendidikan menjadi suatu kesatuan dalam metode dan proses
pendidikan yang dilalui oleh peserta didik, karena dengan implementasi
keilmuan, maka pemikiran dan pemahaman terhadap sesuatu itu akan semakin
berkembang dan meningkat, sehingga tujuan dari pendidikan secara hirarki dapat
disempurnakan dengan berijtihad secara istiqamah dan berkesinambungan dengan
terus mengkaji dan mempelajarinya melalui berbagai situasi dan kondisi sehingga
harapan sebagai insan kamil akan terwujud sebagai tujuan utama dari pendidikan
itu sendiri untuk menciptakan peradaban-peradaban pada masa kini yang lebih
komprehensif dan dinamis.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1)
Manusia merupakan makhluk Allah yang mulia,
yang diberi potensi dan tanggung jawab mengelola bumi sebagai khalifah fil
ardh.
2)
Manusia memiliki tiga aspek dimensi, badan,
akal dan ruh.
3)
Manusia memiliki dorongan dan kecenderungan
yang harus dibimbing dan diarahkan
4)
Setiap manusia memiliki sifat dan ciri unik
yang berbeda dari manusia lainnya.
Implikasi yang menjadi keniscayaan
dalam pendidikan Islam kaitannya dengan
konsep manusia tersebut adalah bahwa pendidikan islam hendaknya disusun
sedemikian rupa dengan memperhatikan setiap aspek dari manusia dengan diarahkan
pada tujuan hidup manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab pada Allah
dan hamba (abdullah) yang mengabdi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Abdurrahman Shaleh, Landasan dan
Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta Implementasinya, alih bahasa :
Mutammam, Bandung : CV. Diponegoro, 1991,
cet. I
Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi
Agama, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 1987
Al-Qardawi, M. Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah
Hasan al-Banna, terj. H. Bustami A.
Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta : Bulan Bintang, 1980
Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumi, Filsafat
Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, cet. I
An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip
dan Metoda Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Bandung:Diponegoro, 1996
Darajat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 2011, cet.9
Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003
Darwis, Djamaluddin, “Manusia
Menurut Pandangan Qur’ani”, dalam M. Chabib Thaha dkk (eds.), Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 1996, cet. I
Gojali, Nanang, Manusia
Pendidikan dan Sains, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Hambali, Yoyo, “Pemikiran
Pendidikan Ibnu Sina”. Dalam Turats. 3 (1) Nopember 2005
Hasan Langgulung, Beberapa
Pemikiran tentang Pendidikan Islam,
Bandung : al-Ma’rif, 1980
------------------------, Falsafah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
------------------------, Manusia
dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986
Jaya, Yahya, Spiritualitas Islam
: Dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta : Ruhama,
1994
Kadir, Abdul, Dasar-dasarPendidikan,
Jakarta: Kencana, 2012
Nata, Abudin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: LogosWacana Ilmu, 1997
Nizar, Samsul, Filsafat
Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta :
Ciputat Press, 2002, cet. I
Salam, Baharudin, Filsafat Manusia, Jakarta:
Bina Aksara, 1998
[1]
Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.
[3] M.
Yusuf al-Qardawi, Pendidikan Islam
dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
H. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta : Bulan Bintang, 1980, 157 .
[4] Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip
dan Metoda Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Bandung:Diponegoro,
1996, 50.
[5] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, Jakarta : Ciputat Press, 2002, cet. I, 1.
[6] Yahya
Jaya, Spiritualitas Islam : Dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan
Mental, Jakarta : Ruhama, 1994, 26.
[13] Djamaluddin Darwis, “Manusia Menurut
Pandangan Qur’ani”, dalam M. Chabib Thaha dkk (eds.), Reformulasi Filsafat
Pendidikan Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
1996, cet. I, 109-110.
[21] Omar
Muhammad al-Toumi al-Syaibany, Filsafat
Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Jakarta : Bulan Bintang, 1979, cet. I, 103-156.
[22]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas. Bandung:Mizan, 2003.
175.
[25] Abdurrahman Shaleh Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
al-Qur’an serta Implementasinya, alih bahasa : Mutammam, Bandung : CV.
Diponegoro, 1991, cet. I, 214-215.
Posting Komentar