PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
sangat diperlukan lebih-lebih dalam kehidupan manusia saat ini, pada akhir abad
21 yang lebih dikenal dengan era globalisasi yang ditandai dengan
terjadinya perubahan-perubahan yang serba cepat dan kompleks, baik yang
menyangkut perubahan nilai maupun struktur yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Sehingga dapat dikatakan pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang
harus dipenuhi sepanjang hayat, tanpa pendidikan sangat mustahil manusia dapat
hidup dan berkembang sejalan dengan perubahan zaman. [1]
Melihat
kenyataan demikian, maka jika bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam percaturan
global, menurut Muhammad Nurdin langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menata Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari aspek intelektualitas, emosional,
spiritual, kreativitas, moral maupun pertanggungjawaban. Dalam tata dunia yang
disebutkan di atas, maka peran pendidikan dianggap penting, sebab dengan
pendidikan keberadaan ilmu pengetahuan bisa diakui.[2]
Dalam
pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa tujuan kita membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas
adalah bangsa yang mampu survive (bertahan hidup) dalam menghadapi
berbagai kesulitan.[3] Setiap
upaya atau program yang dilakukan pemerintah melalui departemen pendidikan,
diharapkan mampu memberikan hasil yang mengarah pada tercapainya tujuan dari
masing-masing program yang merupakan komponen dari ketercapaian tujuan yang
lebih besar, yaitu tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan sebagai: (1)
mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) mengembangkan konsep manusia seutuhnya, (3)
konsep manusia yang beramal religius, berbudi pekerti luhur,
berpengetahuan, cakap, sehat dan sadar sebagai warga dan bangsa.[4]
Negara
Indonesia memang bukanlah negara yang menganut sitem pemerintahan Islam, dasar-dasar hukum negara
tidak sepenuhnya diambil dari al-Qur’an dan Hadis, namun nilai-nilai ajaran
Islam sangat kental dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, hal ini
tidak lain karena warga Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, sehingga
nilai-nilai pendidikan Islam juga mempengaruhi tujuan dan sistem pendidikannya.
Tujuan pendidikan dalam Islam menurut Djumransjah dan Abdul Malik Karim
Amrullah mengutip pendapat Imam al-Ghazali adalah pendidikan yang mempuyai
tujuan pertama, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah dekat kepada
Allah, kedua, kesempurnaan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan
dunia dan akhirat.[5]
Sementara Muhammad Athiyah al-Abrasyi (seorang ahli pendidikan Mesir)
berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlaqul
karimah adalah tujuan utama pendidikan Islam. Para ulama dan sarjana muslim
dengan penuh perhatian berusaha menanamkan akhlak mulia yang merupakan fadhilah
dalam jiwa anak didik, sehingga mereka terbiasa berpegang pada moral yang
tinggi dan terhindar dari hal-hal yang tercela dan berpikir secara rohaniah dan
jasmaniah (perikemanusiaan), serta menggunakan waktu untuk belajar ilmu duniawi
dan ilmu keagamaan tanpa memperhitungkan keuntungan-keuntungan materi.[6]
Selanjutnya Abuddin Nata memberikan pengertian, bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak
dan ketrampilannya.[7]
Melihat
beberapa keterangan di atas, ternyata apa yang tertuang dalam tujuan pendidikan
nasioal sejalan dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Keduanya mempunyai tujuan inti membentuk manusia
seutuhnya, baik dalam segi jasmani maupun rohani, intelektual maupun spiritual.
Dengan kompleksnya tujuan pendidikan terebut, maka yang dibutuhkan anak didik
tidak hanya tambahan pengetahuan secara intelektual, tetapi juga nilai-nilai
moral yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan. Oleh karena itu, kehadiran guru sebagai pendidik, dalam arti selain
sebagai pentrasfer pengetahuan juga merupakan suritauladan bagai
anak-anak didiknya, dan diharapkan suritauladan yang telah dicontohkan
itu mampu tercermin dalam perilaku keseharian anak didik di masyarakat.
Melihat
realitas pendidikan yang ada, ternyata produk-produk pendidikan kita
menghasilkan orang-orang yang korup, suka bertengkar dan mata duitan.
Dengan melihat betapa besarnya peran pendidikan Islam dalam membentuk
kepribadian anak didik, maka penulis ingin mengkaji pendidikan Islam terutama
pendidikan Islam dalam perspektif al-Ghazali. Imam al-Ghazali selain sebagai
ulama yang ahli dalam bidang agama, pandangan beliau tentang pendidikan dapat
dibilang sangat lengkap, tidak hanya menitik beratkan pada nilai-nilai agama
Islam, tetapi juga profesional dalam hal keilmuan. Pendapat al-Ghazali tentang
pendidikan tidak menuntut peran anak didik untuk patuh terhadap guru pada
kondisi apapun, tetapi wajib mematuhi selama tidak bertentangan dengan perintah
Allah. Di sisi lain, al-Ghazali juga menuntut guru untuk profesional dan selalu
menjaga diri dari hal-hal yang dilarang Allah, karena guru menjadi teladan bagi
murid-muridnya.
Baik ilmuan
Barat maupun Timur hampir semua mengenal al-Ghazali. Ketenaran al-Ghazali bukan
tanpa alasan. Kehadirannya banyak memberikan khazanah bagi kehidupan
manusia. Sosok figur al-Ghazali sebagai pengembara ilmu yang sarat pengalaman mengantarkan
posisinya menjadi personifikasi di segala bidang dan di setiap zaman. Kedalaman
dan keluasan ilmunya tidak membuatnya congkak dan sombong, apalagi gegabah
dalam bertindak. Setumpuk kelebihan yang ia miliki justru mengilhami pribadinya
semakin tawadhu’ dan taqarrub kepada Tuhan.[8]
Imam
al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di
dunia Muslim. Dalam falsafah hidup dan pandangan dunia intelektual al-Ghazali,
pendidikan mempunyai kepentingan yang paling utama. Seseorang tidak dapat
menghargai pemikirannya tanpa memahami gagasannya dalam hal pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan belajar.[9]
Keterlibatannya dalam dunia pendidikan tidak bisa dipandang remeh,
pengalamannya sebagai Maha Guru di madrasah Nidzammiyyah kemudian menjadi
rektor Universitas Nidzammiyyah di Bagdad, dan bertahun-tahun mendidik dan
mengajar membuktikan betapa ia sangat mengusai dunia pendidikan.[10]
Di zaman
modern sekarang, ketika para ilmuan Muslim berupaya keras mereformasi sistem
pendidikan, al-Ghazali ternyata kembali menjadi rujukan penting, khususnya
dalam hal yang berkaitan dengan epistimologi Islam. namun demikian, di bidang
ini masih tetap merupakan sisi yang terabaikan, terutama bila dibandingkan
dengan segudang kajian yang telah dilakukan atas pemikirannya di bidang tasawuf,
falsafah dan theologi.[11]
Dengan
memahami dan menjalankan nilai-nilai pendidikan dalam perspektif Imam
al-Ghazali, diharapkan pendidikan yang selama ini berjalan menjadi lebih
bermakna, tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materi saja,
tetapi juga harus berorientasi pada kehidupan akhirat kelak. Berpijak pada
pemahaman di atas, diharapakan ilmu apapun yang dipelajari selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dapat menjadikan pemilknya mejadi lebih baik,
dan tentunya diharapkan bisa merubah wajah bangsa Indonesia menjadi negara yang
maju, bebas dari korupsi, tidak ada perselisihan, karena para warganya percaya,
bahwa apa yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat
kelak.
B. Kondisi Sosio Kultural Masa al-Ghazali
Sehebat apapun seorang pemikir tidak akan lepas dari
kondisi sosio kultural yang melingkupinya. Hasil-hasil pemikirannya
mempunyai kaitan historis yang sangat erat dengan pemikiran yang berkembang
sebelumnya. Seorang pemikir juga dipengaruhi oleh alam pikiran yang berkembang
di zamannya. Fenomena seperti ini juga terjadi pada diri al-Ghazali sebagai
seorang ilmuan dan pemikir. Kaitan historis pemikiran al-Ghazali dengan para
pendahulunya diakui sendiri dalam beberapa karyanya, seperti dalam al-Munqidz
min ad-Dhalal.[12]
Kendati secara tahun masuk pada periode
klasik (650-125 M), tetapi sudah masuk masa kemunduran Islam. Secara politis,
pada pertengahan abad kelima Hijriah, Islam sebagai kekuatan moral dan gerakan
spiritual berada dalam posisi yang paling rendah. Rezim penguasa yang otokratis,
berbagai peperangan dahsyat yang membinasakan dan kemegahan serta kemakmuran
yang tidak terkendali dari luar, secara serius telah berpengaruh besar
kepadanya. Pada masa ini bani Umayyah dan bani Abbas dengan berturut-turut
telah membangun rezim yang sewenang-wenang, diktator dan otoriter
dengan keemasan Islam yang sangat tipis.[13]
Secara umum kondisi masyarakat Islam abad pertengahan
ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup pesat disertai dengan
dialog peradaban yang dinamis. Pada masa ini tejadi transformasi ilmu
pengetahuan, dengan ditandai maraknya penerjemahan buku-buku non Islam terutama
literatur dari peradaban Yunani. Situasi ini membawa dampak luar biasa bagi
perkembangan keilmuan umat Islam. Namun, di sisi lain mengakibatkan terjadinya kontaminasi
nilai-nilai ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara dua aspek, yaitu
aspek dunia dan akhirat. Hal ini membuat masyarakat pada masa itu cenderung
bersifat matrealistis. Umat Islam semakin mendewakan akal di atas
batas kewenagan bahkan cenderung bergaya hidup hedonistik. Sehingga
tanpa disadari, dimensi ketuhanan perlahan mulai terkikis dan semakin menipis.
Bahkan disinyalir salah satu penyebab jatuhnya peradaban Islam adalah
kecenderungan pada masalah kekuasaan duniawi.[14]
Dalam hal keagamaan, masa al-Ghazali diwarnai masalah
pertentangan keagamaan. Cara beribadah orang-orang rasionalisme yang tumbuh
lebih berani berlanjut dengan mencabangkan tambahan-tambahan palsu atas
dasar-dasar Islam. Dengan muculnya kaum Mu’tazilah, suatu aliran agama
filosofis yang menegaskan rasionalisme dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam,
masa per-bid’ah-an dan kebohongan membuka permulaan yang pasti.
Orang-orang yang baru meningkat dalam filsafat dan intelektual telah
mengalihkan perhatian khalayak dari ajaran dan amalan yang pokok pada hal-hal
yang sekunder, bahkan yang tertier. Mereka berpikir, menulis, dan berdebat
mengenai hal-hal yang tidak dianjurkan, baik oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Para ulama membuang-buang waktu dan energi mereka untuk menyelenggarakan dialog
yang tajam mengenai masalah-masalah seperti oknum dan sifat-sifat Tuhan, kaitan
antara zat Pencipta dan makhluk, apakah wujudnya al-Qur’an bersamaan dengan
Tuhan atau tidak, apakah orang yang selamat di hari akhirat akan melihat Tuhan,
hal-hal keadilan baik yang duniawi maupun yang Ilahi, apakah manusia bebas
dalam berkehendak dan tindakannya atau terikat oleh kekuatan-kekuatan yang
tidak terduga, isu takdir dan sebagainya.[15]
Di tengah-tengah kondisi masyarakat seperti itu,
al-Ghazali menjadi seorang yang fundamental dan salaf yang
terbina dan tercerahkan, tidak yakin atas argumentasi para pengkhianat di kala
itu. Dia menolak untuk merasakan, melihat, memikirkan, mendengarkan, bertindak
dan berkata di luar isi pokok Islam. Dia berpendapat apabila dasar-dasar Islam
tidak dipahami dengan jujur sebagaimana adanya dan tidak benar-benar diamalkan
atas dasar ketentuan dari al-Qur’an dan as-Sunnah penyimpangan pada aspek
sekunder atau tertier sama saja dengan tidak melaksanakan Islam. Al-Ghazali
juga menolak cara yang telah dihidupkan oleh para ulama di zamannya. Gaya hidup
mereka yang sebenarnya sangat tidak bisa dibandingkan dengan kesederhanaan yang
diajarkan dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. Sumber pendapatan nafkah mereka
sangat diragukan dan posisi keulama’an agama mereka juga dipertanyakan. Para
pengritik Islam hampir semuanya bersikap sombong, besar kepala, angkuh, dan
kejam. Seorang ahli dalam cabang ilmu pengetahuan tertentu memandang rendah
para ahli lain karena iri hati dan dendam. Puncaknya, berbagai dialog dan debat
keagamaan menjadi acara harian yang merusak mekanisme perwujudan.[16]
Di tengah kondisi politik dan keagamaan demikian tadi,
penulis dapat menyimpulkan, bahwa al-Ghazali muncul menjadi seorang yang membuat
pencerahan, yang menyadarkan masyarakatnya dari hidup yang hanya memburu
kepuasan dunia saja, menjadi hidup yang menuju keseimbangan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Al-Ghzali membuat tata masyarakat yang relevan untuk
kondisi negaranya. Kondisi yang dihadapi al-Ghazali dapat dikatakan hampir sama
dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, di mana masyarakat kita sekarang
juga cenderung bergaya hidup matrealistis, dan mulai memudarnya
nilai-nilai agama yang dipegang dalam kehidupan masyarakat. Dengan memahami
pemikiran al-Ghzali diharapkan membuat kita menjadi bangkit dari keterpurukan
sikap matrealistis yang ditanamkan oleh para penjajah.
C. Riwayat Hidup al-Ghazali
Ketokohan al-Ghazali dalam sejarah umat Islam tidak bisa
diingkari. Gelar Hujjat al-Islam yang disandangnya merupakan simbol
pengakuan terhadap kebesaran namanya dalam lintasan sejarah umat Islam.
Penguasaan berbagai disiplin ilmu yang berkembang pada masanya adalah bukti
tersendiri atas kebesarannya.[17]
Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.[18]
Pendapat lain mengatakan, bahwa nama lengkap beliau dengan gelarnya adalah
Syaikh al-Ajal al-Imam al-Zahid al-Muafaq Hujjatul Islam.[19]
Ada juga yang menyebutkan nama beliau adalah Abu Hamid bin Muhammad bin
Muhammad bin Thaus Ahmad al-Thusi al-Shafi’i, terkenal dengan al-Nisapuri.[20]
Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tus, dekat Meshed di Khurasan. Pada masa
lampau lokasi ini merupakan lokasi kerajaan Persia, kemudian oleh pemerintahan
Abbasiyah dipilih sebagai pusat propaganda. Di tempat ini dibangun
kerajaan mereka pada abad delapan Masehi. Sejak itu dan seterusnya, tempat ini
menjadi menarik perhatian sejumlah pengajar, penulis agama, dan khususnya
melahirkan tokoh-tokoh penyair.[21]
Tus sendiri merupakan kota yang lebih besar, dengan
gedung dan populasi penduduk yang padat, dibanding dua kota lain, Thabaristan
dan Nawqan. Tempat ini terkenal dengan pemandangan pepohonan nan subur serta
kandungan mineral yang tersimpan di dekat pegunungan yang mengitarinya. Lebih
penting lagi merupakan tempat sejumlah tokoh mashur dalam sejarah Islam, di
antaranya Abu Ali al-Hasan bin Ishaq, dikenal dengan nama Nizam al-Mulk, yang
menjadikan daerah ini sebagai pinjaman yang diserahkan kepadanya oleh khalifah
Malik Shah. Dan dua penyair terkenal lainnya juga kelahiran Tus, Firdawsi
penulis Shah Namah, epik sajak Persia yang paling terkenal dan Umar
Khayam yang hidup semasa dengan
al-Ghazali.[22]
Nisbah al-Ghazali sesuai dengan sumber yang dipercaya berasal
dari kampung ghazzal dekat Tus, sekalipun karya-karya al-Ghazali dalam
bahsa Arab, ia tetaplah orang persia.[23]
Para peneliti berbeda pendapat berkenaan dengan asal muasal sebutan al-Ghazali.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sebutan al-Ghazali ini merupakan nisbah
(klasifikasi) terhadap daerah tempat kelahirannya, yakni Ghazalah.
Sedangkan pendapat lain mengatakan nama al-Ghazali melekat kepadanya karena
latar belakang profesi ayahnya sebagai ghazzal al-shuff (pemintal benang
wool), dan kata al-Ghazzali (dengan dobel z) merupakan nisbah dari
pekerjaan ayahnya sebagai pemintal tenun.[24]
Pada tahun 470 H/1077 M, al-Ghazali pergi ke Naisabur dan
belajar kepada Abu Ma’ali Ali Juawaini, terkenal dengan nama Imam
al-Haramain di Madrasah Nidzammiyyah.
Disebut Imam al-Haramain karena beliau mengajar di dua tempat suci yaitu Makkah
dan Madinah.[25]
Meskipun Imam al-Haramain bukan seorang filosof, tetapi ia mengajarkan studi
filsafat kepada al-Ghazali. Di madrasah ini, pertama kali al-Ghazali mengenal
ilmu kalam dan filsafat. Dan di madrasah ini pula ia mempelajari sufisme
di bawah bimbingan al-Farmadzi.[26]
Dengan kecerdasan yang dimilikinya, al-Ghazali diangkat
menjadi asisten pengajar oleh Imam al-Haramain. Al-Ghazali resmi menjadi guru
besar di Madrasah Nidzammiyyah setelah Imam al-Haramain meninggal pada tahun
479 H. Sepeninggal Imam al-Haramain, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang
ketika itu menjadi gudang para sarjana. Di sinilah ia berjumpa dengan Nizam
al-Mulk, seorang perdana menteri Kerajaan Saljuq yang terkenal cukup berilmu.[27]
Di sini pula ia banyak berdiskusi dengan para pakar ulama. Kecerdasannya
mengungguli mereka sehingga mendapat simpati dan kepercayaan dari Nizam
al-Mulk. Al-Ghazali akhirnya diangkat menjadi guru besar di Universitas
Nidzammiyyah di Baghdad pada tahun 484 H.
Beliau merupakan benteng pertahanan aqidah Ahlussunnah
dari serangan paham Bathiniyyah. Banyak mahasiswa yang berdatangan untuk
berguru dari berbagai daerah. Hal inilah yang semakin membuat nama al-Gahzali
mencuat dan terkenal, bahkan ia mendapat gelar Imam Irak. Akhirnya ia menyusun
karya tulis yang menghadang ajaran tersebut,
seperti kitab: al-Mustadzhir wa Hujjat al-Haq dan al-Qhitas
al-Mustakim.[28]
Selain itu dalam rentangan sejarah Islam yang panjang,
al-Ghazali digelari sebagai Hujjat al-Islam (pembela kebenaran Islam),
karena pembelaanya yang cukup mengagumkan terhadap Islam terutama terhadap
ajaran yang dibawa kaum Bathiniyyah. Salah satu ajarannya mengatakan
bahwa seorang imam atau syekh bersifat ma’shum (terpelihara, terjaga
dari dosa). Secara gencar dan jelas Imam al-Ghazali menunjukkan kesesatan kaum Bathiniyyah
ini dalam bukunya Fadhaib al-Bathiniyyah (kesalahan-kesalahan kaum Bathiniyyah).
Imam al-Ghazali tidak saja mengajukan argumentasi-argumentasi dari
al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga dengan argumentasi logika yang
konseptual, sistematis dan ilmiah.[29]
![]() |
Imam al Ghazali : Hujjatul Islam |
D. Pemikiran al-Ghazali Tentang Ilmu Pengetahuan
1.
Pengertian
Ilmu Pengetahuan
Terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan al-Ghazali telah banyak mencurahkan
perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya tentang kedua bidang ini ialah
analisanya terhadap manusia. Manusia, menurut al-Ghazali dapat memperoleh
derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makluk di
permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan
amalnya. Sesuai dengan pandangan al-Ghazali terhadap manusia dan amaliahnya,
bahwa amaliah itu tidak akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna
kecuali setelah ada pengetahuan.[30]
Al-Ghazali
percaya bahwa Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia yang dengan
seluruh kemampuan dan kekuatan yang diberikan Tuhan itu manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang realitas yang pasti. Pengetahuan ini diberikan
melalui intellect yang berhubungan dengan potensi rasional pada diri
manusia, untuk selanjutnya manusia berbeda dengan binatang. Pengetahuan yang
paling tinggi menurut al-Ghazali adalah pengetahuan spiritual. Pengetahuan
spiritual ini bertumpu pada intuisi sebagaimana suatu usaha. Jika
manusia telah mendapatkan pengetahuan ini, maka dapat dipastikan bahwa manusia
tersebut dapat mengawasi potensi-potensi lainnya yang tingkatannya berada di
bawah potensi intuisi, yaitu potensi birahi, marah dan rasa
membanggakan diri. Jika manusia tunduk pada nafsu-nafsu tersebut, maka ia akan
berada pada tingkat yang lebih rendah dari binatang.[31]
Sewaktu
melihat ilmu pengetahuan, al-Ghazali menilai ada manfaat bersifat internal,
sehingga ilmu dicari karena manfaat internal-nya dan ia merupakan sarana
untuk menggapai kebahagiaan di akhirat. Selain itu, ilmu juga merupakan jalan
utama yang mengantarkan seseorang dekat dengan Allah. Semulia-mulianya segala
sesuatu adalah yang bisa mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhannya. Untuk
bisa dekat dengan Allah, seseorang perlu beramal, dan seseorang tidak dapat
beramal dengan baik dan benar kecuali dengan ilmu pengetahuan mengenai cara
beramal. Dengan demikian, pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu,
sehingga ilmu merupakan amal yang terbaik. Sesuatu dapat diketahui amal kadar
keutamaannya melalui akibat (manfaat) yang ditimbulkan, sementara sudah
dimaklumi bahwa manfaat ilmu adalah kedekatan diri dengan Allah, para malaikat dan kalangan
orang mulia di akhirat. Adapun di dunia, hal yang bisa diraih dengan ilmu
adalah kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan, bahkan dikalangan bangsawan,
hartawan dan jawara-jawara pun menghormati dan memuliakan guru-guru
mereka, lantaran keilmuan yang dimiliki. Tidak hanya itu, hewan pun tunduk
kepada manusia lantaran memandang manusia lebih tinggi tingkatannya.[32]
Sebaliknya tak
seorang pun tahu baik dan buruknya sesuatu tanpa pengetahuan, sehingga mematuhi
Tuhan dan melakukan amal shaleh mensyratkan ilmu pengetahuan. Ini
berarti kebahagiaan abadi hanya mungkin dicapai dengan mempunyai pengetahuan.[33]
Pada
penghujung kurun 14 H, pemikiran-pemikiran mengenai Islamisasi sains telah
berkembang di kalangan cendekiawan muslim. Hal ini mungkin sejalan dengan
semakin disadarinya ketimpangan-ketimpangan yang merugikan akibat terpisah dan
terkotaknya sains dan agama, antara lain berupa perkembangan ilmu dan
teknologi yang makin lama makin canggih, tetapi makin meninggalkan nilai etis
dan agamis. Sebaliknya, agama yang tidak mendapat dukugan ilmu dan teknologi
disinyalir makin tidak laku di lingkungan masyarakat maju. Islamisasi menampilkan
pengertian upaya untuk menghubungkan kembali sains dengan agama, ini
berarti menghubungkan kembali sunatullah dengan al-Qur’an yang keduanya
pada hakikatnya merupakan ayat-ayat Tuhan. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan bagaimana al-Qur’an selalu mengaitkan perintah-perintah yang
berhubungan dengan alam raya dengan perintah dan pengenalan serta pengakuan
atas kebesaran dan kekuasaan-Nya. Bahkan ilmu dalam pengertian umum pun oleh
wahyu pertama al-Qur’an (iqra’) telah dikaitkan dengan bismi rabbika.
Maka, ini berarti bahwa ilmu tidak dijadikan bentuk kepentingan pribadi, dengan
megorbankan kepentingan-kepentingan lainnya, jika ilmu dikaitkan dengan bismi
rabbika.[34]
Selanjutnya
al-Ghazali menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu aspek
teoritis dan aspek praktis. Pengetahuan yang bersifat teoritis dapat menolong
manusia dalam memahami dimensi transendental dari dunia ini secara komprehensif,
yaitu pengetahuan tentang Tuhan dan sebagainya. Sedangkan pengetahuan yang
bersifat praktis menjadi pelengkap untuk membangun teori-teori ilmu
pengetahuan, yang fungsinya nampak dalam perilaku manusia.[35]
2.
Klasifikasi
Ilmu
Al-Ghazali
dalam mengklasifikasikan ilmu pengetahuan bisa disebut unik, karena didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan religius dan moral ketimbang sekedar
daftar/indeks.[36] Ilmu
pengetahuan menurut al-Ghazali dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga
kriteria:
a.
Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Tingkat Kewajibannya
Al-Ghazali
membagi ilmu-ilmu berdasarkan kewajibannya terdiri dari: a) hukum
mempelajarinya fardhu ‘ayn, b) hukum mempelajarinya fardhu kifayah.
Dalam situasi tertentu, ilmu pengetahuan yang fardhu kifayah bisa saja
berada menjadi fardhu ‘ayn, yaitu manakala satu masyarakat tidak
mempunyai sejumlah ahli yang memadai pada bidang ilmu pengetahuan yang sangat
dibutuhkan untuk kesejahteraan anggotanya.[37]
a)
Ilmu-ilmu
Fardhu ‘Ayn
Ilmu fardhu
‘ayn yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas akhirat
dengan baik.[38]
Pendapat lain mengatakan ilmu fardhu ‘ayn adalah ilmu yang wajib
dipelajari oleh setiap individu seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya.[39]
Al-Ghazali
mengatakan bahwa di antara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat
mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang
wajib dipelajari itu adalah ilmu yang mengenai zat dan sifat-Nya. Yang lain
mengatakan ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu fiqh, sebab dengan ilmu ini
seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenal yang halal dan haram, baik
yang menyangkut tingkah laku secara umum, ataupun yang menyangkut mu’amalah.
Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu
al-Qur’an dan as-Sunnah, karena dengan mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah
tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat
dengan Tuhan.[40]
Terlepas dari
silang pendapat mengenai ilmu yang wajib dipelajari, dalam memberikan
penjelasan tentang ilmu-ilmu yang fardhu ‘ayn, al-Ghazali memberikan
batasan yang relatif umum. Yang termasuk
ke dalam ilmu fardhu ‘ayn seperti: a) segala macam ilmu
pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk ber-tauhid (ilmu yang
dengannya diketahui pokok-pokok agama atau ilmu yang berkaitan dengan keyakinan
akan adanya Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan berkaitan dengan para
rasul serta apa-apa yang diberitakan oleh mereka[41]),
b) ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah. Di samping
dengan tauhid yang benar, setiap muslim berkewajiban mempelajari cara
yang benar dalam menjalankan perintah-perintah syari’at Islam.
Al-Ghazali menyatakan kemungkinan perbedaan individu dan kondisi tempat/waktu
dalam hal ini. Misalnya, cara puasa Ramadhan mesti dipelajari bila seseorang
telah wajib puasa dan bila Ramadhan sendiri telah menjelang. Seorang yang
miskin tidak wajib mempelajari tata laksana ibadah zakat (cukup baginya
mengetahui bahwa zakat itu wajib), ia baru wajib mempelajarinya ketika ia sudah
mempunyai harta yang wajib dizakati. Selain mengetahui apa yang diperintahkan,
seorang muslim juga harus mengetahui apa yang menjadi larangan baginya. Namun
demikian, seseorang tidak harus mesti mengetahui keseluruhannya. Cukuplah
dengan mengetahui dan menyadari larangan yang terdapat dalam masyarakatnya,
sehingga ia dapat menghindarinya.[42]
b)
Ilmu-ilmu
Fardhu Kifayah
Adapun yang
termasuk ilmu fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan yang tidak
dapat dikesampingkan dalam menegakkan kesejahteraan dunia, yaitu ilmu
pengetahuan manakala suatu masyarakat tidak ada yang mengembangkan ilmu-ilmu
tersebut, maka akan mengalami kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam
kehidupan.[43] Ilmu fardhu
kifayah juga dapat diartiakan semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk
kelancaran semua urusan, ilmu ini jika tidak ada seorang pun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka
berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan
mempraktekkannya, maka ia sudah dianggap cukup dan tuntutan wajib pun terlepas
dari yang lain. Dengan demikian, ilmu fardhu kifayah ini adalah setiap
ilmu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat, karena apabila
sebagian anggota masyarakat telah menguasainya, maka masyarakat lainnya
terlepas dari tuntutan kewajiban, sebab keperluan masyarakat telah dipenuhi
oleh sebagian anggotanya.[44]
Al-Ghazali
menyebutkan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah seperi:
ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, ketrampilan
jahit-menjahit, politik dan sebagainya. Al-Ghazali menyesal betapa ketidak
acuhan terhdap prioritas-prioritas ilmu pengetahuan yang fardhu kifayah tersebut,
sehingga menimbulkan situasi yang tidak seimbang antara dokter-dokter Islam dan
para ulama fiqh, karena ulama fiqh banyak dijumpai pada masyarakat dalam jumlah
yang berlebihan sehingga melibihi kebutuhan masyarakat. Bahkan mereka belajar
ilmu fiqh adalah sekedar mengumpulkan harta benda pribadi dan untuk diangkat
menjadi pejabat pemerintah di bidang hukum dan administrasi. Padahal menurut
al-Ghazali bahwa kemanfaatan dan kebutuhan mayarakat dalam sebuah konteks ruang
dan waktu yang dinamis harus menjadi kriteria untuk perkembangan tenaga ahli
sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan yang fardhu kifayah tersebut,
bukan untuk kepentingan dan keuntungan individu.[45]
b.
Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Sumbernya
Al-Ghazali
membedakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari syari’ah dan yang bukan syari’ah
(ghoiru syari’ah).
a)
Ilmu
Syari’ah (ilmu-ilmu agama)
Ilmu syari’ah
adalah segala pengetahuan yang secara langsung membahas hal-hal keagamaan dan
pada umumnya diperoleh dari dan dikembangkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.[46]
Ilmu syari’ah juga dapat dikatakan ilmu yang diperoleh dari para nabi
dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya.[47]
Pendapat lain menyebutkan ilmu syari’ah merupakan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari nabi, bukan dari penggunaan akal seperti ilmu berhitung atau
dari eksperimen seperti ilmu kedokteran atau dari pendengaran seperti
ilmu bahasa.
Al-Ghazali
kemudian membagi ilmu-ilmu syari’ah berdasarkan kepentingan dalam
memahami dan mengamalkan agama. Dari sudut ini, keseluruhan ilmu pengetahuan
masuk ke dalam empat kategori:
1.
Ilmu-ilmu
dasar (ilmu ushul)
Ilmu ushul mencakup ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan kitab al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan ungkapan-ungkapan
para sahabat (atsar al-shahabah). Kesemuanya jelas merupakan sumber
utama ajaran Islam. Tanpa ilmu-ilmu tersebut kebenaran pemahaman agama tidak
akan tercapai. [48]
2.
Ilmu-ilmu
cabang (ilmu furu’)
Ilmu furu’
mencakup pengetahuan yang berhubungan dengan kemaslahatan dunia[49]
atau ilmu yang merupakan pemahaman dan penafsiran ijtihad atas
dasar-dasar ilmu ushul.[50]
Ilmu furu’ ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: a) ilmu yang
menyangkut kepentingan duniawi seperti ilmu fiqh b) ilmu yang menyangkut
kepentingan akhirat seperti ilmu mukhasyafah dan muamalah. Ilmu mukhasyafah
adalah ilmu batin, ilmu para shidiqin dan ilmu para muqorrobbin.
Ilmu ini selanjutnya oleh al-Ghazali disebut dengan ilmu ma’rifah, yakni
ilmu-ilmu tentang zat, sifat, perbuatan, dan hukum-hukum Allah berkenaan
dengan kejadian dunia dan akhirat. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu mu’amalah
adalah ilmu tentang hati atau jiwa, apa yang terpuji seperti: sabar, syukur,
takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, ikhlas. Dan
yang tercela seperti: takut miskin, marah kepada takdir, takabur, riya’,
sombong, angkuh dan lain-lain.[51]
3.
Ilmu-ilmu
alat (ilmu muqoddimat)
Kelompok ini
mencakup ilmu-ilmu linguistik semacam ilmu nahwu, sharaf, khath
dan sebagainya. Keberadaan ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ilmu-ilmu dasar (ushul),
sehingga pengkajian dan pengembangan ilmu agama tidak mungkin dilakukan tanpa
ilmu-ilmu alat ini. Pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah misalnya, membutuhkan
pengetahuan mengenai bahasa Arab dan semua cabang-cabangnya, kemudian
penyebarannya membutuhkan seni menulis (khat) dan seterusnya.[52]
4.
Ilmu-ilmu
pelengkap (mutammimat)
Ilmu ini juga
berfungsi mempelajari sumber-sumber syari’ah
atau dapat dikatakan sebagai ilmu pelengkap ilmu-ilmu pokok (ushul),
dan umumnya berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Yang termasuk dalam kelompok ilmu ini seperti: ilmu-ilmu qiro’at,
klasifikasi ayat pada yang ‘am dan khash, nasikh dan
mansukh dan sebagainya.[53]
b)
Ilmu-ilmu
Ghoiru Syari’ah/Ilmu Aqliah (ilmu-ilmu non-agama)
Ilmu ghoiru
syari’ah/ilmu aqliah adalah ilmu-ilmu yang bersumber dari akal, baik
yang diperoleh secara dlaruri atau iktisabi. Dlaruri
adalah ilmu yang diperoleh dari insthing akal itu sendiri tanpa melalui taqlid
atau indera, dari mana dan bagaimana datangnya, manusia tidak
mengetahuinya. Misalnya pengetahuan manusia, seseorang tidak ada pada dua
tempat dalam waktu yang sama.[54]
Pengetahuan dlaruri ini juga dapat dikatakan bersifat langsung, serta
merta, intuitif, supra rasional dan kontemplatif.[55]
Sedangkan yang iktisabi dapat diartikan sebagai ilmu yang diperoleh
melalui kegiatan belajar dan berpikir. Ilmu ini ada yang bersifat duniawi
seperti ilmu politik, kedokteran, matematika dan lain-lain. Sedangkan yang
bersifat ukhrawi seperti, ilmu tentang ihwal hati, bahaya-bahaya amal,
ilmu tentang Allah termasuk sifat-sifat-Nya.[56]
B. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Konsep Pendidikan Islam
1.
Pendidikan
Islam Menurut Perspektif Al-Ghazali
Konsep
pendidikan Islam adalah setiap upaya transformasi nila-nilai yang sesuai
dengan ajaran Islam dengan meletakkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw
sebagai acuan utama. Secara umum sistem pendidikan Islam mempunyai karakter
religius serta kerangka etik dalam tujuan dan sasarannya. Pemikiran pendidikan al-Ghazali
secara umum bersifat religius-etis. Kecenderungannya ini kemungkinan
dipengaruhi oleh penguasaannya di bidang sufisme. Menurut beliau pendidikan
yang benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan
juga dapat mengantarkan manusia untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Pendidikan juga sarana menebar keutamaan. Maka untuk mencapai hal itu,
dunia pendidikan harus memperhatikan beberapa faktor yang cukup urgens.
Al-Ghazali berpandangan bahwa dunia pendidikan harus menempatkan ilmu
pengetahuan pada posisi yang sangat terhormat, penghormatan atas ilmu merupakan
suatu keniscayaan. Konsekuensi atas penghormatan terhadap ilmu adalah
penghormatan terhadap guru.[57]
Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali
adalah sebagai kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan
pada agama, pendorong ketabahan di saat kekurangan dan kesukaran.[58]
Disamping itu,
terdapat hal penting dalam mengkaji pemikiran Imam al-Ghazali dalam pendidikan,
yaitu pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan
filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum sesuai dengan porsinya, serta
minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Nasihat terbaik yang dipesankan
oleh Imam al-Ghazali dalam pendidikan anak-anak ialah memperhatikan masalah
pendidikannya sejak permulaan umurnya, karena bagaimana adanya seorang anak,
begitulah besarnya nanti. Bila kita perhatikan pendidikannya di waktu kecil, ia
pasti bersifat baik bila ia besar.[59]
Menurut beliau
biarpun bagaimana bapak memelihara anaknya dari azab dan kesengsaraan
dunia, tentunya lebih layak dan patut memeliharanya dari api neraka. Caranya
tentu dengan mendidik, mengasuhnya dan mengajarkannya budi pekerti yang mulia.[60]
Anak-anak dilatih dan dibiasakan membantu orang tua, orang lemah dan menolong
masyarakat. Mereka dibawa mengunjungi perkampungan atau tempat-tempat orang
miskin, orang-orang ditimpa bencana alam, ke panti-panti asuhan dan ke
rumah-rumah sakit. Di situ mereka disuruh menyerahkan oleh-oleh yang telah
disediakan. Bila kerendahan hati hendak ditanam dan diterapkan di jiwa yang
angkuh, biasakan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berlumpur dan kotor.
Anak-anak hendaklah dibiasakan hidup dalam serba kasar, susah dan jauh dari
keempukan. Makanannya sewaktu-waktu biar tidak ada rendang (lauk pauk) nya,
agar anak-anak tahu bahwa makan itu tidak selamanya mesti ada lauk pauknya.
Didik mereka supaya biasa makan sedikit, tidak rakus dan suka makan makanan
yang sederhana, dan larang anak-anak tidur di kasur yang empuk, biar anggota
badannya kuat dan otot-ototnya subur dan supaya tubuhnya jangan lamban dan
lemah. Pada mulanya anak-anak akan mengomel dan mangkel hatinya, tetapi berkat
latihan dan asuhan yang berulang-ulang mereka sendiri merasa senang, tabah,
segala-galanya biasa saja dan hilanglah perasaan angkuh, sombong dan malu-malu.[61]
Menurut beliau setelah usai sekolah anak harus diizinkan bermain dan
bersenang-senang. Mengharuskan kerja terus tanpa ada waktu bermain akan
mematikan hati dan merampas kecerdasan anak dan membuat hidupnya menderita.[62]
Ilustrasi yang
sering digunakan al-Ghazali untuk mengingatkan bahwa salah satu kesenangan yang
disukai saat kecil adalah pertunjukan boneka. Ia mengatakan orang yang mengaku
bahwa semua gerakannya sebagai gerakannya sendiri, adalah seperti anak yang
sedang menyaksikan boneka tersebut. Sebab ia menyangka bahwa apa yang dapat
dilihat dalam dunia nyata tidak memiliki penyebab di dunia ghaib. Dari balik
tabir seorang dalang memperagakan boneka tampil menari, berdiri dan duduk.
Sedang boneka itu tidak bergerak dengan sendirinya, tetapi digerakkan tali
kawat yang tidak terlihat dalam gelap, sebab berada ditangan dalang. Mereka
menikmati penampilan dan mengagumi boneka yang terbuat dari perca-perca kain
yang tengah menari, bermain, berdiri dan duduk. Orang yang lebih bijak dari
anak-anak, tahu bahwa ada sesuatu yang menyebabkan gerakan boneka itu. Boneka
itu tidak bergerak dengan sendirinya sekalipun mungkin tidak tahu bagaimana hal
itu diatur dan tidak tahu seperti apa pemainnya tersebut. Dari sini, kemudian
al-Ghazali membandingkan dengan keadaan manusia di dunia ini, yang tidak mampu
melihat bahwa segala kejadian datang dari kehendak Tuhan. Al-Ghazali menyatakan
bahwa anak harus taat, baik kepada orang tua maupun gurunya. Setelah berusia
matang, seorang anak harus diajari agama untuk menuntun bahwa kehidupan dunia
ini hanyalah tempat persiapan menuju hidup selanjutnya. Al-Ghazali akhirnya
berkesimpulan, jika seorang anak dididik dengan baik, dia akan mendapatkan
jalan yang baik pula kelak. Didikan yang baik watu kanak-kanak akan
meninggalkan kesan mendalam dalam hati, ibarat ukiran di atas batu.[63]
Dengan
demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan cenderung bersifat
sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah. Menurutnya ciri khas pendidikan
Islam itu lebih menekankan nilai moralitas yang dibangun dari sendi-sendi
akhlak Islam. Disamping itu al-Ghazali juga menekankan pula pentingnya
penguasaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan hidup manusia.[64]
Pendidikan Islam adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal
Tuhannya dan berbakti kepada-Nya. Dalam pandangan al-Ghazali dinyatkan bahwa
manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak
bermoral, orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang hidupnya akan
susah. Demikian pula orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya
sebagai orang yang binasa.[65]
C.
Kurikulum
Pendidikan dalam Perspektif Al-Ghazali
Alat
pendidikan adalah suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk
tercapainya suatu tujuan pendidikan tertentu. Alat pendidikan merupakan suatu
faktor pendidikan yang sengaja dibuat dan digunakan demi pencapain tujuan pendidikan yang
diinginkan.[66]
Dalam
pengertian yang luas, alat ini juga meliputi faktor-faktor pendidikan yang lain
seperti tujuan, pendidik, anak didik, dan lingkungan pendidikan bilamana
faktor-faktor tersebut digunakan dan direncanakan dalam perbuatan atau tindakan
mendidik. Dalam konteks ini, dibandingkan dengan faktor-faktor pendidikan, maka
alat-alat pendidikan lebih konkret dan lebih jelas pengaruhnya pada proses
pelaksanaan pendidikan. Alat-alat pendidikan berupa perbuatan-perbuatan atau
tindakan-tindakan yang secara konkret dan tegas dilaksanakan, guna menjaga agar
proses pendidikan bisa berjalan dengan lancar dan berhasil.[67]
Di dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan perlu menggunakan
alat-alat pendidikan. Bentuk-bentuk alat pendidikan dapat dicontohkan seperti:[68]
1.
Perintah,
larangan
2.
Dorongan,
hambatan
3.
Nasehat,
anjuran
4.
Hadiah,
hukuman
5.
Pemberian
kesempatan, menutup kesempatan.
Dengan melihat
pemaparan di atas, alat-alat pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan atau
situasi yang diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.[69]
Pendapat lain mengatakan alat pendidikan adalah suatu tindakan atau perbuatan
atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mempermudah
pencapain tujuan pendidikan.[70]
Dengan melihat
keterangan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa alat pendidikan
dapat berupa benda, seperti: bangunan kelas, papan tulis, meja, kursi dan
sebagainya. Alat pendidikan juga dapat berupa bukan benda, seperti: perintah,
larangan, nasehat, hukuman dan sebagainya. Adapun pembahasan dalam kajian ini
difokuskan pada kurikulum sebagai alat pendidikan yang berupa bukan benda.
Kurikulum juga termasuk bagian dari alat pendidikan, karena kurikulum merupakan
suatu yang sengaja dibuat dengan tujuan untuk mempermudah dalam mencapai tujuan
pendidikan.
Kata kurikulum
berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga, yaitu curare
yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam
kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini
kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahsa Arab, istilah
kurikulum diartikan dengan manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan
terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks
pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru
dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap
serta nilai.[71]
Kata kurikulum
selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Crow and Crow yang mengatakan, bahwa
kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu progam
pendidikan tertentu.[72]
Mengenai
kurikulum pendidikan, al-Ghazali menyusunnya sesuai dengan pandangannya
mengenai tujuan pendidikan, yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan
tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk ke sana ada jembatan yang disebut
ilmu pengetahuan. Jika ilmunya banyak dan sempurna, maka ia akan semakin dekat
kepada Allah.[73] Dalam
menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada
ilmu-ulmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang
sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Mata pelajaran yang seharusnya
diajarkan dan masuk ke dalam kurikulum menurut perspektif al-Ghazali
sebagaimana yang dikatakan Abuddin Nata memeliki dua kecenderungan, yaitu: pertama,
kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat
untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan
kecenderungan ini, maka al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena
menurutnya ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama. Kedua,
kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya.
Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilainnya terhadap ilmu berdasarkan
manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan
akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tidak digunakan
pemiliknya pada hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tidak
bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan
keguanaanya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu
harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus dan ikhlas. Dengan
melihat sisi pemanfaatan dari suatu ilmu ini, tampak al-Ghazali tergolong
sebagai penganut paham pragmatis theologis, yaitu pemanfaatan yang
didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki tren praktis dan
faktual.[74]
Al-Ghazali
menyadari bahwa manusia merupakan pribadi yang berbeda yang tidak dapat
disamakan satu sama lain. Tingkat pemahamannya, daya tangkap, dan daya ingatnya
terhadap ilmu pengetahuan, kemampuannya menjalankan tugas hidupnya berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu kaitannya dengan kurikulum,
al-Ghazali mendasarkan pemikirannya, bahwa kurikulum pendidikan harus disusun
dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan psikisnya. Tegasnya, pelajaran harus disampaikan secara
bertahap dengan memperhatikan perkembangan anak.[75]
Mengenai
materi pendidikan, al-Ghazali juga menggunakan metode cerita (kisah-kisah)
untuk mencapai tujuan pendidikan, khususnya dalam membentuk tingkah laku
tertentu pada anak-anak. Metode cerita ini dipilih karena mengandung unsur
hiburan, dengan alasan, tabiat manusia suka hiburan guna meringankan
beban hidup sehari-hari. Metode ini juga menampilkan watak-watak tertentu yang
bisa dijadikan model atau teladan bagi pembentukan watak dan perilaku anak.
Dengan demikian, metode hiburan ini mengandung dua manfaat sekaligus, yaitu
hiburan dan pendidikan.[76]
Adapun mengenai
metode belajar dan mengajar dapat diketahui sebagaimana keterangan tentang
hal-hal yang harus dipahami seorang guru dan anak didik pada pembahasan
sebelumnya. Untuk anak didik dapat dicontohkan seperti: (1) memusatkan
perhatian sepenuhnya, (2) mengetahui tujuan ilmu yang dipelajari, (3)
mempelajari ilmu dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks, (4)
mempelajari ilmu dengan mempertimbangkan sistematika pembahasannya, dan
sebagainya. Adapun mengenai metode mengajar bagi guru dapat dicontohkan seperti:
(1) memperhatikan tingkat daya pikir anak didik, (2) menerangkan pelajaran
dengan cara yang sejelas-jelasnya, (3) mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang
konkrit menuju kepada yang abstrak, (4) mengajarkan ilmu pengetahuan dengan
cara berangsur-angsur, dan sebagainya.[77]
Menurut Abuddin Nata, pandangan al-Ghazali mengenai metode dan media yang
digunakan dalam proses pembelajaran harus dilihat secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode
pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajarannya.
Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhah,
pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli
dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedang masalah media/alat yang
digunakan dalam pengajaran, beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman,
disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terciptanya akhlak yang
mulia.[78]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Antara al-Ghazali
dan Kant “Filsafat Etika Islam”, Bandung: Mizan, 2002.
Abi Zakaria bin Syarif an-Nawawi, Imam
Muhyidin, Riyadhus Shalihin, Semarang: Putra Semarang.
Taslima, Abu Tsania Salma, Misteri Ilmu
Nafi’ “Kilas Balik Menuju Ilmu Sufi (Tarjamahan Ayyuh al-Walad)”, Jombang:
Darul Hikmah, 2008.
Alavi, M. Zianudi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan
Pertengahan, Bandung: Angkasa, 2003.
Al-Baqir, Muhammad, Ihya’ Ulumuddin I (Ilmu
Dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali),
Bandung: Karisma, 1996.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’
Ulumuddin I, Beirut: Darul Fikr.
_________, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ayyuh
al-Walad, Kediri: Petok.
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian, Jakarta:
Rineka Cipta, 1996.
_______, Suharismi, Manajemen Penelitian, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
As’ad, Aliy, Tarjamah Ta’lim Muta’alim
“Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan”, Kudus: Menara Kudus, 2000.
Asari, Hasan, Nukilan Pemikiran Klasik
“Gagasan Pendidikan al-Ghazali”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu
Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, 1993.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an
dan Terjemahannya, Surabaya: Al-Hidayah, 1998.
Fuadi, Imam, Menuju Kehidupan Sufi,
Jakarta: Bina Ilmu, 2004.
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Hajar, Ibnu, Metodologi Penelitian
Kuantitatif dalam Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim,
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Hanafi, Theologi Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979.
_____, Theologi
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992.
H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan
Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.
Jalaluddin, Theologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik” Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”, Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Malik Karim Amrullah, Abdul dan Djumransjah, Pendidikan
Islam Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi, Malang: Uin-Malang Press,
2007.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam
Mengurai Benang Kusut Dunia Pandidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006.
________, Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Mujib, Abdul, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Perdana Media, 2006.
Mustofa, Yasin, EQ Untuk Anak Usia Dini
dalam Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sketsa, 2007.
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta:
Sukses Ofset, 2005.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
____, Abuddin, Perspektif Islam Tentang
Pola Hubungan Guru-Murid “Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali”, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
____, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Nizar, Samsul dan Al-Rosyidin, Filsafat
Pendidikan Islam, Ciputat: PT Ciputat Press, 2003.
____, Samsul dan Ramayulis, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam “Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia”,
Ciputat: Ciputat Press Group, 2005.
____, Samsul, Pengantar Sejarah Pendidikan Islam “ Menelusuri
Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullullah Sampai Indonesia”, Jakarta:
Prenada Media Group, 2008.
Nurdin, Muhammad, Kiat Menjadi Guru
Profesional, Jakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008.
Patoni, Achmad, Metodologi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: PT Bina Ilmu, 2004.
Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Ridla, Muhammad Jawad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya, 2002.
Riyanto,Yatim, Metodologi Penelitian
Pendidikan, Surabaya: SIC, 2001.
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali
Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1998.
Sape’i, Filsafat Pendidikan al-Ghazali
“Gagasan Konsep dan Filsafat al-Ghazali Mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan
Belajar”, Bandung: CV Pustaka Setia, 2005.
Sauqi, Ahmad dan Ngainun Naim, Pendidikan Multi Kultural Konsep dan
Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2008.
Sholeh, Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam” Mengupas Relevansi Konsep Pendidikan al-Ghazali Dalam Konteks
Kekeinian”, Jakarta: Elsas, 2004.
Sibawaihi, Ekstologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman “Studi Komparatif
Epistimologi Klasik-Kontemporer”, Yogyakarta: Islamika, 2004.
Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Yogyakarta: Kansius, 2007.
Smith, Margareth, Pemikiran dan Doktrin
Mistis Imam al-Ghazali, Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Soleh, Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Sudjana, Nana, Tuntunan Penyusunan Karya
Ilmiah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1997.
Suwarno,Wiji, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta:
ar-Ruz Media, 2009.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:
Prenada Media, 2005.
Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid
“Telaah Atas Pemikiran al-Zarnuji dan KH. Hasyim Asy’ari”, Yogyakarta:
Teras, 2007.
Syaefuddin, Percikan Pemikiran Imam al-Ghazali Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Thaha, Nasruddin, Tokoh-Tokoh Pendidikan di Zaman Jaya, Jakarta:
Mutiara, 2005.
Tim Penyusun, Pedoman Karya Ilmiah, Malang:
IKIP Malang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta:
Qonon Publishing, 2004.
Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari
al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Posting Komentar