I.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang paling
dibenarkan oleh Allah dibandingkan dengan agama-agama lain yang ada di muka
bumi ini (QS. Ali Imran : 19). Disamping itu Islam juga merupakan agama
sempurna (QS. Al-Maidah : 3). Namun dalam perkembangannya, Islam mengalami
pasang surut kejayaan. Islam mengalami kejayaannya, yaitu pada masa Bani
Abbasiyah, dan kemudian perlahan-lahan mengalami kemunduran di segala bidang
kehidupan.
Abdurrachman Assegaf mencatat bahwa
pendidikan Islam pun mengalami dinamika perkembangan. Periodisasi perkembangan
pendidikan Islam itu disusun dalam empat periode, yaitu: 1) periode
pertumbuhan, yakni masa awal kemunculan Islam sejak lahirnya Nabi Muhammad
sampai dengan akhir masa bani Umayyah; 2) periode kemajuan, pada masa khilafah
Bani Abbasiyah; 3) periode kemunduran, yaitu periode setelah jatuhnya Baghdad
oleh tentara Tartar pada 1258 M.; dan 4) periode pembaruan yang mulai
berkembang secara intensif pada abad ke-18 M.[1]
Salah satu tokoh pada periode
pembaruan ini adalah Isma’il Raji al Faruqi. Ia merupakan seorang filosof
muslim yang berdarah campuran Palestina-Amerika
yang dikenal sebagai orang yang piawai dalam Islam dan perbandingan agama. Dia
menekankan pada Arabisme sebagai alat untuk menunjukkan identitas Islam dan
Muslim. Ia mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk hal itu melalui kekuatan
intelektual, religius dan estetika. Ia pun menjadi salah seorang pencetus
gagasan Islamisasi Ilmu dan mendirikan Institut Internasional Pemikiran Islam
(International Institute of Islamic Thought - IIIT) bersama dengan Syekh Taha
Jabir al-Alwani, Dr. Abdul Hamid Sulayman mantan Rektor IIUM (International
Islamic University) Malaysia serta Anwar Ibrahim pada tahun 1980.
Tulisan dalam makalah berikut
membahas tentang konsep Islamisasi pengatahuan sebagaimana ditawarkan oleh
Isma’il Raji al Faruqi. Semoga dapat menambah wawasan kita terhadap pemikiran
keislaman, terutama dalam hal pendidikan Islam.
![]() |
| Karya Ismail Raji' al Faruqi |
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ismail Raji’ al-Faruqi
Ismail
Raji Al-Faruqi lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa,
Palestina. Ayahnya, Abd al-Huda, adalah seorang qadi dan seorang
tokoh agama dikalangan sarjana Islam di Palestina. Al-Faruqi bersama sebagian
besar kerabatnya pindah ke Beirut, Lebanon, setelah adanya kolonialisme Israel
ke Palestina.[2]
Pengalaman pendidikanya diawali dari ayahnya di rumah dan dari masjid setempat.
Ia kemudian bersekolah di St. Joseph. Selanjutnya ia menempuh pendidikan tinggi dan memperoleh gelar BA pada bidang
Ilmu Seni dan Pengetahuan di The American University di Beirut , Libanon.
Ismail
Raji Al-Faruqi pernah menjadi pegawai negeri selama empat tahun di Palestina
yang ketika itu masih di bawah mandat
Kerajaan Inggris. Karir birokrasi Ismail Raji Al-Faruqi pernah mencapai jabatan
sebagai gubenur di wilayah Galilee, Palestina pada usia 24 tahun. Namun jabatan
ini tidak lama karena pada tahun 1948 propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel.
Akhirnya al-Faruqi pindah ke Amerika karena kecewa dengan ketidak-bersatuan dan
perpecahan internal warga Palestina.[3]
Pada
tahun 1948 Ismail Raji Al-Faruqi melanjutkan studinya di Indiana University’s
Graduate School of Arts and Sciences sampai
meraih gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun kemudian ia meraih gelar
master kedua dalam bidang yang sama dari universitas Harvard. Pada tahun 1952
ia meraih gelar Ph. D dari Universitas Indian dengan disertasi berjudul
“Tentang Pembenahan Tuhan: Metafisika dan Epistimologi nilai” (Justifying the
Good: Metaphysics and Epistemology of Value). Ia kemudian pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu
keislaman di universitas Al-Azhar Kairo. Al-Faruqi mulai mengajar di McGill
University Kanada pada tahun 1959. Tahun 1961-1963 ia pindah ke Karachi
Pakistan untuk ikut bagian dalam kegiatan Centeral Intitute For Islame Reseacrh
dan jurnalnya Islamic Studies bersama seorang sarjana Pakistan, Fazlur Rahman.
Tahun 1968 ia pindah ke Temple University Philadelpia sebagai guru besar agama
dan mendirikan pusat kajian Islam.
Al-Faruqi
menikah dengan seorang wanita Amerika bernama Lois Lamya al-Faruqi (Lois
Ibsen). Mereka bertemu dan menikah saat keduanya sedang menempuh studi di
Universitas Indiana. Lamya adalah seorang ahli seni Islam. Pada kenyataannya,
ide-ide al-Faruqi dan Lamya hampir serupa, sehingga sangat sulit untuk
menentukan siapa yang mempengaruhi dan siapa yang dipengaruhi.[4]
Seperti halnya suaminya, Lamya juga seorang pengajar, editor, dan pembicara
dalam berbagai simposium dan seminar.
Keluarga
Ismail Raji Al-Faruqi dikenal sebagai keluarga yang harmonis, bahagia, dan
bagai sebuah tim sarjana yang solid. Namun sayang, kehidupan mereka berakhir
tragis setelah al-Faruqi dan isterinya dibunuh pembunuh gelap di rumahnya di
Wyncote, Pensylvania pada tanggal 27 Mei 1986. Pembunuhan tersebut terjadi saat
keduanya tengah sibuk mempersiapkan sholat ‘Id. Mereka mengirim kartu ucapan
selamat Idul Fitri kepada sahabat-sahabatnya ke berbagai penjuru negeri. Prediksi dikalangan muslim secara umum menduga
bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh Zionis Yahudi karena pemikiran-pemikiran
Ismail Raji Al-Faruqi yang sangat inten untuk kemajuan Islam, dan perlawanan
terhadap zionisme Yahudi. Untuk mengenang al-Faruqi,pada 1993 The Internasional
Institut of Islam Though (IIIT), Washington DC, memberi penghargaan bagi
karya-karyaakademis yang istimewa. Penghargaan ini dikenal sebagai “Isma’il
Al-Faruqi Award”
B.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Menurut Faruqi, adalah fakta bahwa apa yang dicapai sains modern,
dalam berbagai aspeknya merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan
tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya.
Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan
terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima
kesatuan, yaitu keesatuan Tuhan, kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran,
kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia.[5]
Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak negatif.
Pertama , dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum dan
polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material
dan insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu, manusia bisa
memperkosa dan mengeksploitir kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai
spiritualitas. Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali
ilmu-ilmu sosialnya, menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial
masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat.
Sementara itu, keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan
dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan
spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam
persaingan budaya global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil
posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan
ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan). Mereka
menganggap bahwa syariah (fiqh) adalah hasil karya yang telah fixed dan
paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya adalah penyimpangan
dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka melupakan sumber utama
kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.[6]
Sikap sebagian ilmuan muslim tersebut, pada akhirnya juga
menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan
pemisahan pemikiran dari kultur, sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan
dikalangan mereka. Artinya, dampak negatif yang terjadi dari sikap-sikap “keras
kepala” sebagian ilmuan Islam sendiri sesungguhnya tidak kalah membahayakannya
dibanding apa yang ada dalam sains modern.
Menurut pandangan Faruqi, ilmu pengetahuan Islam bukan cahaya tiba-tiba
dalam kesadaran orang yang mengalami pengalaman mistis, meski berapa sufi
muslim mendefinisikannya demikian. Ia juga bukan informasi dan pencerahan yang
datang secara subjektif melalui perenungan. Ilmu pengetahuan Islam adalah
pemahaman rasional empiris dan intuitif tentang setiap bidang realitas. Ilmu
pengetahuan Islam sangat jauh dari spekulasi. Kebencian Islam terhadap
pengetahuan spekulatif bukanlah anti intelektualisme. Tapi ini merupakan puncak
kritik. Pencarian manusia tidak akan pernah berhasil tanpa strategi dan
ekonomis. Ilmu itu tak terbatas, dan tak ada
jalan pintas menuju ilmu. Sedangkan jalan menuju ilmu sukar dan
memerlukan pendisiplinan aplikasi diri dan dedikasi, terutama jalannya pajang
dan menghabiskan banyak waktu,tetapi manusia dianugerahi karunia yang
mempengaruhi mencari dan mencapai tujuannya.[7]
Kenyataannya,menurut Faruqi, di sekolah, akademi maupun
universitas, tidak pernah terjadi seperti sekarang di mana seorang ilmuan
muslim begitu berani mengemukakan tesa-tesa yang bisa dianggap tidak Islami,
dan tidak sehebat sekarang acuhnya pemuda muslim terhadap agamanya.[8]
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang
dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan
tradisi keilmuan Islam yang stagnan. Lembaga pendidikan Islam sekarang ini
lemah visinya (lack of vision). Bahkan banyak pemuda-pemuda muslim yang
berpendidikan Barat memperkuat westernisasi dan sekularisasi di lingkungan
perguruan tinggi dan universitas.[9]
Materi dan metodologi pendidikan yang diajarkan
di duniaIslam sekarang ini adalah hasil kopian dari Barat, bahkan
meninggalkan visi yang menggerakkan mereka belajar di Barat.[10]
Secara tak sadar, materi dan metodologi tanpa spirit ini secara terus menerus
menimbulkan proses de-Islamisasi.[11]
Menurut Faruqi, model pendidikan
masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama ,Sistem
pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara
sempit, sisi hukum dan ibadah mahdlah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukan
pada model pendidikan salaf di pesantren. Kedua, sistem pendidikan yang lebih
menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari barat, yang dalam
konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem
ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat muslim. Alumnus
pendidikan salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatif-ekslusif dan
antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan,
sementara sarjana pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik
dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.
Di samping kedua sistem pendidikan tersebut, ketiga, ada sistem konvergensif
yang memadukan kedua sistem yang ada. Sistem ini, di samping memberikan materi
agama juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari barat.
Namun, pencangkokan ini ternyata tidak dilakukan di atas dasar filosofis yang
benar, tetapi semata hanya diberikan secara bersama-sama, ilmu-ilmu agama
dijejerkan dengan ilmu-ilmu umum (seperti yang ada di MAN, STAIN, IAIN dan
UIN), sehingga tidak memberikan dampak positif pada mahasiswa. Apalagi
kenyataannya, ilmu-ilmu tersebut sering disampaikan oleh dosen yang kurang
mempunyai wawasan keislaman dan kemoderenan yang memadai.
Berdasarkan realitas seperti itu, menurut Faruqi, tidak ada cara
lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan
mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan modern
barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li
al-alamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan
lewat sistem pendidikan Islam yang
integratis.
Bagi Al-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu
sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan
yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden,
penguasa segala yang ada.[12]
Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua
unsur-unsurnya bersama-bersama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu
kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban. Yang dimaksud dengan
Tauhid ini mengandung pengertian dari 4 prinsip dasar, yaitu: Prinsip pertama
tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa
realitas bersifat handa yaitu terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan
tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu
berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia
adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab
terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan terakhir
alam semeta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa
alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan
manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam,
yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai kesanggupan
untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini
memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya.
Keempat prinsip tersebut di atas di rangkum oleh al-Faruqi dalam
beberapa istilah yaitu :
a.
Dualitas, yaitu realitas terdiri dari dua
jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang pertama hanya mempunyai
satu anggota yakni Allah SWT. Hanya Dialah Tuhan yang kekal, maha pencipta yang
transenden. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis kedua adalah
tatanan ruang waktu, pengalaman, dan penciptaan. Di sini tercakup semua
makhluk, dunia benda-benda, tanaman dan hewan, manusia, jin, dan malaikat dan
sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut yaitu khaliq dan makhluk sama sekali
dan mutlak berbeda sepanjang dalam wujud dan ontologinya, maupun dalam
eksistensi dan karir mereka.
b.
ldeasionalitas, merupakan hubungan antara
kedua tatanan realita ini. Titik acuannya dalam diri manusia adalah pada
pemahaman. Pemahaman digunakan untuk memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan
dan atas dasar penciptaan Kehendak sang penguasa yang harus diaktualisasikan
dalam ruang dan waktu, berpartisipasi daam aktivitas dunia serta menciptakan
perubahan yang dikehendaki. Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah
pengakuan bahwa Allah itu ada dan Esa. Pengakuan bahwa kebenaran itu bisa
diketahui bahwa manusia mampu mencapainya. Skeptesisme menyangkal kebenaran ini
adalah kebalikan dari tauhid.
Sedangkan sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga
prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
realitas; kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki; ketiga, keterbukaan
bagi bukti yang baru dan atau bertentangan[13].
Implikasi Tauhid bagi teori sosial, dalam efeknya, melahirkan
konsep ummah, yaitu suatu kumpulan warga yang organis dan padu yang tidak
dibatasi oleh tanah kelahiran, kebangsaan, ras, kebudayaan yang bersifat
universal, totalitas dan bertanggung-jawab dalam kehidupan bersama-sama dan
juga dalam kehidupan pribadi masing-masing anggotanya yang mutlak perlu bagi
setiap orang untuk mengaktualisasikan setiap kehendak Ilahi dalam ruang dan
waktu[14].
Dengan demikian pentingnya tauhid bagi Al-Faruqi sama dengan
pentingnya Islam itu sendiri. Tanpa Tauhid bukan hanya Sunnah Nabi/Rasul patut
diragukan dan perintah-perintahNya bergoncang kedudukannya, pranata-pranata
kenabian itu sendiri akan hancur. Keraguan yang sama juga akan muncul pada
pesan-pesan mereka, karena berpegang teguh kepada prinsip Tauhid merupakan
pedoman dari keseluruhan kesalehan, religiusitas, dan seluruh kebaikan.
Wajarlah jika Allah SWT dan Rasulnya menempatkan Tauhid pada status tertinggi dan
menjadikannya penyebab kebaikan dan pahala yang terbesar. Oleh karena begitu
pentingnya Tauhid bagi Islam, maka ajaran Tauhid harus dimanifestasikan dalam
seluruh aspek kehidupan dan dijadikan dasar kebenaran Islam.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti
mengislamkan ilmu pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang
sains sosial, dan sains-sains ilmu alam dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan
problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan
pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah.
Secara umum, Islamisasi ilmu Faruqi dimaksudkan sebagai respon
positif terhadap realitas pengetahuan modern yang sekularistik di satu sisi dan
Islam yang terlalu religious di sisi yang lain, dalam model pengetahuan baru
yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antara keduanya. Secara rinci, tujuan
yang dimaksud adalah;
1. Penguasaan
disiplin ilmu modern
2. Penguasaan
khazanah warisan Islam.
3. Membangun
relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern.
4. Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan
ilmu-ilmu
modern.
5. Pengarahan
aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana
Allah .[15]
Untuk merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan
beberapa tugas dan langkah-langkah yang perlu dilakukan, yaitu memadukan sistem
pendidikan Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa
sehingga sistem baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan
dari sistem-sistem terdahulu. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan
kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem,
seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem
tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam
sistem yang sekuler.
Dengan perpaduan kedua sistem pendidikan diatas, diharapkan akan
lebih banyak yang bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistem Islam
menjadi pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan
kita sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan
ke dalam kerangka sistem Islam[16].
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan
langkah-langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:
a.
Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian
kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus
dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip,
metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut
harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk
kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan
kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat
dalam puncaknya.
b.
Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu
harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai
asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan
cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para
tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin
ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c.
Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah
Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan
adalah ontologi warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
d.
Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap
analisa. Jika ontologi-ontologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus
dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
e.
Penentuan relevensi spesifik untuk setiap
disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan.
Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga
pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup
dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen
tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan
atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum
muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f.
Penilaian kritis terhadap disiplin moderen.
Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari
titik pijak Islam.
g.
Penilaian krisis terhadap khazanah Islam.
Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa
dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
h.
Survei mengenai problem-problem terbesar umat
Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik,
sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i.
Survei mengenai problem-problem umat manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus
dilaksanakan.
j.
Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini
sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah
Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan
berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disambungkan dengan
prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan
ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai disiplin-disiplin
moderen.
k.
Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu
dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah
Islam dengan disiplin moderen telah dicapai buku-buku teks universitas harus
ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam terbitan
Islam.
l.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah
diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat
islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan
seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam
merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin.
Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf
pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan
metoda yang diperlukan.[17]
III.
KESIMPULAN
Gagasan Islamisasi ilmu pada
akhirnya merupakan usaha menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke
dalam kerangka Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh
disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam
sepanjang ketiga sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan
sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruqi, Ismail Raji, Christian Ethics,
Motreal:Mc Gill University Press, 1967.
_________________, Islamisasi Pengetahuan,
Pustaka, 1984.
_________________, Tauhid: Its
Implementations for thought and life. Wynccote USA: The International
Institute of Islamic Thought, 1982.
Isma’il Raji al Faruqi dan Lois Lamnya
Al-Faruqi, The Cultur Atlas of Islam, terj.Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
1998.
Arif, Mahmud, Pendidikan Islam
Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Assegaf, Abd. Rahman, Filsafat
Pendidikan Islam:Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integatif-Interkonektif, Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Shafiq, Muhammad, Mendidik
Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003.
Sholehuddin,M. Sugeng, ” Isma’il Raji Al-Faruqi:The
Founding Father Islamisasi Pengetahuan” dalam Forum Tarbiyah, vol.8, No.2,
Desember 2010
[1] Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam:Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integatif-Interkonektif,
Jakarta: Rajawali Press, 2014, 3-4.
[2] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi Baru
Muslim, terj. Suhadi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2003, 13.
[4] Sebagai seorang murid al-Faruqi, Muhammad
Shafiq mengakui besarnya peran Lamya dalam membentuk kualitas intelektual
al-Faruqi. Sebagaimana dalam Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim,…,
62-71.
[7] Isma’il Raji al Faruqi dan Lois Lamnya
Al-Faruqi, The Cultur Atlas of Islam, terj.Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
1998, 262.
[9] M.Sugeng Sholehuddin,” Isma’il Raji
Al-Faruqi:The Founding Father Islamisasi Pengetahuan” dalam Forum
Tarbiyah, vol.8, No.2, Desember 2010, 208.
[12] Isma’il Raji al Faruqi, Tauhid: Its
Implementations for thought and life. Wynccote USA: The International
Institute of Islamic Thought, 1982,.17.

Posting Komentar