Lanjutan Cerpen Kau Terlambat Hilal
Tanggal 01 Mei 2019.
Hilal menunduk. Hatinya gelisah. Lelaki muda itu mencoba untuk melihat berkeliling ke arah tetamu yang hadir. Wajah mereka ceria. Irama degung yang mengalun sejak pukul 07.00 pagi tadi benar-benar menyayat hatinya. Tenggorokannya berkali-kali terasa kering. Air mineral bening di botol tinggal seperempatnya.
Hari ini adalah hari pernikahan Topaz Aini Tri Astuti, rekan sekerja di SMPIT Nurul Aini. Sekitar tiga tahunan Hilal dan Topaz bersama. Hilal memendam rasa cinta yang dalam namun yang hampir tak terucap. Barulah seminggu yang lalu, dalam suasana yang terdesak laki-laki muda itu memaksakan diri untuk menyatakan cinta kepada gadis itu. Hilal tidak mungkin mengatakan cinta ketika Topaz telah menjadi istri orang. Maka dengan logika yang dipilihnya sendiri, ia beranikan diri menyatakan semuanya kepada Topaz.
Aku tidak bersalah. Topaz masih lajang, siapapun masih boleh untuk mengatakan apapun kepada Topaz. Demikian pembelaan diri Hilal.
Hilal sangat kecewa.
Kadang ia mengutuki dirinya sendiri yang tidak punya keberanian untuk menyatakan cintanya dulu-dulu. Hingga akhirnya ia memberi nama yayasan Nurul Aini. Ia mencoba menyatakan cintanya kepada Aini, Topaz Aini dengan caranya sendiri. Namun semua sia-sia. Topaz tak mengerti, Topaz tidak memahami kode ini. Mungkin bagi Topaz, nama Aini begitu banyak. Rahma Aini, Aini Nurbaina, Qurotul Aini, Aini Nurul Fajri, serta sederet Aini-Aini yang lain.
Terlambat!
Kembali Hilal bergumam. Harusnya ia tak berfikir tentang Safira, adik Topaz. Toh dirinya tak pernah menyatakan apapun kepada Safira. Terlambat….., Hilal mengulangi gumamnya. Nafasnya ia hela dalam-dalam. Beberapa jenak kemudian ia hembuskan perlahan. Secara tak sadar tiba-tiba lelaki muda itu menghentakkan kakinya ke lantai karena kesal. Hilal kaget sendiri. Beberapa orang yang duduk di dekatnya melihat ke arahnya. Milihat hal itu, Hilal mencoba menata duduknya lebih tenang.
“Pengantin berdua dipersilakan menempati tempat yang telah disediakan! Akad nikah akan segera dimulai.”
Terdengar suara dari pengeras suara. Hilal semakin gelisah. Dari kejauhan tampak kedua calon mempelai memasuki tempat perhelatan sakral yang diidamkan banyak orang. Calon mempelai laki-laki berjalan begitu gagah. Sementara mempelai perempuan dengan make-up yang tebal menyamarkan wajah aslinya. Dari arah Hilal duduk, mempelai datang memunggungi dirinya. Ia sama sekali tak bisa melihat wajah Topaz.
Tata…. Topaz Aini … Topaz Aini Tri Astuti ….., dalam suasana yang mulai mencekam menjelang akad nikah Hilal mengeja nama gadis yang dicintainya itu. Inilah saat-saat yang akan menjadi sangat bersejarah dalam hidupnya. Sejarah yang sangat menyakitkan. Sejarah yang akan membuat dirinya sangat kecewa, dan mungkin kekecewaan yang tak akan terobati dalam waktu yang lama.
Hilal menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering tersekat.
“Mohon perhatian, dan disaksikan semua hadirin yang terhormat. Hari ini, keluarga bapak Radite Harjasentika berkenan untuk menikahkan putrinya. Mudah-mudahan sebuah keluarga baru yang beberapa detik lagi akan terbentuk, akan selalu mendapatkan perlindungan Allah saat ini, dan di masa-masa yang akan datang.”
Ketika pembawa acara membacakan pengumuman itu, hati Hilal sudah hancur. Saat itu dirinya sudah merasa tak diperhatikan oleh siapapun. Tak ada yang peduli dan mengerti bahwa gadis yang siap dinikahkan seharusnya menikah dengan dirinya.
Beberapa jenak ketika semuanya telah siap, mempelai perempuan diminta untuk meminta ayahnya menikahkan dirinya.
“Ayahanda, hari ini, ananda mohon keridhoan ayah … untuk…. un …. Untuk menikahkan saya dengan calon suami saya ….. demi men….men…. mencari keriii…keridhoan Allah ….. hhh…hhhh…. “ calon mempelai perempuan tak sanggup untuk meneruskan kalimat permintaan kepada ayahnya untuk dinikahkan. Gadis itu menangis. Beberapa tetamu ikut terharu, bahkan ada yang berlinang air mata.
Mata Hilal terasa panas. Sebagai laki-laki ia berusaha keras untuk menahan lelehan air mata. Bibirnya dikatubkannya lekat-lekat.
Perlahan ia bangkit di antara kerumunan. Karena terhalang pandangannya, ia mengangkat kameranya ke atas tinggi-tinggi untuk merekam apa yang terjadi.
Hilal menanti.
Karena inti permintaan anaknya telah tersirat, maka ayah Topaz bersiap menikahkan putrinya: “Hari ini ayah akan menikahkanmu wahai putriku yang cantik….” kata ayah Topaz seraya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan calon menantunya itu. Ketika keduanya telah berjabatan tangan, suasana hening.
“Wahai Ahmad Abdul Fatah, saya nikahkan engkau dengan anakku Safira Cahyaning Pertiwi dengan maskawin sehelai
kerudung sutera berwarna biru…..”
kerudung sutera berwarna biru…..”
“Aku terima, nikahnya Safira ….. aku ter… aku terima nikahnya Safira Cahyaning Pertiwi dengan maskawin sehelai kerudung sutera berwarna biru….. dibayar tunai!”
Sah! Sah! Saaaahhh!
Safira?!
Gemuruh hati Hilal. Apa aku tidak salah dengar? Gumamnya dengan bibir bergetar.
Yang menikah adalah Safira. Benarkah Safira? Bukan Topaz? Hilal menoleh ke samping, kemudian menyentuh pundakorang di dekatnya.
“Bapak maaf, tadi siapa yang menikah Pak?” tanya Hilal dengan gemetar.
“Ahmad … Ahmad Abdul Fatah…..”
“Yang perempuan?”
“Safira. Putri Pak Radite.”
“Bapak tidak salah dengar?”
“Maksudnya?”
Hilal tak menjawab.
Dada Hilal semakin gemuruh. Detak jantungnya tak teratur. Mata pemuda itu jelalatan ke sana ke mari mencari-cari seseorang. Tak ada. Dengan bergegas Hilal menyibak kerumunan orang banyak, ia berlari ke luar gedung menjauh dari kerumunan orang.
Ia menelpon Topaz.
Topaz….. Aini … Ainiii…… angkat! Ayo angkat HPmu! Gumam Hilal dengan bibir bergetar. Jemarinya juga tampak bergetar. Tak ada respon. Laki-laki itu mencoba menghungi sekali lagi.
“Assalamu’alaikum …..” terdengar suara lembut. Aini! Hilal berbinar.
“Topaz …. Topaaaz.... Topaaaz..... di mana kau? Dimana?”
“Kakak di Majalengka?”
“Iya laahhh ini di Majalengka! Di pernikahanmu, tapi ini seperti mimpi! Apa…. apa yang terjadi Topaz? Kau di mana Topaz? Di mana?”
“Saya di Talaga kakak….. “
“Jadi benar yang menikah Safira?”
“Hkkk…hhh…..”
“Jangan menangis Topaz … Topaz, aku segera ke Talaga, tunggu aku, jangan ke mana-mana? Kau ada di rumah bi Maya kan?”
“Hhhh…. iya Kak, aku di bibi ..”
Saat itu Hilal tak peduli dengan pernikahan Safira. Sama sekali tak peduli dengan apa yang terjadi dengan keheranan para tetamu melihat ketergesaan menyeruak ke arah menjauh dari perhelatan sacral. Pemuda itu berlari ke mobilnya. Beberapa saat kemudian ia memacukan mobilnya ke arah Talaga bagai kesetanan. Wajah Topaz berkelebat. Wajah Hilal tegang. Ini adalah mimpi baginya.
Ting-ting-tong! Telepon. Hilal melihat layar HP. Topaz menghubungi.
“Kakak….”
“Iya… iya Topaz ada… ada apa?”
“Kakak sudah sampai mana?”
“Sangraja, hampir Kawunghilir!”
“Subhanallah Kaaak …. jangan Kak. Kakak jangan ngebut. Kakakngebut kan?”
“Oooh… iii… iya…”
“Kakak santai saja, sabar Kak Hilaaal....tenang, Topaz tidak ke mana-mana. Topaz tunggu kakak. Sabar ya Kak, jangan ngebut.”
“Iii iya …”
“Kak Hilal…”
“Ya…”
“Jangan ngebut ya….”
“Iya Topaz …. terima kasih sudah diiingatkan …”
Kata-kata Topaz benar-benar sangat berarti bagi Hilal. Baginya seperti setetes air di padang gersang. Ada sebersit rasa bahagia mendengar nasehat Topaz.
Hilal menghela nafas dalam. Kini ia menyetir dengan perasaan sangat tenang.
***
Setengah jam perjalanan Hilal sampai di Talaga. Masuk ke arah selatan dari alun-alun kecamatan, ia menuju rumah bibi Maya, adik ibu Topaz. Rumah itu tampak sepi. Namun Hilal melihat bibi Topaz ada di teras.
“Assalaamu’alaikum ibu….”
“Wa’alaikumussalaaaam … oooh … ini Pak Hilal temannya Topaz kan?”
“Ahhh syukurlah, ibu masih mengenali saya. Benar Bu, saya Hilal, teman Topaz di SMPIT Nurul Aini.”
“Iya … iya … Topaz juga suka cerita tentang Pak Hilal, putra Pak Alim pemilik yayasan.”
“Aaah bisa saja Topaz …. maaf Bu , ibu tidak menghadiri pernikahan?”
“Hmh…. nggak Pak Hilal. Bibi di sini saja, kebagian tugas menjaga Topaz.”
“Jadi benar Topaz di sini?”
“Ya benar, ada. Silakan masuk … sepertinya dia sudah menunggu Pak Hilal dari tadi. Tuh di ruang tamu …”
Perlahan kaki Hilal melangkah. Dadanya gemuruh. Jantungnya berdetak tak beraturan. Laki-laki muda itu berdeham.
Assalamu’alaikum!
Hilal memberi salam. Dari dalam terdengar jawaban salam dan mempersilakan masuk. Hilal melangkah perlahan. Dilihatnya Topaz berdiri dengan wajah kuyu.
“Topaz ……”
“Silakan duduk ….”
“Tidak Topaz, kamu kenapa Topaz?”
“Tak apa-apa….” katanya melemah. Walaupun mengatakan tak apa-apa, namun ada dua titik air mata di sudut matanya.
“Topaz …. jangan menangis…..” kata Hilal seraya mendekat kemudian memeluk gadis itu.
“Jangaan kak!” kata Topaz secara reflek mendorong tubuh Hilal.
“Astaghfirullaaahh…… astaghfirullah … maaaaf….. maaaafff… Topaz, aku hilaf…..” kata Hilal dengan serta merta melepas pelukannya. Wajah Topaz memerah.
Hilal duduk. Keduanya diam. Topaz menunduk.
“Apa yang terjadi Topaz? Jelaskan?”
“Seperti yang kakak lihat, semua rencana berantakan. Lima ratus undangan yang telah ayah sebar akan menjadi sia-sia dan akan ada rasa malu yang harus ditanggung keluarga.”
“Kenapa?”
“Keluarga Kang Misbah membatalkan pernikahan. Kang Misbah sendiri juga berkata begitu.”
“Iya, kenapa? Mengapa bisa semudah itu?”
“Kang Misbah lebih memilih karir. Sepertinya mentalnya belum siap. Setelah lulus magister, lamaran kerjanya di perusahaan minyak di Dubai diterima. Itu intinya.”
“Hanya masalah sepele seperti itu?”
“Bagi kakak itu masalah sepele, mungkin bagi Kang Misbah itu masalah besar. Masalah itu akan menjadi semakin besar jika ia harus menikahiku.”
“Kenapa?”
“Ada klausul yang mengharuskan sanggup tidak menikah selama tiga tahun ke depan. Inilah keputusannya. Keluarga Kang Misbah membatalkan pernikahan. Dengan permohonan maaf, mereka mencabut kembali ucapannya.”
“Subhanallah …. tak menyangka ada kejadian semacam ini.”
“Begitulah sifaf manusia Kak. Ada bermacam-macam dalam memandang sebuah persoalan.”
“Akhirnya Safira yang jadi korban?”
“Kakak tidak boleh katakan Fira korban. Justru itu baik. Daripada pacaran kelamaan, ntar banyak maksiat.”
“Iya betul begitu.”
“Ketika Fira dinikahkan, ayah tertolong. Artinya tetap ada acara hajatan. Bahkan, justru Firalah yang sebenarnya ingin menikah lebih dulu, setengah tahun yang lalu. Hanya saja ayah melarang, katanya kasihan aku.”
“Ooo jadi waktu itu Safira sudah punya calon?”
“Ya begitulah … sebenarnya dia juga dulu katanya ragu, kalau-kalau kak Hilal akan menyatakan suka…. tapi dia ancang-ancang ….”
“Ancang-ancang? Apa maksudnya?”
“Katanya, kalau kak Hilal menyatakan cinta, Fira akan menolak.”
“Hah? Begitukah? Alhamdulillaaah ya Allah ya Rabb!”
“Kenapa bersyukur?”
“Karena aku ingat nama yayasanku. Topaz, apa nama yayasan kita?”
“Nurul Aini.”
“Ya, itulah, aku bersyukur karena Insya Allah yayasan kita, sekolah kita akan menjadi benar-benar bermakna.”
“Nggak tahu … apa maksudnya?”
“Topaz ….. aku yakin Topaz juga bersyukur kan?”
“Maksudnya?”
Hari itu adalah hari yang membahagiakan Hilal. Kegagalan pernikahan Topaz dengan Misbahudin sepertinya menjadi sebuah syari’at baginya. Topaz sendiri tampaknya juga tak terlalu menyesali kejadian itu. Atau memang malah seperti kata-kata Hilal, Topaz bersyukur.
***
Seminggu setelah pernikahan Safira, usai acara kegiatan di sekolah Hilal memanggil Topaz ke ruang yayasan.
“Ada apa Pak?”
“Ssst … ini bukan panggilan dinas… ini panggilan pribadi!”
“Oooo… maaf, iya ada apa Kak?”
“Ada hal penting yang akan aku sampaikan.”
“Apa itu kak?”
“Minggu depan, kepengurusan yayasan akan dirombak, tentu semua atas hasil evaluasi. Aku akan diangkat menjadi ketua yayasan.”
“Ooouuww… selamat Pak Hilal!”
“Pak lagi, Pak lagi! Jangan panggil Pak atuuuh!”
“Kan ini urusan yayasan, ini urusan dinas.”
“Ini calon rencanaku nanti, bagaimana kalau Topaz jadi pengurus yayasan juga?”
“Ah nggak mau! Malu dengan teman-teman!”
“Topaz… saya masih ingat kata-kata Topaz tentang prinsip keluargamu. Iya nggak?”
“Yang mana kak?”
“Yang mana yang mana! Itu lhooo … nama yayasan Nurul Aini.”
“Bingung saya kak….”
“Astaghfirullah ….. nama Nurul Aini adalah simbol perhatianku pada Topaz…”
“Hmh ….”
“Bulan depan Topaz harus jadi ibu ketua yayasan!”
“Maksudnya kak?”
“Astaghfirullah … kau ini pura-pura nggak ngerti ya?”
“Hihihi… kan bulan depan ketuanya kak Hilal!”
“Lah iya itu, ituuu …. aku ketua yayasan, Topaz jadi ibu ketua yayasan…. “
“Kakak bercanda?”
“Aku hampir terlambat Topaz. Aku tak ingin kali ini terlambat sungguhan. Aku mencintai Topaz sudah lama ….”
Gadis itu menunduk.
Ia sangat paham apa yang diharapkan Hilal. Misteri Safira yang semula diduga menjadi penghambat keduanya untuk saling menyatakan sikapnya, kini terkuak sudah. Safira sudah menikah. Apa lagi?
“Bulan depan, aku serius. Aku tak ingin mengagumi Aini hanya dalam simbol. Tak ingin menyanjung Topaz hanya dalam mimpi. Tak ingin bercanda dengan Tri Astuti hanya dalam angan-angan ….. aku serius Topaz……. umurku sudah dua puluh tujuh tahun. Sudah layak untuk memiliki seorang istri, apalagi istrinya …. Masya Allah …… makhluk yang sangat indah dan mengagumkan.”
“Rayuan gombal ….”
“Serius Topaz, bulan depan Topaz akan tahu bagaimana kekagumanku pada gadis yang satu ini memenuhi buku harianku.”
“Maksudnya?”
“Aku selalu mencatat setiap kegumanku pada Topaz.”
“Iiih Kakaaak..... jadi ge-er niih. Kakak mencatatnya?”
“Aku sudah yakin, bahwa Allah akan mengirimkan Topaz untuk aku ….. bukan untuk yang lain. Makanya nanti bisa kita baca bersama. Iya, kita, aku dan kamu. Hilal dan Topaz Aini…..”
“Iiih…..”
“Topaz.”
“Ya?”
“Besok juga, aku tak peduli ayah baru hajatan. Aku mau melamar Topaz.”
Gadis itu menunduk dalam. Terdiam lama. Hilal menghela nafas dalam. Di hadapannya adalah gadis harapannya. Ia yakin apa jawaban gadis itu bakal sesuai dengan harapannya.
Halaman SMPIT Nurul Aini dirasakan Topaz menjadi sebuah lingkungan yang indah. Bahkan ia sendiri malah sering mengeja Nurul Aini berulang-ulang. Setiap mengulang kata itu, ia ingat bahwa laki-laki bernama Hilal-lah yang mencipkatakannya. Sebuah awal cinta yang diungkapkan secara simbolik, yang semula tak banyak orang yang tahu.
Hari berikutnya, Hilal mengingatkan sekali lagi :
“Pelaminan akan berdiri sebentar lagi, bulan depan …..”
“Tapi harus mencari hari baik ….” kata Topaz pelan.
“Bersama Topaz Aini, semua hari menjadi baik. Semua hari akan membahagiakan. Aku sudah sudah merasakannya, cinta terpendam sekian lama saja aku sudah bahagia … apalagi nanti Topaz …. The Real Story”
“Aaah ….”
“Senyum dong cantiiik….. dikiiiiit saja buat kakak!”
Topaz tersenyum.
Hilal gemas. Pemuda itu membalikan badannya membelakangi Topas. Topaz menggelengkan kepala melihat Hilal menutup wajahnya hingga lama.
Di hati kecil Hilal, ada rasa terima kasih kepada laki-laki bernama Misbahul Ulum yang telah melepas Topaz kembali dalam harapannya.***
TAMAT
Posting Komentar