Orang Inggris mengatakan Time is Money!” . Kyai Guplo, seorang kyai kampung, menimpali pernyataan si Inggris , katanya Selesaikan semua masalah dengan uang!. Tentu saja jamaahnya protes, masa kyai pikirannya seperti itu. Tetapi pernyataan sang Kyai punya alasan. Katanya bahwa Waktu Adalah Uang hanyalah terjemahan untuk konsumsi anak sekolah di kelas. Di luar kelas hampir tak ada jasa yang diberikan tanpa imbalan uang. Minta tolong ini, memberi upah. Minta tolong itu, memberi rokok. Menawarkan jasa agar ini agar itu, harus ada penghargaan. Berarti analisis Kyai Guplo benar. Biarpun dia seorang kyai tajug yang sepi, pikirannya progresif pula. Namun kadang masih ada kelompok yang menamakan dirinya moralis menolak, urusan imbal jasa adalah hal yang wajar di jaman sekarang.
“Itulah ulah si Inggris! Secara perlahan namun pasti, kalimat time is money telah mengubah peta negara yang dulunya hijau, menjadi abu-abu!”
Suatu kali selepas shalat ‘Isya, Pak Guru Dwija bersantai di beranda tajug dengan Kyai Guplo. Sang kyai menawari rokok kepada Pak Guru, namun ditolaknya dengan halus. Guru senior yang bertetangga dengan sang Kyai itu mengamati betapa tetangganya itu menikmati benar asap rokok.
“Pak Guru …… melihat berita di TV ngeri juga ya. Dari berita itu ... mmmhm.... kasihan anak-anak sekolah gemar tawuran, narkoba, sex bebas. Apa di sekolah tidak ada pelajaran tentang akhlak?” tanya sang Kyai seperti memercikkan bara ke dalam tumpukan jerami.
“Oooo ya tentu ada!”
“Tapi mengapa banyak anak-anak yang kelakuannya seperti itu?”
“Yaaahhh…. Sang Kyai lupa pernyataan anda sendiri ya?”
“Ooow? Yang mana ya?”
“Kata sang Kyai, time is money sama dengan waktu adalah uang, hanyalah terjemahan di kelas. Di luar kelas, manusia-manusia dewasa menerapkan menyelesaikan segala sesuatu dengan uang.”
“Hmmm, jelasnya?”
“Pendidikan karakter di kelas ya untuk di kelas! Kejujuran, saling menghargai, dan sebagainya, hanyalah pelajaran. Nah di luar kelas? Di luar kelas dibeberkan secara gamblang, di koran, di televisi, dan media massa lainnya, berita tentang orang-orang tua yang selingkuh, brutal, mau menang sendiri, korupsi, menipu, kongkalikong, memalsukan laporan keuangan dan sebaianya. Baik yang ada di kampung-kampung, hingga yang di pusat sana! Apa itu bukan lebih mujarab bagi anak-anak kita? Pak Kyai, contoh itu lebih manjur dibanding nasehat. Seberapapun gencarnya pendidikan karakter di kelas, masih tetap kalah dengan bukti  negatif di lapangan. Ditambah lagi acara-acara tontonan di televisi, apa sih yang berbobot? Acara selingkuh artis, KDRT artis, perceraian artis, dagelan-dagelan tak bermutu, dialog penuh caci maki di televisi, sinetron-sinetron tahyul, horor….. Ini adalah bukti bahwa pendidikan karakter di sekolah tidak akan menang dan itu semua (yang negatif-negatif) mampu memberi warna kepada anak didik kita. Dan jangan lupa, di antara anak-anak didik suatu sekolah (siswa) - ada anak-anak kita di sana!”
“Wah Pak Guru, kalau itu benar  berarti ….. gawat, gawaaaat……”
“Namun masih banyak pihak yang menyalahkan guru. Enak saja! Yang memberi contoh korupsi ratusan juta bukan guru, manipulasi ratusan juta bukan guru, tahanan yang bebas piknik itu bukan guru,  yang caci maki di televisi bukan guru, yang punya proyek di tiap daerah bukan guru. Mengapa guru yang dipersalahkan.
“Memang guru gak ada salahnya ya Pak?”
“Heheheee…. Jadi malu aku! Guru ya ada saja salahnya. Tapi ..... sedekeeeeet! Guru jarang masuk kelas. Guru datang ke sekolah tapi ngobrol di kantor. Guru masuk ke kelas sebentar terus keluar lagi tidak pulang-pulang. Guru nitip absen HP ke temannya. Tugas siswa tidak dikoreksi, tapi anak wajib membeli LKS hahaha!”
“Wuah, wuah! Itu guru di tempat Pak Dwija ya?”
“Bukaaaan…. Itu di luar negeri kok.”
“Luar negerinya Timor Leste ya?”
“Luar negerinya Timor Leste berarti di kita doong? Haha! Emmm....gini Pak Kyai, guru di kita sudah sangat bagus mutunya. Total tunjangan sertifikasi plus gaji sebulan sudah sekitar enam jutaan lho …… bagus-bagus kok mengajarnya! Rencana mengajar di RPP juga sangat lengkap. Yang lengkap. Yakin, anak-anak senang dengan mutu guru yang demikian!”
Karena ketakutan Pak Kyai bertanya yang lebih jauh, Pak Guru Dwija pura-pura mau ke air dulu. Padahal aslinya tidak ingin cerita tentang guru di sekolahnya dikorek-korek Kyai Guplo. Takutnya nanti kalau dilaporkan ke Tuhan oleh Kyai Guplo, dan kalau Tuhan marah? Mau bagaimana guru ini?
Untunglah Tuhan milik bersama, juga milik guru. Artinya, kalau Pak Kyai melaporkan yang bukan-bukan tentang guru kepada Tuhan, para guru bisa berargumen kepada Tuhan. 
Hehe, tapi ini asalkan bukan berkilah saja lho, atau mencari legitimasi dari kesalahan yang dibuat oleh sebagian (kecil) guru. ***


Januari 2020
4184

Post a Comment