“Tidak ada penyakit yang
tidak ada obatnya, yang ada adalah belum ada upaya optimal untuk menemukannya.”
Penyakit atau virus baru
akan terus bermunculan sepanjang sejarah peradaban manusia, meskipun sebetulnya
tidak ada yang benar-benar baru, yang ada adalah perkembangan atau mutasi dari
virus atau penyakit yang telah ada sebelumnya.
Butuh orang-orang seperti
Ibnu Sina, atau di Barat dikenal dengan nama Avicenna, yang punya keseriusan
dan totalitas di dunia medis untuk menemukan penyembuh atau obat/vaksin agar
penyakit dan virus baru tidak menyebabkan punahnya peradaban manusia karena
wabah penyakit.
![]() |
| Ibnu Sina. Foto:Wikipedia |
Ibnu Sina dikenal sebagai
bapak ilmu kedokteran. Di masanya, ia dikenal sebagai pelopor ilmu kedokteran
eksperimental, hal ini berkat sederet penemuan penting di dunia kedokteran,
salah satunya tentang tuberculosis (TBC).
Ibnu Sina juga merupakan
dokter pertama yang mendiagnosa penyakit meningitis, bagian mata, dan katup
jantung, serta temuannya saraf yang terhubung dengan nyeri otot.
Mahakaryanya hingga kini
masih menjadi rujukan dan bahan penelitian bagi pegiat di dunia kedokteran.
Yaitu, buku ensiklopedia filsafat “Kitab al-Shifa” (Buku Penyembuhan) dan “The
Canon of Medicine.”
Dua buku ini menjadi
warisan penting bagi dunia kedokteran di Timur maupun Barat. Bahkan buku “The
Canon of Medicine” atau dalam bahasa Arabnya “Al-Qanun fi Tibb” dianggap
sebagai buku kedokteran eksperimental paling penting dalam sejarah, dan menjadi
“kitab suci” dunia pengobatan Islam dan Eropa hingga abad ke-17.
Buku tersebut dipakai
oleh para dosen kedokteran di Barat untuk memperkenalkan prinsip-prinsip dasar
sains. Di antara isinya tentang teori dan praktik kedokteran seperti ilmu
anatomi, ginekologi, dan pediatri. Ia juga orang yang pertama kali melakukan
uji klinis dan mengenalkan farmakologi klinis.
Ibnu Sina sudah menulis
mengenai penyakit yang sekarang populer semacam kanker, tumor, diabetes dan
efek placebo sampai mengenai bedah tumor. Meski temuan ini pada awalnya sempat
ditolak oleh dunia kedokteran Barat, tapi pada akhirnya sebagian bisa diterima,
terutama setelah ditemukannya mikroskop.
Di bidang psikologi, jauh
sebelum Sigmund Freud, Ibnu Sina sudah menemukan dasar-dasar psikologi modern.
Ia mempelopori psikofisiologi, psikosomatik, dan neuropsikiatri, dan temuannya
tersebut dituliskan dalam jurnal. Sejumlah penyakit yang dibahas dalam jurnal
di antaranya tentang halusinasi, insomnia, mania, demensia, dan vertigo.
Dituding
sebagai ateis
Ibnu Sina lahir pada 375
H/984 M di Afshana, tidak jauh dari Bukhara. Ayahnya Abdullah bin Al Hasan
adalah pegawai pemerintahan. Jabatan tersebut memberi kemudahan tersendiri bagi
proses belajar sang anak.
Ketika itu, ayahnya
mendatangkan guru Alquran dan bahasa setiap hari, sehingga di usia 10 tahun
Ibnu Sina sudah mampun menghapal Alquran dan mahir gramatikal Arab.
Meski karyanya diakui
dunia Barat, ia justru dianggap oleh kalangan muslim sebagai ateis karena
menganut Mu’tazilah. Aliran yang menjadi fondasi bagi lahirnya filsafat Islam
dengan tokoh-tokoh seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.
Mu’tazilah kurang
diterima sebagian penganut Sunni lantaran beranggapan bahwa akal manusia lebih
baik ketimbang tradisi. Mereka cenderung menafsirkan ayat-ayat Alquran secara
lebih bebas ketimbang kebanyakan muslim lainnya.

Posting Komentar