Pukul 06.32. Tempat parkir motor SMA Negeri 1 Majalengka. Tempat hampir penuh. 
Helga memasuki gerbang parkiran motor. Gadis itu melihat Lestari, teman sekelasnya  telah lebih dahulu di situ.
Usai menyimpan motor, gadis itu mengernyitkan dahi melihat Lestari tengah mencari-cari sesuatu di tasnya.
“Tari! Cari apa?” tanya Helga sambil ikut melihat isi tas.
“Tugas.”
“Matem?”
“Biologi.”
“Ooooo… padahal kita sudah sepakat dengan Bu Ema, kalau tidak mengerjakan atau lalai mengumpulkan tugas, kita wajib merawat dan menjaga kebun hidroponik selama satu minggu, sepulang sekolah, sampai pukul setengah enam!” kata Helga menakut-nakuti.
“Itulah! Itulah yang aku takuti. Aku trauma dengan ulat hijau yang ada di punggungku, kalau aku piket, nanti teman-teman ulat datang lagi!”
“Terus?”
“Ya ginama ya duuuhhhh!” kata Lestari sambil menjejak-jejak lantai parkiran, wajahnya tampak ketakutan.
“Ambil, seperempat jam cukup!”
“Ngawur kamu Hel! Kalau terburu-buru, ada apa-apa gimana?”
“Iya sih, tapi gimana lagi, Biologi jam pertama!”
Keduanya belum sempat menemukan solusi, ketika tiba-tiba ada anak laki-laki  datang kemudian memarkir motor di antara motor Helga dan motor Lestari. Akhri, sang ketua kelas.
“Ada apa nih? Kok Tari kayak mau nangis? Dijahatin ya Hel?”

“Iiiih datang-datang main fitnah! Tanya sendiri ke Tari tuuuh!” kata Helga kesal.
“Kenapa Tari?”
“Tugas Biologi ketinggalan.”
“Gawat! Bu Ema!”
“Akhriiiii! Jangan nakut-nakuti!” wajah Lestari tampak semakin tegang.
“Ambil, pulang lagi!”
“Nggak mau!”
“Kolokan! Aku ambilkan! Nih tasku bawa masuk …..” kata Akhri sambil melepas tas punggung diserahkan kepada Lestari. 
Gadis itu menerima tas Akhri. Setelah itu dengan sigap Akhri mengeluarkan motornya dari jajaran parkir, kemudian melesat ke arah luar.
“Astaghfirullaaah tuh anak!” gumam Helga.
“Akhriiiiii! Sini duluuuuu …..” teriak Lestari seraya meloncat-loncat. Namun suara gadis itu tak didengar oleh Akhri yang kemudian hilang dari pandangan. Kedua gadis itu saling pandang, kemudian keduanya sama-sama menggeleng.
Lestari dan Helga berjalan perlahan ke arah gerbang parkiran. Kelas mereka X MIPA 6 tak terlalu jauh dari tempat itu. Namun belum lagi keduanya keluar parkiran, keduanya terkejut. Mereka melihat Akhri masuk ke gerbang sekolah lagi, kemudian berhenti di depan keduanya.
“Tari! Memang rumahmu di mana? Aku tadi sudah sampai alun-alun!” kata Akhri bertanya dengan nafas terengah-engah.
“Kan tadi juga aku memanggilmu, kamu malah kaya kesetanan!”
“Soalnya buru-buru!”
“Rumahku di Kadipaten.”
“Ya Alloooh ya Rabb! Saya pikir rumahmu di Sukahaji!”
“Yang Sukahaji itu Helga!”
“Ooo….”
“Kenapa mikir Sukahaji?” tanya Helga.
“Firasat saja … feeling.”
“Uuuh …. makanya jangan sok tahu.”
“Ya maklum, kita anak baru kan baru tujuh bulan, mana hafal!” kata Akhri membela diri.
“Tujuh bulan itu lama lho Ri! Kamu saja yang cuek orangnya…”
“Iya Bu Helga, terima kasih diingatkan.”
“Nggak lucu!”
“Memang aku tidak sedang melucu. Aaah ….. sudahlah…. Emmm Tari, Kadipatennya sebelah mana, anak siapa, rumahnya ngadep mana?”
“Lapangan Sedar, tanya saja rumah Lestari anak Smansa! Aku cukup terkenal kok!”
Tanpa menunggu jawaban lagi dari Lestari, Akhri kembali menaiki motornya meninggalkan keduanya. Helga dan Lestari maklum, waktu tinggal dua puluh menit. Untuk menempuh jarak sembilan kilometer dari Sekolah ke Kadipaten, jika jalan lengang sekitar tujuh menit. Namun saat ini sudah mendekati pukul tujuh, jalan tentu ramai.
Masuk jam pelajaran kedua Akhri belum tampak.
Lestari heran. Tadi ada petugas piket memberikan titipan tugas, tetapi bukan Akhri yang mengantar. Namun kemudian rasa penasaran terjawab sudah ketika pemuda itu bersama yang lain membagikan slip absen ke setiap kelas di sekolah.
“Berarti Akhri terlambat …. “bisik Helga sambil menyikut lengan Lestari.
“Iya. Kasihan dia, padahal tugasku sudah dibawakan!”
“Wah, kamu harus minta maaf kepada dia.”
“Haduuuh … salah dia sendiri sih, aku kan nggak nyuruh!”
Setelah kejadian itu Helga melihat Akhri dan Lestari semakin akrab. Gadis itu sendiri merasa senang melihat sahabatnya demikian.
Helgaaa…!
Helga kaget ketika tiba-tiba di dekatnya terdengar ada yang memangggil. Cukup pelan, tetapi membuat gadis itu terperanjat. Demi melihat Akhri yang datang, Helga menyembunyikan HP di belakang punggungnya. Gadis itu menarik nafas dalam. Kedatangan pemuda itu benar-benar telah memotong lamunannya tentang pertemuan Akhri dengan Lestari yang cukup seru dulu di awal kelas X.
“Kok kaget Hel?”
“Enggaak… siapa yang kaget.”
“Hel … rupanya kamu tadi sedang ngelitain fotoku bareng Tari ya?”
“Enggak ….”
“Helga, sejak kapan sahabatku yang satu ini memutuskan untuk berbohong?”
“Apasih nggak ngerti?”
“Aku tadi ikut lihat foto di HP-mu sejak lama lho!”
“Hah?!”
“Maaf Helga, maaaf banget….. rupanya kamu sedang mengingat-ingat kisahku dengan Lestari ya?”
“Iiihhhh apa urusanku?”
“Helga, mbok ya-o bersahabat sedikit gitu.”
“Maksudnya?”
“Senyum gitu …. jangan ketus. Toh aku salah juga cuma sedikit, cuma nebeng dikit ngeliatin HP-mu.”
“Tapi ya ngomong dulu Akhriiiii!”
“Tapi sedang ngeliatin foto aku sama Lestari kan?”
“Iya, iyaaa!”
“Nah gitu kan enak.”
“Enak di kamu!”
“Eh Helga, enak kan jadi jujur?”
“Iya tapi aku nggak rela kamu curi-curi kesempatan kaya tadi, nimbrung nonton HP orang nggak bilang-bilang.”
“Memang kamu nggak krasa aku tadi datang di belakangmu?”
“Enggak.”
“Kalau begitu aku cocok jadi intel!”
“Intel apaan?”
“Ya polisi laah ….”
“Nggak cocok!”
“Hmh ngak cocok? Tari saja setuju!” kata Akhri sambil terkekeh. Helga melengos.
Dengan terburu-buru gadis itu meninggalkan Akhri yang masih tak habis pikir ketika tiba-tiba ditinggal sendirian. Sambil tergesa-gesa menjauh, gadis itu sendiri juga merasa kaget, kenapa tiba-tiba ia meninggalkan Akhri tanpa alasan.

***


Minggu siang. Cirebon. Grage Mall.

Usai makan Baso Malang Karapitan di lantai II Helga menuju toko peralatan pendakian. Beberapa keperluan harus dibelinya. Mengisi liburan kenaikan kelas kali ini, Helga bersama grupnya berencana menaklukkan ketinggian Ciremay untuk yang kedua kalinya. Hanya untuk kali ini tampaknya tidak bisa kompak, biasanya mereka selalu bersama.
Memasuki counter Eiger ori, gadis itu mulai melihat-lihat.
“Cari apa Teh?” sambut seorang pelayan dengan ramah.
“Lihat-lihat dulu.”
“Ooo silakan. Mmm mau muncak rupanya?”
“Kok tahu?”
“Heheee… itu logo di jaket, Ganapala. Pecinta alam.”
“Oooo… memang harus muncak ya?”
“Bukan masalah itu, biasanya bulan-bulan begini, musim kemarau habis kenaikan kelas banyak yang cari perlengkapan di sini.”
“Ooo… tapi kebetulan memang mau ke Ciremay sih.”
“Kayaknya banyak yang mau ke sana ya…”
“Biasanya begitu. Emmm … ini kaos tangan, cover bag. Samaaa…. mmm deker tungkai.”
Beberapa saat setelah barang dimasukkan kantong keresek, Helga membuka dompet.
“Nggak usah Teh, tadi sudah ada yang nitip uang buat apa yang Teteh beli.”
“Hmh? Apa maksudnya?” Helga kaget.
“Tadi ada yang sudah nitip uang, katanya suruh bayarin apa saja yang dibeli gadis berbaju coklat.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Tadi dia lihat dari sini, ke arah Baso Malang Karapitan. Dia nunjuk si Teteh, dan memang si teteh ke sini. Ya sudah, ini kaos tangan, deker sama coverbag sudah lunas.”
“Astaghfirullaahal adhiiim… siapa dia? Emm Mbak, anaknya cowok ya?”
“Cewek Teh.”
“Cewek? Bukan cowok?”
“Iya cewek.”
“Oooo….. sendiri atau berempat?” tanya Helga teringat nama-nama Zahra, Zihma, Sunny dan Tiwi anggota grupnya.
“Sendirian.”
“Oooo…. siapa ya?”
Siang itu Helga mendapatkan perlengkapan pendakian secara gratis. Namun ia tetap penasaran akan siapa yang telah membayar benda-benda itu. Ketika ditanyakan kepada Zahra melalui telephon, Helga tak mendapat keterangan apa-apa.
Memangnya ada apa Hel?”
“Aku belanja di Eiger Grage, ada yang mbayarin. Tapi orangnya misterius.”
“Terus nanya sama aku maksudnya apa?”
“Yang mbayarin anak perempuan. Aki  kira kamu orangnya, atau yang lain grup kita.”
“Nggak tahu Hel, kami seharian di rumah Tiwi kok.”
“Terus kira-kira siapa?”
“Kalau anggota regu lain? Yang cowok misalnya?”
“Bakti?”
“Nggak mungkin.”
“Akhri?”
“Cewek Ra!”
“Ah nggak tahu lah, nyerah!”

Siang itu nihil.
Mengingat-ingat anak perempuan yang suka muncak atau kegiatan pecinta alam, tampaknya tak banyak yang intens dalam bersahabat. Senior di ganapala juga tidak mungkin, karena untuk tahun ini katanya tidak akan terlibat dengan kegiatan.
Ting!
Notifikasi WA masuk. Helga membuka HP. Ada japri dari Akhri.
“Hel, kita besok ketemuan di markas bisa nggak? Ada sesuatu yang penting.”
“Membahas apa? Bukannya sudah dilimpahkan kepada tiap kelompok.”
“Tapi ini penting.”
“Kenapa harus aku? Ada hubungannya dengan aku-kah?”
“Nggak sih, tapi aku suka kalau curhatnya sama kamu Hel. Swear!”
“Iiih apaan sih!”
“Bener Hel, kamu itu kalau nasehatin teman-teman kaya ibu-ibu. Pantes banget.”
“Ngece kamu Akhri!”
“Eh bener, kayak ibu-ibu maksudnya pola pikirmu dewasa.”
“Ah modus!”
“Ah kamu mah kalau sudah bilang gitu, ibu-ibunya hilang, tinggal….”
“Tinggal apanya?”
“Nggemesinnya!”
“Mo-duuus!”
“Ah terserah kami lah Hel. Tapi mau ya Hel, please deh! Cuma sebentar kok, paling cuma satu jam!”
“Wuih enak saja satu jam dibilang sebentar.”

Ya sudah seselesainya…..”
“Naaah begitu…”
“Selesainya tiga jam!”

Pagi hari di taman sekolah.
Biarpun hari libur, SMAN 1 Majalengka hampir tak pernah ada kata libur. Selalu saja ada anak-anak yang datang untuk mengisi kegiatan apa saja. Para guru hanya berpesan, agar semua kegiatan yang dilakukan harus dilaporkan.
Pagi itu Akhri sudah duduk di bumper depan ruang guru. Keduanya menghadap lapangan olah raga. Ketika Akhri memulai pembicaraan, Helga hanya mendengarkan dengan seksama.
“Aku kangen ketinggian puncak Ciremai. Dingin. Tancapkan bendera Ganapala . Dan yang satu ini, edelweis. Aku ingin melihatnya kembali.” kata Akhri sambil pendangan lurus ke depan.
“Semua juga begitu.”
“Helga, namun ada satu hal yang membuatku gelisah. Tak nyaman.”
“Hmh? Tak nyaman? Apa itu Ri?”
“Lestari.”
“Ooooh … Lestari. Akhri, maaf, kalau aku ke sini hanya untuk diajak bicara masalah Tari, aku pulang saja.” kata Helga seraya berdiri.
“Em Helga… tunggu … Helga, Helga ...tunggu dulu, aku belum selesai bicara. Helga , tolong duduklah lagi.”
“Hmh….” Helga menghela nafas dalam sambil menggeleng. Namun tak urung gadis itu duduk juga.
“Helga sahabatku, dengar. Ini yang penting."
"Apa?"
" Lestari minta dibawakan bunga edelweiss.”
“Apa?!”
“Edelweiss. Ya, itulah masalahnya. Dia minta aku membawa bunga edelweiss untuknya.”
“Kamu iyakan?”
“Aku nggak tahu Helga…”
“Apa alasan Tari?”
“Untuk… untuuuk ….”
“Untuk simbol keabadian? Gitu kan?”
“Hmhh… iya… itulah alasan Tari.”
“Klasik! Kenapa mesti harus dengan simbol bunga edelweiss? Sudah Akhriii … abadikan saja hubungan kalian, nggak usah pakai simbol!”
“Aku memberitahukan alasan …. eh dia malah ngambek. Sampai sekarang aku didiamkan.”
“Kontak dia, ajak dia muncak, nanti sambil berjalan di sekitar edelweiss aku akan memberinya nasehat, bukan cuma nasehat mungkin malah aku doktrin!”
“Nggak bisa Hel. Dia fisiknya lemah, nggak kaya kamu, sehat, fisiknya hebat. Pikiranmu luas, cerdas, dewasa, suka nasehatin orang.”
“Aaah Akhriii … jadi besar kepala nih!”
“Dan lagi …. emmmm"
“Apa lagi?”
“Cantik.”
“Iiiiiih Akhriiiiii! Dasar cowok nggak setia, kasihan pacarmu itu.”
"Ya memang kamu cantik, malah pakai banget."
"Tuuh watak cowok!"
“Haha! Memangnya Helga tahu aku dan Lestari pacaran?”
“Ya kayaknya.”
“Hueh! Kayaknya! Pokonamah sejak perjuangan bahis-habisan di parkiran dulu, kamu kelihatan dekat sama dia.”
“Perjuangan yang mana?”
“Waktu ngambil tugas ketinggalan. Waktu kamu disetrap.”
“Ooooo …. Itu kelihatan aku usaha banget ya?”
“Ya iyalah. Tahu nggak Ri, hati Lestari langsung meleleh diberi pengorbanan kayak gitu.”
“Iya ya?”
“Ya iyalah!”
“Mmmmm …. sudahlah ….. Hel….”
Sebagai anggota pecinta alam, Akhri sangat menjunjung komitmen mencintai alam. Mengambil edelweiss dari puncak gunung adalah sebuah penyimpangan komitmen. Berkali-kali Akhri bersama kelompoknya menaklukkan puncak gunung tanpa edelweiss. Ketinggian Ciremay, Papandayan, Salak, pernah ditaklukkan, bahkan gunung Slamet yang tertinggi di Jawa Tengah  pernah dikangkanginya pula.
Akhri ingat sekali kata-kata Lestari.
“Aku pesan beberapa tangkai edelweiss Ri.”
“Edelweis ?” Akhri terhenyak mendengar permintaan gadis teman sekelasnya itu.
“Iya. Edelweis adalah bunga abadi….. aku berharap persahabatan kita akan abadi seperti edelweiss.” kata Tari sambil merengut.
“Ooooh….”
Hati Akhri membantah. Permintaan Lestari sangat berat untuk dipenuhi. Sejenak nafas panjang dihela. Namun gadis yang duduk di sampingnya itu seperti tak menangkap arti desahan nafas Akhri.
“Kamu keberatan?”
“Edelweiss adalah simbol keabadian Tari , sebuah simbol keabadian tak layak untuk dipetik atau dirusak . Kami anggota pecinta alam telah sepakat untuk tidak menyakiti alam. ”
“Artinya kamu keberatan bukan?” desak Lestari.
“Aaah Tari, Tariiii , sudahlah….. nanti kuganti dengan anggrek yang indah, atau melati yang wangi… edelweiss tak terlalu bagus, warnanya seperti rumput kering.”
Fauzi tak banyak komentar ketika Lestari merajuk. Ia biarkan gadis itu pulang tanpa meninggalkan pesan apapun.

“Begitulah Lestari Hel….. “ Akhri mengakhiri cerita tentang Lestari.
“Wajar.”
“Bagaimana pendapatmu Hel?”
“Noooo comment!”
‘Hmh… ya sudahlah, derita ini aku tanggung sendiri.” kata Akhri sambil menggaruk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal.
“Tabah ya Ri.”
“Iya, ya. Kamu sehat ya Hel.”
“Insya Allah.”
"Hel ... ada satu hal lagi yang terkait Lestari."
"Apa lagi?"
"Dia pernah bilang mau ngasih hadiah ke kamu, tapi nggak mau ngomong. Tapi katanya boleh aku yang nyampai-in."
"Ih aneh itu anak. Masalah apa Ri?"
"Lestari pengen nraktir kamu."
"Oooo ..."
"Dan dia sudah melakukannya."
"Apa?"
"Counter Eiger Cirebon. Pernah belanja gratis nggak?"
"Belanja gatis? Hai? Jaa... jadi ketika itu yang nggratisin di Eiger itu?'
"Ya, dia Hel."
"Kenapa?"
"Dia bilang nggak tahu juga. Katanya mungkin itu yang terakhir...."
"Yang terakhir? Ooooh ... Akhrii.... sampaikan terima kasihku kalau begitu."
Akhri hanya menggeleng, Ia tak menjawab.

***

Pagi menjelang siang, di Basecamp Apuy, kaki gunung Ciremai Majalengka.
Beberapa meter dari pintu masuk, grup Fi-Ve tampak bersiap-siap membeli tiket pendakian. Grup yang merupakan kelompok remaja putri terdiri dari Helga, Zahra, Zihma, Sunny dan Tiwi. Kelompok lain sebagai tim pendamping yang terdiri dari pemuda, tapi kelompok yang biasa berpasangan masih belum sampai.
Kelompok Fi-Ve akhirnya memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu. Jalan setapak khas perbukitan, dengan alam sekitar yang masih belum terusik oleh tangan jahil manusia, benar-benar menjadi sahabat bagi mereka para pecinta alam, para pendaki gunung. Grup ini sebenarnya sudah satu kali melakukan pendakian ke puncak Ciremai, dulu ketika kelima  gadis ini baru diterima di SMA. Sekarang tampaknya mereka akan kembali mengingat kenangan-kenangan menyasyikkan selama perjalanan.
Hampir tengah hari Pos 1 Berod terlewati. Memulai meninggalkan Pos 2 Arban, suasana hutan mulai terasa. Tanaman pinus dan lainnya bercampur menampakkan keaslian hutan. Di sekitar jalan tampak pula pakis-pakisan beraneka jenis. Jalanan yang berbeda tekstur dengan perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 sangat terasa. Perlahan, catu energi dalam tubuh mulai keluar dengan serius.
“Masih lama Wi?” tanya Helga yang berjalan paling belakang sambil berhenti. Tangannya memegang tongkat kayu. Yang ditanya, menoleh. Tak hanya menoleh, ia melihat wajah Helga tak seperti biasanya. Gadis itu menunggu sejenak.
“Kamu tanya apa Hel?”
“Masih jauhkah puncak?”
“Ya Allaaaah Hel…. ini kan baru meninggalkan Pos 2. Nanti harus lewat Pos 3, Pos 4, Pos 5 dan terakhir sebelum Puncak di Goa Walet. Bisa ngitung nggak Yu? 3-4-5-6!”
“Uuuuuhhh…..”
“Jangan menyerah, baru saja mulai!” kata Tiwi sambil berbalik melanjutkan melangkah ke jalan yang semakin menanjak.
“Andai saja ada penyemangat lain.”gumam Helga. Rupanya Tiwi mendengarnya.
“Apa Yu?”
“Andai saja ada penyemangat lain.“
“Kelompok cowok?”
“Tidak harus.”
“Kalau begitu makhluk halus!”
“Tiwiiiiiii!”
Sebenarnya yang dirasakan Helga adalah tumit yang nyeri. Kemarin sebelum berangkat, ia mencari deker tetapi tak ketemu. Hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk melupakan barang itu. Rupanya barang sepele itu kini terasa manfaatnya. Andai saja deker tumit dan telapak kaki dipakai, mungkin tidak seperti ini.
Sebagai pecinta alam ia sering meneriakkan semboyan untuk melawan tantangan dan hambatan. Rasa sakit sedikit di tumitnya dianggap sebagai sebuah tantangan kecil. Maka dengan menghilangkan konsentrasi pada tumit yang nyeri, ia berusaka melupakan itu. Ia fokus pada jalan yang akan dilewati. Nyatanya hingga lepas dari Pos 4, gadis itu masih bertahan. Namun ketika pertengahan menjelang Pos 5 Sanghyang Rangkah, Helga tampak semakin kepayahan. Beberapa temannya sesekali menoleh, tapi Helga  mengisyaratkan agar teman-teman terus berjalan jangan mempedulikan.
Hari menjelang pukul empat sore.
Tiwi yang sampai paling dulu di Pos 5, menunggu teman-temannya datang. Gadis itu minum beberapa teguk air bening. Ketika Zihma, Sunny dan  Zahra datang, mereka sempat berfoto.
“Helga mana?” tanya Zahra setelah beberapa saat teman yang terakhir belum datang juga.
“Masih di bawah… biar saja… da dia yang nyuruh kita terus jalan kok!“
“Kalau nyasar?”
“Hus! Ngaco kamu Ra!”
“Yaudaaah … ditunggu saja. Mudah-mudahan tak apa-apa.”
***
Ketika teman-temannya semakin jauh, sebenarnya kondisi Helga semakin payah. Kakinya dirasa semakin sakit. Maka jalannya semakin perlahan. Bahkan kadang-kadang ia bersedeku. Sesekali pula ia duduk di pinggir jalur pendakian itu. Beberapa pendaki dari kelompok lain yang lewat kadang ada yang menyapa sekedar basa-basi. Tak ada yang tahu kondisi yang sebenarnya.
Hampir lima menit gadis itu duduk. Setelah dirasa berkurang sakitnya, gadis itu bangkit. Dengan tertatih-tatih Helga berjalan dengan kondisi medan yang menanjak.
“Ayooo jalan!” tiba-tiba dari belakang ada suara keras, dan ada dorongan pada ransel hingga mendorong Helga maju. Dalam kondisi tak siap, didorong semacam itu justru gadis itu terjerembab ke depan.
“Aaaaahhhckk!” gadis itu hampir terpelanting.
“Helgaaa!” dengan sigap ada tangan menahan cover bag mencengkeram dengan kencang.
Nafas gadis itu tersengal-sengal. Tubuhnya tak jadi jatuh. Perlahan ia memperbaiki berdirinya dengan memegang paha depan. Perlahan mengangkat tubuh.
“Ooohh….. ooohhh….. aduuuh….. aaa… “ Helga meringis menahan sakit.
“Hel…. kamu tidak apa-apa?”
“Oh kamu Akhri… seharusnya kamu bareng Lestari.”
“Hoooi bangun….. ngomong apa kamu Hel?”
“Aneh ……”
“Nggak ada Tari di sini ..”
“Katanya mau ambil Edelweiss.”
“Kamu hilang konsen Hel….. minum dulu niih.” kata Akhri sambil menyodorkan botol air bening. Gadis itu menerima botol, lalu menuangkan ke gelas plastik. Ia minum beberapa teguk.
Ketika wajah Helga mulai tampak pulih, Akhri mengajaknya duduk. Keduanya duduk. Helga mengambil handuk kecil. Wajahnya yang berkeringat dilapnya hingga kering.
“Mana teman-temanmu Hel?”
“Sudah duluan. Memang aku suruh duluan.”
“Kamu terlalu, Kalau merasa tidak fit, seharusnya justru minta ditemanin salah satu.”
“Kasihan mereka.”
“Apa yang terasa sih?”
“Tumit sakit. Aku nggak bawa deker.”
“Katanya sudah lengkap.”
“Terselip nggak tahu di mana.”
“Ooo … yaudah, kalau begitu sekarang pulang saja?”
“IIiihhhh ngejek! Nggak lah. Kuat, aku masih kuat kok!”
“Ukur kesehatanmu sendiri Hel. Hanya kamu yang tahu.”
“Aku kuat. Pos lima sebentar lagi. Sayang. Rencana ntar di Pos lima mau menginap.”
“Benar kuat?” tanya Akhri meyakinkan. Helga mengangguk.
Beberapa saat ini Helga merasakan ada energi lain. Ketika ditinggal teman-temannya, rasa putus asanya sebenarnya sudah hampir muncul, dan hampir mencapai klimaks ketika dirinya hampir jatuh. Kedatangan Akhri di sampingnya kini seolah menambah energi baru. Beberapa kalimat sederhana yang datang dari pemuda itu, entah kenapa tiba-tiba menyuntikkan sebuah motivasi untuk tegar.
“Kita istirahat sebentar lagi, nanti aku temani ke Sanghyang Rangkah.”
“Iya.”
Keduanya duduk berdampingan menghadap jalan yang dilalui para pendaki. Akhri mengeluarkan roti kering kemudian diulurkan ke Helga.
“Sudah. Aku juga ada. Makasih.”
“Kamu bawa trekking-pole  nggak?” tanya Akhri sambil mencari-cari trekking-pole milik Helga.
“Tadinya bawa, tapi nggak tahu tadi ketinggalan di mana. Kayanya terbawa orang atau entah di mana.”
“Jadi kamu nggak pakai apa-apa?”
“Enggak.”
“Kalau begitu pakai trekking pole ini.” kata Akhri sambil menyodorkan trekking pole.
“Nggak mau.”
“Pakailah. Nanti aku cari dahan untuk tongkat.”
Dengan terpaksa Helga menerima trekking-pole Eiger milik Akhri. Setelah memberikan barang itu ke Helga, pemuda itu mengeluarkan belati, kemudian menghilang di rerimbunan hutan. Kira-kira sepuluh menit kemudian pemuda itu membawa tongkat kayu.
“Aku yang kayu itu saja…..” kata Helga seraya menyodorkan trekking pole.
“Helga saja yang pakai. Santai saja Hel…”
“Malu aaah ….”
Setengah jam berselang setelah keduanya istirahat , keduanya sampai di Pos 5 Sanghyang Rangkah. Begitu melihat Helga datang bersama Akhri mereka berjingkrak-jingkrak. Secara spontan mereka melantunkan lagu jenaka Cintaku Merangkak di Gunung Ciremai. Helga yang merasa dikerjai teman-temannya memerah wajahnya. Rasa malunya ditahan. Ia pasrah.
Malam itu dua rombongan laki-laki dan perempuan menginap di Pos 5. Di sana banyak tenda, ada sekitar dua puluh tenda pendaki dari berbagai komunitas. Tenda perempuan agak berjauhan tempatnya dari tenda laki-laki. Malam di punggung Ciremai hanya dihiasi beberapa berkas cahaya dari lampu emergensi.
Zahra! Tiwiii!
Ada panggilan di depan tenda grup Helga. Mereka mengenalinya itu suara Dadan, yang satu grup dengan Akhri.
“Ada apa?” tanya Zahra keluar tenda.
“Ada yang punya kopi nggak?”
“Nggak. Siapa yang kenapa?”
“Akhri. Katanya tengkuknya kaku, dan agak pusing.”
“Obat sakit kepala mau?”
“Dia nggak mau. Kalau itu aku juga punya.”
“Akhri kenapa?” tiba-tiba Helga datang.
“Akhri, kasus! Dia butuh kopi panas.” kata Dadan.
“Kamu aneh Dan, nanya kopi ke tenda cewek! Mana ada!” sela Tiwi sambil berbalik lagi ke tenda.
“Aku mau lihat Akhri …” kata Helga setelah kembali membawa ransel.
“Maksudnya?”
“Siapa tahu Akhri sembuh setelah aku datang heheee….!” kata Helga tak menunggu lagi komentar teman-temannya.
“Helgaaa! Norak!” celutuk Tiwi. Namun Helga benar tak menggubris yang lain.
Gadis itu mendekati tenda Akhri. Di sana anak itu sedang berbaring. Di dekatnya duduk Ajat yang sedang menjambak-jambak rambut Akhri untuk mengurangi rasa pening.
“Akhri, bukannya tadi siang kamu sehat-sehat saja? Malahan kamu yang nolong aku sakit kaki!”
“Mendadak Hel….”
Helga tak menimpali. Gadis itu lantas membuka ranselnya, kemudian mengeluarkan termos dan gelas plastik. Ajat dan Akhri hanya melihat pari polah gadis itu.
“Mau sembuh?” tanya Helga sambil memegang sachet Teh Tarik.
“Aku nggak mau teh.” kata Akhri.
“Sudah nurut saja ….” kata Helga sambil membelakangi Akhri menyeduh minum dengan air panas.
“Dibilangin aku nggak suka teh ….”
“Kalau yang ini mau?” tanya Helga sambil berbalik mengangkat gelas berisi minuman hitam.
“Kopi? Helga? Kopi?” tiba-tiba Akhri bangkit. Matanya berbinar demi melihat kopi di tangan Helga.
Tenda yang berukuran sempit itu mendadak beraroma harum kopi.
“Mudah-mudahan lekas sehat Akang ogoan!” kata Helga seraya menyodorkan kopi panas. Akhri menerima langsung menyeruput perlahan.
“Aamiin doanya Helga, ayi Helga.”
Melihat Akhri penuh semangat minum kopi, Helga menyelinap ke luar. Sebelumnya ia sempat melempar pandang pada pemuda itu. Akhri pun sedang melihat dirinya. Helga menaham senyumnya. Ia kemudian bergabung kembali ke tenda grupnya.

***

Usai shubuh. Saat sunset.
Puncak Ciremai ramai. Para pendaki tak bakal melewatkan momen paling ditunggu. Hampir sepertiga  memori HP mereka penuh untuk mengabadikan saat sunset. Sisanya biasa digunakan ketika matahari telah agak tinggi.
“Helga ….”
“Ya?”
“Terima kasih kopinya.”
“Hehe iya.”
“Kangen.”
“Kangen apa maksudnya?”
“Kangen dibuatin kopi lagi.”
“Iiiih …. apaan sih! Buat sendiri laah.”
“Nggak enak mbuat sendiri mah!”
“Iiih ngaco!”
“Setelah minum kopi, sugestiku muncul. Aku tidurkan, sekitar pukul tiga tadi ternyata badanku ringan. Sehat wal afiat. Yaaah …. sekarang di puncak tak kurang suatu apa.”
“Syukurlah.”
“Terima kasih ya, beneran, Helga jangan jauh-jauh dari aku.”
“Iiih apaan sih!”
“Aku tahu kamu bawa kopi banyak kan?”
“Aaaah Akhri, aku kira apa! Bikin ge-er saja! Hehe iya…. aku bawa kopi. Nggak  banyak sih. Cuma empat sachet kok.“
“Kenapa? Memang kamu suka ngopi?”
“Nggak suka. Tapi nggak tahu sih, pengen mbawa  saja gitu. Pengen banget bawa kopi.”
“Firasat ya Hel?”
“Firasat apa?”
“Firasat bakal ada yang tumbang, namun bakal bangkit kembali.”
“Ah sudahlah …. sebenarnya bukan firasat sih, tapi maaf ya Ri."
"Maaf apa?"
"Dulu, ketika kita diklat ganapala, suatu malam, aku pernah lihat kamu ngopi. Nikmat banget kayaknya!"
"Aiii.. Hel? Benarkah? Jadi kamu tahu aku suka ngopi?" mata Akhri berbinar-binar.
"Nggak tahu juga, cuma kalau lihat kamu ngopi waktu itu, kok kaya apa gituuu.... "
"Aduuuuh Helga ... terima kasih atas perhatiannya ya."
"Nggak apa-apa kok, cuma pengen bawa kopi saja."
"Helga .... mengangguk dong, makasih Helgaaa..."
"Iya, iyaaa! Ini aku juga terima kasih, dipinjamin trekking-pole.” tak urung Helga mengangguk sambil tertawa.
“Lupakan Helga.”
Langit cerah.
Helga berdiri memandang berkeliling. Sejauh mata memandang ke bawah, tampak gradasi biru maya bersaput putih awan dan kabut. Memandang ke bawah agak jauh, perdu semak belukar. Batang-batang Edelweiss juga menghiasi punggung gunung. Gadis itu tak menyadari jika beberapa kali Akhri memotret dirinya. Candid.
“Helga, ayo!”
“Iya Akhri!”
“Sebentar lagi kita turun.”
“Oke, oke!”
Ketika Helga sudah mendekat, Akhri mengeluarkan belati merk Krisbow. Trek! Dia menekan tombol pengunci. Kini belati terhunus. Helga menggeleng. Beberapa sekon selanjutnya Akhri melempar banting belati itu menancap di tanah.
Zebb!
“Ini saat-saat sabil yang harus aku hadapi sekarang Helga.”
“Kenapa Ri?”
“Belati ini akan menjadi saksi, tingkat ketebalan komitmenku sebagai pecinta alam.”
“Maksudnya?”
“Lestari …. Lestari Helga.”
“Edelweiss?”
“Ya, itulah. Lestari, Edelweiss …..”
Keduanya kini menuruni puncak. Hingga beberapa saat kemudian mereka telah sampai di perdu semak belukar di kawasan tumbuh edelweiss. Di situ banyak sekali bunga edelweiss yang tumbuh.
Akhri jongkok. Dibelainya bunga-bunga edelweiss yang dingin itu.
Sementara itu Helga berjalan menjauh. Ia paham apa yang sedang berkecamuk di benak sahabatnya itu. Ya benar, dalam benak Akhri berkelebat wajah Lestari . Gadis itu tersenyum. Akhri tak terasa tersenyum juga . Ia ingat betapa Lestari semakin nampak manis ketika tersenyum dengan bulu mata yang lentiknya. Ia meraba syal yang kini menghangatkan lehernya. Syal rajutan tangan Lestari benar-benar membuat dirinya dekat dengan gadis itu.
Namun kali ini bayangan Lestari yang menyenangkan hilang. Ia ada di persimpangan. Tangan Akhri menimang-nimang belati Krisbow di tangannya. Benda itu kini ia genggam  erat. Bibirnya terkatup. Nafas panjang dihelanya. Hatinya berontak ingin membuang belati itu. Tapi kini di hadapannya bunga-bunga edelweiss dan Lestari tengah menantinya.
“ Sumpahku guguuuur! Aku bukan pecinta alaaaam!”
Cras! Cras! Cras!
Tajamnya mata belati krisbow membabat memotong tangkai-tangkai edelweiss.
Akhri terdiam. Matanya sembab. Selama hidup barangkali baru kali ini ia memangis. 
dokumentasi Helga Puspanegara
Akhri kesal.
Wajahnya memerah. Beberapa saat kemudian wajah itu basah oleh keringat dingin. Komitmennya sebagai pecinta alam putus sudah. Ia tak mampu memberikan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Komitmennya telah hancur oleh desakan Lestari. Bunga-bunga edelweiss yang ada di genggamannya kini ia masukkan ke katong keresek, kemudian ia masukkan ke dalam tas punggungnya.
Dengan gontai ia mengejar Helga yang perlahan mulai menuruni punggung gunung.

***
Tahun ajaran baru.
Kelas baru  XI MIPA 5. Helga dan Akhri berpandangan ketika guru mengabsen peserta didik. Tak ada nama Lestari Putri. Dari keterangan guru, gadis itu telah pindah ke Pontianak mengikuti orang tuanya. Administrasi kepindahan telah diurus selama liburan.
Pulang sekolah Akhri dan Helga tak buru-buru pulang. Mereka masih penasaran dengan berita yang mengejutkan ini.
“Apa dia nggak pernah ngasih tahu ke kamu Akhri?”
“Nggak pernah. Dulu dia ngambek.”
“Ke mana kamu harus melacak Tari?”
“Nggak tahu. Tadi pagi teman lain pada menghubungi, nomornya tidak aktif.”
“Aku sakit hati Helga.”
“Tentu Akhri, aku paham.”
“Paham apa?”
“Lestari adalah kekasihmu.”
“Kekasih apaan? Kita juga masih kecil, baru naik kelas XI. Kami hanya bersahabat.”
“Lalu masalah apa?”
“Edelweiss.”
“Oooh…”
“Atas keinginan Tari lah akhirnya aku menggugurkan komitmenku sebagai pecinta alam. Aku malu Helga. Maluuu…. malu sama teman-teman sesama pecinta alam. Makanya Akhri memohon padamu ya Hel, untuk menjaga rahasia ini. Demi aku.”
“Edelweiss?”
“Ya, hanya Helga kamu yang tahu aku telah memetik bunga-bunga itu. Jangan katakan pada siapapun. Semua bunga ada di rumahku. Tari… sahabat yang memang pernah aku harapkan lestari, ternyata kini malah pergi tak tentu rimbanya.”
“Akhri.”
“Aku telah berkorban untuk orang yang salah!”
“Akhri jangan begitu … sabar.”
“Aku jadi ingat betapa lugu dan lucunya dulu ketika aku caper di kelas X. Ingat kan Hel? Kamu adalah saksi hidup.”
“Iya, iyaaa….. tapi sudahlah lupakanlah semuanya. Maafkan Tari, Mudah-mudahan suatu saat dia kangen kita, dia kangen aku, dia kontak aku, japri atau apa. Ntar kalau dia sudah pulih, aku beritahu kalau ada kabar tentang Tari.”
Helga begitu lancar menghibur Akhri. Pemuda tanggung itu hanya terdiam. Kepalanya menunduk. Kehadiran gadis bernama Lestari bagi dia sepertinya tak akan bisa dilupakan sepanjang hidupnya.
“Helga.”
“Terima kasih atas nasehatnya.”
“Nasehat apaan laah!”
“Helga, hari Minggu depan aku undang kamu main ke rumah. Emh.. enggak ke rumahku, ke rumah kakekku.”
“Ada apa?”
“Jangan khawatir, nanti kamu ditemani adikku kok. Kita nggak berdua saja. Kita bertiga.”
“Acara apa sih?”
“Ini ada kaitannya dengan edelweiss….”
“Oooo…..”
Hari minggu yang dijanjikan.
Pagi itu Helga sudah berada di rumah kakek Akhri. Ia di bawa ke belakang rumah. Helga senang melihat sebuah kolam dengan air bening, di pinggirnya ada saung tempat bersantai. Helga melirik sekilas.
“Mana adikmu?”
“Ada, sebentar lagi. Helga, kita ke atas kolam. Tuh dekat tanah yang datar.”
“Kamu aneh banget Akhriii .. ada apa sih?”
Pemuda itu tak menjawab.
Ketika telah sampai di tempat yang ditunjuk, Akhri membuka tas gunung yang telah ada di situ. Tangan pemuda itu membuka tas, kemudian mengeluarkan bunga.
“Edelweiss….”
“Hari ini aku ingin melupakan trauma, sebutlah itu trauma. Atas kecerobohan saya memetik edelweiss dari Ciremai.”
“Ooo inikah .......”
“Ya Helga, mudah-mudahan Ciremai masih mengijinkan Akhri mendakinya lagi suatu saat ….”
Akhri menyodorkan bunga itu kepada Helga. Ada sekira dua puluh tangkai bunga edelweiss yang digenggamnya. Helga membayangkan benda ini ada di genggaman Lestari, kemudian dengan suka cita gadis itu menciumnya dan mengucapkan terima kasih Akhrii… !
Tapi itu semua telah berlalu.
“Hari ini aku akan menguburkan bunga ini, bunga yang tumbuh dari bumi, akan kembali ke bumi, diantar oleh pecinta alam sejati dan pecinta alam yang tersesat.”
“Sudahlah Akhriii….. aku jadi saksi, kau menguburnya dengan penyesalan.”
“Iya …. Helga, dengan bismillah aku kubur bunga ini. Aku juga akan mengubur semua kenanganku dengan Lestari …..”
Siang itu usai ritual ala Akhri, mereka berdua menikmati makan siang di saung pinggir kolam. Sesekali Akhri mencandai ikan-ikan di kolam dengan melemparkan remah ke dalam kolam.
“Adikmu tak datang-datang?” tanya Helga ketika sudah beberapa saat mereka hanya berdua.
“Ada …. Ada…..”
***

Pagi hari jam istirahat di perpustakaan sekolah.
Usai makan bakso Helga mampir di perpustakaan. Masuk ke perpustakaan pukul sepuluh, hanya beda sedikit dengan jam-jam lainnya. Artinya pengunjung sedikit. Minat baca turun. Baca buku kalah dengan mainan gadget. Hanya orang-orang tertentu saja lah yang dengan kesadaran sendiri mau berkunjung ke perpustakaan untuk mencari tambahan pengetahuan dengan referensi tambahan. Dulu istilahnya kutu buku. Sekarang jarang sekali siswa yang menyandang gelar itu.
Helga Puspanegara, mungkin gadis inilah yang layak disebut kutu buku. Kesukannya kepada membaca tampak sejak ketika mulai masuk ke SMA.
“Kusumaaa.......” ada suara berbisik di sampingnya ketika Helga sedang memilih buku bacaan.
“Aaaa... aduuuh.... Akhri ….. kamu panggil siapa? Kusuma?”
“Ssst... bicara nggak boleh keras-keras.” kata Akhri seraya memberi isyarat telunjuk di bibirnya.
“Iya, iya … siapa Kusuma?”
“Helga.”
“Aku?” kata Helga sambil duduk.
“Helga Kusuma Pertiwi.”
“Aaaaahhh …. Ngaco ah!”
“Hel, kamu kan kutubuku.”
“Hehe!”
“Kutubuku biasanya pinter bahasa Indonesia. Puspa padanannya apa?”
“Kusuma, atau bunga.”
“Negara?”
“Nagri, nagari, pertiwi, negara atau tanah air.”
“Jadi namamu kalau diganti yang sepadan? Bolehkan diartikan Helga Kusuma Pertiwi?”
“Ya boleh terserah yang mau manggil.”
“Aku juga pengen menjadi sesuatu yang berkaitan dengan pertiwi. Dengan negara, dengan tanah air.”
“Maksudnya?”
“Bhayangkara negara. Penjaga ketertiban negara, juga masyarakat.”
“Hmh?”
“Yang pernah disetujui Lestari, tapi tidak disukai Helga.”
“Apa itu ya?” Helga berfikir keras.
“Kutubuku biasanya hanya butuh waktu sekian detik untuk menggugah memori!”
“Intel?”
“Naah kan?”
“Kamu pengen jadi intel?”
“Ya, polisi.”
“Jadi selama ini kamu ngomong masalah polisi itu serius?”
“Kapan aku tidak serius Hel?”
“Gawat! Riskan!”
“Apanya?”
“Hidupmu terancam, keluargamu terancam … semua terancam!”
“Kenapa?”
“Polisi itu musuhnya penjahat. Penjahat itu culas, tak ada halal haram untuk mencapai maksud. Dan kau tahu Akhri setiap kali kau keluar rumah akan selalu terancam jiwamu!”
“Polisi!”
“Tidak! Aku tidak ingin keluarga kita nanti selalu diliputi perasaan cemas!”
“Amiiiiin …..” Akhri mengamini sambil tertawa terkekeh. Bahkan kemudian ia mengangkat kedua telapak tangan, kemudian ia sapukan di wajahnya.
“Apa maksudnya?” tanya Helga heran melihat paripolah Akhri.
“Helga dengarkan ……”
Akhri mengutak-atik HP nya, kemudia terdengar sebuah suara :
.................... Tidak! Aku tidak ingin keluarga kita nanti selalu diliputi perasaan cemas!
.................... Tidak! Aku tidak ingin keluarga kita nanti selalu diliputi perasaan cemas!
.................... Tidak! Aku tidak ingin keluarga kita nanti selalu diliputi perasaan cemas!

Helga terhenyak kaget. Wajahnya memerah.
Rupanya dari tadi Akhri merekam pembicaraan dengan Helga. Tampaknya pemuda itu memang menginginkan respon Helga terhadap apa yang ia cita-citakan sebagai kelanjutan pendidikan setamat SMA nanti.
“Akhriiiiiiii……… siapa yang ngomong begituuuu?” wajah Helga memerah.
“Ini tadi  suara siapa Hel? Itu suaramu Helgaaaa....”
“Akhriiiii…… itu bukan suaraku!”
“Helga …. terima kasih, ini adalah kalimat terindah dalam hidup Akhri yang pernah aku dengar. Kalimat yang akan aku amini hingga menembus ‘Arsy-Nya.”
“Aaaahhhh … aku maluuuuu….”
“Keluarga kita Helga?”
“Akhriii….”
“Indahnya Helga …. coba ulangi dong …..”
“Maluuuu…..”
Akhirnya Helga menelungkupkan wajah di meja. Gadis itu benar-benar malu telah secara refleks mengeluarkan kata-kata di bawah alam sadarnya. Dan itulah yang sangat membahagiakan Akhri. Sebuah kata-kata yang yang tak dilandasi kebohongan.
“Helga, maafkan Akhri …..”
“Nggak apa-apa, saya maaf juga telah salah ucap.”
“Nggak peduli Hel apa katamu, tapi aku yakin itu adalah kata-katamu yang paling tulus…. ingat ya, kali ini sekalian Akhri mau pesan.”
“Pesan apa?”
“Tunggu aku sukses masuk akpol jadi polisi dan kamu juga harus gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika kamu jatuh, kamu akan jatuh di antara bintang-bintang Hel."
Helga serasa tersekat tenggorokannya.
Karena sudah tak tahan dengan apa yang dirasakan, Helga bangkit dari duduknya, kemudian berlari kecil keluar meninggalkan perpustakaan.
Akhri hanya bisa menggeleng.
“Helga …..”
Akhri memanggil. Namun Helga telah jauh tak memperdulikan dirinya. Pemuda itu tersenyum. Kepalanya digeleng-gelengkan.
“Kabulkan doaku ya Allaaaah …..”
Meninggalkan perpustakaan Akhri menuju masjid. Ia ingin shalat dhuha, kemudian meyakinkan diri untuk memohon kepada Allah agar kata-kata Helga akan menjadi milik dirinya setiap saat.
***
Satu tahun lewat.
Kenaikan ke kelas XII. Bagi Helga masa ini adalah masa-masa yang sulit. Bersama Akhri selama satu di kelas XI tak membuatnya nyaman. Ada saja masalah yang dikaitkan dengan prinsip hidup. Secara manusiawi, sebenarnya Helga suka ke Akhri, dan Helga tahu Akhri, sepeninggal Lestari suka kepada dirinya. Tapi satu hal jedi penghalang. Akpol. Polisi. Sebuah kata yang paling tidak masuk secara nyaman dalam hatinya.
Yang kedua, di saat keduanya masih berbeda prinsip Akhri pindah ke Semarang mengikuti orang tua. Sebagai remaja yang masih labil, baru menginjak tingkat terakhir di SMA ini merupakan ujian yang sangat berat. Ia selalu ingat bagaimana ia berselisih prinsip dengan Akhri.
“Aku tetap mau jadi polisi. Akpol Semarang .”
“Akpol?”
“Itulah mengapa aku nanti nggak masuk ikut SNMPTN di kelas XII. Nggak mau ke SBMPTN, bukan pula antimainstream, saat ini yang ramai dibicarakan teman-teman yang itu, tapi aku tidak. Yang aku bayangkan aku menjadi bhayangkara negara, menjadi polisi, menjaga kestabilan masyarakat. Mungkin sebagai patner mereka yang menjaga kedaulatan negara. Sama seperti tentara.”
“Kali ini kami tampak lebih serius Akhri?”
“Serius. Doakan saja cita-citaku tercapai.....”
Helga diam. Bibirnya terkatub rapat. Matanya terasa panas. Ia menahan air matanya yang merembes keluar. Gadis itu membalikkan badannya. Membelakangi Akhri, ia mengusap matanya dengan punggung tangan. Beberapa saat Akhri juga diam, menunggu keadaan Helga mereda.
Beberapa saat kemudian gadis itu kembali berbalik. Kepalanya tetunduk.
“Kamu nangis? Kenapa?”
“Nggak tahu.”
“Apa respon yang kamu rasakan ketika aku bilang mau jadi polisi?”
“Menderita.”
“Kenapa?”
“Susah hidupnya, mungkin nanti berlama-lama hidup di mess. Berat sekali tugasnya, banyak musuh para penjahat, demonstrasi ….. balas dendam … “
“Kamu berfikir tentang kematian?”
“Nggak juga. Justru tentang penderitaan. Kalau kematian, mungkin tak ada penderitaan. Biarpun kalau dari akpol itu pangkat dah lumayan, tapi kayaknya harus tetep merasakan pahit getirnya polisi baru. Disimpan di daerah-daerah rawan, dikonfrontasi dengan orang-orang yang liar, preman dan sejenisnya.”
“Hmh...”
“Kenapa nggak kuliah saja ke Bandung ? Kita bareng ke Bandung, aku ke Unpad, atau ITB. Kamu juga. ”
“Semarang, Akpol. Tekadku sudah bulat.“
“Ntar kamu lupa Majalengka? Lupa Jabar, lupa tanah kelahiran?”
“Tanah kelahiranku Indonesia.”
Sampai kalimat itu Helga benar-benar tak bisa berkomentar. Ia masih belum mampu menyelami isi hati Akhri. Kecintaannya kepada profesi yang menjadi mimpinya, sepertinya masih lebih besar dibanding dengan tanah kelahiran, dengan kampung kelahiran sendiri.
“Sudah ah Ri! Kita pulang saja!” kata Helga bangkit dari duduk.
“Tunggu sebentar, aku di SMA ini tinggal menghitung hari.”
“Kenapa?”
“Yakinkan aku dengan doamu ....”
“Jadi polisi?”
“Jadi manusia yang berguna, manusia yang benar.”
“Polisi nggak jadi?”
“Jadi laaah, polisi yang jujur, yang dirahmati, polisi yang berguna. Polisi yang benar.”
“Aku nggak mau Akhri jadi polisi.”
“Mengapa benci ke profesi? Ke orangnya dong. Riskan gitu?”
“Nggak tahu juga, aku masih kecil Akhri ... Mungkin jalan pikiranmu lebih dewasa dibanding aku Akhri . Pikiranku belum menjangkau sejauh itu.”
“Haiyayaaa.... iyaaa.... kalau begitu aku ajak kamu berfikir yang ringan saja ya?”
“Apa itu?”
“Mimpikan aku nanti malam!”
“Nggaak!”
“Mimpilah jadi Bhayangkari , istri polisi.”
“Nggaaaak..... nggaaakkkkk!”
Gadis itu berlari dengan terburu-buru meninggalkan Akhri yang masih tertawa terkekeh-kekeh.
Helga sama tak menyadari, bahwa pembicaraan itu dengan Akhri adalah pertemuan terakhir. Akhri benar-benar ke Semarang. Helga kini merenungi hari-hari di kelas XII tanpa Akhri, pemuda yang pernah diharapkan menjadi sosok yang mengayomi dirinya. Itu, itu adalah harapan yang belum pernah terucap. Ya, hanya terbersit di hati kecil.
Sepeninggal Akhri ke Semarang, ia sengaja menutup semua kontak dengan pemuda itu. Kepada teman-teman semua, ia rajin mendatangi agar jika suatu saat ada Akhri mengontak, tak perlu diberitahukan.
Selepas SMA, semua penghilangan jejak semakin sempurna. Sahabat-sahabat yang semula begitu intens di SMA, satu persatu mulai berpisah. Masing-masing mengejar mimpinya sendiri. Kuliah di kota-kota yang berbeda.

***
Ini adalah tahun keempat perpisahan dengan Akhri.
Unpad kini menjadi tempat fokus kegiatannya. Jurusan Ekonomi dan Bisnis telah menjadi pilihannya. Itu sesuai dengan apa yang telah ia lakukan sehari-hari. Manajemen bisnis baginya hal biasa. Ia termasuk orang yang intens menjadi ujung tombak marketing di usaha catering yang digeluti orang tuanya.
Siang itu Helga sendirian di rumah menikmati liburan semesteran. Kedua orang tuanya sedang ke luar kota.
Helga duduk santai di ruang tengah. Matanya melihat benda yang tergantung di dinding. Pigura berukir dengan di dalamnya sebuah trekking-pole.
Gadis itu tersenyum
Masih sangat jelas dalam ingatannya ketika terakhir naik gunung Ciremai, Akhri memberikan benda itu untuk dirinya. Tumitnya sakit. Betapa Akhri berlari ke dalam hutan kecil, pulangnya membawa tongkat kayu. Akhri yang mengalah memakai tongkat kayu. Dan trekking-pole itu kini menjadi miliknya.
Perlahan Helga bangkit dari kursi. Didekatinya trekking-pole berpigura. Perlahan tangannya meraba benda itu. Bibir Helga terkatub, namun kemudian ia tersenyum.
Akhriii……! Gumamnya.
Seperti apa sekarang kau Akhri? Sepertinya kau sekarang semakin ganteng. Semakin dewasa. Pikirnya.
“Aa Akhri … ah, seandainya aku sempat memanggilnya Aa. Aa Akhri …”
Ting! Ting!
Helga tersentak. Ada notifikasi WA masuk.Ia duduk. Ada rasa aneh ketika tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ghaib masuk dalam HP-nya. WA ia buka.
“Helga?”  
“Ya? Dg siapa ya?”
“Kusuma Pertiwi….”
“Aa? Aa Akhri?”
“Helga masih mengenaliku?”
“Hanya Aa yang memanggilku begitu.”
“Aku bahagia Helga, ketika ada sebutan Aa…”
“Oh … barangkali saja cocok dan mau dipanggil Aa..”
“Mau banget Helga. Bulan-bulan begini Unpad sedang libur kan? Aku mau main ke Sukahaji boleh? Sabtu kalau bisa. Aku ada libur. Minggu harus kembali ke Semarang.”
“Sabtu?”
“Kenapa Helga?”
“Gpp tapi …. Maaf, aku tidak sendiri.”
“Oooohhh tak sendiri? Mmm…… gitu ya?”
“Mau main silakan.”
“Mmmm…… Helga, maafkan ya aku ada urusan dulu, lain kali kita sambung.”

Helga tersenyum tak berhenti.
Baru beberapa detik yang lewat Akhri mengontaknya. Pemuda itu mengatakan bahwa mau main ke Sukahaji hari Sabtu. Sekarang Kamis. Berarti dua hari lagi. Perlahan ia menoleh ke arah trekking-pole. Bayangan Akhri berkelebat.
Hari Sabtu pagi.
Dari ruang tengah ibunya memanggil. Helga yang masih menyelesaikan masak di dapur bergegas ke ruang tengah.
“Ada apa Bu?”
“Ada tamu di depan.”
“Siapa?”
“Tengok sendiri.”
“Masakan sebentar lagi Bu.”
“Biar ibu yang lanjutin!”
Perlahan Helga menuju ruang tamu. Hatinya berdebar. Perlahan Helga membuka gordyn. Ia melihat sosok yang duduk di kursi dengan pakaian taruna Akpol. Helga terkesima.
“Aaa… Aa Akhri?” tanya Helga hampir tak percaya.
“Iya. Aku Akhri.”
Keduanya bersalaman.
Helga merasakan tangan Akhri bergetar. Ia sendiri merasakan bahwa bulu-bulu halus di lengannya meremang. Sentuhan telapak tangan Akhri yang sekilas, mampu menggetarkan hatinya.
“Helga apa kabar? Helga sehat?”
“Mmm….. Alhamdulillah sehat  … Aa …. aku…. aku pangling.”
“Karena seragam ini?”
“Enggak juga…. tapi ini benar Aa Akhri kan?”
“Iya, Insya Allah belum ada yang berubah dalam diri Akhri sejak aku pindah meninggalkan Smansa.”
“Ooo …”
“Setelah pergi dari Smansa, rasanya semuanya berhenti. Aku sengaja memutus semua hubungan dengan sesuatu yanag terkait Smansa.”
“Aku juga.”
“Helga, aku ke sini mungkin tak akan lama-lama. Aku hanya mampir sejenak. Aku tidak enak jika mengganggu ketenangan Helga.”
“Aa mau ke mana?”
“Melanjutkan perjalanan. Kemarin Helga di WA mengatakan Aku tak sendiri….”
“Oh itu?”
“Maafkan aku Hel …. tapi aku sudah puas ketemu Helga, walau hanya sebentar.”
“Aku nggak paham.”
“Kenalkan aku dengan suamimu, setelah itu aku akan pergi.”
Helga terhenyak kaget. Dipandanginya Akhri hingga lama. Namun kemudian gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Kenapa tertawa?” tanya Akhri heran.
“Aa, aku tak sendiri. Ada ibu, ada ayah … ada adik saya.”
“Mmmm ….mmm…. maksudnya?”
“Aku tahu apa yang Aa pikirkan.”
“Jadi?”
“Ya.”
"Benarkah?"
"Ya."
“Ooooh..... Alhamdulillaaah ….. “ gumam Akhri sambil tersenyum menatap gadis di depannya. Helga menunduk.
Hingga beberapa lama bahkan keduanya justru diam.
“Helga…. saai ini aku perlu laptop. Boleh pinjam laptop nggak?” tanya Akhri memecah keheningan.
“Iya… “ Helga mengangkat muka. Ia mengangguk.
Helga masuk ke dalam. Ketika itu hilang dari pandangan Akhri terhalang gordyn, Helga mengepalkan telapak tangannya. Bibirnya mengucap syukur. Ia sama sekali hampir tak percaya bahwa yang duduk di ruang tamu adalah Akhri.  Tiba-tiba ada dua titik air mata di sudut matanya. Gadis itu mengusapnya dengan punggung tangannya.
Helga ke dapur. Beberapa kueh yang telah dipersiapkan ia rapikan dalam mampan.
“Ibu bantu?” tanya ibunya.
“Biar dulu Bu, nanti saja kalau kita mau makan siang.”
“Ooo ya sudah.”
Helga keluar membawa kueh dan minuman.
“Helga ……” kata Akhri sambil menggeleng. Senyumnya mengembang.
“Ya?” tanya Helga sambil menahan senyumnya.
“Rupanya Helga masih ingat kata-kataku di puncak Ciremai dulu?”
“Hehe.. iya … ada yang kangen dibuatin kopi.”
“Alhamdulillah … Helga…. Helga ….. forever ya?”
“Oh ya aku lupa, mau ambil laptop, silakan diminum kopinya.” kata Helga tidak menggubris pertanyaan Akhri. Pemuda itu menggelengkan kepala. Namun senyumnya mengembang.
Ketika kembali Helga membuka laptopnya. Beberapa jenak ketika laptop sudah dinayalakan, Akhri mengambil flasdisk. Ia mengcopykan file ke sana. Akhri menoleh ke arah Helga.
“Ini video hasil karya adikku Helga ….”
Beberapa saat kemudian ketika video mulai distel, Helga terpekik. Itu adah kejadian ketika dirinya berada di rumah kakek Akhri. Ketika ia datang, ketika mengubur edelweiss permintaan Lestari. Semua lengkap.
“Setelah ini ada action Helga yang sangat aku suka ….. ntar…ntar… naaah!”
Video itu menayangkan ketika Akhri menyiapkan nasi ke piring, di situ tampak sekali Helga menatap lekat wajah Akhri hampir tak berkedip. Jelas sekali.
Helga menutup wajahnya.
“Aa maluuuuuu…….”
“Aku menyadari semuanya. Akhri tahu arti tatapan Helga waktu itu.”
“Maluuu…. maafkan Helga…”
" Akhri bahagia Helga. Hanya sayang …. sayang sekali di penghujung SMA aku pindah, Helga sangat membenci polisi. Dan hari ini si calon polisi itu datang lagi, nekad, karena tak bisa menahan gejolak setiap aku melihat tatapan Helga di video ini. Aku tak peduli Helga benci polisi.”
“Itukah mengapa dulu adik A Akhri tidak datang di saung?”
“Iya. Adikku ada … dia mengambil semua kegiatan kita tanpa setahu Helga.”
“Aa yang menyuruh?”
“Ya, aku.”
“Kenapa?”
“Ada feeling bahwa momen seindah itu tak akan terulang lagi. Nyatanya, aku pindah ke Semarang. Kita terpisah. Namun aku tetap membawa tatapan Helga ke Semarang.”
“Aa … maafkan Helga.”
“Prinsip orang beda-beda. Tak apa, terima kasih aku pernah mengenal Helga. Gadis yang cantik, yang pendiriannya kuat …. sekuat fisiknya yang mampu menaklukkan gunung Ciremai.”
“Aa … setahun lalu aku baru sadar, melalui sebuah kontemplasi yang lumayan lama, aku sadar bahwa ketakutan terhadap profesi tak beralasan. Maafkan Helga Aa, dulu aku ingin mengontak, tapi tak punya nomor HP.”
“Apa maksudnya Helga?”
Helga bangkit. Ia berjalan menuju bupet, membuka pintunya kemudian mengambil sesuatu.
“Benda ini sudah aku siapkan setahun yang lalu. Khusus untuk Aa yang tak pernah ada kabar.”
“Untuk apa?”
“Inginnya pas ulang tahun Aa … tapi ya beginilah akhirnya. Hingga hari ini, mudah-mudahan masih bisa berguna…” kata Helga sambil menyerahkan bungkusan yang cukup besar kepada Akhri.
Pemuda itu menerimanya dengan mata berbinar.
“Bukalah jika Aa mau ….”
“Boleh aku buka?’
“Ya Aa …”
Ketika bungkusan dibuka, Akhri terhenyak. Bibirnya terkatub. Ditatapnya Helga lekat-lekat. Ia melihat Helga dengan tegang menunggu reaksi Akhri.
Delta Blackhawk!
Akhri mengeja merk sepatu lars hitam pemberian Helga.
“Tak semestinya aku khawatir profesi polisi. Mudah-mudahan sepatu ini suatu saat berguna untuk Aa. Untuk tugas sebagai polisi, untuk menjaga ketenteraman masyarakat.”
“Helga terima kasih … terima kasiiih ….. " kata Akhri dengan mata berbinar sambil mengulurkan telapak tangan mengajak bersalaman.
"Nggak usah salaman laah...."
"Helga... aaah .... terima kasih sekali lagi, tapi sepatu ini tak akan kupakai untuk dinas.”
“Kenapa?”
“Ini adalah sepatu terindah ….. akan aku simpan, aku pajang sebagai pengingat Helga.”
Ehem! Ehem!
Kedua orang itu terkejut ketika dari dalam ibu Helga berdeham. Helga menoleh.
“Ada apa Bu?”
“Ajak si Aa makan siang. Mau berdua boleh, mau bertiga boleh. Ayah pulangnya sore.”
“Oh , ah ibu ngerepotin.”
“Enggak, itu Helga yang masak semua kok! Ayo Helga, masuk. Mau berdua apa bertiga dengan ibu?”
“Bertiga dengan Ibu.” kata Akhri.
Ibu Helga mendahului berjalan. Helga dan Akhri mengikuti dari belakang. Sampai di ruang tengah langkah Akhri terhenti. Helga juga ikut berhenti.
“Ada apa?”
“Itu di pigura … itu ….. Helgaaa.... sstt....” Akhri tertegun melihat hiasan dinding trekking-pole dalam pigura.
"Kenapa?"
"Helgaaa...... bukankah itu ... itu...."
“Ya benar A, itu adalah trekking-pole terindah yang pernah Helga miliki ….”
“Helga ….. Helga …….”
Sepanjang makan bersama beberapa kali Akhri melirik ke arah Helga. Ia merasakan bahwa yang dihadapannya bukanlah Helga sahabatnya. Ia memandang wanita di samping Helga adalah ibu mertuanya.
***
Usai makan siang Akhri berpamitan kepada ibu Helga.
Akhri perlahan berjalan keluar ruang tamu diikuti Helga. Berdiri sejenak di teras, kemudian ia merapikan jaketnya. Helga yang di dekatnya diam. Hingga pemuda itu memegang stang CBR-nya, kemudian duduk di jok, Helga masih mengikutinya.
Akhri mengambil sapu tangan dari kantung saku belakang, kemudian mengelap wajahnya beberapa saat. Kemudian ia memegang stang gas. Ia gerakkan perlahan, namun tak ada kunci kontak yang tergantung di tempatnya. Hingga Helga mengernyitkan dahi.
“Kok nggak jalan-jalan?”
“Helgaa.... aku betah di sini….”
“Aaah Aa mah.”
"Duduk lagi yok, di teras sebentar." kata Akhri sambil turun lagi dari motornya. Helga menggeleng sambil tersenyum. 
Keduanya duduk di teras. Akhri melepas helm-nya kemudian meletakkan di atas meja. Ia memandang gadis di sebelahnya.
"Ada yang ketinggalan rupanya?" tanya Helga mendahului.
"Hehehe ... iya, ada."
"Apa?"
"Hati ..hehe.... hati Aa ketinggalan di sini .."
"Aaah bisa saja." kata Helga  tersipu.
"Juga kangen."
"Apalagi?"
“Kangen kopinya. Pengen suatu saat dibuatin lagi ya Hel, lagi, lagii...."
"Iiiiihh....."
"Benar, aku serius. Aku pengen dibuatin kopi lagi .... dibuatiiiin terus."
"Ah apa sih?"
"Terima kasih Blackhawk-nya, tanda mendukung aku jadi polisi. Kangen juga masakannya. Lezat."
"Iya, iya ... dulu juga waktu SMA yang ngahereuyan nyuruh aku latihan masak siapa?"
"Aku ya?"
"Ya iyalaaah... "
"Pantes masakannya lezat. Kayaknya  masaknya dengan hati ya Hel?"
"Nggak tahu laaah!"
"Terima kasih juga sudah menyimpan  trekking-pole di tempat yang terhormat.”
“Hmh…”
“Helga … aku nggak mau pulang ah.”
“Kenapa?”
“Aku mau nunggu ayah pulang, terus bilang ke ayah sekarang juga …….. “
“Bilang apa?”
“Aku sudah takluk kepada sang penakluk gunung Ciremai.”
“Aaah bisa saja!”
Forever Helga?”
“Ngg….”
“Tunggu aku lulus dengan mendapatkan IPDA-ku, ini penting. Tapi ada yang lebih penting, bahkan sangat, bahkan paliiiing penting dalam hidup Akhri."
"Apa?"
"Helga....... " kata Akhri perlahan.
"Ya?" Helga menatap Akhri.
"Lama dari perantauan di Semarang, hari ini Akhri yakin .... yakin .... bahwa cinta Akhri hanya untuk Helga....., Helga Puspanegara.” kata Akhri hampir tak terdengar.
Speechless. 
Helga terdiam. Bibirnya serasa terkunci tak mampu mengucapkan apa-apa. Hingga beberapa lama keduanya terdiam. Helga tertunduk dalam salah tingkah. Ia baru saja mendengar kata-kata yang bermakna dari pemuda yang sebenarnya dari dulu memang disukai, hanya terhalang beda prinsip tentang profesi.
Ting! Sebuah notifikasi WA terdengar. Buru-buru gadis itu membuka HP-nya. Helga terhenyak. Akhriiii, gumamnya.
"Kenapa mengirim WA?" tanya Helga heran.
"Bukalah .... agar Helga punya kenang-kenangan."
Perlahan gadis itu membuka WA dari pemuda yang di dekatnya.
"Helga, jika tak ada yang menghalangi, setelah lulus dari Akpol, Akhri ingin melamarmu. Aku tidak mau berpacaran. Tak ada pacaran di agama kita. Mau ya Helga....."
Wajah Helga memerah. Gadis itu menahan gejolak di dalam dadanya. Ia merasakan bahwa yang dihadapinya detik ini bukan permainan. Ini hal serius yang pernah ia dengar selama hidupnya. Pertaruhan yang sebenarnya, ujian yang sebenarnya atas rasa yang dimilikinya terhadap Akhri.
Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak terucap. Sejak kesadarannya muncul tentang profesi polisi, sebenarnya ia ingin mengatakan kepada pemuda itu : “Semoga terkabul  semua keinginanmu, fokus dengan pilihanmu dan aku senantiasa menunggu kamu.
 Ya benar, Helga ingin sekali menyambut pernyataan Akhri, namun ia tak sanggup mengucapkannya. Hari ini merupakan hari yang membahagiakan dirinya. Ia mendengar sendiri taruna Akpol itu menyatakan cintanya dan ingin melamarnya di rumahnya sendiri. ***

                                                   Majalengka 20 Desember 2017

* Request Helga Puspanegara
    Kelas XII MIPA 5 Tahun 2017/2018
    SMA Negeri 1 Majalengka
* Ngaheureuyan = Menggoda

Cerpen ini dikutip dari akun pribadi di kompasiana.com/didik_seyadi


Post a Comment