Juli. Tahun Pelajaran baru 2017/2018.
Di depan papan pengumuman kurikulum, Elva mencari-cari pulpen yang dibawanya. Sedianya gadis itu akan mencatat jadwal pelajaran yang ditempel, namun ada kendala. Ia mencoba mencari kembali sambil meraba saku dan membuka dompet yang dipegangnya. Tak ada.

"Elvaaa.... cari apa?" ada suara bertanya di dekatnya. Gadis menoleh. Haryo. Demi melihat yang datang, gadis itu mendesah sambil menggeleng.
"Nggak nyari apa-apa."
"Ini aku kasih pinjam ballpoint. Butuh ballpoint kan? Bagus lho El." Kata Haryo seraya menyorongkan ballpoint Parker.
"Hmh ... enggak terima kasih."
"Ini ballpoint mahal El, harganya lima ratus ribu. Aku beli di Gramedia Cirebon."
"Iya, percaya...."
"Beneran El, aku ingin kasih ballpoint ini buat kamu. Buat kenang-kenangan, sebab sebentar lagi nanti kita lulus."
"Terima kasih, enggak."
"El, sekali iniiiii saja.... please! Terima ya El ...."

"Eng-gaaaak! Maaf ya Har, mungkin juga ballpoint mahal juga itu beli pakai uang ayahmu."
"Oh! Artinya kalau beli pakai uangku, kamu mau terima?"
"Uuuhhh ketang! Nggak, aku ralat. Nggak ada syarat!"
"Aduuh Elvaaaaa .... Jadi cewek kamu kok kokoh banget kaya benteng Vrederburg!"
"Bukan begitu masalahnya, masalahnya aku lari ke kopgur atau kopsis, beli ballpoint yang dua ribuan beres. Hilang nggak sayang kok!"
"Lah yang ini juga kalau sudah jadi milik Elva, hilang juga ga apa-apa kok, ntar aku beliin lagi!"
"Uuuuuhhh.. Haryooooo..... maksa banget kamu sih?"
"Habisnya kamu juga aneh El, jaman sekarang nyatet jadwal? Apa nggak keliru? Difoto saja napa sih? Beres kan?"
"Nggak bisa. Aku pengen jadi seperti orang tuaku jaman dulu, berjuang menulis jadwal atau yang lain. Kalau dulu orang tuaku bisa, kenapa sekarang aku tidak bisa? Kayanya indah Har, hidup di jaman sekarang tapi antimainstream."
"Waduuuuh! Mantan pengurus OSIS yang cantik ini benar-benar kokoh pendiriannya. Ini yang aku suka, bahkan sejak dulu di kelas X sebelum jadi pengurus OSIS!"
"Haryoooo.... jangan bawel!"
"Parker El ...." kata Haryo mengalihkan konsen pembicaraan dengana kembali menyodorkan ballpoint.
"Terimakasih atas niatnya Haryo, tapi .... simpan saja ya?"
"Hmmh .... ada ya di dunia gadis kaya kamu El, hebat, tapi aneh. Jangan-jangan kamu nggak punya HP, biar antimanistream!"
"Ya nggak total laaah...."
Sambil berkata demikian Elva berlalu menuju koperasi guru untuk membeli pulpen.
Gadis ini memang agak aneh. Sejak klas XII ia mencoba memulai prinsip hidup yang baru, yakni memperbanyak menulis untuk segala hal yang bisa ditulis. Ia ingin merasakan bagaimana orang-orang dulu juga bisa sukses dengan cara seperti itu. Yang lain, sejak kelas XII ia paling tidak mau meminjam pulpen, pinsil, ballpoint atau sejenisnya kepada temannya. Karena ketika ikrarmya pinjam, maka itu harus dikembalikan. Bagaimana mungkin tinta yang sudah dipergunakan menulis akan dikembalikan? Makanya untuk menjaga diri, ia lebih suka memiliki barang sendiri.
"Elva tungguuuu!" Haryo berteriak.
"Ssst .... Haryo! Jangan berisik!" tiba-tiba dari belakang ada suara. Haryo menoleh.
"Aaah Fera, tuh si Elva norak! Dia mau beli ballpoint, padahal aku mau minjemin."
"Kamu nggak ngerti sikap barunya sih!"
"Baru? Perasaan sejak kelas X dia begitu, sulit ditembus, sulit diajak bercanda. Apalagi diajak serius! Aku serius mau ngasih ballpoint, eh dia ngak mau terima!"
"Mana ballpoint-nya sih?"
"Niiih!" kata Haryo seraya menyorongkan ballpoint di depan Fera.
"Parker? Wiiiihhhhh.... mahal neh!" kata Fera sambil mengambil ballpoint dari tangan Haryo.
"Parker ya mahal! Dua kali bulanan SPP kita!"
"Mheheee..... be-te-we terima aksih Har!" kata Fera sambil memasukan ballpoint ke dalam saku bajunya.
"Eh Fer! Jangan ... sini.... sini!"
"Ya buat apa da Elva-nya nggak mau, ya buat yang mau saja!"
"Itu mahal Fer! Nggak cocok buat kamu!"
"Ngece ya?! Kalau mahal buat Elva cocok ya?"
"Eh bukan begitu maksudku, ayo kembalikan!"
"Sudah laah ikhlaskan, sekali-kali buat aku yang mahal! Eh Har, nanti aku bantu kamu buat ngajuin privat ke Pak Danar. Ma-me-ma-ti-ka! Kita bareng-bareng."
"Haduuuh ..... pelajaran horror!"
"Tuh kan, kamu kuwalat sih! Belum juga Pak Danar mengajar kita, kita masih gress di kelas XII, eh kamunya sudah pesimis gitu. Mana mungkin kamu berhasil Har!"
"Kan katanya nggak boleh les ke Pak Danar."
"Siapa yang bilang?"
"Wawan."
"Apa katanya?"
"Ini les hanya untuk anak pinter saja, untuk anak di bawah standar nggak boleh ikut! Nanti kaseseret, gitu katanya ......"
"Ampuuun Haryo! Itu Wawan bercanda!"
"Tapi kayaknya aku bakal kaseseret lho!"
"Tuuh... kamunya masih pelihara pesimistis sih!"
"Iya sih!"
"Nah buang jauh-jauh! Ganti rasa pesimis dengan optimism yang tinggi bahwa aku mampu!"
"Iya, aku harus mampu Fer! Terima kasih nasehatnya ya!"
"Iya, nah sudah kalau begitu ini ballpoint resmi jadi milikku, karena aku sudah menasehatimu! Okeee?!"
"Hareuuuuhhhh Fer! Feeer! Kamu ngulik banget cari kesempatan! Ntar udah gede nggak kebayang kamu bakal dapat suami kayak apa!"
"His! Masih kecil! Jangan ngomong yang bukan-bukan!"

***
Fera membuka tas. Ia mengambil ballpoint parker.
Gadis itu gembira sebab baru kali ini ia memiliki ballpoint semahal itu. Dulu mungkin hanya mimpi. Mimpi yang sebenarnya dihitung secara logis, uang sebesar lima ratus ribu rupiah akan lebih bermanfaat jika dibelanjakan untuk yang lain.
"Waduuuh ...... yang punya ballpoint Parker!"
"Aduuuh kamu Har! Ngagetin saja, jangan bahas lagi ah! Ini barang sudah jadi milikku."
"Iya, iyaaa ....."
"Naah gitu!"
"Eh Fer, sekarang kita jadi les di rumah Pak Danar?"
"Jadi laah ... mumpung masih agak jauh waktu ke UN dan SBMPTN, kita leluasa. Kalau dientar-entar tahu-tahu tinggal beberapa hari, kita bakal klabakan!"
"Fer...."
"Apa?"
"Kok Elva nggak diajak privat ke Pak Danar."
"Sudah aku ajak, tapi katanya agak bingung dikit. Ya sudah lah nggak apa-apa, kita berempat juga kayaknya seru."
"Tapi kalau ada Elva lebih seru."
"Kamu naksir Elva ya?"
"Nggak naksir sih, cuma kadang-kadang suka kepikiran. Dulu waktu satu kelas di kelas X aku suka diajarin matematika. Sukaaa banget cara menerangkan dia, enak, langsung ngerti."
"Laah kata siapa? Bilang saja langsung ngerti, tapi diher terus."
"Ahaha! Tahu nggak Fer, itu taktik."
"Taktik apa?"
"Biar diajarin lagi! Ntar deket lagi kan? Kadang-kadang aku mencuri pandang, heheeee...."
"Uuuuh dasar modus!"
"Pernah juga tanganku digetok pakai penggaris hehe!"
"Kenapa?"
"Ketahuan aku nggak merhatiiin apa yang dia terangkan, aku malah terbengong-bengong ngliatin dia, langsung dia marah aku digetok ... niiih.... tak! Tak! Gituuu.... di jari, sakit sih, tapi kalau yang nggetok Elva, malah pengen lagi!"
"Dasar sudah gelap akal kamu Har, Haaar!"
"Fer, comblangin dong!"
"Ih kamu mah! Yang lain ngurus belajar untuk persiapan UN kamu malah mikir yang kaya gituan!"
"Justru itu Fer, mumpung masih di SMA! Ntar kalau sudah lepas dari sini, susah cari yang kayak Elva."
"Ah kamu mah! Sudah lah!"
Fera sebenarnya kasihan pada Haryo. Memang Haryo terlalu lugu. Fera sebagai sahabat Elva juga tahu bahwa Haryo suka sama sahabatnya, tetapi bagaimanapun semua tergantung Elva. Fera melihat gadis sahabatnya itu memang orangnya kokoh punya prinsip. Ia tak mau berhubungan melebihi sahabatan biasa selama sekolah. Sebuah prinsip yang bagus, tetapi mungkin tidak bagi yang lain.
***
Di rumah Pak Danar.
Rumah Pak Danar cukup luas. Di sisi kiri terdapat garasi dan gazebo. Di gazebo inilah murid-murid Pak Danar belajar secara privat. Sebenarnya guru ini tak ingin membuka les privat, namun kadang ada orag tua siswa yang datang ke rumah, memohon agar anaknya diberi tambahan waktu belajar. Karena bagi guru matematika kedatangan orang tua ke rumah merupakan sesuatu yang serius, maka biasanya diiyakan.
"Ini les pertama kalian, mudah-mudahan bukan yang terakhir." kata Pak Danar ketika mengawali pertemuan.
"Maaf Pak, jangan nakut-nakutin dong Pak." kata Haryo sambil tertawa. Yang lain tertawa pula demi mendengar komentar Haryo.
"Kalau takut mending nggak usah mulai saja. Les ini hanya untuk anak-anak pemberani, yang mau menyisihkan waktu untuk membuat dirinya memiliki pengetahuan yang lebih dari yang lain."
"Siap kalau begitu Pak!"
Belum lama Pak Danar memberikan pengantar, dari luar ada motor memasuki garasi.
Yang ada di gazebo menengok melihat yang baru datang. Pak Danar tersenyum melihat murid-muridnya saling pandang dan saling sikut. Usai menytandar motornya, yang baru datang memberi salam, kemudian mencium tangan Pak Danar.
"O ya anak-anak, ini anak Bapak yang kedua. Namanya Arkan Arshaq Ramadhan, panggilannya Arkan."
"Oooo..."
"Matematika ITB."
"Ooooo....."
"Alumnus Smansa."
"Oooooo...."
"Kakak kelas kalian dua tingkat."
"Ooooooo...."
"Waktu dia kelas XII, kalian kelas X."
"Ooooooooo..."
"Memang nggak ada kata lain selain O yang semakin panjang ya heheee....." Pak Danar tertawa melihat respon empat orang anak yang hampir seragam dengan menucap huruf O berulang-ulang. Kini keempat anak itu baget, baru tersadar bahwa jawaban mereka tadi tergolong langka.
"Liburnya lama Ar?"
"Ya lumayan lama Yah, sekarang baru Juli, masuk lagi awal September."
"Dua bulan libur tuh anak-anak." kata Pak Danar sambil tertawa.
"Pengen Pak." celutuk Haryo.
"Lulus dulu, baru kuliah, ntar punya libur panjang kayak mahasiswa. Tapi harus tembus dulu. Nah nembus PTN itu yang susah, makanya belajar mulai sekarang!"
Akhirnya sore itu kegiatan belajar les privat, namun rombongan, dimulai. Empat orang yang belajar, Haryo, Fera, Anik dan Ning. Tiga yang lain konsentrasi penuh, hanya Fera yang dari tadi tampak belum bisa membangun konsentrasi. Beberapa kali matanya mencoba menoleh ke arah dalam. Yang menarik perhatiannya adalah Arkan.
***
Pagi hari di parkiran kendaraan guru.
Elva dan Salsa terhenyak gembira ketika mobil Pak Danar memasuki gerbang sekolah, kemudian berbelok ke tempat parkir. Kedua  anak itu menanti gurunya selesai memarkir mobilnya. Ketika Pak Danar sudah turun, kedua anak itu menjemput memberi salam dengan mencium tangan.
"Pak boleh tasnya Elva bawain?" Elva menawarkan jasa. Pak Danar terkekeh.
"Hehee... kayak murid jaman dahulu. Terima kasih, nggak usah laaah....! Ini ada apa ya tumben, mantan pengurus OSIS pagi-pagi sudah menjemput Bapak?"
"Emm maaf mengganggu ya Pak. Soalnya malu kalau mau bicara sama Bapak di ruang guru."
"Ooo iya, ada apa?"
"Emmm begini Pak, saya dan Salsa mau ikut les di rumah Bapak, boleh nggak?"
"Waduuuh Va, kirain mau ngomong rahasia. Mau belajar di rumah?"
"Iya, boleh kan Pak?"
"Iya nggak apa-apa. Silakan."
"Tapi ada request Pak?"
"Apa?"
"Bapak jangan ceritakan ke kelompok Fera kalau saya ikut belajar di Bapak. Tolong ya Pak?"
"Iya..."
"Bapak baik banget deh Pak .... kata teman-teman juga gitu ..." kata Salsa menyela.
"Iya, eh haha! Bukan iya, kenapa?"
"Biasanya kalau ada siswa minta bantuan ke bapak, tak ada kata lain yang bapak berikan kecuali iyaaa...."
"Kalau harinya Kamis siang bisa ya Pak?"
"Iya."
"Soalnya Jumat sore kami mau pulang kampung rutin."
"Ke mana pulangnya?"
"Lemahsugih Pak, di Kalapa Dua."
"Alhamdulillah ... itu berarti kalian adalah anak-anak yang dibesarkan oleh alam yang masih bersih. Sebuah kelebihan dari Allah menempatkan kalian di sana, diberi kebahagiaan masa kecil di daerah pegunungan."
"Aaah Bapak mah selalu memotivasi gitu. Kemarin juga yang anak-anak kota, juga Bapak motivasi tapi dengan kekotaanya. Jadi mana yang benar Pak?"
"Yang benar? Setiap tempat tinggal kita, setiap kondisi apapun yang kita miliki, hendaknya selalu bisa dijadikan motivasi diri. Tak boleh mengeluh dengan keadaan....."
"Bener Pak setuju banget .... wah Pak, jadi pengen jadi anak Bapak aaaaah!" kata Elva sambil tertawa.
"Bapak aminin ya?" tanya Pak Danar menantang.
"Anak angkat? Hihihi..."
"Anak menantu .... hehee.... sudahlah. Deal ya belajar Selasa sore? Ntar tinggal datang saja."
"Siap Pak, terima kasih."
***
Hari Selasa pertama les di rumah Pak Danar terlewati.
Cukup menguras energi, Mereka belajar di sisa waktu sepulang sekolah pukul empat sore. Akan tetapi bagi Elva dan Salsa tak dipedulikan. Mumpung masih muda dengan tenaga dan semangat yang besar, siapa tahu akan berbuah bagus. Ujar mereka berdua memberi semangat kepada diri sendiri.
Sore itu Selasa kedua.
Dua buah motor memasuki halaman rumah Pak Danar, kemudian berbelok ke arah gazebo di mana mulai minggu kemarin Elva dan Salsa belajar. Usai menyimpan motor, keduanya memasuki gazebo seraya memberi salam.
Assalaamu'alaikum!
Dari dalam pintu terbuka. Bukan Pak Danar yang tampak keluar. Sejenak Elva tertegun melihat seorang pemuda yang tampan menjawab salamnya.
"Wa'alaikumussalam. Mau ke Pak Danar kan?"
"Iya, Pak Danar ada."
"Silakan duduk dulu....."
Setelah kedua gadis itu duduk, pemuda itu melanjutkan bicara.
"Ayah ... eh, Pak Danar tadi pergi dulu ada perlu. Nanti setengah jam lagi katanya beliau pulang. Ini ade berdua katanya suruh nunggu dulu."
"Oh iya, nggak apa-apa. Terima kasih."
"Oh iya, Pak Danar itu ayahku."
"Ooo ....."
"Biasanya Ayah suka cerita tentang dirinya di kelas. Ya, di kelas baru tentunya. Kemarin di kelas cerita tentang keluarga kami nya nggak?"
"Ah benar ... beliau bercerita, sudah punya cucu satu, yang nomor dua masih kuliah di ITB, yang ketiga katanya belum punya hehee.... iya begitu kata beliau bercanda."
"Ayah memang suka bercanda."
"Ayah bilang katanya ade berdua suruh belajar matemnya sama saya dulu."
"Och! Berarti Kakak yang di ITB itu?
"Hehe .... Iya"
"Kak Arkaan ....." tiba-tiba tanpa sadar Elva bergumam.
"Apa De?"
"Apa? Apanya?"
"Tadi nama Kakak disebut."
"Och! Enggak ... enggak kan Sal?" kata Elva dengan muka merah menahan malu. Salsa menggeleng.
"Kamu memang bilang Kak Arkan gituuu....!"
"Aduuuhh nggak sadar!"
"Tahu namaku dari siapa De?"
"Emmmm .... Sal, kamu yang cerita." kata Elva sambil menyikut lengan Salsa.
"Gini Kak, kan selain saya dan teman saya ini, kalau nggak salah ada rombongan lain yang hari Sabtu, itu ada teman saya namanya Fera, dari kemarin pertama les di sini, katanya sudah kenalan sama Kakak, kata Fera memang namanya ya Kak Arkan."
"Heheee.... kok aku jadi terkenal ya?"
"Iya, Kakak sudah kenal Fera?"
"Nggak lah. Mungkin maksudnya dia tahu namaku, sebab waktu baru datang, ayah mengenalkan namaku."
"Ooo ..."
Bip! Bip! Bip!
HP Salsa berbunyi. Gadis itu menjauh keluar dari gazebo, kemudian menelpon. Beberapa saat setelah menelpon Salsa kembali lagi.
"Aduuuh El, Kak Arkan, ini ada ayah tadi ke sekolah. Ada keperluan mendadak, sore ini harus ke Cirebon. Gimana ya? Aku nggak bisa ikut les..."
"Oooo iya silakan.... silakan...." kata Arkan mempersilakan.
"Aku ikut Sal ..." kata Elva sambil bangkit dari duduknya.
"Eh sebentar ... ini tadi ada WA dari ayah." kata Arkan sambil menyodorkan WA dari Pak Danar.
"Anak-anak yang les suruh nunggu ayah Ar, ni ayah sebentar lagi ...."
"Terus gimana Kak?"
"Wakili saja, Salsa ...eh siapa tadi De Salsa lanjutkan acara dengan keluarga, yang satu tunggu ayahku di sini."
Elva tak bisa berkutik.
Ditinggal Salsa, kini hanya dirinya bersama Arkan. Wajah Elva tegang. Ia sama sekali tak merasakan kenyamanan. Kalau saja tadi tak ada WA dari Pak Danar, ia memilih pulang duluan.
"Rumahnya jauh De?" tanya Arkan memecah suasana.
"Oooh dekat, di belakang masjid Majalengka Kulon, dekat SMP tiga."
"Oooo, asli Majalengka."
"Enggak, saya kos di sana Kak."
"Elva aslinya mana? Eh maaf, namanya Elva kan?"
"Iya."
"Minggu kemarin ayah memberi tahu. Walaupun aku juga sudah tahu juga sih."
"Tahu dari mana?"
"Adik teman saya adalah pengurus OSIS."
"Siapa?"
"Astri, dia itu kakanya anak ITB, anak perminyakanl"
"Ooo.... ntar, kapan-kapan aku ceritakan."
"Ooo..
"De Elva pengurus OSIS kan? Barangkali ada anak lain yang namanya sama."
"Iya betul, tapi sudah purna . Sudah lengser Kak, sudah kelas XII."
"O iya... aslinya mana? Jatitujuh? Atau?"
"Lemahsugih."
"Oooo.... saya kira anak hilir, anak tonggoh ya."
"Hehee... iya ..."
Belum lama mereka ngobrol, Pak Danar masuk membelokkan mobilnya masuk ke garasi. Kedua orang yang duduk di gazebo mengamati yang baru datang.
Ketika Pak Danar mendekat, Elva bangkit dari duduknya kemudian menyalami sambil mencium tangan Pak Danar.
"Sehat Vi?"
"Alhamdulillah Pak, bapak sehat juga?"
"Alhamdulillah wal afiat hehe..."
"Syukurlah."
"Ini satunya mana? Salsa? Salsa ke mana?" tanya Pak Danar setelah masuk keGazebo.
"Ada panggilan mendadak."
"Oooo.... gitu. O iya, ini materi belajarnya sudah sampai mana?"
"Baru sampai ..... sampai Lemahsugih.." kata Arkan sambil tertawa.
"Matematikanya?"
"Ya belum Yah, masa sama orang baru langsung belajar."
"Kan tadi adik-adiknya itu Ayah minta dibantu belajar matem."
"Kan nggak enak langsung begitu Yah, Ini juga baru sebentar."
"Iya ... iyaaaa.... nggak apa-apa. Ini Elva mau belajar sama Bapak atau sama Arkan?"
"Terserah Bapak ....."
"Sama Arkan saja ya, Bapak ada perlu lagi nih. Nooh di rumah depan, di Pak RW tadi pas Bapak lewat ditoel suruh ke sana sekarang."
"Iya nggak apa-apa Pak."
Sore itu pengalaman baru bagi Elva, les yang seharusnya oleh Pak Danar, kali itu malah ditekel oleh anaknya. Tetapi bagi Elva sama saja, tingkat kesulitan pemahaman untuk soal-soal antar ruang lingkup. Setelah satu jam belajar, Elva keduanya istirahat.
"Terima kasih bimbingannya Kak."
"Hehe iya .... sama-sama. Minggu depan masih mau sama aku lagi?"
"Boleh hehe..., eh terserah Pak Danar."
"Target belajar kali ini apa si De?"
"SBMPTN kak."
"SNMPTN?"
"Itu sih hampir gambling Kak. Memang ada harapan juga, tapi kan tak ada jaminan. Jadi kalau harapan untuk SNMPTN ada, dan SBMPTN dipersiapkan, akan lebih nyaman, karena siap semuanya."
"Hebaaat! Mudah-mudahan harapannya terkabul. Hasil tidak akan menghianati usaha De."
"Iya betul Kak."
"Hidup itu ibarat layar polos, kita yang memberi lukisan. Tentu lukisan yang ingin kita wujudkan adalah lukisan yang indah. Guratan hidup yang indah. Hidup kita itu akan indah, jika kita selalu berikhtiar. Di sana ada semacam taste yang berbeda. Ada kenikmatan dalam ikhtiar. Dan dilengkapi dengan doa sebagai makhluk yang punya superset Allah. Hidup akan indah dengan ikhtiar dan doa. Jangan lupakan itu De."
"Aduuh terima kasih motivasinya Kak."
"Heheee iya. Mungkin indahnya sama seperti kalau kita bisa menikmati indahnya cahaya bintang."
"Apa Kak?"
"Nggak ...nggak ah! Nggak apa-apa hehe...."
"Pak Danar nggak pernah membuat penasaran siswanya lho...."
"Ehehe... iya.... cahaya bintang."
"Maksudnya?"
"Cahyaning Kartika."
"Och..."
"Elva Cahyaning Kartika...." kata Arkan menyebut nama lengkap dirinya.
Wajah Elva memerah menahan malu. Gadis itu menggeleng. Namun tak urung Arkan tahu bahwa Elva sedang mencoba menahan senyumnya.
"Pulang dulu Kak.... Assalaamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam Elvaaa...."
Hmh.......!
Elva mendesah dalam.
Kenangan pertama bertemu dengan Arka begitu indah. Dulu ia juga tak habis pikir, mengapa Arkan mengenal dirinya. Tapi mengingat katanya ada sahabatnya yang punya adik pengurus OSIS juga , ia maklum. Tetapi mengapa  Arkan begitu mendadak memberikan kejutan ketika baru pertama bertemu?
Pertemuan awal dengan Arkan saat ini gadis itu telah duduk di taman Fakultas MIPA. Suatu taman yang telah lama menjadi impiannya sejak kelas X SMA. Sementara tahun ini Arka telah duduk  tingkat akhir S2 nya di ITB.
Ting!
Elva terhenyak. Ada WA masuk. Siapa ini? Elva tidak mengenal nomor dan DP-nya.
"Hallo Elva, kami mau berkunjung ke Unpad. Kita ketemuan yok!"
"Siapa ya?"
"Tuh DP aku ganti ....."

Demi melihat wajah di DP yang baru masuk, Elva berbinar-binar.
"Fera ..... uuuh kangen banget Fera!"

***

Siang itu Elva masih menanti kedatangan Fera dan Haryo.
Gadis itu melihat beberapa spanduk yang berisi informasi tentang Sinergi BEM Peternakan Unsoed - Unpad. Gadis itu bersyukur jika kedua sahabatnya di SMA menjadi aktivis kegiatan kemahasiswaan. Elva sendiri menjadi aktivis di BEM Statistika bukan hal baru. Berorganisasi merupakan sesuatu yang terbiasa dilalui. Ia merasakan melalui organisasi, jiwanya menjadi dewasa. Bisa mengatasi persoalan antar teman, menghargai perbedaan pendapat, memberikan alternatif untuk penyelesaian masalah. Itu telah dimulai sejak SMP. Artinya lengkap, SMP, SMA dan kini di perguruan tinggi.
Ting!
Elva melihat ada notifikasi WA masuk. Arkan.
"Ini ada acara mendadak De, aku dipanggil pembimbing tesis. Ntar kalau bisa cepat, aku ke situ, kalau tidak sempat ya titip salam saja sama teman-teman dari Purwokerto ya."
"Iya Kak, semoga lancar."
Hampir sekitar satu jam setelah dzuhur, barulah yang ditunggu datang. Ketika melihat keduanya datang, Elva segera menghambur ke arah Fera. Keduanya berpelukan lama.
"Ke mana saja El?" tanya Fera sambil memegang pundak serta memandang Elva lekat-lekat.
"Ah kamu norak! Dari dulu juga di Unpad sini."
"Kenalkan El, Haryooooo!" kata Fera sambil menunjuk Haryo yang tersenyum di sisi Fera.
"Aaaah kamu Haryo.... apa kabar?" tanya Elva sambil mengulurkan tangan.
"Makin cantik saja Elva.... " kata Haryo sambil menerima uluran tangan Elva.
"Iiih .... Haryo yang selalu menggoda!" kata Elva terkekeh.
"Dan godaanya tak ada yang berhasil." kata Haryo sambil tertawa,
"Ah sudahlah, jangan bicara masalah itu!" sela Fera.
"Emmm perasaan saya, Haryo sama Fera jurusannya beda kan?"
"Emang  beda. Napa El?"
"Hari ini kan acara sineri BEM Peternakan, lalu Haryo?"
"Kamu lupa ya El, Haryo kan jurusannya Farmasi, nanti kan ada ramuan obat-obatan untuk memperbaiki pertumbuhan kelinci. Nah di situlah perannya hehee..... " Fera terkekeh.
"Bilang saja Haryo supiiiiir!" kata Haryo terbahak. Elva kaget.
"Bener Fer?"
"Hehee.. nggak tahu tuh. Dia yang nawarin, mau diantar ke Bandung nggak?"
"Berdua?"
"Iya berdua, padahal yang lain pakai travel minibus. Tapi Haryo nggak mau, bilangnya nanti mau mampir dulu ke saudara. Ya gitu deh, akhirnya diijinin."
"Fer, nebak ya?"
"Apa?"
"Jangan-jangan kalian sudah jadian ya?"
"Hihihi..."
"Atau malah sudah suami istri?"
"Ngaco kamu El, masih kuliah, nggak banget. Entah setahun lagi kalau sudah lulus."
"Oooo ... aku doakan ah! Semoga lancar!"
"Amiiinn!" celutuk Haryo sambil terkekeh.
"Iiihhh... apaa Haryo!" kata Fera sambil mencubit lengan Haryo. Haryo meringis.
"Aduuu...duuuh ssakit Fer!"
"Ngomong lagi Har, ntar aku cubit lagi."
"Amiiin!"
Tapi bersamaan itu Haryo memberi isyarat menyerah. Fera tak jadi mencubit. Elva tertawa melihat perilaku keduanya. Setelah suasana reda, Haryo mengambil sesuatu dari tas yang dicangklongnya.
"Ada sesuatu yang berbeda Elva, sesuatu yang berbeda dengan yang dulu. Ini lebih super."
"Nggak ngerti..." kata Elva sambil mengernyitkan dahi.
"Ballpoint parker baru .... untuk Elva!" kata Haryo sambil menyodorkan ballpoint ke depan Elva.
"Apa ini?"
"Aku ingin mengulang ketika dulu Elva menolak pemberianku, sekarang Elva nggak boleh menolak pemberianku."
"Haryo!"
"Dulu Elva pernah katakana, kalau ballpoint uangnya bukan pemberian ortu, mau menerima kan?"
"Engghaak! Hehehe.... kan sudah aku ralat." kata Elva sambil menahan tawa.
"Nggak ada ralat. Usahaku sambil kuliah sudah jalan. Mobil juga aku beli sendiri, walau nyicil."
"Nggak mau!"
"Fera saksi ya?" tanya Haryo seraya menoleh ke arah Fera.
"Oke! Aku saksi!"
"Elva ... dengar baik-baik, aku ingin banget pemberianku diterima oleh Elva sahabat kecilku di kelas X."
"Enggaaak..."
"Kalau Elva mau terima ini, maka lulus S2 nanti Fera akan aku lamar."
"Hah? Serius?!" tanya Elva tak percaya sambil memandang Fera lekat-lekat.
"Iya, dia suka gitu El."
"Serius El." kata Haryo.
"Saksi semuanya ya, dengan bismillahirrahmanirrahim semoga kalian berdua kelak dijodohkan, maka ballpoint ini sebagai syarat, aku ambil!" kata Elva sambil menerima ballpoint Parker yang ada di tangan Haryo.
Sah! Sah! Kata Haryo sambil tertawa terbahak.
"Iyalah Fer, selamat ya, dari tanda-tanda saja kayaknya sudah ketahuan Haryo serius, buktinya dia sudah nawarin nganter pakai mobil pribadi sampai Bandung."
"Iya mudah-mudahan saja El. Eh, ngomong-ngomong kapan kamu nikah? Sudah punya calon apa belum?"
"Hehee.. ntar nunggu waktu yang tepat. Nggak punya pacar sih!"
"Ah kamu mah El, dari dulu tuh ibaratnya lawakan, kamu garing mulu!"
"Hehehe... biarkan saja Fer, masing-masing punya cara untuk memaknai hidup. Termasuk dalam kisah pemuda - pemudi, dalam urusan cinta ... masing-masing cara mengemasnya berbeda-beda."
"Uuuuuhhh Elvaaaa.... bicaramu sekarang dalam banget, bikin dahi mengkerut!"
Ketiganya asyik berbincang tentang apa saja. Tak mereka rasakan cukup lama mereka berbincang, hingga Fera dan Haryo merasa cukup untuk berpamitan.
"Kalian mau langsung ke Purwokerto?" tanya Elva.
"Nggak dong, kita mau ke Majalengka Kota Bandara."
"Ya kami pamit El, kami pulang ke rumah masing-masing. Mungkin besok baru kita lanjut ke Purwokerto lagi."
Ketiganya berjalan menuju parkiran di mana mobil Haryo telah siap. Namun belum beberapa lama mereka melangkah, dari belakang ada yang memberi salam.
Assalaamu'alaikum!
Ketiganya serempak menjawab. Elva berbinar matanya. Arkan datang. Di sampingnya, Fera demi melihat yang datang merasa keheranan. Ia merasa pernah mengenal pemuda itu.
"Kalian dari Purwokerto ya?" kata Arkan sambil mengajak salaman.
"Iii ..... iya."
"Kalian lupa ya? Kita bertemu pertama sekali di rumah Pak Danar, waktu itu kalian pertama kali les di kelas XII."
"Kkkk... kak Arkan?!" Fera terpekik. Sementara Haryo hanya menggeleng.
"Naah masih ingat ..."
"Astaghfirullah Kakak.... kata Pak Danar, dulu bukannya kuliah di ITB Kak?"
"Sekarang juga masih."
"Ooo S1-nya itu? Lama amat ya Kak."
"Ya nggak laah, sekarang S2-nya De."
Sambil berbincang sejenak, Arkan menoleh ke arah Elva. Arkan yang baru konsultasi masalah tesis membawa buku lumayan banyak. Tas punggungnya penuh. Di tangannya ada tiga buah buku.
"Tasnya masih kosong?" tanya Arkan ke Elva.
"Iya masih .."
"Ni yang dua masukin dulu ya." kata Arkan sambil memberikan dua buku. Elva menerimanya kemudian memasukkannya ke dalam tasnya tanpa banyak bicara.
"Tuh yang satu nggak sekalian?" tanya Elva.
"Nggak, biar dipegang saja."
Fera dan Haryo yang di depannya bengong. Mereka melihat keduanya sudah sangat akrab dan saling memahami. Mereka berdialog dengan cara yang sangat wajar. Melihat itu, Fera memberikan isyarat kepada Elva untuk menjauh. Setelah sekira sepuluh meter meninggalkan Haryo dan Arkan, Fera menatap tajam Elva.
"Elva, katakan, apa hubunganmu dengan Kak Arkan?"
"Hubungan yang mana?"
"Kamu terlihat akrab banget dengan dia. Kamu memasukkan bukunya dengan enak, santai, seperti suami istri."
"Sssttt Fera .... istighfar Fera."
"Kenapa?"
"Nggak boleh bicara yang bukan-bukan Fera, aku dan Kak Arkan bukan suami istri. Dan kami juga tidak pacaran. Nggak ada yang pernah mengatakan sesuatu, nembak misalnya, seperti anak-anak SMA. Nggak... "
"Tapi kok akrab sekali?"
"Ya nggak apa-apa kan?"
"Aku tetep nggak percaya. Dulu El, di SMA aku sering ember ke teman-teman sendiri, putra Pak Danar itu ganteng, pinter .... aku naksir, aku caper. Masih inget nggak?"
"Ingat."
"Tapi kenapa waktu itu kamu diam saja?"
"Memang aku suruh komentar apa?"
"Bilang kek dia itu pacarmu."
"Mana bisa. Fer, kamu kan tahu, aku paling punya prinsip mau seriusan itu nanti setelah lulus kuliah."
"Memang kamu kenal dengan Kak Arkan kapan?"
"Seminggu setelah kamu les."
"Seminggu? Di mana?"
"Di Pak Danar."
"Hah?! Di Pak Danar?"
"Iya, aku juga les di beliau."
"Les juga? Kapan waktunya?"
"Setiap Kamis sore."
"Kok kamu nggak pernah cerita?"
"Kan kamunya juga nggak tanya sih. Fera, bagi saya, asal yang saya lakukan itu tidak merugikan orang lain ya saya lakukan. Aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun bahwa aku les ke Pak Danar, itu hak-ku. Tak ada yang aku rugikan."
"Kamu les sendirian?"
"Berdua, bareng Salsa. Sekarang dia di Yogya, di jalur UM."
Hingga beberapa saat Fera terdiam. Ia benar-benar tak percaya dengan semua yang ia dengar apa yang baru terjadi di depan matanya. Elva yang sangat akrab dengan Arkan, pemuda yang dulu langsung mencuri simpatinya. Namun sekarang semuanya ia rasakan telah terhalang oleh sebuah tembok kokoh yang tak tertembus.
"Aku pulang El...." kata Fera melemah.
"Maafkan Elva, Fera ....."
Fera memeluk Elva hingga lama. Ia sama sekali tak menyangka bahwa akan ada cerita seperti hari ini.
"Elva, aku masih suka sama Kak Arkan." kata Fera seraya melepas pelukannya.
"Silakan saja... dia orang merdeka kok. Masih boleh untuk dipilih, juga boleh untuk didoakan oleh siapa saja."
"Hatimu lembut sekali Elva ....."
"Pak Danar yang banyak memberiku masukan tentang hidup. Fera, tak usah risau, mari kita belajar baik kepada diri, juga baik terhadap apa yang telah dikaitkan dengan orang lain."
"Maksudnya El?"
"Haryo Fer ....."
"Hmhhh..... iya El, tapi dulu waktu kelas X dia sukanya sama kamu El."
"Kan sudah aku beri isyarat, bahwa aku selama sekolah belum mau berfikir tentang pacar atau apapun namanya itu. Makanya aku tolak pemberian Haryo. Agar pikirannya jernih kembali, dan memulai dari nol lagi untuk menyukai orang selain aku. Fera sahabatku .... hati manusia berubah. Sebelum berangkat ke Bandung, Haryo pasti tahu kamu akan ketemu aku kan?"
"Iya, dia tahu. Mungkin kangen sama kamu El, dia pernah suka sama kamu...."
"Heheee..... kangen ya wajar lah, sama seperti kita yanag suka pengen kangen-kangenan dengan teman SMP, teman SD. Iya kan? Tapi Fer, aku lebih melihat kepada niat Haryo yang menawarimu bareng pakai mobil dia."
"Iya El. Dia serius, bahkan dia sudah berani menyampaikan niatnya yang serius untuk nanti setelah aku lulus, emm setelah kami lulus."
"Bagus laah... aku support Fer."
"El, tapi aku masih boleh kan mengenang Kak Arkan?"
"Ya boleh laah.. boleh. Tapi ketika suatu saat Haryo sudah resmi menjadi suamimu, lupakan Kak Arkan, lupakan juga semua orang yang pernah hadir dalam urusan hati denganmu. Konsenmu hanya untuk Haryo."
"Elva ...."
"Ya Fer?"
"Betapa bahagianya Kak Arkan jika ia menjadikan dirimu menjadi pendampingnya .... pendamping selama hidup. Kamu gadis yang cerdas, yang lembut hati, dan dewasa."
Mendengar itu Elva terharu. Ia bisa merasakan betapa dalam diri Fera kini sedang merasakan kekecewaan yang dalam. Ia tak ingin gadis itu berlama-lama bersedih. Ia berniat akan selalu support semangatnya untuk bisa berbahagia bersama Haryo.
Elva menglurkan kedua belah tangannya ke hadapan Fera. Bibir Fera terkatub. Gadis itu menahan air mata yang hampir jatuh. Fera menyambut tangan Elva. Keduanya kembali berpelukan.
***

Di gazebo. Suatu pagi.
Arkan tengah menyelesaikan revisi tesis. Sidang telah dilalui. Pemuda itu sukses dengan nilai yang memuaskan. Maka, kali ini berada kampung halaman benar-benar menjadi pelengkap kebahagiaan atas kesuksesan dirinya.
Ting! Notifikasi WA masuk. Arkan membuka HP-nya. Wajahnya berseri.
"Assalaamu'alaikum Kak Arkan. Maaf mengganggu istirahatnya..."
"Wa'alaikumussalam. Gimana kabarnya De, masih di Kalapa Dua, eh di KD?"
"Mau ke KD, ini bareng rombongan baru pulang dari Jakarta. Ada keluarga yang mantu."
"Oooo..... sampai mana? Cikampek? Cikedung?"
"Sudah dekat Panyingkiran kok!"
"Wah? Nyampai mana?"
"Sudah di Kadipaten."
"Wuah! De, mampir atuuh ... asli, bilangin sama Bapak, De Elva diminta mampir di Pak Danar gitu."
"Mau telpon sendiri?"
" Kalau titip pesan diijinkan ya syukur, tapi kalau hanya titip pesan nggak diijinkan, baru aku langsung telepon Bapak."

Beberapa saat kemudian.
"Bapak mengijinkan, tapi beliau tanya, nanti mau dijemput jam berapa?"
"Bilangin ke Bapak, terima kasih gitu. Ntar ajak adikmu itu, De Elsa ya? Bilangin juga, nanti biar aku yang ngantar ke KD. Bilangin juga, di Pak Danar cuma sekitar satu jam kok."

Gazebo semarak.
Arkan, Elva, Elsa dan Ibu Arkan. Yang tidak tampak adalah Pak Danar, laki-laki masih di Majalengka. Biasanya dalam kumpulan seperti ini Pak Danar paling bisa membangun kesemarakan. Tapi ini ada Arkan, bakat supelnya masih sedikit menurun ke dia, walaupun tak sebagus Pak Danar.
Setelah beberapa lama berbincang, Bu Danar mengajak Elsa menemaninya untuk belanja ke Alfamart. Elsa mengiyakan. Keduanya berjalan bareng. Arkan dan Elva mengamati dari belakang sambil tersenyum.
"Kaya anaknya ya De?"
"Iya banget."
"Mau nggak suasananya kaya gitu terus De?"
"Hehee ....."
"Ibuku akrab dengan De Elsa, juga akrab dengan De Elva ...."
"Ya kalau silaturahim apa salahnya."
"Pas. Berarti mau ya?"
"Nggak tahu aaah!"
"De Elva, ini gazebo ruang santai, ruang les atau yang lain. Di depan itu ruang tamu. Yang nyambung gazebo, pintu ini niih ... ini ruang keluarga. Di dekatnya ada musholla keluarga, di dalam."
"Oooo..... "
"Pernah masuk nggak?"
"Ya belum lah, ke rumah ini juga baru beberapa kali."
"Perasaan sering. Dulu waktu les sama Ayah,"
"Iya kan di luar."
"Memang nggak pernah ada yang pengen ke air gitu? Terus minta ijin ke Ayah ... ikut ke air."
"Kalau pengen si ya pengen, tapi ditahan."
"Aaaah... itu nggak lucu! Padahal bilang saja numpang gitu ..."
"Malu."
"Bagus, itu menunjukkan kualitas manusia yang baik. Rasa malu, ewuh pekewuh ...."
"Ah sudahlah jangan dibahas..."
Arkan berdiri. Kemudian berjalan ke arah pintu ruang keluarga yang membuka sedikit. Kini pintu itu terbuka penuh. Sebagian perabotan tampak dari luar. Gadis itu melirik sejanak, namun kemudian kembali melihat ke luar. Pemuda itu hanya menggeleng melihat gadis itu menatap ke luar. Kini di tangan Arkan ada album foto.
"De.." kata Arkan sambil duduk.
"Ya?"
"Aku punya sesuatu. Umurnya sudah sekitar lima tahun."
"Apa?"
"Lihatlah ini ..... tapi jangan kaget ya...."
Perlahan tangan Arkan membuka album foto. Satu, dua, tiga. Pada lembaran ke empat pemuda itu menyodorkan album kepada Elva. Demi melihat gambar itu Elva kaget.
"Kaak... ini ..... ini .. kok Kakak punya foto ini?" Elva benar-benar kaget. Sama sekali tak pernah terbayang bakal ada kejadian seperti ini
"Apapun harus diusahakan. Ikhtiar dan doa."
"Kakak dapat dari siapa?"
"Hunting sendiri."
"Oooh ... bukannya ini waktu fesband? Waktu aku kelas XI?"
"Iya benar. Waktu itu kebetulan aku sedang tidak ada kuliah, nyempetin pulang kampung. Terus sedikit nakal main ke Smansa."
"Nakal bagaimana?"
"Fesband kan nggak boleh ditonton orang luar. Waktu itu aku bilang mau ketemu Ayah, dan memang aku ketemu Ayah dulu, jadi nggak berbohong. Setelah itu ya sudah, nonton sambil menunggu penampilan anak-anak kelas MIPA 3."
"Dan disitu Kakak mengambil foto?"
"Hehe iya ... ini foto yang paling aku suka. Gayanya, mmh .... lihat, gestur, terutama gerakan tangannya berbicara banget."
"Aaah Kakak mah!"
"De Elva, masih ingat nggak, waktu ada kejadian di kopgur?"
"Kejadian apa?"
"Waktu ada anak putri, mau bayar jajan dan pulpen, tapi ternyata kehilangan uang."
"Ooohhh iya... iya."
"Ingat ada yang mbayarin nggak?"
"Ah iya .... iya ... betul itu , aku tidak terlalu perhatian, tahu-tahu kata ibu kopgur, sudah ada yang mbayarin. Tapi dia terus lari."
"Dia lari sambil membawa memori. Ada bayangan, gadis kecil, masih imut, kelas X, alisnya bagus. Aku jadi ingat ketika dia hampir nangis .... lucu, tapi jadi tambah cantik."
"Kaak ... jangan.... jangan .... dia adalah .... dia? Dia?"
"Hehe...."
"Dia Kak Arkan?"
"Maafkan Arkan ya De ..... sejak kejadian itu memori aku sulit untuk menghilangkan bayangan wajah De Elva. Yaaah walaupun waktu itu belum tahu nama ......."
Speechless. Elva kehilangan kata-kata.
Gadis itu diam tak mampu berkata apa-apa hingga beberapa saat. Elva tertunduk, namun tangannya masih memegang album foto itu. Arkan yang duduk di depannya diam.
"Kak...." kali ini Elva yang memulai.
"Ya?"
"Berarti keluarga di sini tahu ada foto ini di album?"
"Ya, semua tahu."
"Och ...."
"Maafkan De, kalau tidak berkenan, biarkan gambar ini aku ambil saja ...." kata Arkan sambil meminta album. Elva tak memberikannya.
"Jika keluarga sudah tahu .... maka ....."
Elva berhenti bicara. Kalimatnya terhenti. Arkan bangkit dari duduknya. Pemuda itu mengangguk ke arah Elva. Gadis itu mengernyitkan dahi.
"Apa Kak?"
"Ada sesuatu juga di ruang keluarga, ayo lah, sesekali masuk ke rumahku."
Ketika Elva melangkah melintasi pintu, Arkan menunjuk sesuatu di ruang keluarga. Mata Elva mengikuti. Gadis itu kembali kaget.
Ia melihat gambar berpigura di belakang rak buku. Gambar yang sama seperti yang ada di album.
"Kak Arkaan...."
"Maafkan aku ya De ."
"Sejak kapan foto ini dipajang Kak?"
"Sejak kita ketemu De Fera dan Haryo, waktu di Unpad itu. Belum lama sih..."
"Oh ...."
"Keinginan aku, foto ini akan aku pajang selamanya. Tentu jika ada ijin, dan ada yang mau memberi kesempatan."
Siang itu bagi Elva benar-benar merupakan siang yang penuh makna. Sangat berarti baginya. Arkan yang bisa membuat dirinya tak berdaya. Ia juga heran, dari dulu Arkan selalu begitu. Perhatian yang sangat bermakna. Cinta? Mungkin saja. Tetapi tak pernah ada kata cinta terucap. Atau belum terucap. Atau mungkin dia itu type laki-laki penganut "kata cinta setelah menikah"? Pikirnya. Mungkin saja.
Elva merasakan beberapa kalimat yang sangat menyentuh kesensitifan hatinya. Pertama ketika Arkan menyebut namanya "Elva Cahyaning Kartika, cahaya bintang". Kedua ketika Arkan mengatakan  ".... sejak kejadian itu memori aku sulit untuk menghilangkan bayangan wajah De Elva." Ketiga ketika Arkan mengatakan "Ada bayangan, gadis kecil, masih imut, kelas X, alisnya bagus". Keempat, baru saja ia dengar "Keinginan aku, foto ini akan aku pajang selamanya. Tentu jika ada ijin, dan ada yang mau memberi kesempatan".
Sekitar pukul dua siang.
Arkan menghentikan mobilnya di Kalapa Dua. Elva dan Elsa turun. Pemuda itu mengikuti keduanya. Hanya sekira dua puluh menit pemuda itu bertemu keluarganya. Ia langsung berpamitan. Beberapa jenak kemudian mobil Arkan bergerak perlahan.
Arkan melihat dari kaca spion, ayah, ibu dan Elsa sudah meninggalkan pinggir jalan. Pemuda itu menarik nafas dalam. Ia menekan pedal kopling, kemudian memindahkan gigi ke posisi R. Perlahan mobil mundur lagi.
Elva terhenyak melihat mobil Arkan mundur lagi. Gadis itu kini berdiri di samping mobil. Arkan menurunkan kaca jendela.
"Ada apa Kak?"
"Ada yang ketinggalan."
"Och! Apa ya? Di meja atau di mana? Biar saya ambil."
"Ah enggak kok."
"Lho? Lalu? Apa ketinggalan Kak?"
"Gadis yang ada di dekatku ...."
"Aaah Kakak.."
"De Elva Cahyaning Kartika .... hati Kakak yang ketinggalan di sini, di Kalapa Dua..."
"Aaaa Kakak mah!" kata Elva tersipu. Arkan tersenyum,
"Boleh Kakak request?"
"Apa Kak?"
"Tolong dijaga ya .... "
"Apanya Kak?"
"Yang ketinggalan di sini , jaga hati Kakak di sini."
"Mmmhh ....."
"Dijaga ya ...."
"Mmmhh.... "
"Elva yang cantik, yang alisnya indah ... tolong dijaga hati Kakak ya ...."
Begitu mendengar sanjungan Arkan, gadis itu bahkan semakin tak bisa berkata-kata. Arkan tersenyum. Ia sangat suka melihat Elva tersipu.
"Usai wisuda, aku, Ayah dan Ibu mau ke sini. Atau mungkin kita ketemuan di wisuda. Tunggu ya...."
"Iya, iya Kak. Salam untuk Pak Danar dan Ibu.""
"Insya Allah salam dari anaknya aku sampaikan, assalaamu'alaikum!"
Elva mendesah panjang sambil melihat mobil Arkan yang semakin menjauh. Hatinya bahagia. Ia mengatubkan bibirnya. Arkan. Ya, hari ini telah mampu membuat dirinya menangis.
"Kak Arkan .... Elva mencintai Kakak ....." gumamnya sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya.

***
Wisuda usai.
Arkan telah memperoleh gelar magister. Sesuatu yang membahagiakan. Bagi Arkan sendiri yang lebih membahagiakan dirinya adalah bahwa keluarga Elva  hadir. Semua atas undangan Ayahnya. Ini agak tidak lazim, namun dalam rangka menjalin silaturahim semua bisa dilakukan.
Siang itu Pak Danar telah memboking ruangan di salah rumah makan untuk waktu tiga jam. Usai menikmati makan siang, Pak Danar mengucapkan terima kasih atas hadirnya keluarga orang tua Elva memenuhi undangan.
"Acara ini sebenarnya merupakan acara kembang dari acara yang sesungguhnya nanti .... Ini atas permintaan Arkan anak kami."
"O iya ya..."
"Arkan ingin meminang putri Bapak ..."
Dada Elva gemuruh demi mendengar pernyataan Pak Danar sangat jelas. Gadis itu tertunduk dalam di depan keluarga Arkan dan keluarga sendiri.
"Semua saya serahkan kepada Elva .... Nanti bisa kita bicarakan lagi."
"Iya, iya pasti."
Beberapa saat kemudian Pak Danar meminta Arkan dan Elva untuk mendengarkan kata-katanya.
"Arkan, anak Ayah ..."
"Iya Ayah.."
"Sebenarnya kumpulnya kita sekarang ini, Ayah nilai sebagai sebuah terbuktinya tanda-tanda yang telah diberikan oleh Allah kepada Ayah."
"Tanda-tanda apa Yah?"
"Dulu, di awal kelas XII .... Elva pernah datang ke Ayah, Ayah kasih beberapa nasehat. Akhirnya secara refleks, si Neng ini mengatakan .... wah Pak, jadi pengen jadi anak Bapak aaaaah! "
"Betul begitu De?" kata Arkan sambil memadang tajam.
Elva tidak menjawab. Lehernya teras tersekat. Sejurus kemudian gadis itu menutup wajahnya. Beberapa sat kemudian Elva terisak. Hingga beberapa lama akhirnya gadis itu membuka tangannya, kemudian mengusap air matanya.
"Betul begitu De? De Elva pengen jadi anak Ayah?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Nggak tahu juga sih, tapi nggak tahu kayaknya sudah merasa dekat. Merasa bukan jadi orang asing. Pak Danar adalah sosok yang baik, yang bisa menjadi teladan, sumber motivasi bagi murid-muridnya, nyaman kalau dekat Pak Danar. Elva pernah diajar Pak Danar ketika masih kelas XI, ketika belau mewakili Bu Fatimah yang naik haji. Di saat belajar bersama Pak Danar, ada sesuatu yang berbeda, tak bisa terlukis dengan kata-kata..." kata Elva sambil kembali menitikkan air mata.
"Elva .... itu firasat. Itu tanda-tanda dari Allah, kebaikan Ayah kepada anaknya."
"Iya mungkin saja Pak."
"Banyak tanda-tanda yang Ayah rasakan... salah satunya dulu ketika dia sudah lulus, Arkan pengen nonton festival band di sekolah. Besok paginya dia malah tunjukin foto, katanya ini bintang baru yang namanya cahaya bintang. Cahyaning Kartika. Fotonya  malah dibingkai, dipasang di ruang keluarga itu."
"Benar .... Elva juga pernah cerita tentang foto itu." kata ayah Elva.
"Hari ini Elva sudah menjadi anak Ayah ....... " kata Pak Danar sambil tersenyum memandang Elva.
"Iya terima kasih Ayaah ..... " kata Elva yang kemudian menyalami dan mencium tangan Pak Danar.
"Memang bagusnya begini, anak-anak kita nggak usah pacaran. Kalau mau jadi ya ksatrialah, langsung bilang, seperti nak Arkan ini."
"Benar sekali."
***
Beberapa saat ketika dua keluarga melanjutkan perbincangan, Arkan mengajak Elva ke luar sebentar.
"Ingat De Elva, hidup ini akan indah dengan sinergi antara ikhtiar dan doa. Semua ikhtiarku sudah. Hari ini adalah ihktiar terbesarku. Doa Insya Allah juga sudah. Kebahagianku hari ini, ya wisuda, ya kedatangan keluarga De Elva semuanya menjadi penyempurna ikhtiarku. Indah ya De?"
"Iya ..."
"De Elva ada permintaan? Rasanya aku tak pernah memberikan sesuatu yang berharga..."
"Emmh ..... nasehat Kakak tentang ikhtiar dan doa sangat berharga."
"Ada yang lain De?"
"Mmmhh..."
"Ayo dong..."
"Permintaan untuk nanti ya Kak."
"Kapan?"
"Jika acara hari ini sudah berlanjut ke acara resmi berikutnya ."
"Oooooh .... iya.... tentu."
"Kak Arkan ......."
"Ya De?"
"Lindungi Elva Kak..., selalu lindungi .... agar Elva merasa aman."
"Iya De Elva.... mudah-mudahan.... Insya Allah Kakak diberikan kekuatan ..."
"Aamiin Kak, selain itu ... semoga Kak Arkan, Arkan Arshaq Ramadhan ... bisa menjadi... "
"Menjadi....."
"Menjadi  tempat berteduh hati Elva ..... teduhi hati Elva ya Kak ..."
Kali ini Arkanlah yang terharu dengan permintaan Elva. Bahkan matanya tiba-tiba terasa panas. Namun sebagai laki-laki ia mencoba menahannya.
Ia lihat di depannya, gadis cantik dengan alis yang indah, Elva Cahyaning Kartika. Arkan bahagia.
Elva tersenyum. Arkan tertegun melihat senyum gadis itu yang sangat manis.
"Masya Allah senyummu De Elva .....  De Elva adalah masa depan indahku. Mudah-mudahan masa depan yang diridloi-Nya..." kata pemuda hampir tak terdengar.
Elva menitik air matanya. ***

                                                    Majalengka, 10 Desember 2017

    *Request : Evi Fazriati  Kelas XII MIPA 3
                      SMA Negeri 1 Majalengka Tahun 2017/2018.
                   
    *Note : Ayo mantan pengurus OSIS 44, berjuang terus!

Cerpen ini diambil dari akun pribadi di kompasiana.com/didik_sedyadi

Post a Comment