Pagi di Stasiun Tugu. Yogyakarta.
Citra mengantri di peron. Lima menit lagi kereta Argo Lawu akan masuk dari arah Solo. Petugas mulai membuka pintu peron. Gadis itu bergegas masuk sambil membetulkan tas bawaanya. Ketika dari timur mulai tampak gemuruh suara kereta, gadis itu melihat tiket yang dipegangnya. Gerbong 5 tempat duduk 8 D. Gadis itu meloncat ke dalam gerbong. Hawa dingin AC cukup lumayan ia rasakan untuk menggantikan rasa gerah di badan yang ia rasakan selama menanti di stasiun ini. Gadis itu kemudian menata tas bawaanya. Ia melirik sepintas kursi 8C di sebelahnya masih kosong.
Pukul 09.20 kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Tugu.
Mata gadis itu melihat ke luar. Tiba-tiba matanya melihat di sebelah gerbongnya seorang pemuda berlari-lari mengejar kereta. Ketika ia ingin melihat wajah si pelari itu, ternyata ia telah meloncat memasuki pintu belakang.
Bruk! Huuuhhh......
Citra kaget ketika kursi disebelahnya, 8C sekarang telah berisi. Ia menoleh.
"Oh maaf ... saya mengagetkan Mbak."
"Oh nggak apa-apa, silakan, silakan."
"Mbak Citra ya?"
"Lho, kok tahu?"

"Maaf nggak usah kaget, Mbak Citra temannya Nawang?"
"Nawangwulan? Yang KKN di Kretek bulan lalu?"
"Iya betul. Saya sempat lihat-lihat foto pas KKN, sempat lihat tag teman-temannya juga. Sempat melacak ke IG dan FB-nya juga."
"Mhhh...."
"Kepo ya?"
"Hampir."
"Ah Nawang mah!"
"Mbak dari Cirebon kan?"
"Dikit lagi, ke barat lagi, Majalengka."
"Oooo .... yang ada bandara itu."
"Bandara Kertajati?"
"Iya."
"Waaah .... kapan-kapan pengen nyoba ke Kertajati ah!"
"Mau apa?"
"Main saja. Pengen main ke rumah Teh Citra, boleh ya?"
"Eh...emmm......"
Baru ketemu beberapa menit Citra sama sekali tak merasa canggung dengan teman sebelahnya itu. Mengalir begitu saja. Ia sendiri juga tak habis pikir, kenapa bisa demikian. Mungkin dia pakai hipnotis? Mungkin saja. Tapi gadis itu merasa tak ada gestur hipnotis. Dan ia pernah sedikit belajar tentang ilmu psykologi. Namun memang, obrolan yang dilakukannya seolah menampakkan mereka adalah teman lama.
"Tiga hari lagi saya mau main ke rumah Nawang. Di Sokanegara."
"Oooo ..... mau ke Purwokerto? Mbak Nawang nggak pernah cerita."
"Heheee... cerita apa?"
"Ah enggak.... nggak apa-apa."
"Dikira mau apel ya? Enggak laah Mbak.. Nawang itu masih saudara kok."
"Saudara?"
"Iya, bahkan saudara dekat."
"Oooo...."
"Ibu kami kakak beradik."
"Oooo..."
"Tiga hari mendatang, kata Nawang akan ada acara di rumahnya. Termasuk reuni alumni KKN Kretek. Aku pengen kenalan sama alumni KKN itu."
"Ooooo .... bukannya acara itu sudah dibatalkan Nawang?"
"Dibatalkan?"
"Yang acara di rumah Nawang, terus dilanjut ke Kebun Raya Baturaden?"
"Iya bener itu!"
"Ya Allah.... kan sudah dibatalkan Mas."
"Apa?"
"Mbak Nawang nggak peenah cerita?"
"Dia memang aneh kok, suka bikin kejutan."
Bagi Citra , perjalanan kali ini benar-benar tak terbayang sebelumnya. Semula ia membayangkan bahwa perjalanan Yogya Cirebon akan banyak diam, terpekur, melihat persawahan yang dilewati, atau kawasan-kawasan di belakang perkotaan yang dilewati rel kereta api. Namun tidak, sekarang ada sesuatu yang ia rasakan beda.
Kali ini kereta telah melewati Patikraja.
Beberapa menit kemudian kereta memasuki stasiun Raya Purwokerto. Citra melirik sekilas. Teman seperjalanan yang ada di sampingnya ternyata juga mahasiswa UAD Yogyakarta. Hanya saja pemuda di kampus 5 , dirinya di kampus 3 untuk jurusan Ilmu Hukum.
"Aku turun di sini Mbak Citra ..." kata pemuda itu setelah kereta berhenti di stasiun.
"O iya silakan."
"Nggak nanya namaku ya?" kata pemuda itu tersenyum.
"Ooo hehe enggak ... terima kasih."
"Aku Fauzan!" kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan.
"Fauzi?"
"O bukan Fauzi, aku Fauzan."
"Oooo ... iya ..ya."
"Suatu saat aku bakal sampai Majalengka! Ke rumah Teh Citra!"
"Oh."
Pemuda bernama Fauzan bergegas turun. Citra mengikuti kepergiannya sekilas. Ketika pemuda itu sudah turun dari gerbong, kemudian melambaikan tangan ke arah Citra. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Ketika kereta mulai berjalan kembali melanjutkan perjalanan, Citra mendesah. Ia duduk menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Tak seperti sepanjang perjalanan dari Yogyakarta tadi. Fauzan banyak sekali bercerita tentang apa saja. Tentang kuliahnya, tentang hubungannya dengan Nawangwulan dan sebagainya. Hanya ada satu hal yang tak ia katakan sepanjang perjalanan tadi. Yakni mengenalkan namanya. Makanya ketika turun, pemuda itu mengenalkan namanya. Mungkin pemuda itu ingin ditanya namanya terlebih dahulu oleh Citra, namun tidak.
Citra mengambil HP. Ia membuka WA mencari nama sahabatnya. Nawangwulan.
"Mbak, hari ini perjalananku ke Cirebon terganggu selama dari JK ke Pwt!"
"O lha Teh, si Teteh pasti ketemu pemuda ganteng ya?"
"Lah kok? Mbak tahu ya?"
"Tahu lah, dia duduknya di kursi 8C kan?"
"What?"
"Sudah Teh Citra yang cantiiik, yang cueeek. Nggak usah banyak cerita, aku tahu yang duduk di sebelahmu itu Fauzan, itu saudaraku, saudara dekat."
"Iya, dia juga bilang begitu."
"Kalian sudah kenalan?"
"Kenalan enggak, malah ngerumpi-in Mbak Nawang."
"Apa?"
"Nggak usah kaget laaah Mbak, kayaknya Mbak Nawang menjual berita tentang aku ke saudara Mbak itu ya?"
"Ya nggak sih, cuma pas dia nanya kabarku waktu KKN, dia minta foto-fotoku. Kan di situ ada kita yang samaan. Terusss.... heheee..... dia nanya."
"Nanyain apa?"
"Nanyain teh Citra."
"Apa katanya?"
"Ya lengkap lah, anak mana, namanya siapa, jurusan apa, sudah punya pacar apa belum, lengkap dah pokoknya."
"Astagaaa! Mbak .... kenapa biodataku dibeberkan semua?"
"Aku salah ya? Kan dia cuma lihat foto, terus tanya, ya langsung aku jawab."
"Ada yang gawat Mbak...."
"Apa?"
"Mbak Nawang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi."
"Lho?"
"Jangan-jangan yang ngasih info aku pulang hari ini, dan aku duduk di kursi 8D Mbak Nawang ya?"
"Emmm....."
"Katakan iya Mbak."
"Iya..."
"Sehingga Mas Fauzan bisa beli tiket untuk kursi nomor 8C."
"Iya."
"Itukah mengapa kemarin-kemarin Mbak nanya-nanya tentang nomor kursiku?"
"Iii....iya..."
"Aku off!"

Citra menghela nafas dalam.
Gadis itu mematikan HP-nya. Ia tak ingin lagi melihat seperti apa respon sahabatnya se-KKN-an itu.
Informasi dari Nawangwulan sangat tidak mengenakkan. Ia merasa privacy-nya dilanggar. Untuk urusan berbaikan lagi bisa saja, tapi untuk liburan kali ini tidak. Ia ingin liburan harus fresh.

***
Ada tiga bersahabat. Citra, Alifia dan Arul. Ketiganya memiliki sebuah komitmen yang cukup unik. Selepas SMA, setiap hari minggu di minggu terakhir akhir tahun harus bertemu  almamater SMA Negeri 1 Majalengka. Waktunya sekitar pukul sepuluh pagi.
Ini adalah pertemuan akhir tahun keempat, di mana ketiganya telah menduduki tahun terakhir di jenjang sarjananya. Alifia dan Fahrul kuliah di Bandung, sedangkan Citra di Yogyakarta, cukup jauh dari Majalengka.
Dari pukul setengah sepuluh pagi Citra telah duduk di bangku taman sekolah. Kehadirannya sebagai salah seorang alumnus hampir tak bisa dibedakan dengan orang lain. Setiap hari Minggu almamaternya itu digunakan untuk tempat belajar mahasiswa UT.
"Hallo mahasiswa UT!"
Tiba-tiba terdengar suara menyapa di belakangnya. Citra kaget. Gadis itu berdiri dan membalikkan badannya.
"Fiaaaa!!"
"Citraaaa!!"
Kedua gadis itu berpelukan hingga beberapa lama. Setelah puas berpelukan, Citra mengguncang-guncang kedua pundak Alifia.
"Mana Arul?" tanyanya antusias.
"Biasa, hunting!"
"Astaghfirullah ..... si kasep itu ya, bener-bener pengen jadi fotografer. Hunting kemana dia? Panyaweuyan? Para-land? Atau?"
"Nggak jauh, dia hunting di Smansa kok!"
"Hah? Di Smansa? Smansa sini?"
"Iya!"
"Di mana?"
"Tuuuuhhhh!" kata Alifia sambil menunjuk ke arah seorang pemuda yang duduk di bangku taman yang lain dengan jarak sekitar dua puluh meteran.
Citra kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan.
Ia melihat Arul masih tetap mengarahkan kamera DSLR-nya ke arahnya. Gadis itu kesal. Citra berlari ke arah Arul. Setelah dekat lengan pemuda itu dicubitnya berulang-ulang.
"Aduuuh.... ampun Citraaa.... ampuuun!"
"Ampun apa?"
"Ampun nasuha!"
"Huih! Nasuha mah taubatan! Tadi hunting apa sih? Aku dijadikan obyek ya?"
"Mumpung menemukan momen yang alamiah. Lucu. Dramatis, dua sahabat pelukan. Dan ada gambar kamu yang lucu! Ketika menoleh ke sini, wuiiih ....."
"Wuih apanya?"
"Keur olohok."
"Fahruuuul! Jahat!"
Siang itu ketiga sahabat saling bercerita tentang pengalaman masing-masing. Banyak sekali informasi yang saling mereka peroleh. Maklum, komitmen memang sangat teguh dijalankan.
"Citra ..... sebentar lagi aku lulus S1, Insya Allah lulus lah."
"Iya, aku doakan semoga lancar."
"Ni yang di sebelahku Insaya Allah juga lulus."
"Iya, aku doakan semoga lancar Rul."
"Dan yang paling penting, doakan nanti Rayagung akan menjadi catatan sejarah kami." kata Alifia sambil tersenyum. Citra terbelalak. Ditatapnya Alifia dan Arul berganti-ganti.
"Kalian nikah?"
"Insya Allah ...."
"Alhamdulillaaaaah .... Fia, ikut seneng..... Fiaaa...." kata Citra seraya memeluk sahabatnya.
Citra mengamati Fia hampir tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Ia mencoba tersenyum. Bibirnya dikatubkan untuk menahan rasa yang bergejolak.
"Kamu kenapa Cit?"
"Nggak .... nggak kenapa-kenapa."
"Citra, maafkan kami. Aku dan Arul duluan ...."
"Kalian nikah muda?"
"Insya Allah mental kami siap. Menikah lebih terhormat dibanding  ha-te-es."
"Iyalah pasti. Dulu memang kalian ha-te-es?"
"Nggak juga, cuma jauh-jauhan saja. Eh lama-lama kepikiran juga kenapa nggak nikah saja. Begitu lulus langsung nikah. Rejeki ada yang mengatur Cit...."
"Iya ya ...."
"Mmmm... Citra, maaf ya, maaaf banget. Boleh aku nanya sesuatu?" kata Alifia ragu.
"Prive ya?"
"Ya sih. Tapi nggak apa-apa kalau kamu tidak berkenan."
"Hmh ...."
"Arul pergi dulu gitu Cit?"
"Nggak usah lah .... Nggak ada gunanya."
"Maksudmu?"
"Arul menjauh. Ntar bubaran ini, kamu pasti crita sama Arul. Eh, ini mau tanya apa sih?"
"Aaah benar juga Cit, pasti aku bakal cerita ke Arul. Ya sudah, Arul di sini saja. Emmmm....."
"Ayolah jangan ragu!" kata Citra. Kini wajahnya ceria.
"Mmm oke! Citra, apakah akhir-akhir ini Fauzi menghubungimu lagi?"
"Ooooo dia ...."
"Ya, Fauzi."
"Mungkin dia sudah patah arang. Sejak kita lulus, ya sudah. Prinsip dia dengan prinsipku berbeda. Seperti pertemuan kita tahun-tahun kemarin juga, nggak ada kabar."
"Intinya kalian putus beneran?" tanya Alifia meyakinkan.
"Iiih putus apaan. Nyambung juga belum."
"Emmm Citra, maaf ya. Ini sekali lagi bukan kami memasuki wilayah privacy-mu terlalu dalam, tapi ini menyangkut kami juga."
"Fia, Arul.... bebaslah dengan aku. Kalian sudah hafal watakku kan?"
"Iya."
"Ayolah, mau tanya apa, aku ladenin! Heheee!"
"Ah kamu mah, dari jaman SMA begitu. Kepedean banget."
"Bukan kepedean kali! Ini sumber motivasi. Kalau nggak ngomong kayak gini, ntar jadi mlempem!"
"Oke? Emmm gini Cit, kamu di Yogya punya pacar nggak?"
Citra tertawa terkekeh mendengar pertanyaan sahabatnya. Alifia penasaran.
"Kalau punya gimana?"
"Berarti punya?" tanya Alifia berbalik.
"Kalau tidak punya?" tanya Citra.
"Astaghfirullah ...... kamu ya Cit, gitu deh! Nyerah ah!"
"Fia, aku masih ingin konsen belajar. Aku ingin punya ilmu dulu. Punya pengetahuan, punya kompetensi di bidang hukum. Mumpung aku masih muda, pikiranku masih satu, belum bercabang-cabang,"
"Itu artinya kamu masih sendirian."
"Yaaah .... memang begitu adanya."
"Jangan-jangan .... mmm... jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan kamu masih mengharapkan Fauzi."
"Hmh..... biarkan saja Fia, mengharapkan atau tidak, kalau memang ditakdirkan bertemu dan berjodoh, ya pasti akan bareng lagi."
"Artinya kamu mau bertemu?"
"Saat ini nggak!"
"Lho?"
"Aku sedang menikmati kuliah dulu. Setelah lulus S1 ini, aku mau lanjut S2 dulu!"
"Citra! Kamu bakal tua di perkuliahan!"
"Ya enggak laaah! Berapa sih paling bedanya dengan yang lulus S1? Hanya empat semester kok!"
"Kamu nekad Cit!"
"Bukan nekad Fia, tapi ekspetatif. Siapa tahu setelah lulus S2 malah aku berfikir jadi dosen!"
"Aduuuh Citraaaaa......"
"Maafkan aku Citra, mudah-mudahan keinginanmu itu terkabul. Tapi maaf, mudah-mudahan niatmu itu bukan karena kamu frustasi, karena pelarian ....."
"Fia, kalau yang ngomong bukan kamu, aku marah!"
"Marahlah Cit, kalau memang itu perlu. Dan kalau memang kamu bercita-cita tinggi itu karena pelarian."
"Kamu salah besar Fia, juga Arul, kamu jadi saksi. Aku bercita-cita tinggi bukan karena orang lain. Dan mungkin yang kau maksud orang itu adalah Fauzi. Iya kan?"
Wajah Alifia memerah.
Apa yang dikatakan Citra benar. Gadis itu melihat ke arah Arul. Pemuda itu hanya menggeleng.
"Citra .... maafkan Fia, dulu aku lah yang mengatakan bahwa Fauzi ingin kenalan sama kamu, padahal dia tidak ngomong apa-apa."
"Oh... ya, fakta itu."
"Citra, maafkan juga Arul. Dulu akulah yang mengatakan ke Fauzi bahwa kamu ingin dekat dengan dia, padahal kamu tidak ngomong apa-apa."
"Hmhhh.... itu sejarah Aruuul, Fiaaaa..... jalan orang jadi kenal itu bermacam-macam. Kalau akhirnya awalnya sedikit diboongin, ya nggak apa-apa laah. Toh akhirnya aku dulu juga pernah suka sama Fauzi. Dan dia juga kayaknya suka sama aku. Hanya beda prinsip, kalau akhirnya harus bubar jalan ya sudah! Tapi kalau memang takdir berkata lain, ya tinggal diikuti."
"Jadi kamu nggak marah ke kami?"
"Ya nggak lah."
Hari itu banyak yang yanag didapatkan Citra.
Dua sahabat yang dulu telah mempertemukan dirinya dengan Fauzi, kini hampir menikah. Gadis itu mendesah. Ia pandangi sekeliling. Aula sekolah. Kantin. Ruang kelas. Masjid. Taman. Lapangan basket. Lapangan upacara. Semua tempat itu begitu indah. Dirinya pernah berjalan di semua tempat itu, dan Fauzi juga.
Sayang sekali mereka tak sejalan dalam prinsip, persahabatan mereka berdua tak berlangsung lancar. Ketika lulus SMA, masing-masing jalan dengan cita-cita sendiri. Citra kuliah di Yogyakarta, Fauzi kuliah di Bandung.
***

Di tahu keenam setelah SMA, Citra masih bertahan di Yogyakarta.
Program S2-nya telah dijalaninya selama tiga semester dengan IP yang memuaskan. Di saat-saat senggang, usai mengerjakan tugas yang selalu banyak, pikirannya kadang melambung, melayang, kemudian jauh kembali ke SMA.
Fauzi. Ya Fauzi.
Dulu, Citra mengenalnya karena "dijebak" oleh kedua temannya, Fia dan Arul. Fia mengatakan ke Fauzi bahwa Citra ingin kenalan. Padahal dirinya sama sekali tak memiliki keinginan apa-apa. Tapi ia juga maklum, Fia orangnya suka bercanda. Sementara itu Arul mengatakan kepada Citra, bahwa Fauzi ingin berkenalan.
Hari Jumat pagi.
"Citra ... kalau semester ini nilai kamu bagus, aku akan traktir kamu."
"Iiih kayak nadzar saja!"
"Hehe!"
"Mau aku beritahu nggak Zi?"
"Apa?"
"Mau nraktir saja pakai syarat, itu namanya peee-liiiit!"
"Hahaha! Ya nggak lah .. itu namanya memotivasi!"
"Emmm ... tapi beneran nih?"
"Iya."
"Traktir apa coba?"
"Ayam cobek, goreng ati ayam pedas ala Mang Edi!"
"Apa?"
"Apa kenapa?"
"Kenapa harus ati ayam?"
"Ini hasil studi yang cukup panjang."
"Maksudnya?"
"Aku yakin, kesukaan Citra adalah goreng ati ayam cobek di kantin Mang Edi."
"Ah nggak lucu ah!"
"Masih nggak percaya .... coba tanyakan saja pada Bu Edi."
"Bener nih?" tanya Citra menantang.
"Yaah!"
"Awas ya ntar istirahat kedua aku tanyakan...."
"Sekarang juga boleh."
"Kamu nggak bohong?"
Karena penasaran, akhirnya Citra benar-benar menanyakan kepada istri Mang Edi. Sementara dari jauh Fauzi tersenyum melihat sahabatnya itu menuju ke kantin Mang Edi.
"Punten Bu ....."
"Eh Neng Citra, mau makan ya?"
"Enggak kok Bu, nanti saja."
"Oooo..."
"Sekarang mau nanya dulu. Boleh nggak?"
"Nanya apa Neng?"
"Bu mau tanya nih, sepengamatan Ibu, adakah orang yang sering menanyakan aku suka makan apa di sini?"
"Oooo .... ada ... "
"Ada?"
"Iya ada, anak laki-laki. Hmh namanya siapa ya? Lupa-lupa ingat."
"Uzi ya Bu?"
"Lupa, padahal kadang-kadang pakai baju OSIS ada namanya. Tadi kalau gak salah jalan bareng Neng Citra kok!"
"Tadi Bu?"
"Iya, tadi .... waktu di depan ini. Dari kopgur atau dari kantor!"
"Yakin tadi ya Bu?"
"Iya, iya...."
"Yaudah Bu... terima kasih ya...."
Usai menanyakan Citra kembali ke tempat semula. Namun ia kecewa ketika Fauzi sudah nggak ada di tempat semula. Akhirnya dengan menghela nafas dalam gadis itu bergegas ke kelas. Namun hati gadis itu merasa senang sebab ia berkesimpulan bahwa yang sering menanyakan kesukaan makannya di kantin Mang Edi memang Fauzi. Dan yang paling ia rasakan senang sekali adalah sebab pernyataan Fauzi benar. Ia paling suka jika makan nasi, dengan goreng ati ayamnya Mang Edi.
Pukul dua siang usai sekolah.
Citra mencari-cari Fauzi. Namun yang ia cari tak ia temukan. Kelasnya sudah kosong. Di tempat parkiranpun tak tampak.
Ting! Ada notifikasi WA. Fauziii...., gumam Citra ketika melihat siapa yang men-japrinya.
"Citra sudah puas kan? Gak penasaran lagi? Itulah warung Mang Edi, tempat aku belajar mencari fakta dan data."
"Ih kamunya kemana tadi."
"Maaf, aku buru-buru. Ini juga sudah nyampai di rumah. Persiapan besok."
"Mau ke mana?"
"Touring!"
"Ya ampun Fauzi .... ini sudah semester lima. Sesekali cobalah buat alasan dengan komunitasmu itu, sesekali nggak usah ikut."
"Tapi asyik Citra... ya kaya kamu punya hobby lah!"
"Ya tapi hobbyku kan nggak seekstrim hobbymu, makan tenaga, makan pikiran, konsentrasi, bensin, siaa tahu tiba-tiba hujan lebat di jalan. Sakit dan lain-lain ....."
"Nantilah kalau sudah lulus SMA."
"Huh!"
"Eh Cit, btw, tadi bu Edi ngomong apa?"
"Iya... kamunya yang suka nanyain aku suka apa ke bu Edi. Ngapain sih?"
"Ya ingin tahu saja .... siapa tahu nanti, suatu saat Citra nanya, Pah kita makan di luar yok! Makan ati ayam goreng, naah nanti kan aku bisa bawa Mamah ke restoran manaaaa gituuuh!"
"Mengkhayaaal!"
"Citra, cita-cita itu semua berawal dari khayalan lho! Aminin dong!"

Teh Citraaaa! Melamun ya!
Mendadak gadis itu terhenyak kaget. Semua lamunannya tentang Fauzi buyar. Ia melihat Nawangwulan telah duduk di sampingnya.
"Aaa .. ada apa Mbak?" tanya Citra sambil masih belum hilang kagetnya.
"Teteh melamun ya? Lagi terkenang ya?"
"Terkenang apaan sih."
"Heheee... barangkali saja."
"Aaah bisa saja ngarang cerita."
"Sejak S1 Teteh kok kayaknya lempeng-lempeng saja."
"Maksudnya?"
"Biasanya yang lain kan berdua."
"Hihihiii..! Apaan si Mbak mah!"
"Kalau ada yang mau ngajakin berdua mau nggak?"
"Hehee...."
"Kalau jadi saudaraku mau nggak?"
"Heheee...."
"Apaan sih kok hihi sama hehe saja!"
"Hihihii... eh salah! Saudara Mbak Nawang maksudnya?"
"Ya, saudaraku. Saudara sepupu."
"Mas Fauzan?"
"Iya laaah!"
"Nggak tahu Mbak."
"Tunggu kejutannya ya?"
Citra mendesah dalam. Ia ingat, Fauzan, saudara sepupu Nawang yang selalu berusaha dengan segala upaya mendekati dirinya. Gadis itu ingat, kira-kira mulai tahun terakhir ketika menempuh S1. Namun untuk urusan yang satu ini, tampaknya memang hati yang berbicara.
Kuliah hampir enam tahun di Yogyakarta membawa dirinya banyak teman dan sahabat dari kota pelajar ini. Banyak pula sahabat yang lumayan karib. Teman satu kelompok, teman satu grup penelitian, teman satu grup pengabdian masyarakat dan sebagainya. Kedekatan dia dengan teman laki-laki juga banyak. Namun tak ada satupun yang memberikan daya tarik bagi hatinya.
"Witing tresna jalaran saka kulina!"
Demikian suatu kali Nawang pernah memberikan gambarang tentang salah satu isi budaya yang dikemas dalam unen-unen basa Jawa
"Artinya apa Mbak?"
"Cinta itu akan tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bareng misalnya ...."
"Ooooo...."
"Kalau witing tresna jalaran saka kepeksa apa artinya Mbak?"
"Haha itu mah Teh Citra yang ngarang sendiri ya? Itu artinya, cinta itu akan tumbuh karena terpaksa. Siapa yang ngomong begitu?"
"Teman sekamar kosan."
"Ooo kenapa rupanya?"
"Dia nikah karena tidak disengaja. Katanya karena kepeksa-nya itu."
"Naudzubillah! Ih ngeri! Jangan sampai laaaah....."
"Oke, bener setuju itu Mbak!"
***

Pagi pukul 09.09. Pantai Jatimalang, Purworejo.
Citra sendirian di dangau pinggir pantai Jatimalang. Sebuah spot wisata yang menyajikan deburan ombak yang cukup besar. Memang sangat disayangkan, jika wisata demikian, maka tak ada pengunjung yang main simbur-simburan air. Paling hanya sekedar berdiri di pantai, selfi, kemudian lari ketika ombak datang menghantam hamparan pasir ke pinggir. Tapi, inilah tempat yang diminta Citra.
Citra membuka WA dari orang tuanya.
"Apakah usahanya yang tak kenal lelah akan tetap terabaikan?Ia datang seminggu lalu, hanya sepuluh menit. Sama seperti tahun-tahun dulu, ia selalu mencegatmu di akhir tahun. Kosong. Tapi ia tampak tak pernah jemu. "
Gadis itu mendesah. WA dari ayahnya bernada sastra. Ia tersenyum.
Matanya menerawang ke lautan lepas yang masih diliputi kabut tipis hingga menyamarkan kaki langit bersentuhan dengan garis laut. Gelombang besar berulangkali menghempas pantai. Cukup besar dengan awalan gulungan alun yang tinggi.
Oh! Tiba-tiba Citra terhenyak.
Ia melihat sebuah perahu nelayan terombang-ambing ketika berusaha mendekati daratan. Berkali-kali sang nelayan berusaha menaklukkan gelombang yang tinggi, namun sering sekali gagal. Bahkan dari kejauhan perahu itu tampak seperti ditelan ombak, kemudian muncul lagi, berbalik arah, diarahkan lagi ke pantai.
Yess!!!
Tiba-tiba gadis itu berteriak sambil mengepalkan tangan ketika ia kemudian melihat perjuangan sang nelayan berhasil mengatasi alun dan ombak kemudian menyusur pasir pantai.
Citra memandangi perahu yang kemudian menepi dengan dibantu oleh beberapa orang untuk menambatkan perahu agak jauh ke daratan.
"Itu seperti perjuanganku ....."
Tiba-tiba gadis itu kaget mendengar ada suara di belakangnya. Ia menoleh.
Ia melihat seorang pemuda sedang berdiri mengamati laut dengan satu tangannya berpegangan pada tiang dangau. Demi melihat lebih seksama lagi, jantungnya berdetak cepat.
"Ffff....fff......" bibir Citra bergetar kesulitan hendak mengeja kata.
"Fa-u-zi." kata pemuda itu pelan sambil tersenyum
"Fauzi?" mata Citra terbelalak melihat siapa yang berdiri di depannya.
"Citra .... kamu masih mengenali aku?"
"Mmm...mmm.."
"Ma-sih."
"Iii.. iya  masih, masih."
"Minum dulu ...... Citra... biar tenang." kata Fauzi seraya mengeluarkan dua botol air mineral. Yang satu diberikan kepada Citra, yang satu dibukanya sendiri.
Gadis itu menurut saja meminum pemberian Fauzi. Namun memang benar, kini ia merasa benar-benar tenang.
"Terima kasih.."
"Citra ...." kata Fauzi seraya mengulurkan telapak tangan mengajak salaman. Gadis itu menerima uluran tangan Fauzi. Ia mersaakan tangan pemuda itu bergetar.
"Aku nggak nyangka."
"Apa?"
"Tempat sejauh ini bakal nyampai."
"Aku suka tantangan. Aku ke sini juga memenuhi tantanganmu Citra. WA-mu galak sekali." kata Fauzi sambil tertawa,
"Galak gimana?"
"Kamu hanya sebutkan aku suruh temui kamu di pantai Jatimalang. Paling bilang dikit lokasi, kulon Yogya gitu. Yogyakarta itu luas banget Citraa..."
"Tapi sampai ke sini kan?"
"Hehehe... itu berarti aku serius. Ada yang nggak terbendung."
"Apa?"
"Kangen."
"Iiih!"
"Apalagi juga pengen lihat senyum kamu kayak sekarang ini, sudah dewasa, sudah S2."
"Hehee... lupakan itu lah! Terus nyampai ke sini tanya-tanya?" kata Citra mengalhkan pembicaraan,
"Google Maps."
"Pasti menyusuri jalan Daendeles?"
"Ya."
"Langsung dari Bandung?"
"Nggak. Semalam aku tidur di rumah temanku, di kosan temanku yang kuliah di Unsoed. Tadi pagi barulah lanjut perjalanan."
"Ooo ...Fauzi... emmmm... sehat?"tanya Citra sambil tersenyum.
Gadis itu sebenarnya sangat heran dengan dirinya sendiri untuk tidak menahan senyum. Mungkin karena bahagia. Atau mungkin yang lain.
"Alhamdulillah sehat. Citra sehat juga kan?"
"Alhamdulillah."
"Kok senyum terus?"
"Iiiih apaan sih! Memang nggak boleh."
"Ada yang nggak berubah."
"Apanya?"
"Senyumnya."
"Ada juga yang lain yang juga nggak berubah."
"Apanya?"
"Ngangeninya..."
"Aah ngaco ah!"
"Citra, kalau bukan karena kangen, buat apa aku jauh-jauh dari Bandung, nginep di Purwokerto, menyusuri tempat yang tidak aku kenal. Jalan Daendeles? Jatimalang? Untung beneran aku menemukan anak yang hilang, yang melarikan diri ke Yogyakarta."
"Aaah ..."
"Memangnya ayah bilang apa ketika aku datang minggu lalu?"
"Ooohh.. itu, sederhana sih. Apakah usahanya yang tak kenal lelah akan tetap terabaikan?"
"Bener. Ayah bener. Usahaku tak mengenal lelah. Juga caraku, yang itung-itung bernostalgia hobby lama."
"Cara yang mana?"
"Touring."
"Jadi? Kamu ke sini ..... mmmm...."
"Motor."
"Ya Allah ... capek atuuh! Vespa?"
"Bukan. CBR sih."
"Vespanya?"
"Kesibukan kuliahku di S2 kayaknya lebih memaksaku memilih off dari komunitas. Syukur mereka maklum dengan keputusanku sih. Tapi persahabatan dengan anak-anak tetap jalan. Aku ketemu mereka ya jarang sih, paling kalau pulang ke Majalengka. Barulah berbagi cerita."
Inilah yang dulu diharapkan Citra.
Gadis ini sebenarnya tidak antipati kepada komunitasnya, tapi justru kepada model kegiatan semacam touring. Kadang-kadang karena merasa gagah dan kuat, karena kemudaan, mereka menantang lengah dengan turing tanpa jaket. Jika sakit? Itulah yang ditakuti Citra.
Juga sementara ini penilaian masyarakat minor terhadap komunitas yang diikuti Fauzi. Orang tuanya sendiri mengijinkan. Artinya ada pengawasan juga. Tentu, tidak selamanya komunitas itu jelek. Itu kadang pandangan sekilas dari mereka yang belum atau tidak memahami apa yang ada di dalamnya.
"Aku harap kamu off bukan karena aku." kata Citra sambil memandang lautan lepas.
"Enggak. Jangan merasa aku memutuskan mengurangi kesenanganku karena kamu Citra. Tapi, paling tidak kalau kamu ngomong ... dulu tapi ngomongnya, Fauzi ... jaga kesehatan. Pakai jaket. Jangan sakit ya ... heheee... aku suka juga."
"Memang aku suka gitu ya? Protected banget ya?."
"Dikit sih hehe. Tapi suka kok. Iya, suka dinasehatin."
"Masih suka nge-game?"
"Alhamdulillah sudah sadar kok Cit. Baru diberi kesadaran bahwa ngegame itu hanya berintiraksi dengan dunia maya. Apalagi aku punya teman di S2, jagoan waktu di S1-nya, sekarang dia ketagihan. Kuliahnya berantakan. Sepele kan? Hanya karena sesuatu yang maya."
"Syukurlah kalau kamu sudah sadar Zi."
"Dulu aku kuliah di S1 dengan susah payah Cit, mengatasi rasa nggak pe-de, pesimistis dan sebagainya. Nggak kaya kamu Citra."
"Kaya aku? Apanya?"
"Cling!"
"Aaahh norak ah!"
"Iya bener, ada satu hal kecil yang bisa membuatku berubah besar."
"Apa?"
"Gambar yang kamu berikan ke aku, dulu waktu kamu dapet hadiah buku karena nilai PAS matematikamu bagus. Niih .... tunggu ..... "
Beberapa saat kemudian Fauzi mengaktifkan tabulet-nya. Citra tersenyum. Ia memastikan gambar yang dulu pernah diminta Fauzi, kini mau diperlihatkan lagi.
"Naaahhhh........ ini."
"Iya, syukurlah. Apa sih motivasinya?" tanya Citra yang sudah menduga gambar itulah yang dulu digunakan dirinya untuk memanas-manasi Fauzi agar berprestasi.
"Hehe iya, aku ingat kata-kata gadis di tabulet ini, gini ... tetep semangat mengejar cita-cita. Jangan pernah nyerah,  jangan pernah ngerasa rendah diri atau minder. Yakinlah, karena setiap orang pasti punya bakat."
"Terima kasih nasehatku masih dipakai. Ada buktinya nggak?"
"Heheee ya ada laah! Buktinya sekarang aku S2 Ekonomi."
"Apa lagi?"
"Aku punya mimpi jadi pengusaha. Tapi entah di bidang apa nanti, tergantung peluang."
"Apa lagi?"
"Tetap semangat mengejar cita-cita."
"Yang tadi itu bukan cita-cita?"
"Iya, itu cita-cita dalam penghidupan. Ini cita-cita yang lain."
"Terus cita-cita yang lain apa?"
"Citra ....."
"Ya."
"Aku bercita-cita ..... emmmh.... mmm..."
"Apa?"
"Memiliki senyum Citra untuk selamanya ...."
Wajah gadis itu memerah. Bibirnya terkatub.
Ia arahkan pandangannya ke laut lepas. Angin yang kencang masih bertiup keras. Sesekali ujung kerudungnya terkibas menutupi wajahnya. Beberapa kali pula ia memperbaikinya.
Fauzi memandang laut lepas juga. Keduanya diam.
"Laut yang luas ...... aku tahu, selama kita di SMA banyak hal yang membuat kita tak sepaham. Citra ...."
"Ya...." Kata gadis itu tanpa menoleh.
"Fauzi yakin hati kamu seluas lautan untuk menerima permintaan maafku."
"Nggak ada yang perlu dimaafkan."
"Dulu kamu seperti marah, aku memang banyak tak menuruti keinginanmu. Nasehatmu. Aku ingin ishlah, beberapa kali pas liburan aku tunggu, kamu selalu menghindar. Nomor HP diganti, kaya ayah, kamu nggak mau nomor itu diberikan ke aku. Selalu kamu katakan kita beda prinsip. Juga ketika acara Graduation Smansa 2018. Aku pengen perpisahan sekolah kita itu indah ...."
"Ya biarlah ... itu dulu....."
"Sekarang sudah berbeda Citra?"
"Hmhh... mungkin."
Citra menoleh. Fauzi menatapnya sejenak. Gadis itu mengulurkan tangannya meminta tabulet yang ada di tangan Fauzi. Fauzi menyerahkannya.
"Kita itu lucu, kadang-kadang sok-sokan saling beri nasehat."
"Ya nggak sok-sokan lah Cit, nyatanya? Semua terbukti."
"Aku terima kasih nasehatmu juga Zi."
"Oooo iya."
"Kamu pernah bilang, sekolah itu, nilai ngga harus dikejar. Tapi perlu sih. Yang harus dikejar itu ilmu , ilmu yang menjadi milik kita. Ilmu yang memang bermakna. Peringkat nggak terlalu penting, kalau sekelas terkecil rata-rata 89? Bagus nggak? Bagus. Walaupun peringkat terakhir dia."
"Kamu masih ingat Citra?"
"Ya masih laaah. Itulah mengapa aku tak pedulu peringkat. Dan nyatanya di perguruan tinggi nggak ada yang membahas peringkat. Inilah yang mendorongku mantap ikut S2 setelah S1 dulu itu."
"Aahahaa..... nggak nyangka Citra.. Citra..."
"Memang begitulah aku Zi, kalau yang nasehatin orang yang aku cintai .. aku selalu ingat."
"Iyaa terima kasih Citra... kamu mencintai aku. Aku juga mencintai Citra..."
"Heh? Apaan sih?"
"Apaan apanya?"
"Siapa bilang aku mencintai kamu?"
"Lho? Kan kamu yang ngomong sendiri. Baru saja!"
"Enak saja!"
"Citraaaa..... kamu nggak sadar apa yang kamu omongkan?"
"Zi?"
Citra seperti orang bingung. Fauzi meminta tabuletnya. Gadis itu lebih kaget lagi ketika tiba-tiba Fauzi memintanya diam dulu, karena ia akan memperdengarkan rekanman dari tabulet-nya. Ia tidak sadar ketika tabulet itu sudah sejak tadi diaktifkan mode rekam-nya.
"Memang begitulah aku Zi, kalau yang nasehatin orang yang aku cintai .. aku selalu ingat."
"Memang begitulah aku Zi, kalau yang nasehatin orang yang aku cintai .. aku selalu ingat."
"Memang begitulah aku Zi, kalau yang nasehatin orang yang aku cintai .. aku selalu ingat."

Wajah Citra memerah.
Ia baru sadar bahwa tadi ia mengatakan kalimat itu tidak dalam keadaan sadar. Refleks saja. Gadis itu menelungkupkan wajahnya. Ia benar-benar telah membuka isi hatinya tanpa terasa. Sementara itu Fauzi yang berdiri di dekatnya tak bisa menahan senyum bahagianya.
Hingga lama Citra tertelungkup.
"Citra ..... ayo sini, lihat sini...."
"Nggak mauuu....."
"Kenapa?"
"Maluuu..... maafkan Citra Zi."
"Nggak ada yang perlu dimaafkan. Justru saat inilah aku yakin apa yang Citra ucapkan tanpa kebohongan. Tidak dengan logika .... tapi dengan naluri. Forever ya Citra ....."
Cukup lama Fauzi menunggu Citra yang masih menelungkupkan wajahnya. Ia maklum. Tentu gadis itu sangat malu. Namun setelah beberapa saat Citra bisa menguasai diri, Fauzi mengajaknya pergi.
Keduanya berjalan meninggalkan pantai. Sa,pai di perempatan parkiran, Fauzi mengajak ke arah sebuah rumah makan. 
Siang itu keduanya makan siang bersama di Warung Yu Yem. Sebuah rumah makan yang berada di dekat pasar pelelangan ikan laut. Pemuda itu ingin memberi kejutan kepada Citra.
"Makanlah, semuanya sudah kupesan ... semua aku hadiahkan untuk Citra yang telah mengundangku ke pantai Jatimalang." kata Fauzi sambil meminta Citra membuka tudung saji.
Terbayang dalam benak Citra, bawal balado, tenggiri geprek, kepiting seuhah, cakalang bakar, dan segala jenis seafood lainnya. Perlahan gadis itu membuka tudung saji. Namun ketika tudung saji terbuka, ia merenung sejenak, kemudian terbelalak.
"Uzi? Apa ini?" tanya Citra heran.
"Ayam cobek, dengan sajian khusus ati ayam pedas."
"Oooooh ....."
"Semua adalah kesukaan gadis di depanku ini.."
"Fauziiii....."
Bibir Citra terkatub. Mata gadis itu terasa panas. Fauzi melihat air mata mengembang. Citra menggeleng. Ia mengelap air mata yang  mengembang dengan punggung tangannya.
"Citra suka?"
"Ya, ini makanan favoritku. Tapi juga aku tak habis pikir."
"Kenapa?"
"Ini warung seafood."
"Memang nggak boleh menjual ayam cobek dengan sajian utama ati goreng pedas?"
"Fauziiii..... aah, jadi ingat di kantin sekolah lah!"
Fauzi berbinar wajahnya melihat Citra begitu terbawa perasaanya.
Sejurus kemudian ia memanggil Mbak pramusaji warung.
"Iya Mas? Ada apa?" tanya pramusaji tersebut sambil mendekat.
"Ini yang butuh penjelasan." kata Fauzi smabil menunjuk Citra.
"Oooohh... iya...iya......" Mbak pramusaji itu tersenyum memahami apa yang diharapkan Fauzi. Citra mengernyitkan dahi menunjukkan ketidakmengertiannya.
"Ada apa sih Mbak?" tanya Citra kepada pramusaji.
"Ini... Mas ini ceritanya tadi pagi-pagi sekali datang ke warung ini. Si Mas-nya ini menanyakan masakan ayam. Terus terang ayam nggak akan ditemukan menunya  itu di sini. Akhirnya si Mas-nya memesan kepada kami secara khusus untuk disiapkan menu yang ini niiih...."
"Fauzi...."
"Ini ayamnya khusus Mbak, ayam kemanggang, ayam kampung. Mas-nya itu pesen kami menyembelih lima ekor sekaligus. Kenapa lima ekor? Yang penting bagi si Mas-nya adalah hati ayamnya. Karena butuh lima, ya kami harus menyembelih lima ekor. Naah inilah....... ini sesuai pesanan. Katanya ada sahabatnya yang sukaaaaa banget dengan masakan ayam cobek ati pedas. Jadi Mbak ini orangnya ya?"
"Ooh iya ... iya saya memang suka."
"Selamat menikmati ya Mbak .... permisi.... "
Sepeninggal pramusaji. Citra terdiam.
Gadis itu sama sekali tak menyangka Fauzi bakal memberinya kejutan semacam itu. Ia melihat Fauzi yang terus menerus tak bisa menahan senyumnya.
"Terim kasih sajian khususnya Zi."
"Makanan kesukaan Citra yang tak pernah aku lupakan."
"Ziiii...."
"Ya?"
"Dengan Jadi kamu datang ke sini sejak tadi pagi?"
"Ya. Jam enam pagi aku sebenarnya sudah sampai sini. Aku nyubuh dari Purwokerto. Tadi pagi, aku juga sebenarnya lihat Citra pas turun dari taxi Yogya itu."
"Uziiiiii....."
"Untuk Citra, Fauzi tak ingin terlambat sedikitpun."
Hari itu benar-benar telah terjadi ishlah. Dulu keduanya berpisah di akhir SMA dengan emosi anak-anak tanggung. Kini tak lagi. Hari itu Citra benar-benar telah diingatkan banyak hal kecil oleh Fauzi, tetapi bermakna besar baginya.
***

Suatu kali di rumah Citra.
Pagi itu tampaknya merupakan hari yang ceria. Seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Tampak di antara keluarga itu Fauzi yang duduk di kursi teras. Dari dalam keluar Citra dengan membawa minuman dan makanan kecil.
"Acara jam berapa?"
"Tergantung yang ulang tahun. Kalau mamah maunya sekarang ya kita mulai..."
"Oh iya... iya.."
Biim! Biiim!
Keduanya kaget ketika dari jalan depan gerbang ada suara klakson mobil. Citra berdiri untuk melihat siapa yanag kelar dari mobil.
"Mbak Nawaaang!" gadis itu itu tiba-tiba berteriak demi melihat siapa yang keluar dari mobil.
Citra menghambur. Nawang yang baru datang juga bergegas. Keduanya berpelukan hingga beberapa saat.
"Sehat Mbak? Makin cantik saja Mbak Nawaang..... aduuuh ......"
"Teh Citra juga, semakin cantik. Setelah lulus dari Yogya mempercantik diri ya?"
"Aaahhhh canda Mbak Nawang kaya waktu kita KKN saja. Mempercantik diri. Ikut masak bu Lurah di dapur, belepotan jelaga kayu bakar,  katanya juga mempercantik diri!"
"Hehehe......"
"Janjinya ditepati. Nyampai juga ke Majalengka."
"Aku kalau sudah janji, sulit mengingkari."
"Toooppp! Itu yang aku suka dari Mbak!"
"Hehee...."
"Siapa yang nyetir? Calonnya ya?"
"Calon apa? Lihat sendiri tuuuuuh.....!"
Nawangwulan menunjuk ke arah pemuda yang baru turun dari arah pintu sopir. Demi melihat siapa yang turun, Citra terhenyak.
"Mas Fauzan?"
"Iya. Dia sepupu yang seprinsip dengan aku, kalau sudah janji sulit diingkari."
"Oooo....."
"Katanya dia pernah mengatakan mau main ke Majalengka ya? Ke rumah Teh Citra? Benar?"
"Iii... iya .. tapi dulu banget, waktu satu kereta. Memang Mas Uzan pernah bilang begitu."
"Hari ini dia tunaikan janjinya."
"Oooh..... jadi dia beneran ...."
Hari itu teras semakin semarak.
Nawangwulan, Fauzan, Citra dan Fauzi terlibat pembicaraan ringan penuh canda. Apalagi ketika Nawangwulan menceritakan segala sesuatu yang berkaitan dengan KKN. Banyak cerita lucu di sana. Juga ketika Fauzan melihat foto-foto KKN, kata Nawangwulan ingin ada yang kenalan dengan Citra.
Saat kedatangan Nawang dan Fauzan, Citra mengenalkan Fauzi sebagai kakak. Makanya mereka berbicara tak canggung-canggung.
"Emmm ini ... Mas eh apa manggilnya? Kakak?" tanya Fauzan bingung.
"Kakak boleh, kalau di Sunda disebutnya Aa."
"Oh iya, kakak saja. Namanya hampir sama! Fauzan, Fauzi!"
"Nggak kreatif haha!" kata Citra sambil tertawa,
"Kak Fauzi sudah berkeluarga?"
"Belum, nanti sebentar lagi. Insya Allah usai lebaran tahun ini."
"Ooo syukurlah ..... berarti hampir ya?"
"Iya, hampir."
"Kalau Teh Citra? Tentu masih lama, nunggu kakaknya dulu ya?"
"Hehe... malu ah!" kata Citra menahan senyum memerah wajahnya.
"Malu kenapa? Teteh hampir menikah juga?" tanya Nawang serius.
"Ya."
Mendengar jawaban seperti Fauzan dan Nawang kaget. Fauzi mengatubkan bibir. Citra salah tingkah.
"Kapan?" tanya Nawang lagi.
"Insya Allah usai lebaran juga."
"Lebaran tahun ini?"
"Iya?"
"Berarti di sini dong?"
"Ya  iya laah, rumahku kan di sini Mbak."
"Kalau kakaknya tentu di rumah pengantin putri ya?"
"Iya pasti lah."
"Mengapa kakak beradik begitu dekat menikahnya?"
"Bahkan harinya sama Mbak." kata Citra hampir tak terdengar.
"Hah? Harinya sama?"
"Jamnya juga sama."
"Apa? Apa maksudnya?"
"Kami menikah Mbak, aku, ya Citra ini, Citra Pertiwi ..... akan  menikah dengan Kak Fauzi ...."
"Mbak Citra?"
"Kenapa?"
" Katanya Kak Fauzi itu kakak?"
"Kakak ketemu besar Mbak......"
"Oooooohh ....."
"Kami sudah mengawalinya dengan tunangan, bulan lalu ....."
Citra menjulurkan tangannya ke atas meja. Gadis itu mengkode Fauzi yang duduk di depannya. Pemuda itupun akhirnya meletakkan tangannya di atas meja. Kedua tangan didekatkan. Di jari manis keduanya telah melingkar cincin kembar.
Hari itu merupakan waktu yang sangat membuat jengah Fauzan. Begitu pula dengan Nawang, saudara sepupunya, duduk dengan gelisah. Ketika Citra mengatakan sudah bertunangan, pembicaraan terhenti. 
Teras sepi. 
Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.
"Oh ya Teh Citra , dan Kak Fauzi .... maaf kami tak bisa berlama-lama di sini." kata Fauzan sambil berdiri, diikuti Nawang.
"Lho? Kan baru sebentar?"
"Kami harus buru-buru ke Bandung."
"Oooo......"
Citra dan Fauzi mengantar Nawang dan Fauzan sampai di pagar. Keduanya mendesah dalam. 
Sementara mobil yang membawa Nawang dan Fauzan semakin jauh. Kini keduanya kembali ke teras,
"Citraaa...."
"Yah?"
"Sebuah berkah besar aku datang ke Jatimalang....."
"Kenapa?"
"Kalau tidak...... "
"Kalau tidak, kenapa?"
"Aku bakal kalah cepat dengan anak Yogya itu."
"Ah enggak juga Kak... eh kok pakai Kak, terbawa panggila kedua teman saya tadi."
"Ya nggak apa-apa kan? Malah bagus, enak kedengarannya di telinga."
"Kak Fauzi? Iih aneh! Tapi nggak apa-apa deh..."
"Ya iyalah, biar afdhol. Eh tadi enggak kenapa dengan anak Yogya itu?"
"Selama aku dari lulus dari SMA, Alhamdulillah nggak ada pemuda yang menarik hati Citra kok... kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kecuali pemuda yang menyiapkan ayam cobek ati ayam pedas di pantai Jatimalang."
"Citra ..."
"Ya Kak?"
"Semoga nanti kita bisa menikmati masakan itu setiap saat ya ..... di rumah yang satu .... di perjuangan hidup yang satu .... di cinta yang satu ......"
Citra menunduk.
Ia pandangi cincin pemberian Fauzi sebagai tanda cinta yang akan menjadi catatan sejarah hidupnya sebentar lagi. Perlahan gadis itu mencium cincin yang melingkar di jari manisnya. Fauzi tersenyum bahagia. ***
                                                                                                                  
                                                                                                                     Majalengka, 01 Januari 2018
 
* Request : R. Citra Pertiwi 18
                       SMAN 1 Majalengka

*Cerpen ini diposting pertama di kompasiana.com/didik_sedyadi

Post a Comment