A.
Pendahuluan
Istilah
hermeneutika tidaklah muncul sebagai suatu daftar khusus dalam catalog
studi-studi di universitas.[1] Bidang
ini biasanya dipandang sebagai suatu subdisiplin teologi, yang mencakup kajian
metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. Hal ini setidaknya muncul
dalam Oxford English Dictionary, edisi 1937 , yakni
”Seseorang mengijinkan untuk dirinya sendiri hak-hak tersebut dalam membaca
kitab suci yang tidak pernah diijinkan”.
Dalam tradisi Barat,
hermeneutika pada awalnya merupakan bagian dari ilmu filologi,
yakni ilmu yang membahas tentang asal usul bahasa teks. Barulah pada abad 16,
hermeneutika mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian yang lebih
akademis dan serius ketika di kalangan ilmuan gereja di Eropa terlibat diskusi
dan debat mengenai auntentisitas Bible. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai
dirasa sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, terutama sejarah
dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan
konsep ilmu sosial pada umumnya. Kemudian pada masa kini, hermeneutika
diperbincangkan dalam kajian filsafat posmodernisme.
Lahirnya
hermeneutika sebagai sebuah ilmu dilatari adanya krisis epistemologis yang
melandasi ilmu-ilmu social. Krisis ini bukan dalam bentuk berkurangnya
pengetahuan, tetapi lebih merupakan “penyempitan” pengetahuan akibat
reduksi-reduksi metodologis yang disertai dengan fragmentasi dan
instrumentalisasi pengetahuan sebagai dampak dari runtuhnya tatanan nilai masyarakat abad pertengahan melalui renaissance dan
memuncak pada masa aufklarung.[2]
Periodisasi hermeneutika
dapat dibedakan menjadi tiga fase, fase klasik, pertengahan dan modern. Pada
fase klasik, hermeneutika lebih bercorak pada bentuk penafsiran teks dan “art
of interpretation”
B.
Pengertian Hernemeutika
Secara umum
hermeneutika dapat diartikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna.[3]
Hermeneutika juga sering diartikan sebagai metode pemahaman atas pemahaman (understanding
of understanding).[4] Dalam
studi Islam, hermeneutika merupakan istilah baru sebagai istilah turunan yang
muncul dalam tradisi Barat. Pada awalnya istilah ini dikenal sebagai turunan
dari kata kerja hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes[5]
dan terkait dengan nama dewa dalam mitologi Yunani kuno “Hermes”.
Kata hermeneuin
sendiri secara literal memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan atau
menerjemahkan.[6]
Kata bendanya hermenia yang
berarti penafsiran atau interpretasi dan hermeneutis memiliki arti interpreter
(penafsir).[7]
Sedangkan kata Hermes dalam mitologi Yunani kuno merupakan seorang dewa yang
bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan dari Sang Dewa Kepada manusia. Dalam
versi lain, Hermes adalah seorang utusan yang diberikan tugas menyampaikan pesan
Yupiter kepada manusia. Ia bertugas untuk
menerjemahkan pesan-pesan Yupiter dari gunung Olimpus ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti oleh manusia. Dalam mitologi tersebut, Hermes digambarkan
sebagai sosok yang memiliki kaki bersayap dan ia lebih dikenal dengan sebutan
Mercurius.
Sebagai utusan
Sang Dewa Hermes dituntut memiliki kemampuan untuk mengiterpretasikan atau
menerjemahkan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya.
Dalam hal ini Sang Dewa memiliki bahasa tersendiri (bahasa “langit”) yang tidak
terjangkau oleh manusia sebagai pendengar pesannya yang memiliki bahasa
tersendiri pula (bahasa “bumi”). Sejak saat itulah Hermes menjadi seorang duta
yang ditugasi menginterpretasikan pesan dan oleh karenanya fungsi Hermes ini
menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasikan
pesan Sang Dewa akibatnya akan sangat fatal bagi umat manusia.
Secara teologis
peran Hermes ini bisa dinisbatkan kepada peran Nabi utusan Tuhan. Hepotesa
Sayyed Husain Nashr mengatakan bahwa Hermes tidak lain adalah Nabi Idris a.s.,
yang disebut dalam al-Qur’an sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan,
teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain patut untuk diselidiki
lebih lanjut.[8]
Sedangkan di lingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam
mitologi Mesir dikenal sebagai nabi Musa a.s. Keahlian nabi Idris a.s. sebagi
tukang tenun/ memintal pada akhirnya melahirkan makna metaforis, yaitu memintal
atau merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.
Dengan
demikian, kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu
atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation)
sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan cara-cara
ilmiah dalam mencari makna, rasional dan dapat diuji. Sebagai sebuah seni, ia
harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang suatu penafsiran.
Zygmunt Bauman
sebagaimana disampaikan oleh Fakhrudin Faiz mengungkapkan bahwa hermeneutika
merupakan bentuk upaya menjelaskan dan menelusuri pesan serta pengertian dasar
dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan
kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi para pembaca.[9]
Hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti terutama proses ini melibatkan bahasa sebagai mediasi paling
sempurna dalam proses.[10]
Menurut Palmer[11] mediasi
dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes
itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari herme>neuin dan herme>neia.
Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme>neuin, sebagai
berikut :
Pertama,
Herme>neuin sebagai to express (mengungkapkan), to
assert (menegaskan) atau to say (menyatakan), hal ini terkait dengan
fungsi pemberitahuan Hermes. Kedua, herme>neuin sebagai to
explain (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek
pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitik beratkan pada penjelasan dari
pada dimensi interpretasi ekspresif. Ketiga, herme>neuin sebagai to
translate. Pada dimensi ini to interpret (menafsirkan) bermakna to
translate (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses
interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam kontek ini,
seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi
bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media
antara satu dunia dengan dunia yang lain.
“Penerjemahan”
membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan
dunia, bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman cultural,
sedang pengalaman kultur tidak dapat terlepas dari kontek. Dengan kata lain
bahwa asusmi dasar sebuah hermeneutika adalah bahwa perbedaan kontek
mempengaruhi perbedaan pemahaman.[12]
“Penerjemahan”
yang merupakan asosiasi hermeneutika dengan peran Hermes membawa implikasi
adanya tiga unsure pokok di dalam setiap proses hermeneutika. Ketiga unsure
tersebut adalah : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan
dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes ; (2)
pranata atau penafsir (Hermes) ; (3)
penyampaian pesan itu yang dibawa oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan
sampai kepada yang menerima.[13]
Dengan
demikian, jika hermeneutika dimaknai secara lebih aplikatif, maka ia dapat
didefinisikan ke dalam tiga hal, yakni : (1) mengungkapkan pikiran seseorang
dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir ; (2) usaha
mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam
bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca ; dan (3) pemindahan pikiran yang
kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas.[14]
Dalam
perjalanannya,hermeneutika, sebagaimana diungkap oleh Richard E Palmer, dapat
dipetakan menjadi :
Pertama,
hermeneutika
sebagai teori penafsiran kitab suci. Dalam hal ini, hermeneutika membicarakan
tentang tradisi gereja dimana masyarakat Eropa mendiskusikan otentitas Bibel
untuk mendapatkan kejelasan maknanya, dengan kata lain hermeneutika digunakan
terhadap adanya problem otentias yang terdapat dalam exegesis of scripture (Bibel).
Kedua,
hermeneutika
sebagai sebuah metode filologi. Dalam pengertian ini, pihak gereja menganggap
hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran sekuler. Anggapan ini muncul oleh
karena adanya pengaruh filologi klasik terhadap hermeneutika Bibel, di mana,
kenyataan ini kemudian menimbulkan kritik sejarah dalam teologi.[15]
Ketiga,
hermeneutika sebagai pemahaman ilmu linguistic (science of linguistic
understanding). Secara umum, hermeneutika memiliki arti memahami. Arti
tersebut merupakan asal dari hermeneutika. Oleh karenanya, dalam perpektif
historis, hermeneutika patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel
dan filologi tradisional, sebab kedua bentuk tersebut menandai adanya pemahaman
linguistic terhadap teks.
Keempat,
hermeneutika
sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Predikat ini dikenalkan oleh Wilhelm Dilthey,[16] ia
berusaha membawa hermeneutic dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti
menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Usaha ini terus berlanjut
sampai pada akhirnya ia berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami
dan menginterpretasikan. Dalam pengertian ini, pada dasarnya heremeneutika bersifat menyejarah, artinya suatu makna
tidak pernah berhenti pada suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut
modifikasi sejarah.[17]
Kelima,
hermeneutika
sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial. Yakni bahwa
hermeneutika tidaklah terikat dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks, dan
juga tidak terkait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi
terkait dengan pengungkapan fenomenologis dari cara beradanya manusia.
Keenam,
hermeneutika
sebagai system penafsiran. Dalam pengertian ini, hermeneutika adalah suatu
proses penguraian yang bertolak dari isi dan makna yang tampak kepada makna
yang tersembunyi. Ia merupakan teori tentang peraturan yang menentukan suatu
eksegesis, interpretasi suatu bagian teks atau kumpulan tanda yang dianggap
sebagai teks. Artinya, obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian luas,
yang mencakup symbol-simbol mimpi, mitos dan symbol masyarakat atau literature.
Hermeneutika dalam bentuk ini dikenalkan oleh Paul Ricoeur.
Asumsi dasarnya
adalah bahwa hermeneutika mengandung aspek pluralitas dalam proses pemahaman
manusia, suatu keniscayaan yang bersumber dari keragaman kontek hidup manusia.
Ketika seseorang berinteraksi dengan sesuatu, kemudian memahaminya lalu
menghasilkan sebuah pengetahuan tentang sesuatu tersebut, tidak pernah
seseorang itu mampu memproduksi pengetahuan tentang sesuatu tersebut secara
otentik adanya, namun pengetahuan yang dihasilkannya merupakan pengetahuan
tentang sesuatu “menurut dia” atau sebagaiman yang ia tangkap.
C.
Prinsip Penafsiran Pendekatan
Hermeneutis
Metode
hermeneutika sebagai metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh para penafsir
kontemporer sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dikarenakan semakin
terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, seperti
isu tentang HAM, gender, demokrasi, civil society, pluralism dan
sebagainya, namun juga karena adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan
kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan yang ada selama ini.[18]
Keragaman
metode hermeneutika sebagai alternative penafsiran yang menjadi konskwensi
pertemuan antara ilmu tafsir dengan cabang-cabang ilmu dari luar membawa dampak
pada beragamnya pula jenis dan corak penafsiran. Di satu sisi, hal semacam ini
merupakan langkah positif yang dapat dilakukan untuk memperkaya hasanah
penafsiran, tetapi di sisi lain, hal ini justeru dapat mengantarkan pada maraknya
penafsiran-penafsiran “kiri” (menyimpang) dari kaidah-kaidah penafsiran.
Oleh karenanya
penafsiran harus selalu diarahkan untuk menghasilkan suatu pembacaan teks yang
produktif (al-qiro’ah al-muntijah). Hal ini sekaligus untuk menghindari
pembacaan teks yang repetitive (al-qiro’ah at-tikra>riyah)
sebagaimana banyak dilakukan oleh para penafsir pada era klasik,[19] atau
pembacaan yang ideologis-tendensius (al-qira’ah al-mugridhah). Dengan
demikian, menurut Abdul Mustaqim, suatu penafsiran terhadap teks tradisional
harus selalu diarahkan bagaimana supaya teks tersebut selalu dapat kita pahami
dalam kontek kekinian yang situasinya sangat berbeda. Penafsiran hermeneutis
meniscayakan bahwa setiap teks (penafsiran) perlu dicurigai adanya kepentingan
atau ideology apa yang ada dibalik penafsiran tersebut.[20]
Lebih dari pada
itu, penafsiran hermeneutis tidak saja mengandalkan ilmu-ilmu yang dipergunakan
para penafsir dahulu, seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fikih dan balaghah tetapi
juga menggunakan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu,
sejarah dan sebagainya.[21] Menurut
Husserl sebagaimana dikutip oleh situs amrinarose 13, penafsiran hermeneutic
perlu didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya penafsiran hermeneutis
harus di arahkan pada hasil sebuah penafsiran yang terbebas dari relativitas
historis dan perubahan social sekaligus kesadaran harus bebas
dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri.[22]
Menurut pandangan
Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of
being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi
eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social
dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam
bahasa.[23] Sedang menurut Gadamer dalam hermeneutika
tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi
historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlangsung di
luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Menurutnya terdapat tiga prinsip
yang harus diterapkan dalam penafsiran hermeneutika, yakni:
1.
Kegiatan hermeneutic diterapkan pada
sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu yang secara alami
ketika dikatakan makna sehari-hari dan situasi dimana percakapan itu
terjadi.
2.
Hermeneutik dilakukan dengan cara
memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran. Benturan
dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan
tentang horizon suatu makna yang belum disadari. Dalam hal ini hermeneutika
adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3.
Pembacaan sebagai bagian dari
hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia
mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium
berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman
hermeneutik.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya dengan berbasis pada
teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi
eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks
menurutnya ada 3 kategori, yakni:[24]
1.
Teks selalu mengalami pelepasan
konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya, karena itu teks selalu
membuka diri terhadap pembacaan yang tidak terbatas.
2.
Teks merupakan suatu langue dan parole.
Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai langue
maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin.
Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan
pada saat inilah teks ditafsirkan. Penafsiran menurut pandangannya
merupakan dialektika antara dua kegiatan tersebut.
3.
Penafsiran merupakan proses dinamis
yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses
negosiasi dan debat.
Menurut Paul Ricoueur,
suatu penafsiran hermeneutis harus dilaksanakan berdasarkan prosedur :
1.
Teks harus dibaca dengan kesungguhan,
menggunakan simpatic imagination.
2.
Penta’wil mesti terlibat dalam analisis
structural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda yang terdapat
di dalamnya sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan sebelum menentukan
rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam teks.
3.
Pentakwil mesti melihat bahwa segala
sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks merupakan
pengalaman tentang kenyataan non-bahasa.[25]
Terhadap
penafsiran al-Qur’an, Hasan Hanafi[26]
mengembangkan prinsip-prinsip penafsiran hermeneutis pada lima nilai :
1.
Wahyu diletakkan dalam tanda kurung,
tidak diafirmasi dan tidak pula ditolak
2.
Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya
teks-teks lain, seperti materi penafsiran, kode hukum, karya sastra, teks
filosofis, dokumen sejarah dan lain sebagainya
3.
Tidak ada penafsiran palsu atau benar,
pemahaman benar atau salah. Yang ada adalah perbedaan pendekatan yang ditentukan
oleh perbedaan kepentingan dan motivasi
4.
Tidak ada penafsiran tunggal terhadap
teks, yang ada pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman
para penafsir
5.
Konflik penafsiran merefleksikan
konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis
D.
Contoh Penafsiran Hermeneutis
E.
Kelebihan dan kekurangan Hermeneutika
F.
Pro dan Kontra Metode Hermeneutika
Hasan Hanafi
dikenal sebagai orang pertama mengenalkan
hermeneutika dalam dunia Islam dengan karyanya yang berkaitan
dengan metode penafsiran yang bercorak baru. Pengenalan ini pada awalnya hanya
merupakan penggunaan metodologis bersifat uji coba yang terbebas dari pengaruh
positivisme dan kekhasan hukum Islam serta yurisprudensinya yang ortodoks
dan tradisionalis. Ia memandang bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar teori
penafsiran dan pemahaman, akan tetapi merupakan ilmu yang menerangkan
penerimaan wahyu sejak perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta
menggambarkan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[14]
Proses pemahaman teks ini menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan
kritik kesejarahan. Kritik kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah
teks atau kitab suci dalam sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak
mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan
mempermudah pemahaman yang tepat.
Tokoh lain
adalah Nashr Hamid Abu Zaid yang telah banyak mengkaji hermeneutik dalam
tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid al-Jabiri. Abu Zaid banyak
memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika khususnya berkaitan dengan
al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap sebagai horizon baru dalam
hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang akrab dengan pemikiran para
tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan teori hermeneutikanya, Hans
George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan
lingkaran hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia tidak meninggalkan
kekayaan tradisi Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan pemikiran
kritisnya.[15]
Ali Harb
merupakan tokoh yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang kritik teks,
meskipun ia tidak sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi lebih
menekankan kepada ihwal pemikiran.[16]
Sekalipun di dalam melakukan kritik teks dan pemikirannya banyak menggunakan
teori sastra terutama berkenaan dengan teori teks, di samping filsafat.
Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan keterpurukan umat Islam, khususnya
pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi kemajuan. Ia banyak menyoroti pola
pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih berkutat dalam
kerangka kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam
yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad Syahrur dalam hal
memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam dengan Barat karena
sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya dari kejumudan dan
taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang menyoroti para
penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang cenderung
berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk memecahkan makna
teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini berkutat pada
asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu yang
telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya,
sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah
letak kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan
dengan hukum. Sehingga hokum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks
untuk melayani teks, bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan
dengan berdasarkan teks.[17]
Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya
kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
Berikut ini
akan dipaparkan dua pandangan tokoh Islam yang dikelompokkan kepada kiri Islam
yakni Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Syahrur tentang hemerneutika. Hal ini
dimaksudkan untuk lebih mengkhususkan pembahasan.
a. Nash Hamid
Abu Zaid
Nashr Hamid
Abu Zaid, seorang Profesor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo
Mesir. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda, sejak tahun
1995 sampai sekarang. Intelektual asal Mesir ini berupaya menerapkan metode
analisis teks bahasa-sastra (nahj tahlil an-nushush al-lughawiayyah
al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur'an. Ia berpendapat metode tersebut
satu-satunya yang dinilai manusiawi dan berarti untuk mengkaji Islam.[18]
Menurutnya Peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena
terfokus pada teks (al-Qur’an) inilah peradaban Islam bergulir. Dengan demikian
perlu adanya dialektika yang kontinu antara teks (al-Qur’an) dan kebudayaan
manusia yang senantiasa berkembang secara pesat.
Paparan Abu
Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad Arkoun, yang menyatakan bahwa
sebuah tradisi – termasuk Islam yang di dalamnya berlandaskan nilai al-Qur’an –
akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara kontinu melalui pengkajian
ulang sejalan dengan dinamika sosial.[19]
Untuk itulah pemahaman terhadap al-Qur’an dengan berbagai metode sesuai
sosial-budaya yang melingkupinya perlu terus dilakukan sebagai inspirasi
pemikiran, pergerakan dan perilaku keagamaan. Ia menilai para ulama berlebihan
di dalam menyikapi teks, sehingga pada hasilnya membawa pemahaman yang
dikotomis antara teks dan realitas. Penilaian yang sakral terhadap teks
berdampak pada penafsiran dan pemahamannya, sementara realitas yang ada
seringkali dilupakan. Ini melahirkan suatu klaim kebenaran oleh individu,
kelompok, atau madzhab tertentu ketika memahami teks.
Di dalam
pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni semiotika dan
hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian menghasilkan
kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (cultural product, al-muntaz
ats-tsaqafi).[20]
Inilah yang membuat ia dinilai sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat
Mesir pada awalnya menolak dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai
kafir. Sebelum memunculkan kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang
dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas
sosial budayanya. Fase tesebut ialah (a) fase keterbentukan (marhalah
at-Tasyakkul), pada fase ini teks masih mengkonstruksi dirinya secara
struktural dalam sistem budaya yang ada; (b) fase pembentukan (marhalah
at-tasykil) Pada fase ini terk al-Qur’an membentuk dan mengkonstruk
ulang budaya dengan sistem bahasa khusus yang berbeda dengan bahasa
induknya yang kemudian mempengaruhi sistem kebudayaan.[21]
Ia mulai
mengenal teori-teori hermeneutika ketika "ngaji" di Universitas
Pennsylvania, Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika
telah membuka cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan langsung dengan
karya filsafat dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks yang ada.
Setelah lama berkecimpung dengan literature hermeneutika Barat, Ia lalu
membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam kajian
hermeneutika.[22]
Al-Qur'an,
menurut Abu Zaid adalah Kalam Allah dalam wujud bahasa manusia, ini sebagai
tujuan Allah agar maksud dan harapannya dapat dimengerti oleh manusia.
Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi dengan bahasa manusia, jika
tidak maka manusia tidak akan mampu mengetahui maksud Sang Pemberi Kalam itu.
Dan sebenarnya al-Qur'an merupakan hasil riwayat Nabi Muhammad saw. Teks
al-Qur'an ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan teks Ilahi
menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi
takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang
diterimanya dari pewahyuan tersebut.[23]
Dengan bahasa lain, bahwa al-Qur'an merupakan produk budaya, budaya Arab kala
itu yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana
Abu Zaid cukup terpengaruh dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang
berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti
manusia. Dan inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain yang menolak
hermeneutika sebagai metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan
demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama dengan teks-teks
lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh sebab itu untuk
memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus dan tertentu yang pada
akhirnya akan melahirkan pengkultusan terhadap penafsiran. Inilah yang
disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai bentuk kelaliman, karena itu
akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.[24]
Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an klasik yang
dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai
"dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang
penutur teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk
"dialektika naik", yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta
kulturalnya sehingga lebih obyektif ilmiah.[25]
Abu Zaid
mendirikan bangunan metode pemahaman teks - sebagaimana yang dipaparkan oleh Sunarwoto
– dengan mengkritik pola penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah dengan
pendekatan majaz, dan kelompok sufi dengan takwilnya.[26]
Pembacaan teks melalui kedua pola tersebut dipengaruhi oleh faktor
sosial-politik dan budaya penafsir. Pemahaman semacam ini tetap akan
dipengaruhi oleh orang yang menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun
tradisi yang berlaku pada dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik
ketika menyaksikan wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam
menyakapi warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya
pembaruan.
Dalam konteks
ini apa yang dilalui Abu Zaid sebenarnya dilakukan pula oleh Ali Harb bahwa di
kalangan masyarakat Arab-Islam terdapat pola pemahaman yang kontradiktif. Tipe
penalaran itu ia sebut dengan nalar eksklusif ('aql mughallaq) yang
cenderung membelenggu teks dan menetapkan maknanya dan membatasi metode dari
satu sisi saja. Sehingga hasil dari penalarannya dianggap suatu kepastian
(absolut) dan berakibat pada munculnya fanatisme buta. Sedangkan tipe kedua
adalah nalar insklusif ('aql munfatih)[27]
yang memandang teks tidak hanya dinalar melalui satu sisi pandangan semata. Di
sinilah akan melahirkan pemahaman bahwa kebenaran dari penalaran itu banyak
variasinya karena kemungkinan dari hasil nalar teks memang demikian, adapun
sesuatu yang benar tetap satu.
Pemahaman
yang menempatkan teks kepada posisi pasif dan pola penalaran eksklusif akan
mengubah fungsi teks itu sendiri kepada alat untuk melegitimasi kemauan
penafsir dengan berbagai latar belakang dan alirannya, dan menjadikan pemahaman
terhadap teks mengalami kemandegan dan tidak produktif. Untuk menghindarkan
yang demikian, perlu adanya interaksi antara teks dengan sistem budaya yang
ada.
Konsep lain
yang dimunculkan oleh Abu Zaid ialah tentang konsep takwil. Takwil bagi Abu
Zaid adalah sisi lain dari teks. Takwil menjadi salah satu mekanisme
cultural dan peradaban yang cukup penting di dalam menghasilkan pengetahuan.[28]
Jika demikian berarti teks merupakan sumber pengetahuan yang dapat dihasilkan
dari penalaran dan penakwilan, sedangkan takwil lebih merupakan cara untuk
mengeluarkan kandungan pengetahuan yang ada di dalam teks. Takwil dalam
pandangan Abu Zaid,[29]
adalah upaya pengungkapan makna yang tersembunyi di balik teks (istinbat)
dan berbeda dengan tafsir yang dipahami sebagai pengungkapan makna teks
berdasarkan pada dalil atau riwayat yang hanya pada tataran eksternal teks.
Sampai di
sini tampaknya Abu Zaid tidak membedakan makna tafsir dari kebanyakan ulama
tafsir yang memahami kata tafsir sebagai upaya pencarian kandungan teks
al-Qur'an berdasarkan tanda atau riwayat yang ada di dalam teks. Ini kemudian
lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma'tsur. Sedangkan takwil
adalah lebih cenderung kepada upaya nalar di dalam memahami kandungan teks
al-Qur'an yang disebut tafsir bi ar-ra'yi. Abu Zaid menawarkan pola
pembacaan teks kepada beberapa istilah, yaitu (a) takwil untuk
mengetahui makna di balik teks yang tersembunyi, ini tidak terbatas pada sisi
bahasa, tetapi konteks pemakaiannya serta konstektualitas yang menyelimutinya;
(b) talwin (ideologisasi) atau pembacaan tendensius yang cenderung
menghasilkan subyektifitas pembaca; (c) pembacaan produktif. Agar pembacaan
terhadap teks dapat menghasilkan signifikansi baru dari teks ke dalam realitas
budaya pembaca yakni pemahaman baru sesuai social-budaya st pemahaman itu
dilakukan berdasarkan makna histories teks, maka perlu diperhitungkan pola
pembacaannya, yaitu; (a) teks al-Qur'an dan dinamikanya dalam konteks
historisnya sendiri, dan (b) situasi dan cakrawala pembacaan saat ini sesuai
konteks histories budaya dan ideologisnya.[30]
b. Muhammaad Syahrur
Sebenarnya
apa yang dialami oleh Abu Zaid terdapat kemiripan dengan pengalaman Muhammad
Syahrur, seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil Universitas Damaskus dengan
latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik pondasi. Ia menunjukkan komitmen
dan konsistensinya ketika beralih menekuni studi al-Qur'an. Syahrur –
sebagaimana Abu Zaid – mengkritik kelemahan yang dilakukan para penafsir
sebelumnya. Ia menilai para penafsir terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah
obyektif. Ia berguru kepada seorang ahli linguistik sebagai modal dalam
pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia bertemu dengan dosen linguistic
bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet.
Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada studi linguistik, filsafat. Dan
studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli linguistik di lingkungan pemikir
Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan muridnya Ibnu Jinni serta Abdul
Qahir al-Jurjani.
Untuk menguak
pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja'far Dak al-Bab telah
memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan perdana Syahrur yakni al-Kitab
wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu Jinni dan al-Jurjani, meski
tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi. Pemikiran utama dari pemikiran
tersebut adalah; (1) Penggabungan antara studi diakronik al-Jurjani dan
sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang menyatakan bahwa bahasa tidak
terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan
pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa
dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan
pemikiran manusia. Sedangkan ciri linguistik Abu Ali al-Farisi dapat
disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah sebuah system, (b) bahasa
merupakan fenomena social dan strukturalnya terkait dengan fungsi transmisi yang
melekat pada bahasa tersebut (konteks di mana bahasa itu disampaikan), dan (c)
adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.[31]
Beberapa
pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran
linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang
digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait
dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya. Sekalipun aliran-aliran di
atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap
kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistic tanpa
menafikan adanya struktur.
Modernisasi
dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan
prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
1.
Memaksimalkan seluruh potensi
karakter linguistik Arab dengan berpijak pada tiga teori pendaulunya, yaitu
metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul
Qahir al-Jurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2.
Berdasar pada produk akhir ilmu
linguistic modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter
sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua alterntif proses
yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa makna baru selain makna asalnya.
3.
Jika Islam bersifat relevan
pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan
kepada kita yang hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir dan fiqh
yang dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi mereka
dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu merumuskan kembali
kajian tafsir dan pemahaman tekstual keagamaan guna menghasilkan fiqh ‘ala’
modern meskipun tanpa harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4.
Allah tidak perlu memberi
petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri-Nya sendiri. Maka Dia menurunkannya
sebagai petunjuk bagi menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan al-Kitab pasti
dapat dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan dalam sebentuk
media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media tersebut berupa
bahasa (linguistic) Arab murni (al-lisan al-Arab al-Mubin). Tidak ada
kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak ada ayat yang tidak bisa
dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, histories,
dan temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh pemahaman
manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum dapat dirasakan.
5.
Tidak ada pertentangan akal dan
wahyu, dan tidak ada pertentangan wahyu dan realitas yang berupa kebenaran
informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
Tawaran
Syahrur di atas mengakibatkan al-Qur’an harus dipahami berdasarkan metodologi
ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan filsafat dengan berbagai
cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur membedakan antara konsep
al-Qur’an dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab bukan hasil teks budaya
manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab. Karena al-Kitab merupakan Kalam
Allah, dan Allah bersifat absolut, dan memiliki sifat kesempurnaan, maka Kalam
tersebut yang terwujud dalam al-Kitab memiliki nilai absolut. Ini semua
berwujud pada teks berbahasa Arab yang merupakan hasil budaya manusia yang
tidak lepas dari struktur nalar dan kondisi sosial. Dengan demikian al-Kitab
menngandunng unsur absolut ilahiah, sedangkan pemahaman terhadap teks bersifat
relatif. Relatifitas dalam pandangan Syahrur ialah kerangka hubungan antara
pembaca dengan teks al-Kitab yang berbahasa Arab, dan bukan al-Kitab itu secara
hakiki.
Antara Abu Zaid dan Syahrur
Al-Kitab –
Syahrur membedakannya dengan al-Qur’an – menurut pemikiran Syahrur bukan
merupakan teks budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi
wujud teks al-Kitab adalah teks berbahasa Arab. Bahasa Arab merupakan hasil
budaya masyarakat Arab yang terikat dengan struktur nalar dan sosial
masyarakatnya. Sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zaid yang
menyatakan bahwa al-Qurán adalah produk budaya. Suatu pemikiran yang
berseberangan dengan kesepakatan ulama di kalangan umat Islam dan seakan
menghilangkan nilai kesakralan al-Qur’an. Berbeda dengan Syahrur, Abu Zaid
memiliki dalil logika sendiri yang beralasan bahwa al-Qur’an mengalami dua fase
yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya.
Syahrur
menyimpulkan bahwa kandungan al-Kitab (al-muhtawa) mengandung unsur
ilahiah yang absolut, namun pada sisi pemahaman terhadapnya bersifat manusiawi
yang relatif. Manusia tidak diberi kemampuan untuk menangkap seluruh kandungan
wahyu yang absolut, untuk itulah Allah telah menurunkan wahyu dengan perantara
yang memungkinkan manusia mampu memahaminya yaitu bahasa. Inilah yang dimaksud
relatifitas dalam kerangka pemikiran Syahrur dalam kaitannya antara pembaca
dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hubungan
pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab mewajibkan adanya ilmu bahasa
sebagai sebuah metode penafsiran untuk meyelami makna al-Qur’an. Syahrur
menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai landasan. Ini sebagai
bentuk konsistensi Syahrur tentang temporalitas pemahaman. Syahrur mengajak
kita yang hidup di masa kontemporer untuk menggunakan seluruh pemikiran
kontemporer sebagai sarana memahami kandungan al-Qur’an. Tetapi tentunya tidak semua
teori kontemporer bisa digunakan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan.
Syahrur
menyadari akan keberadaan al-Kitab, yakni sepanjang zaman dan tempat, untuk
itulah ia mengajak umat Islam dalam memahami kandungan al-Kitab itu disesuaikan
dengan kondisi zaman dan tempat. Tidak mesti mengekor kepada hasil penafsiran
atau pemahaman di masa Rasulullah. Meskipun ketika mengambil pemahaman tidak
slah bila merujuk kepadanya. Pemahaman yang dilakukan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya merupakan contoh hasil pemikiran tentang kandungan al-Qu’an dalam
rangka menyelesaikan permasalahan yang ada kala itu. Persoalan berbeda, tentu
cara penyelesaiannya pun berbeda, meskipun hasil pemahamannya bermuara dari
satu sumber yang sama. Pemikiran Syahrur di atas dapat dikatakan sama dengan
pemaparan Abu Zaid tentang pola pemahaman terhadap al-Qur’an, ia mengajak umat
Islam untuk memahami kandungan al-Qur’an harus mendasarkan pada kondisi
masyarakat dan juga peradaban bangsa Arab. Karena al-Qur’an yang kita baca sekarang
ini – menurut Abu Zaid – merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh
perkembangan peradaban Arab pada saat itu, dan selanjutnya ia menuntun menuju
satu budaya baru yakni budaya Islam. Atas pemikiran ini pula, Abu Zaid telah
dinilai mengingkari aspek sakralitas al-Qur’an, yang menganggapnya sebagai teks
manusia (budaya).
Usaha yang
dilakukan oleh Syahrur dengan hermeneutikanya – seperti yang dilakukan Abu
Zaid, juga menitikberatkan pada linguistik dan hermeneutika, baru kepada
konteks sejarah, budaya, sosial-politik, di dalam memahami teks al-Qur’an-
berkaitan dengan fiqh Islam pada tema gender, ia menggunakan analisis
struktural yang luar biasa terhadap teks al-Qur’an. Ia berbekal linguistik
kontemporer mampu menemukan struktur khas teks al-Qur’an dan memandang tidak
ada satupun yang bernilai sia-sia. Setelah itu ia menggunakan filsafat dan ilmu
pengetahuan kontemporer di dalam menemukan makna totalitas yang dituju oleh
teks. Keilmuan kontemporer di maksud misalnya filsafat, sosiologi, antropologi,
dan politik, yang ditempatkannya dalam dialektika kritis dengan makna teks
untuk menuju pemahaman yang lebih baik. Hasilnya memberi pemahaman bahwa
al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan akal atau teori ilmu pengetahuan
manapun.
Hermeneutik dalam Perspektif Pengingkarnya
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam,
hermeneutika-pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan
oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para
modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali,
Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh. Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an
hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutika. Hassan
Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai
tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika[33]
Freidrich Scheiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern
yang juga teolog, mengembangkan hermeneutika sebagai alat untuk mengkaji
al-Kitab (Bibel) dengan karyanya Hermeneutics and Criticism, sebuah
karya tentang metodologi kritik teks Perjanjian Baru.[34]
Para Sarjana Muslim kemudian menilai kemunculannya ini merupakan sarana untuk
menumbuhkembangkan gagasan Barat tentang relativisme dan antikemapanan.
Satu hal yang cukup amat penting ilalah bahwa itu sebuah metodologi yang tidak
menghormati nilai kesakralan, sebagaimana ketika digunakan untuk membongkar
Injil, bukan dari sisi pemahamannya saja akan tetapi terjadi pada teksnya juga
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan
suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian
melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang
didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut
dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian
Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks
Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan,
diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya
Fahrudin Faiz menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika
diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan,
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas
Ulum Al-Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah
pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada
kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya
menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran
Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa
lalu. Maka kata dia, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu
menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang
berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat
metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat
bagi masa sekarang.[35]
Hermeneutika al-Qur`an seperti yang diuraikan di atas wajib
ditolak berdasarkan beberapa alasan berikut :
a. Hermeneutika Produk Orang Kafir
Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan
berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir,
yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan
kitab agama mereka (Bible). Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al-Hasyr [59] : 7)
Mafhum mukhalafah (pemahaman
terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka
janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa
ta’khudzuuhu).[36]
Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya
diterima oleh umat Islam. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah
memegang selembar Taurat. Nabi saw. melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah
aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar
dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa
berbuat apa-apa selain mengikuti aku." [37]
Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka
lebih-lebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya alias
hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu
dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free),
seperti sains dan teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi saw. : Antum a’lamu
bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR
Muslim). Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup
asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat
menerimanya.
Hermeneutika bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat
universal, melainkan termasuk dalam peradaban (hadharah) yang sarat
dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang bertentangan dengan Islam.
b. Hermeneutika Tidak Tepat Untuk Menafsirkan Al-Qur`an
Barangkali hermeneutika memang cocok (compatible) dengan
Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti
kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan
tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya
demikian. Contoh, dalam Mazmur (Pasal) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the
world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan
bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat
ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang
menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah
hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris
(kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan
pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin
memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat
penuntunnya.
Tapi tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat.
Al-Qur`an tidak memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga
orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami
Bible. Allah SWT berfirman menegaskan di dalam surat al-Hijr ayat 9 yang
menjamin keutuhan dan keamanan al-Qur'an. Jadi menerapkan hermeneutika untuk
menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible).
Menurut Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat
bermula dari masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang
kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena
tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya
laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi
mutawatir dan ijma’, (3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal
teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible ini,
tidak dialami oleh Al-Qur`an.[38]
Sesuatu yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang
kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana
Bible. Tujuannya supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang
rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut
sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka.
Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang
sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya
keren dan terlihat hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk
membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.
c. Hermeneutika Menguatkan Sekularisme
Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru
mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni
sekularisme-liberalisme di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, ingat kembali
kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang
digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menghasilkan beberapa
pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3
ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3),
menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak
(pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan
sebagainya.
Pasal-pasal ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk
memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat
Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan
pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang
menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3)
hak asasi manusia, dan (4) demokrasi. Dari sini jelaslah pola kerja
hermeneutika dalam memperlakukan ayat Al-Qur`an di satu sisi, dengan ideologi
Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan tidak bukan adalah
menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik ideologi Barat dalam
realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ’makmum’, sementara ’imamnya’ adalah
ideologi kapitalisme-sekular. Apapun gerakan dan doa sang imam, makmum wajib
mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah
bentuk "sholat jamaah" yang bid’ah dholalah dan munkar yang menjadi
pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut
sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam.
Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu
saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam.
Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama
Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.
Sebuah Kompromi
Berdasarkan
beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa hermeneutika
itu tidak lain adalah suatu metode pemahaman, metode memahami suatu
pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri khasnya, sebagai
sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks al-Qur’an. Di dalam
menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang hermeneutika sebenarnya
terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :
1.
Benar bahwa hermeneutika
merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak
serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena
bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat
diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan,
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, dalam istilah Ulum
Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf
Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul,
nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap
aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu
ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan
kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel
kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari
masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
2.
Bagi pengguna heremenutika
perlu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan suatu Kitab suci yang memiliki nilai
sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip hermeneutika yang mempertanyakan
keorisinalitasan al-Qur’an karena ada ayat dinilai berpihak pada otoritas
tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti halnya Injil – maka itu perlu
ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak
mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible.
G.
Kesimpulan
Hermeneutika
merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana
untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa
langkah dan tekniknya. Meskipun dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak
mesti dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreatifitas
pemikiran manusia. Sebagai hasil kreatifitas pemikiran itu ialah teori
hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak
pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks al-Qur’an,
penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan meski akan bermunculan
penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: “likulli maqal maqam wa li
kulli maqam maqal”. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan
al-Qur’an juga harus tetap dijunjung tinggi.
[1] Roy J. Howard, Hermeneutika;
Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan MS.
Nasrullah, Bandung : Penerbit Nuansa, 2000 : 25.
[2] Damanhuri “Belajar Teori
Hermeneutik bersama Betti” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar Hermeneutika
dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta :
IRCiSod, 2012 : 37.
[3] Ahmala, “Hermeneutika :
Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar
Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta
: IRCiSoD, 2012 : 15.
[4] Ilyas Supena, “Hermeneutika
Teologis Rudolf Bultmann” dalam dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar
Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta
: IRCiSoD, 2012 : 100.
[5] U Syafrudin, Paradigma
Tafsir Tekstual dan Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009 : 17
[6] Ahmala, “Hermeneutika :
Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar
Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta
: IRCiSoD, 2012 : 15.
[7] E Sumaryono, Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999 : 23-24
[8] Ahmala, “Hermeneutika :
Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar
Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta
: IRCiSoD, 2012 : 16.
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
al-Qur’an, Yogyakarta : Qolam, Cet.II , 2002 : 23
[10] Richard E Palmer, Hermeneutika
: Teori Baru mengenai Interpretasi, terj. Mansur Hery, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2003 : 15
[11] Richard E Palmer, Hermeneutika
: Teori Baru mengenai Interpretasi, : 15-36
[12] H.U. Syafrudin, Paradigma
Tafsir Tekstual dan Kontekstual : Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2009 : 18
[13] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
al-Qur’an, Yogyakarta : Qolam, Cet.II , 2002 : 21
[14] Fakhruddin Faiz : 2002 : 22
[15] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika
Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamika, 2003 : 57
[16] Hans-George gadamer, Kebenaran
dan Metode Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Syahidah,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 : 260
[17] Ahmala, “Hermeneutika :
Mengurai Kebuntuan Metode Ilmu-ilmu Sosial” dalam Edi Mulyono, (dkk.), Belajar
Heremeneutika : dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Jogjakarta
: IRCiSoD, 2012 : 22-23
[18] Abdul Mustaqim, Pergeseran
Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 : 87
[19] Abdul Mustaqim mengelompokkan
study tafsir kedalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Tafsir pada Era
Formatif dengan nalar mitis. Tafsir pada era ini menjadikan al-Qur’an, Hadis
Nabi, qiraat, pendapat para sahabat, kisah-kisah isra>iliyat dan
syair-syair jahili sebagai sumber penafsiran. Kelompok kedua adalah Tafsir pada
Era Afirmatif dengan nalar ideologis. Era ini terjadi pada Abad Pertengahan, di
mana penafsiran lebih didominasi kepentingan-kepentingan politik, mazhab atau
ideology keilmuan tertentu sehingga al-Qur’an lebih sering dipakai sebagai
legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Dan terakhir, Tafsir pada Era
Reformatif dengan nalar kritis. Era ini dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh
Islam seperti Sayyed Ahmad Khan dengan karyanya Tafhi>mul Qur’a>n,
Abduh dan Rasyid Ridha dengan al-Manar-nya. Baca lebih lanjut
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka
pelajar, 2008 : 34-111.
[20] Abdul Mustaqim, Pergeseran
Epistemologi Tafsir, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 : 86
[21] Abdul Mustaqim : 87
[22] http://amrinarose13,blogspot.com/2013/03/hermeneutika-dan-teori-kritis.html
diunduh pada senin 12 January 2015
[23] Richard E Palmer, Hermeneutiks:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston,
III:Northwestern Univ. Press, 1969 : 13
[24] P Ricouer, ‘appropriation’. In
J.B.Thomson (ed.), Paul Ricoeur, Hermeneutiks and the Human Sciences,
pp. 182-193. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1981 : 192-193.
[25] Hadi WM, sebagaimana diolah
oleh Abdul Wahid BS, Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoueur
dalam Memahami Teks-teks Seni, Imaji, Volume 4, No (2 Agustus 2006),
210-221
[26] Hasan Hanafi adalah seorang
pemikir Muslim kelahiran Kairo yang menyelesaikan program master dan
doktoralnya di Universitas Sorbone Perancis
Posting Komentar