I.     PENDAHULUAN
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi umat  manusia, yang ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur'an merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam menjadi petunjuk kehidupan hidup manusia diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Di dalamnnya berkumpul wahyu Ilahi yang mejadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai dan mempelajarinya. Al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir diturunkan Allah SWT, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syari'at yang yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang mempercayai al-Qur'an akan bertambah cinta kepada-Nya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.
Al-Quran melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh dalam mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukannya sebagaimana dijumpai di abad jahiliyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan pendidikan seseorang akan memiliki bekal untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai kesempatan dan peluang yang menjanjikan masa depan, penuh percaya diri, dan tidak mudah diperalat oleh manusia lain.
Paradigma Islam dalam melihat masalah pendidikan sebagaimana dijumpai dalam al-Qur’an ini tampak belum sepenuhnya dipahami dan dipraktekkan oleh umat Islam di Indonesia. Buktinya mayoritas umat Islam di Indonesia masih amat terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, kebudayaan, peradaban dan lain sebagainya. Hal ini merupakan kondisi obyek yang memperlihatkan masih adanya kesenjangan atau jurang yang amat dalam antara umat Islam dengan ajaran al-Qur’an dengan al-Sunah yang seharusnya diamalkan. Al-Qur’an yang sudah turun sejak lima belas abad yang lalu ternyata belum dipahami dan dipraktekkan oleh umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia  pada khususnya. Kesenjangan ini boleh jadi karena umat Islam Indonesia belum banyak yang memahami tentang kandungan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, dan secara khusus belum banyak ulama yang memberikan fokus perhatian terhadap kajian pendidikan dari perspektif al-Qur’an.
Ayat-ayat yang ada kaitannya dengan pendidikan di dalam al-Qur’an perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif agar dapat dipahami dan ditangkap makna dan petunjuknya sehingga dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat untuk membimbing dan mendidik manusia ke jalan yang benar.
Makalah ini akan membahas salah satu dari sekian banyak ayat dalam al-Qur’an yang mengandung muatan pendidikan, yakni Q.S al-‘Alaq[1] ayat 1-5.  Surah al-‘Alaq adalah surah ke-96 dalam al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 19 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Ayat 1 sampai dengan 5 dari surah ini adalah ayat-ayat al-Quran yang pertama diturunkan, yaitu di waktu Nabi Muhammad bersemedi di gua Hira. Adapun bunyi Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 adalah
  

1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

II. PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-‘ALAQ AYAT 1-5
A.    Sebab Turunnya Q.S al-‘Alaq ayat 1-5
Hasbi al-Shiddieqy berpendapat bahwa al-Qur’an itu dibagi dua:
a.  Ayat-ayat yang ada asbab al-nuzulnya
b.  Ayat-ayat yang tidak asbab al-nuzulnya[2]
Adapun tentang  asbabun nuzul  surat al-’Alaq ayat 1-5 dalam beberapa buku tafsir al-Qur’an tidak ditemukan atau dijelaskan. Sedang yang disebutkan  asbabun nuzulnya dalam beberapa tafsir al-Qur’an yaitu  asbabun nuzulnya surat al-’Alaq ayat 6-19.[3]
Abudin Nata menjelaskan bahwa asbabun nuzul Q.S al-’Alaq 1-5 adalah adanya problema aktual yang dihadapi umat yang menjadi sebab umat tersebut jatuh kedalam lubang jahiliyah, yaitu :
1.   Karena mereka menyekutukan Tuhan (syirik); 
2.   Karena mereka tidak mengetahui tentag siapa dirinya dan apa tugas yang harus dilakukan;
3.   Karena mereka membiarkan dirinya berada dalam kebodohan.[4]
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah SAW ialah berupa mimpi yang benar waktu beliau tidur. Beliau tidak bermimpi melainkan mimpi itu datang kepada beliau seperti falaq (cahaya) Shubuh, karena begitu jelasnya.”
Kemudian hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri. Beliau datang ke gua Hira. Disitu beliau beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya.[5]
Suatu ketika datanglah wahyu kepada beliau secara tiba-tiba, sewaktu beliau masih berada di gua Hira. Malaikat Jibril datang kepada beliau di gua itu, seraya berkata, “Bacalah!”
Rasulullah SAW bersabda “Maka aku katakan, ‘Aku tidak bisa membacanya.’” Kemudian beliau bersabda, “Dia menarikku lalu mendekapku sehingga aku kepayahan. Kemudian dia melepaskanku. Ia berkata, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca”. Maka dia mendekapku lagi hingga aku kelelahan. Kemudian dia melepaskanku lagi. Lalu ia berkata, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Maka dia mendekapku lagi untuk ketiga kalinya hingga aku kelelahan. Kemudian dia melepaskanku lagi, lalu dia berkata Iqro’ bismirobbikal ladzii kholaq” (bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan). Sampai pada ayat “allamal insaana maa lam ya’lam”  (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Kemudian Nabi SAW pulang dalam keadaan menggigil, sampai masuk di rumah Khadijah. Lalu beliau berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Maka beliau diselimuti oleh Khadijah, hingga hilang rasa takutnya. Lalu beliau berkata, “Wahai Khadijah! Apa yang terjadi pada diriku?”. Lalu beliau menceritakan semua kejadian yang baru dialaminya itu, dan beliau berkata, “Sesungguhnya aku khawatir sesuatu akan terjadi kepada diriku.” [6]
Berdasarkan hadis tersebut jelaslah bahwa lima ayat pertama surah al-`Alaq ini adalah ayat-ayat Alqur’an yang pertama kali diturunkan sebagai rahmat dan panggilan Allah yang pertama kali yang dihadapkan kepada Nabi SAW. 

B.     Proses Pendidikan Menurut Q.S al-‘Alaq ayat 1-5
Membaca merupakan materi pertama yang disebutkan di dalam surat al-‘Alaq. Hal ini sesuai dengan perkembangan daya serap dan jiwa manusia (peserta didik). Kondisi ini sesuai dengan penegasan Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 bahwa manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu pendengaran, penglihatan dan perasaan (hati).
 ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
(dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur)
Pelajaran membaca yang diisyaratkan di dalam surat al-‘Alaq jelas membutuhkan organ pendengaran. Jika organ pendengaran peserta didik rusak atau tidak berfungsi, maka proses pelajaran membaca akan terganggu sebab belajar membaca merupakan belajar meniru bunyi yang didengar.
Setelah perintah membaca, di dalam surat al-Alaq tidak ditegaskan obyek dari bacaan. Karena itu, alangkah baiknya perlu meninjau sekilas konotasi kata اقرأ yang berasal dari akar kata قرأ. Menurut al-Raghib al-Asfihani[7], kata قرأ berarti menghimpun. Dengan demikian seseorang tidak dapat dikatakan membaca, kecuali jika dia menghimpun kata demi kata dan mengucapkannya. Berdasarkan pengertian tersebut Quraish Shihab[8]  lebih cenderung mengembalikan arti kata tersebut kepada hakikat kata menghimpun, yaitu menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya.
Pendapat tersebut diatas sesuai dengan pemahaman ayat yang pertama kali turun. Karena itu, kurang tepat jika Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw membaca teks, sementara teksnya tidak ada. Dengan begitu dapat dipahami bahwa pengertian membaca di sini tidak dalam pengertian sempit, yakni membaca teks, tetapi mencakup pengertian luas yaitu menghimpun berbagai informasi melalui penelitian, penalaran. Semua itu merupakan sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Menurut Muhammad Abduh[9] memahami perintah membaca sebagai amar takwini, yakni mewujudkan kemampuan membaca pada diri pribadi Nabi Muhammad Saw. Quraish Shihab sebagai mufasir kontemporer cenderung memahami itu dalam pengertian luas, seperti penegasannya bahwa kata dalam susunan yang tidak disebutkan obyeknya maka obyek yang dimaksudkan bersifat umum, mencakup segala yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.[10]
Dalam surat al-Alaq, obyek bacaan tidak disebut secara khusus. Sesuai dengan penegasan Quraish Shihab diatas perintah membaca yang dimaksud berkonotasi umum yakni membaca apa saja yang dapat dibaca dan berguna, baik untuk diri si pembaca maupun umat manusia umumnya. Tidak perduli apakah yang dibaca itu tertulis atau tidak tertulis, seperti membaca atau meneliti alam semesta.
Berdasarkan uraian diatas turunnya perintah membaca tanpa menyebut obyek bacaan secara eksplisit pada wahyu pertama, dimaksudkan agar perintah tersebut berkonotasi luas sehingga dapat memuat pesan-pesan yang lebih kondusif dan kondisi umat untuk memajukan kehidupan mereka di muka bumi ini. Dengan demikian, materi membaca dalam pendidikan sangat penting dan mempunyai efek yang amat besar dalam memajukan kehidupan.
Selanjutnya adalah kata باسم yang berasal dari kata bi dan ism. Huruf bi   biasanya diterjemahkan kata "dengan". Ada pendapat maksud dari bi ini antara lain:
1. Huruf ba' (ب)yang dibaca bi tersebut adalah sisipan yang tidak menambah suatu makna tertentu melainkan hanya sekedar memberi tekanan kepada perintah tersebut. Pendapat ini menjadikan kata ismi (اسم) sebagai objek dari perintah iqra' seperti yang dikemukakan di atas.
2. Huruf ba' (ب)  tersebut mengandung arti "penyertaan" atau mulâbasah sehingga ayat tersebut berarti "Bacalah disertai dengan Nama Tuhanmu!"[11]
Kata rabb dari kata rabba terdiri dari huruf ra`, ba`,dan mu'tal berarti peningkatan, penambahan, pengembangan atau pertumbuhan.[12] Kata tersebut akhirnya mengacu pada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, dan perbaikan. Dalam kata rabba mengandung makna pendidikan karena akar katanya berasal dari تربية (artinya ‘pendidikan’). Dengan demikian dapat dipahami bahwa terkandung unsur pendidik dalam ‘diri’ Tuhan (rabb). Kata rabbika dalam ayat ini berarti Tuhanmu, sebab Tuhanlah yang mendidik, memelihara, memperbaiki manusia. Itu semua pada hakekatnya adalah pengembangan, peningkatan, perbaikan, meninggikan kemampuan yang menjadi obyek didik, yaitu manusia.
Kata خلق (khalaqa) bermakna memberi ukuran sesuatu dan menghaluskan sesuatu. Dalam bahasa Indonesia, kata khalaqa  biasa diartikan "menciptakan" atau "menjadikan". Yang dimaksud adalah menciptakan dari tiada, atau menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu,[13] berbeda dengan kata padanannya, yaitu جعل (ja’ala). Kata  خلق menunjuk pada wujudnya sesuatu baik melalui bahan yang telah ada sebelumnya ataupun belum ada, serta menekankan wujud tersebut sangat hebat.   Sedangkan kata جعل memberi pengertian mewujudkan sesuatu dari bahan yang sudah ada sebelumnya.
Kata الانسان  berasal dari akar kataأنس  (unsun) berarti senang, jinak, dan harmonis,  نسي (nisyun) berarti lupa, dan نوس  (nawsun) yang berarti gerak dan dinamika. Dengan demikian manusia itu tercakup adanya pisik dan psikis yang mempunyai sifat lupa, selalu ingin bergerak maju  dan dinamis. Kata insan menggambarkan manusia dengan berbagai keragaman sifatnya, kata ini berbeda dengan kata basyar yang juga diterjemahkan dengan manusia, tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dengan segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seseorang manusia dengan mansia lain.
Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena kitab suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya.
Salah satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an untuk menghantar manusia menghayati pentunjuk Allah adalah memperkenalkan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Kata علق (‘alaq) berarti menggantungkan sesuatu.[14] Sementara dalam kamus bahasa Arab, ‘alaq digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut di kerongkonganya. Banyak ulama masa lampau memahami ayat di atas dalam pengertian pertama. Tetapi ada juga yang memahaminya dalam sesuatu yang tergantung di dinding rahim. Ini karena para pakar embriolog menyatakan bahwa setelah terjadinya pertemuan antara sperma dan indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudian delapan demikian seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan melekat bertempat serta masuk ke dinding rahim.[15]
Pada ayat ketiga Allah mengulang perintah membaca (iqra’). Hal ini menunjukkan bahwa membaca dalam kaitannya dengan proses pendidikan harus dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Maka tidak salah kiranya bahwa dalam ilmu pendidikan sekarang ini dikenal istilah repetisi (pengulangan) karena pentignya proses pengulangan dalam pendidikan, sebagaimana diisyaratkan Allah melalui pengulangan kata iqra’.
Pada ayat ketiga ini pula perintah membaca dikaitkan dengan sifat karimnya Allah (وربك الأكرم). Menurut imam al-Ghozali[16] sifat ini menunjuk kepadaNya yang mengandung makna antara lain bahwa : Dia yang bila berjanji menepati janjinya, bila memberi melampaui batas memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila atau kecil hati, menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapapun yang menuju yang berlindung kepada-Nya, dan tidak membutuhkan sarana atau perantara.
Kata al-Karim yang menyifati Allah dalam al-Qur’an kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan kata Robb bahkan demikian juga kata akrom sebagaimana terbaca dalam Q.S al-‘Alaq ayat 3 ini. Penyifatan kata Robb dan Karim menunjukkan bahwa kata karom atau anugerah kemurahannya dalam berbagai aspek, dikaitkan dengan rububiyahnya, yakni Pendidikan, Pemelihara dan Perbaikan makhluknya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu bersamaan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan.
Disini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan ke tiga, yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala pengertian), yaitu membaca demi karena Allah, sedang perintah yang ke dua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan bahkan pengulangan bacaan tersebut.
Dalam Q.S al-‘Alaq ayat ketiga Allah menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman, wawasan baru walaupun yang dibacanya sama. Apa yang dijanjikan ini terbukti sangat jelas. Kegiatan “membaca” ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan membaca alam raya ini telah menimbulkan penemuan baru yang membuka rahasia alam, walaupun objek bacaannya sama. Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh generasi terdahulu dan alam raya yang mereka huni adalah sama-tidak berbeda, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.

C.     Hakekat & Tujuan Pendidikan
Kata ‘allama (علّم) bermakna mengajarkan,[17]yakni mengajarkan pengetahuan dan juga keterampilan. Ayat keempat Q.S al-‘Alaq ini menunjukkan sebuah proses pendidikan, dimana Allah mensifati diriNya dengan “Yang mengajari dengan perantaraan qalam”.
Pada ayat ini Allah juga mengajarkan kepada kita tentang konsep pendidikan, bahwa pendidikan haruslah melalui metode, media, sarana, dan sebagainya. Kata qolam biasa diterjemahkan sebagai “pena”. Qalam dalam ayat ini dapat berarti hasil dari penggunaan qalam tersebut, yakni tulisan. Penafsiran ini muncul karena bahasa, sering kali menggunakan kata yang berarti alat atau penyebab untuk menunjuk akibat atau hasil dari penyebab atau penggunaan alat tersebut, misalnya, jika seseorang berkata “saya hawatir hujan” maka yang dimaksud dengan kata “hujan” adalah basah atau sakit.
Makna di atas dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Qolam ayat pertama:
úc 4 ÉOn=s)ø9$#ur $tBur tbrãäÜó¡o ÇÊÈ  
 Nun,  demi kalam dan apa yang mereka tulis,
Disebutkan dalam sekian banyak riwayat bahwa awal surat al-Qolam turun setelah akhir ayat ke lima surat al-‘Alaq. Ini berarti dari segi masa turunnya kedua kata qolam tersebut berkaitan erat, bahkan bersambung walaupun urutan penulisannya dalam mushaf tidak demikian.
Penyebutan kata qalam disini juga mengandung rahasia besar yang terkandung dalam fungsi qalam itu sendiri. Berkat adanya qalam dan berkembangnya tulis menulis, ilmu pengetahuan dapat ditransferkan dan dikomunikasikan secara lebih mudah dan kekal. Dengan adanya tulisan (yang dihasilkan dari qalam) ini, maka proses pendidikan dapat ditempuh tanpa melalui tatap muka, bahkan meskipun dari masa yang berbeda.
Pemilihan kata قلم   sebagai  pengganti kata كتابة  yang berarti “tulisan”, menggambarkan betapa pentingnya peranan alat tulis bagi umat manusia, baik alat itu yang berbentuk sederhana seperti pensil maupun yang canggih seperti komputer dan alat percetakan, yang kesemuanya harus berperan untuk mencerdaskan umat manusia.
Meskipun pada ayat keempat tidak disebutkan tentang siapa dan apa yang diajarkan, namun pada ayat kelima Allah menyebutkan علّم الإنسان مالم يعلم (Allah mengajarkan kepada manusia segala sesuatu yang belum diketahuinya). Ada tiga pendapat mufassir tentang ‘manusia’ yang dimaksud dalam ayat kelima ini. Pertama, menyatakan bahwa yang dimaksudkan sebagai ‘manusia’ pada ayat kelima ini adalah nabi Adam, dengan berdasar pada ayat 31 Q.S al-Baqarah. Kedua, berpendapat bahwa ‘manusia’ disini adalah nabi Muhammad dengan dasar ayat 113 Q.S an-Nisa. Sedang pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksudkan sebagai ‘manusia’ pada ayat ini adalah manusia dalam arti umum. Pendapat terakhir ini merujuk pada ayat 70 Q.S an-Nahl.
Merujuk pada pendapat para mufassir di atas maka dapat disimpulkan isi kandungan surat al-’Alaq ayat 1-5 yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai berikut : 
1.    Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.[18] Jadi, metode pembiasan adalah cara yang sistematis yang dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya agar murid tersebut menjadi terbiasa.
Dalam teori perkembangan anak didik dikenal ada teori konvergensi,[19] di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui pembiasaan yang baik.
2.    Allah SWT. memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca. Menurut Muhammad ar-Razi bahwa  iqra yang pertama ditunjukkan kepada diri Nabi Muhammad saw, sedangkan  iqra yang kedua untuk disampaikan atau yang pertama untuk  belajar dari Jibril dan yang kedua untuk mengajarkan kepada orang lain. Iqra’ secara luas berarti bacalah dan bacakanlah, belajar dan pelajarilah dan  ta’lim dan  ta’limkanlah. Ta’lim dalam surat al-’Alaq berarti perintah untuk mendalami, mengalami, menyelami, memahami dan menghayati yang dibaca. Oleh karena itu,  iqra di sini juga memiliki arti untuk menyampaikan (ta’lim), memberikan, memberitahukan, mewarisikan, memanfaatkan dan mengamalkan yang dibaca.[20]
3.    Metode  takror atau pengulangan. Berulang-ulangnya kata  iqra pada ayat pertama dan ketiga pada Q.S al-‘Alaq  ini memberikan indikasi bahwa kemurahan Allah itu akan datang setelah membaca dengan berulang-ulang.  Menurut pemahaman Abduh menurutnya kepandaian membaca merupakan suatu kemampuan yang tak dapat dikuasai oleh seseorang kecuali dengan mengulang-ulang atau melatih diri secara teratur. Disamping itu pengulangan kata  iqra bertujuan untuk  menguatkan, karena membaca tidak akan nyata kecuali dengan diulang-ulang dan dibiasakan.
Dalam Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 ini juga dapat dirumuskan tujuan pendidikan yaitu upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat melahirkan manusia yang seutuhnya. Pelajaran agama misalnya untuk ditujukan untuk membina sikap keberagaman, pelajaran matematika ditujukan untuk membina potensi berpikir, pelajaran sejarah ditujukan untuk membina potensi bermasyarakat.
Pada ayat ketiga, terkandung arti tentang mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, membina, dan membuktikan. Dengan demikian ayat tersebut erat kaitannya dengan metode pendidikan. Sebagaimana halnya dijumpai pada metode Iqra dengan sifat Tuhan yang Maha Mulia.
Terkait dengan tujuan pendidikan, Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 ini mengajarkan tentang pendidikan yang memberikan (lebih tepatnya, mewariskan) pengetahuan-pengetahuan kepada manusia, namun juga menghargai dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut.

III. KESIMPULAN
Al-Qur’an menekankan tentang pentingnya pendidikan bagi manusia terlihat dari kandungan Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 yang merupakan ayat yang pertama kali diturunkan. Al-Qur’an juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan.
Selain membaca dalam arti belajar, manusia juga diperintahkan untuk mengajar, sebagaimana makna yang terkandung dalam kata اقرأ yang diulang hingga sebanyak dua kali. Melalui Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 ini, al-Qur’an juga mengajarkan tentang metode pembelajaran dengan  membaca, menulis, pembiasaan dan pengulangan.
Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 juga telah menjelaskan hakikat dan tujuan pendidikan, yakni upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat melahirkan manusia yang seutuhnya.














DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir al-Qur’an  al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1999.
Al-Raghib al-Ashifani, Al-Mufradat fi Ghaaribi al-Qur’an. tt:Mansyurat al-Asr al-Hadist, t.t.
Arif, Armai,  Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Ciputat Pres, 2002.
Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, terj.Qodirun Nur, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004.
Hasby al-Shiddieqy,  Ilmu-ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt,
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-ayat  Pendidikan (Tafsir Al-Ayat At-Tarbawy), Jakarta:Rajawali Pers, 2009.
Purwanto, Ngalim,  Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2000.
Rahman, Afzalur, Ensiklopediana Ilmu Dalam Al-Quran, terj.Taufik Rahman, Bandung: Mizania, cet.II, 2007.
Shaleh, Qomaruddin, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an , Bandung: Diponegoro, tt.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini,1992.
______________, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung:Sinar Baru, 1988.
Thoha, Chabib,  Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 1996.
Maktabah Syamilah, versi 3.48


[1] Al-‘Alaq ( العلق )dalam bahasa Arab berarti segumpal darah), diambil dari perkataan Alaq yang terdapat pada ayat 2 surat ini. Surat ini dinamai juga dengan Iqra atau Al Qalam.
[2] Hasby al-Shiddieqy,  Ilmu-ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, 19.
[3] Sebagaimana keterangan dalam buku Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an karya K.H Qomaruddin Shaleh, dkk. Lihat Qomaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an , Bandung: Diponegoro, tt, 583-584.
[4] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat  Pendidikan (Tafsir Al-Ayat At-Tarbawy), Jakarta:Rajawali Pers, 2009, 39-41
[5] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim,
[6] Kelengkapan hadits ini dapat dilihat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Shahih Bukhari, Juz I halaman 5; Shahih Muslim, Juz I halaman 381.
[7] Al-Raghib al-Ashifani, Al-Mufradat fi Ghaaribi al-Qur’an. tt:Mansyurat al-Asr al-Hadist, t.t, 402..
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini,1992, 10-11.
[9] Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an  al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad Bagir, Tafsir Juz ‘Amma Muhammad Abduh, Bandung: Mizan, 1999,  248.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah…, 13.
[11] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, 80.
[12] Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 304-307.
[13] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur'an al-Karim…, 86.
[14] Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 261.
[15] Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu Dalam Al-Quran, terj.Taufik Rahman, Bandung: Mizania, cet.II, 2007, 194-197.
[16] Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, terj.Qodirun Nur, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004, 659-660.
[17] Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 3083-3084.
[18] Armai Arif,  Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Ciputat Pres, 2002, 108.
[19] Ngalim Purwanto,  Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2000, 60.
[20] Chabib Thoha,  Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 1996,  86-87.

Post a Comment