I.
PENDAHULUAN
Al-Qur'an
adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung
petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi
pegangan bagi umat manusia, yang ingin
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur'an
merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam menjadi petunjuk kehidupan
hidup manusia diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu
rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Di dalamnnya berkumpul wahyu Ilahi
yang mejadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai
dan mempelajarinya. Al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir diturunkan Allah
SWT, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syari'at yang yang terdapat dalam
kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang
mempercayai al-Qur'an akan bertambah cinta kepada-Nya, cinta untuk membacanya,
untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan
mengajarkannya sampai merata rahmatnya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam
semesta.
Al-Quran
melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh dalam
mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukannya sebagaimana
dijumpai di abad jahiliyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan pendidikan
seseorang akan memiliki bekal untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai
kesempatan dan peluang yang menjanjikan masa depan, penuh percaya diri, dan
tidak mudah diperalat oleh manusia lain.
Paradigma
Islam dalam melihat masalah pendidikan sebagaimana dijumpai dalam al-Qur’an ini
tampak belum sepenuhnya dipahami dan dipraktekkan oleh umat Islam di Indonesia.
Buktinya mayoritas umat Islam di Indonesia masih amat terbelakang dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, kebudayaan, peradaban dan lain
sebagainya. Hal ini merupakan kondisi obyek yang memperlihatkan masih adanya
kesenjangan atau jurang yang amat dalam antara umat Islam dengan ajaran
al-Qur’an dengan al-Sunah yang seharusnya diamalkan. Al-Qur’an yang sudah turun
sejak lima belas abad yang lalu ternyata belum dipahami dan dipraktekkan oleh
umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya. Kesenjangan ini boleh jadi
karena umat Islam Indonesia belum banyak yang memahami tentang kandungan ajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah, dan secara khusus belum banyak ulama yang memberikan
fokus perhatian terhadap kajian pendidikan dari perspektif al-Qur’an.
Ayat-ayat
yang ada kaitannya dengan pendidikan di dalam al-Qur’an perlu dikaji secara
mendalam dan komprehensif agar dapat dipahami dan ditangkap makna dan
petunjuknya sehingga dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat untuk
membimbing dan mendidik manusia ke jalan yang benar.
Makalah
ini akan membahas salah satu dari sekian banyak ayat dalam al-Qur’an yang
mengandung muatan pendidikan, yakni Q.S al-‘Alaq[1]
ayat 1-5. Surah al-‘Alaq adalah surah ke-96
dalam al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 19 ayat dan
termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Ayat 1 sampai dengan 5 dari surah ini
adalah ayat-ayat al-Quran yang pertama diturunkan, yaitu di waktu Nabi Muhammad
bersemedi di gua Hira. Adapun bunyi Q.S al-‘Alaq ayat 1-5
adalah
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
II. PENDIDIKAN DALAM Q.S AL-‘ALAQ AYAT 1-5
A.
Sebab Turunnya Q.S al-‘Alaq ayat 1-5
Hasbi al-Shiddieqy berpendapat bahwa al-Qur’an itu dibagi
dua:
a. Ayat-ayat yang
ada asbab al-nuzulnya
b. Ayat-ayat yang
tidak asbab al-nuzulnya[2]
Adapun tentang
asbabun nuzul surat al-’Alaq ayat
1-5 dalam beberapa buku tafsir al-Qur’an tidak ditemukan atau dijelaskan. Sedang
yang disebutkan asbabun nuzulnya dalam
beberapa tafsir al-Qur’an yaitu asbabun nuzulnya
surat al-’Alaq ayat 6-19.[3]
Abudin Nata menjelaskan bahwa asbabun nuzul Q.S al-’Alaq
1-5 adalah adanya problema aktual yang dihadapi umat yang menjadi sebab umat
tersebut jatuh kedalam lubang jahiliyah, yaitu :
1. Karena
mereka menyekutukan Tuhan (syirik);
2. Karena
mereka tidak mengetahui tentag siapa dirinya dan apa tugas yang harus
dilakukan;
Imam Ahmad
meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “wahyu yang pertama kali
turun kepada Rasulullah SAW ialah berupa mimpi yang benar waktu beliau tidur.
Beliau tidak bermimpi melainkan mimpi itu datang kepada beliau seperti falaq (cahaya)
Shubuh, karena begitu jelasnya.”
Kemudian hati
beliau tertarik untuk mengasingkan diri. Beliau datang ke gua Hira. Disitu
beliau beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa perbekalan
secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah untuk mengambil
lagi perbekalan secukupnya.[5]
Suatu ketika
datanglah wahyu kepada beliau secara tiba-tiba, sewaktu beliau masih berada di
gua Hira. Malaikat Jibril datang kepada beliau di gua itu, seraya berkata, “Bacalah!”
Rasulullah SAW
bersabda “Maka aku katakan, ‘Aku tidak bisa membacanya.’” Kemudian beliau
bersabda, “Dia menarikku lalu mendekapku sehingga aku kepayahan. Kemudian dia
melepaskanku. Ia berkata, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca”.
Maka dia mendekapku lagi hingga aku kelelahan. Kemudian dia melepaskanku lagi.
Lalu ia berkata, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Maka dia
mendekapku lagi untuk ketiga kalinya hingga aku kelelahan. Kemudian dia
melepaskanku lagi, lalu dia berkata “Iqro’ bismirobbikal
ladzii kholaq” (bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang
menciptakan). Sampai pada ayat “allamal insaana maa lam ya’lam” (Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Kemudian Nabi
SAW pulang dalam keadaan menggigil, sampai masuk di rumah Khadijah. Lalu beliau
berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Maka beliau diselimuti oleh Khadijah,
hingga hilang rasa takutnya. Lalu beliau berkata, “Wahai Khadijah! Apa yang
terjadi pada diriku?”. Lalu beliau menceritakan semua kejadian yang baru
dialaminya itu, dan beliau berkata, “Sesungguhnya aku khawatir sesuatu akan
terjadi kepada diriku.” [6]
Berdasarkan hadis tersebut jelaslah bahwa lima ayat
pertama surah al-`Alaq ini adalah ayat-ayat Alqur’an yang pertama kali
diturunkan sebagai rahmat dan panggilan Allah yang pertama kali yang dihadapkan
kepada Nabi SAW.
B.
Proses Pendidikan Menurut Q.S al-‘Alaq ayat
1-5
Membaca
merupakan materi pertama yang disebutkan di dalam surat al-‘Alaq. Hal ini
sesuai dengan perkembangan daya serap dan jiwa manusia (peserta didik). Kondisi
ini sesuai dengan penegasan Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 bahwa manusia
dianugerahi tiga potensi, yaitu pendengaran, penglihatan dan perasaan (hati).
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
(dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur)
Pelajaran
membaca yang diisyaratkan di dalam surat al-‘Alaq jelas membutuhkan organ
pendengaran. Jika organ pendengaran peserta didik rusak atau tidak berfungsi,
maka proses pelajaran membaca akan terganggu sebab belajar membaca merupakan
belajar meniru bunyi yang didengar.
Setelah
perintah membaca, di dalam surat al-Alaq tidak ditegaskan obyek dari bacaan.
Karena itu, alangkah baiknya perlu meninjau sekilas konotasi kata اقرأ
yang berasal
dari akar kata قرأ. Menurut al-Raghib al-Asfihani[7],
kata قرأ berarti menghimpun. Dengan demikian seseorang tidak dapat
dikatakan membaca, kecuali jika dia menghimpun kata demi kata dan
mengucapkannya. Berdasarkan pengertian tersebut Quraish Shihab[8]
lebih cenderung mengembalikan arti kata
tersebut kepada hakikat kata menghimpun, yaitu menyampaikan, menelaah, membaca,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya.
Pendapat
tersebut diatas sesuai dengan pemahaman ayat yang pertama kali turun. Karena
itu, kurang tepat jika Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw membaca teks, sementara
teksnya tidak ada. Dengan begitu dapat dipahami bahwa pengertian membaca di
sini tidak dalam pengertian sempit, yakni membaca teks, tetapi mencakup
pengertian luas yaitu menghimpun berbagai informasi melalui penelitian,
penalaran. Semua itu merupakan sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Menurut
Muhammad Abduh[9]
memahami perintah membaca sebagai amar takwini, yakni mewujudkan kemampuan
membaca pada diri pribadi Nabi Muhammad Saw. Quraish Shihab sebagai mufasir
kontemporer cenderung memahami itu dalam pengertian luas, seperti penegasannya
bahwa kata dalam susunan yang tidak disebutkan obyeknya maka obyek yang
dimaksudkan bersifat umum, mencakup segala yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.[10]
Dalam surat
al-Alaq, obyek bacaan tidak disebut secara khusus. Sesuai dengan penegasan
Quraish Shihab diatas perintah membaca yang dimaksud berkonotasi umum yakni
membaca apa saja yang dapat dibaca dan berguna, baik untuk diri si pembaca
maupun umat manusia umumnya. Tidak perduli apakah yang dibaca itu tertulis atau
tidak tertulis, seperti membaca atau meneliti alam semesta.
Berdasarkan
uraian diatas turunnya perintah membaca tanpa menyebut obyek bacaan secara
eksplisit pada wahyu pertama, dimaksudkan agar perintah tersebut berkonotasi
luas sehingga dapat memuat pesan-pesan yang lebih kondusif dan kondisi umat
untuk memajukan kehidupan mereka di muka bumi ini. Dengan demikian, materi
membaca dalam pendidikan sangat penting dan mempunyai efek yang amat besar
dalam memajukan kehidupan.
Selanjutnya
adalah kata باسم yang berasal dari
kata bi dan ism. Huruf bi
biasanya diterjemahkan kata
"dengan". Ada pendapat maksud dari bi ini antara lain:
1. Huruf ba'
(ب)yang dibaca bi tersebut adalah
sisipan yang tidak menambah suatu makna tertentu melainkan hanya sekedar
memberi tekanan kepada perintah tersebut. Pendapat ini menjadikan kata ismi
(اسم) sebagai objek dari perintah iqra'
seperti yang dikemukakan di atas.
2. Huruf
ba' (ب)
tersebut mengandung arti "penyertaan" atau mulâbasah
sehingga ayat tersebut berarti "Bacalah disertai dengan Nama
Tuhanmu!"[11]
Kata rabb dari
kata rabba terdiri dari huruf ra`, ba`,dan mu'tal berarti
peningkatan, penambahan, pengembangan atau pertumbuhan.[12]
Kata tersebut akhirnya mengacu pada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian,
dan perbaikan. Dalam kata rabba mengandung makna pendidikan karena akar
katanya berasal dari تربية
(artinya ‘pendidikan’). Dengan demikian dapat dipahami bahwa terkandung unsur
pendidik dalam ‘diri’ Tuhan (rabb). Kata rabbika dalam ayat ini
berarti Tuhanmu, sebab Tuhanlah yang mendidik, memelihara, memperbaiki manusia.
Itu semua pada hakekatnya adalah pengembangan, peningkatan, perbaikan,
meninggikan kemampuan yang menjadi obyek didik, yaitu manusia.
Kata خلق (khalaqa) bermakna memberi ukuran sesuatu dan menghaluskan sesuatu. Dalam bahasa
Indonesia, kata khalaqa biasa
diartikan "menciptakan" atau "menjadikan". Yang dimaksud
adalah menciptakan dari tiada, atau menciptakan tanpa satu contoh terlebih
dahulu,[13]
berbeda dengan kata padanannya, yaitu جعل
(ja’ala). Kata خلق menunjuk pada wujudnya sesuatu baik melalui bahan yang telah
ada sebelumnya ataupun belum ada, serta menekankan wujud tersebut sangat
hebat. Sedangkan kata جعل memberi pengertian mewujudkan sesuatu dari bahan yang sudah ada
sebelumnya.
Kata الانسان
berasal dari akar kataأنس (unsun) berarti senang, jinak, dan
harmonis, نسي
(nisyun) berarti lupa, dan نوس (nawsun) yang berarti gerak dan
dinamika. Dengan demikian manusia itu tercakup adanya pisik dan psikis yang
mempunyai sifat lupa, selalu ingin bergerak maju dan dinamis. Kata insan menggambarkan
manusia dengan berbagai keragaman sifatnya, kata ini berbeda dengan kata basyar yang
juga diterjemahkan dengan manusia, tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada
manusia dengan segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seseorang
manusia dengan mansia lain.
Manusia adalah
makhluk pertama yang disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama, bukan
saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau segala sesuatu
dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya,
tetapi juga karena kitab suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi
pelita kehidupannya.
Salah satu
cara yang ditempuh oleh al-Qur’an untuk menghantar manusia menghayati pentunjuk
Allah adalah memperkenalkan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses
kejadiannya. Kata علق (‘alaq) berarti
menggantungkan sesuatu.[14]
Sementara dalam kamus bahasa Arab, ‘alaq digunakan dalam arti segumpal
darah, juga dalam arti cacing yang terdapat di dalam air bila diminum oleh
binatang maka ia tersangkut di kerongkonganya. Banyak ulama masa lampau
memahami ayat di atas dalam pengertian pertama. Tetapi ada juga yang
memahaminya dalam sesuatu yang tergantung di dinding rahim. Ini karena para
pakar embriolog menyatakan bahwa setelah terjadinya pertemuan antara sperma dan
indung telur ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudian
delapan demikian seterusnya sambil bergerak menuju ke kantong kehamilan dan
melekat bertempat serta masuk ke dinding rahim.[15]
Pada ayat
ketiga Allah mengulang perintah membaca (iqra’). Hal ini menunjukkan
bahwa membaca dalam kaitannya dengan proses pendidikan harus dilakukan secara
berulang-ulang dan terus menerus. Maka tidak salah kiranya bahwa dalam ilmu
pendidikan sekarang ini dikenal istilah repetisi (pengulangan) karena pentignya
proses pengulangan dalam pendidikan, sebagaimana diisyaratkan Allah melalui
pengulangan kata iqra’.
Pada ayat
ketiga ini pula perintah membaca dikaitkan dengan sifat karimnya Allah (وربك الأكرم). Menurut imam al-Ghozali[16]
sifat ini menunjuk kepadaNya yang mengandung makna antara lain bahwa : Dia yang
bila berjanji menepati janjinya, bila memberi melampaui batas memberi. Dia yang
tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila
atau kecil hati, menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapapun yang menuju
yang berlindung kepada-Nya, dan tidak membutuhkan sarana atau perantara.
Kata al-Karim
yang menyifati Allah dalam al-Qur’an kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan
kata Robb bahkan demikian juga kata akrom sebagaimana
terbaca dalam Q.S al-‘Alaq ayat 3 ini. Penyifatan kata Robb dan Karim menunjukkan
bahwa kata karom atau anugerah kemurahannya dalam berbagai
aspek, dikaitkan dengan rububiyahnya, yakni Pendidikan, Pemelihara dan
Perbaikan makhluknya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya
selalu bersamaan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan.
Disini kita
dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan ke tiga,
yakni yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika
membaca (dalam segala pengertian), yaitu membaca demi karena Allah, sedang
perintah yang ke dua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan bahkan
pengulangan bacaan tersebut.
Dalam Q.S
al-‘Alaq ayat ketiga Allah menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca dengan
ikhlas karena Allah maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan,
pemahaman, wawasan baru walaupun yang dibacanya sama. Apa yang dijanjikan ini
terbukti sangat jelas. Kegiatan “membaca” ayat al-Qur’an menimbulkan penafsiran
baru atau pengembangan dari pendapat yang telah ada. Demikian juga kegiatan
membaca alam raya ini telah menimbulkan penemuan baru yang membuka rahasia
alam, walaupun objek bacaannya sama. Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh generasi
terdahulu dan alam raya yang mereka huni adalah sama-tidak berbeda, namun
pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.
C.
Hakekat & Tujuan Pendidikan
Kata ‘allama
(علّم) bermakna mengajarkan,[17]yakni
mengajarkan pengetahuan dan juga keterampilan. Ayat keempat Q.S al-‘Alaq ini
menunjukkan sebuah proses pendidikan, dimana Allah mensifati diriNya dengan
“Yang mengajari dengan perantaraan qalam”.
Pada ayat ini
Allah juga mengajarkan kepada kita tentang konsep pendidikan, bahwa pendidikan
haruslah melalui metode, media, sarana, dan sebagainya. Kata qolam
biasa diterjemahkan sebagai “pena”. Qalam dalam ayat ini dapat berarti
hasil dari penggunaan qalam tersebut, yakni tulisan. Penafsiran ini
muncul karena bahasa, sering kali menggunakan kata yang berarti alat atau
penyebab untuk menunjuk akibat atau hasil dari penyebab atau penggunaan alat
tersebut, misalnya, jika seseorang berkata “saya hawatir hujan” maka yang dimaksud
dengan kata “hujan” adalah basah atau sakit.
Makna di atas
dikuatkan oleh firman Allah dalam surat al-Qolam ayat pertama:
úc
4 ÉOn=s)ø9$#ur $tBur tbrãäÜó¡o ÇÊÈ
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis,
Disebutkan
dalam sekian banyak riwayat bahwa awal surat al-Qolam turun setelah akhir ayat
ke lima surat al-‘Alaq. Ini berarti dari segi masa turunnya kedua kata qolam
tersebut berkaitan erat, bahkan bersambung walaupun urutan penulisannya dalam
mushaf tidak demikian.
Penyebutan
kata qalam disini juga mengandung rahasia besar yang terkandung dalam
fungsi qalam itu sendiri. Berkat adanya qalam dan berkembangnya
tulis menulis, ilmu pengetahuan dapat ditransferkan dan dikomunikasikan secara
lebih mudah dan kekal. Dengan adanya tulisan (yang dihasilkan dari qalam)
ini, maka proses pendidikan dapat ditempuh tanpa melalui tatap muka, bahkan
meskipun dari masa yang berbeda.
Pemilihan kata
قلم sebagai
pengganti kata كتابة yang berarti “tulisan”, menggambarkan betapa
pentingnya peranan alat tulis bagi umat manusia, baik alat itu yang berbentuk
sederhana seperti pensil maupun yang canggih seperti komputer dan alat
percetakan, yang kesemuanya harus berperan untuk mencerdaskan umat manusia.
Meskipun pada
ayat keempat tidak disebutkan tentang siapa dan apa yang diajarkan, namun pada
ayat kelima Allah menyebutkan علّم الإنسان مالم يعلم (Allah
mengajarkan kepada manusia segala sesuatu yang belum diketahuinya). Ada
tiga pendapat mufassir tentang ‘manusia’ yang dimaksud dalam ayat kelima ini.
Pertama, menyatakan bahwa yang dimaksudkan sebagai ‘manusia’ pada ayat kelima
ini adalah nabi Adam, dengan berdasar pada ayat 31 Q.S al-Baqarah. Kedua,
berpendapat bahwa ‘manusia’ disini adalah nabi Muhammad dengan dasar ayat 113
Q.S an-Nisa. Sedang pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksudkan sebagai
‘manusia’ pada ayat ini adalah manusia dalam arti umum. Pendapat terakhir ini
merujuk pada ayat 70 Q.S an-Nahl.
Merujuk pada
pendapat para mufassir di atas maka dapat disimpulkan isi kandungan surat
al-’Alaq ayat 1-5 yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai berikut
:
1.
Dalam kaitannya dengan metode pengajaran dalam
pendidikan Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah sebuah cara yang
dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak
sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.[18]
Jadi, metode pembiasan adalah cara yang sistematis yang dilakukan oleh seorang
guru kepada muridnya agar murid tersebut menjadi terbiasa.
Dalam teori perkembangan anak didik dikenal
ada teori konvergensi,[19]
di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan
potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah
laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan
agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui pembiasaan
yang baik.
2.
Allah SWT. memerintahkan Nabi Muhammad untuk
membaca. Menurut Muhammad ar-Razi bahwa iqra
yang pertama ditunjukkan kepada diri Nabi Muhammad saw, sedangkan iqra yang kedua untuk disampaikan atau
yang pertama untuk belajar dari Jibril
dan yang kedua untuk mengajarkan kepada orang lain. Iqra’ secara luas
berarti bacalah dan bacakanlah, belajar dan pelajarilah dan ta’lim dan
ta’limkanlah. Ta’lim dalam surat al-’Alaq berarti perintah untuk
mendalami, mengalami, menyelami, memahami dan menghayati yang dibaca. Oleh
karena itu, iqra di sini juga memiliki
arti untuk menyampaikan (ta’lim), memberikan, memberitahukan, mewarisikan,
memanfaatkan dan mengamalkan yang dibaca.[20]
3.
Metode takror
atau pengulangan. Berulang-ulangnya kata
iqra pada ayat pertama dan ketiga pada Q.S al-‘Alaq ini memberikan indikasi bahwa kemurahan Allah
itu akan datang setelah membaca dengan berulang-ulang. Menurut pemahaman Abduh menurutnya kepandaian
membaca merupakan suatu kemampuan yang tak dapat dikuasai oleh seseorang
kecuali dengan mengulang-ulang atau melatih diri secara teratur. Disamping itu
pengulangan kata iqra bertujuan
untuk menguatkan, karena membaca tidak
akan nyata kecuali dengan diulang-ulang dan dibiasakan.
Dalam Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 ini
juga dapat dirumuskan tujuan pendidikan yaitu upaya membina jasmani dan rohani
manusia dengan segenap potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga
dapat melahirkan manusia yang seutuhnya. Pelajaran agama misalnya untuk
ditujukan untuk membina sikap keberagaman, pelajaran matematika ditujukan untuk
membina potensi berpikir, pelajaran sejarah ditujukan untuk membina potensi
bermasyarakat.
Pada ayat ketiga, terkandung arti
tentang mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan,
menganalisa, menyimpulkan, membina, dan membuktikan. Dengan demikian ayat
tersebut erat kaitannya dengan metode pendidikan. Sebagaimana halnya dijumpai
pada metode Iqra dengan sifat Tuhan yang Maha Mulia.
Terkait dengan tujuan pendidikan,
Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 ini mengajarkan tentang pendidikan yang memberikan (lebih
tepatnya, mewariskan) pengetahuan-pengetahuan kepada manusia, namun juga
menghargai dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut.
III. KESIMPULAN
Al-Qur’an menekankan tentang pentingnya pendidikan bagi manusia
terlihat dari kandungan Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 yang merupakan ayat yang pertama
kali diturunkan. Al-Qur’an juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah,
meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah,
meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang
memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan hati, manusia
mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan.
Selain membaca dalam arti belajar, manusia juga diperintahkan untuk
mengajar, sebagaimana makna yang terkandung dalam kata اقرأ yang diulang hingga sebanyak dua kali. Melalui Q.S al-‘Alaq
ayat 1-5 ini, al-Qur’an juga mengajarkan tentang metode pembelajaran dengan membaca, menulis, pembiasaan dan pengulangan.
Q.S al-‘Alaq ayat 1-5 juga telah menjelaskan hakikat dan tujuan
pendidikan, yakni upaya membina jasmani dan rohani manusia dengan segenap
potensi yang ada pada keduanya secara seimbang sehingga dapat melahirkan
manusia yang seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir
al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma),
terj. Muhammad Bagir, Bandung: Mizan, 1999.
Al-Raghib al-Ashifani, Al-Mufradat
fi Ghaaribi al-Qur’an. tt:Mansyurat al-Asr al-Hadist, t.t.
Arif, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Agama Islam, Jakarta:Ciputat Pres, 2002.
Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir
Tematik Dalam Al-Qur’an, terj.Qodirun Nur, Jakarta; Gaya Media Pratama,
2004.
Hasby al-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2002.
Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt,
Nata, Abudin, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat At-Tarbawy), Jakarta:Rajawali
Pers, 2009.
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,
Bandung:Remaja Rosdakarya, 2000.
Rahman, Afzalur, Ensiklopediana
Ilmu Dalam Al-Quran, terj.Taufik Rahman, Bandung: Mizania, cet.II, 2007.
Shaleh, Qomaruddin, Asbabun
Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an , Bandung:
Diponegoro, tt.
Shihab, M. Quraish, Tafsir
al-Amanah. Jakarta: Pustaka Kartini,1992.
______________, Tafsir al-Qur'an
al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Wahyu, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997.
Sudjana, Nana, Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar, Bandung:Sinar Baru, 1988.
Thoha, Chabib, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam,
Semarang: Pustaka Pelajar, 1996.
Maktabah Syamilah, versi 3.48
[1] Al-‘Alaq ( العلق )dalam bahasa Arab berarti segumpal darah), diambil dari perkataan Alaq yang
terdapat pada ayat 2 surat ini. Surat ini dinamai juga dengan Iqra atau Al
Qalam.
[3] Sebagaimana keterangan dalam buku Asbabun
Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an karya K.H
Qomaruddin Shaleh, dkk. Lihat Qomaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul, Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Alqur’an , Bandung: Diponegoro, tt,
583-584.
[4] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat
Pendidikan (Tafsir Al-Ayat At-Tarbawy), Jakarta:Rajawali Pers, 2009,
39-41
[6] Kelengkapan hadits ini dapat dilihat
dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Shahih
Bukhari, Juz I halaman 5; Shahih Muslim, Juz I halaman 381.
[7] Al-Raghib al-Ashifani, Al-Mufradat fi
Ghaaribi al-Qur’an. tt:Mansyurat al-Asr al-Hadist, t.t, 402..
[9] Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Juz ‘Amma), terj. Muhammad
Bagir, Tafsir Juz ‘Amma Muhammad Abduh, Bandung: Mizan, 1999, 248.
[11]
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur'an
al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Wahyu, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997, 80.
[15] Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu Dalam
Al-Quran, terj.Taufik Rahman, Bandung: Mizania, cet.II, 2007, 194-197.
[16] Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik
Dalam Al-Qur’an, terj.Qodirun Nur, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004,
659-660.
[18] Armai Arif,
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Agama Islam,
Jakarta:Ciputat Pres, 2002, 108.
Posting Komentar