KAJIAN TASAWUF KONTEMPORER
Review atas buku “IBN AL-‘ARABI,
Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan”
Karya Dr.
Kautsar Azhari Noer
I.
PENDAHULUAN
Tasawuf
merupakan fenomena universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih
kebenaran hakiki. Tasawuf seringkali digambarkan sebagai sebuah perjalanan
batiniyah melalui kontemplasi dan meditasi sehingga dicapai makna simbolik yang
bersifat intuitif. Fenomena ini terjadi tidak hanya dalam agama Islam semata,
akan tetapi juga dapat ditemui dalam agama lain. Tasawuf dalam agama Islam
memang muncul setelah umat Islam mengalami kontak dengan agama-agama lain, semisal
Kristen, filsafat Yunani, Hindu, dan Budha. Bahkan banyak pula pendapat bahwa
tasawuf dalam khazanah Islam memang akibat pengaruh dari agama-agama yang sudah
terlebih dahulu muncul itu, meskipun pendapat ini juga masih perlu pembuktian
lebih lanjut.
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga jenis, yaitu tasawuf falsafi, tasawuf akhlaki dan tasawuf amali. Ketiga macam
tasawuf ini tujuannya sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan
perbuatan terpuji, Dengan demikian, dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf
seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini
berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan, Pada tasawuf falsafi pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf
ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan
para filsuf, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan
Tuhan dan lain sebagainya. Dalam tasawuf akhlaki, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli
(mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan
akhlak yang terpuji), dan membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi
tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan amaliyah atau wirid, yang selanjutnya di sebut sebagai
tarekat.
Para sarjana
kontemporer telah banyak mempelajari keragaman dan dinamika yang ada dalam
fenomena mistik tasawuf sebagaimana termanifestasi dalam tradisi. Mereka
berupaya menelusuri berbagai makna dan ragam tentang tasawuf dari berbagai
konteks. Meskipun terjadi perdebatan dalam bagaimana seharusnya studi tasawuf
dimulakan, tetapi justru kedua pendapat yang diperdebatkan itu merupakan hal
penting dan tak mungkin dihindarkan.[1]
Dr. Kautsar Azhari Noer merupakan salah satu diantara sekian banyak sarjana
yang memfokuskan perhatiannya pada sisi mistisisme Islam. Salah satu karyanya
adalah buku berjudul “IBN AL-‘ARABI, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan”.
Ketertarikan
Kautsar dan keberaniannya membahas tentang Ibn ‘Arabi[2]
dan pemikirannya menjadi menarik karena kontroversi yang meliputi Ibn ‘Arabi.
Paling tidak, menurut analisis Komaruddin Hidayat, ada tiga faktor yang
menjadikan pemikiran Ibn ‘Arabi selalu menarik. Pertama, buku-buku Ibn ‘Arabi
memasuki wilayah pembahasan yang amat mendasar dalam pemikiran keagamaan dan
filsafat. Kedua, berkaitan dengan bahasa agama, dimana bahasa manusia dianggap
tidak mampu menghadirkan Realitas Absolut secara tuntas dan persis sama.
Ketiga, figur dan tradisi sufi-filsuf semacam Ibn ‘Arabi dan Suhrawardi[3]
cenderung dicurigai dan kurang populer dalam masyarakat Sunni. Faktor ketiga
ini dikarenakan kuatnya tradisi kalam dan fikih, sehingga pemikiran reflektif
Ibn ‘Arabi dikhawatirkan akan menggoncangkan iman.[4]
Makalah
berikut ini akan mereview tentang karya Kautsar yang secara khusus
membahas tentang ajaran dan pemikiran Ibn ‘Arabi serta kontroversi yang
meliputinya, yaitu buku yang berjudul “IBN AL-‘ARABI, Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan”.
II.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat Dr. Kautsar Azhari Noer
Dr. Kautsar
Azhari Noer dilahirkan di Batuampar, Payakumbuh pada 4 Maret 1951 dari seorang
ayah bernama H. Azhari Noer dan ibu bernama H Ainun S. Setelah menamatkan
pendidikannya di KMI Pondok Modern Gontor, Ponorogo pada tahun 1973, dia
melanjutkan studi sarjana di IAIN pada bidang perbandingan agama. Selanjutnya
ia meneruskan pendidikan S2 dan S3 di IAIN Syarif Hidayatullah. Ia
menyelesaikan studi S3 pada tahun 1993 dengan judul disertasi “Wahdat al-Wujud
Ibn al-’Arabi dan Panteisme”. Disertasi inilah yang kemudian disusun
menjadi sebuah buku yang direview pada makalah kali ini. Kautsar pernah
pula menjalani kuliah dan melakukan riset selama setahun untuk disertasinya di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada.
Saat buku ini
diterbitkan, Kautsar menjabat sebagai Ketua Jurusan Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah. Sampai saat ini Kautsar masih menjadi
pengajar di IAIN Jakarta. Kautsar banyak menulis artikel ilmiah di berbagai
jurnal dan majalah. Masalah yang sering dibahas berkaitan dengan perbandingan
agama dan dialog antar agama.
Dia dikenal
sebagai ahli perbandingan agama yang memiliki pandangan-pandangan liberal.
Sebagian kelompok menganggap Kautsar sebagai tokoh liberal yang nyeleneh dan
harus di”waspadai”[5],
bahkan dia juga dianggap sebagai seorang penyebar faham sekularisme, pluralisme
dan liberalisme.[6]
Sepertinya pandangan-pandangan ini memang tidak lepas dari ketertarikan
ilmiahnya pada hal-hal yang bagi banyak orang dianggap tabu, seperti
ketertarikannya pada pemikiran Ibn ‘Arabi. Kautsar merupakan salah satu
diantara sedikit sarjana Indonesia yang tergabung sebagai anggota dalam Ibn
al-‘Arabi Society.[7]
B.
Metodologi Penelitian
1. Latar belakang
Perjalanan sejarah
tasawuf banyak diliputi dengan berbagai kecurigaan dan kecaman dari golongan
Islam ortodoks.[8]
Konflik tersebut semakin menajam sejak munculnya kecenderungan ke arah
panteisme[9]
sebagaimana ajaran yang muncul dalam ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami
dan ajaran hulul Husayn ibn Mansur al-Hallaj. Dominasi Islam ortodoks
seringkali menganggap ajaran tasawuf sebagai ajaran yang menyimpang dari ajaran
tauhid sebagaimana dalam Qur’an dan Hadits.
Periode
selanjutnya, dari kalangan sufi sendiri muncul gerakan pembaharuan yang mencoba
mengintegrasikan ajaran syariat dan tasawuf. Gerakan tersebut dipelopori oleh
tokoh-tokoh semacam al-Kharraz, al-Junayd, al-Kalabadzi, dan al-Ghazali.
Hasilnya, tasawuf dapat diterima oleh umat Islam. Namun, keadaan itu kembali
tercemar tatkala muncul kembali gerakan yang dianggap cenderung kepada panteisme,
yaitu ajaran wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi. Ibn al-‘Arabi dan
pengikutnya dianggap menganut ajaran yang menyamakan Tuhan dengan alam.
Ajaran wahdat
al-wujud Ibn al-‘Arabi telah menimbulkan perdebatan yang sangat panjang
antara para pengecam dan pembela ajaran ini. Pokok persoalan yang diperdebatkan
adalah hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Berbeda dengan Abu Yazid
Busthami dan al-Hallaj yang mengungkapkan perkataan-perkataan aneh dalam
keadaan syatahat[10],
Ibn al-‘Arabi menyampaikan pendapatnya sebagai hasil dari kejeniusannya yang
tinggi dan perenungannya yang mendalam dan imajinatif. Beberapa tokoh yang
sangat keras mengkritik ajaran Ibn al-‘Arabi adalah Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, al-Taftazani dan al-Biqa’i.
Perbedaan
pendapat tentang ajaran wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi (apakah termasuk
panteisme atau tidak) terjadi di kalangan umat Islam sendiri, dan bahkan di
kalangan para orientalis. Para pengecam ajaran ini menganggap bahwa ajaran ini kufr,
zandaqah. Sebaliknya para pembelanya berpendapat bahwa ajaran Ibn al-‘Arabi
ini adalah tauhid paling tinggi. Atas dasar uraian di atas, Kautsar merasa
penting untuk meneliti tentang ajaran Ibn al-‘Arabi mengingat pengaruh ajaran
ini yang sangat besar karena berkaitan langsung dengan tauhid.
2. Sumber data
Dalam
penelitiannya, Kautsar banyak mengambil data dari berbagai sumber yang beragam.
Sumber-sumber primer yang digunakan adalah dua karya Ibn ‘Arabi yang berjudul al-Futuhat
al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikam. Judul lengkap al-Futuhat
al-Makkiyyah adalah Kitab al-Futuhat al-Makkiyyah fi Ma’rifat al-Asrar
al-Malikiyyah wa al-Mulkiyyah. Menurut Ibn ‘Arabi, kitab al-Futuhat
al-Makkiyyah ini didiktekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham.[11]
Karya yang mulai disusun di Makkah pada 598/1202 dan selesai di Damaskus pada
629/1231 tersusun atas 560 bab dan mengandung uraian-uraian tentang prinsip
metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi.
Sedang Fusus
al-Hikam merupakan ikhtisar dari ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Dalam pengakuannya, Ibn ‘Arabi melihat Nabi Muhammad pada
bagian terakhir Muharram 627/Desember 1229 di Kota Damaskus membawa kitab Fusus
al-Hikam dan menyuruhnya agar menyebarkan kitab itu kepada umat manusia
agar mereka dapat mengambil manfaat darinya. Berdasar pengakuannya, Ibn ‘Arabi
menerima Fusus al-Hikam dari Nabi Muhammad sebagaimana adanya tanpa
penambahan dan pengurangan sedikitpun. Karya ini mengandung dua puluh tujuh
bab, tiap bab memakai nama seorang nabi untuk judulnya. Pemakaian nama nabi
disini sesuai dengan bentuk kebijaksanaan (hikmah) yang dijelaskan pada bab
tersebut.[12]
Dua karya di
atas dipakai karena Kautsar menganggap bahwa dua karya inilah yang paling
banyak mengandung pemikiran Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujud. Meskipun
dua karya di atas merupakan sumber utama
penelitiannya, namun Kautsar juga banyak mengutip karya Ibn ‘Arabi yang lain,[13]
karya-karya syarah atas karya Ibn ‘Arabi, dan juga hasil
penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang wahdatul wujud dan Ibn
‘Arabi.
3.
Metode penelitian
Metode yang
digunakan Kautsar dalam penelitiannya ini adalah metode analisis deskriptif
dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi merupakan
strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat
pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Memahami
pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai
suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan seorang peneliti
untuk mengkaji sejumlah subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama
di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna. Dalam proses
ini, peneliti mengesampingkan pengalaman-pengalaman pribadinya terlebih dahulu agar
ia dapat memahami pengalaman-pengalaman partisipan yang ia teliti.[14]
Dalam
melakukan penelitiannya, Kautsar Azhari Noer mengadakan studi pustaka (kajian
literer) secara mendalam terhadap pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi. Setelah
mendapatkan gambaran dan keterangan yang cukup tentang wahdat al-wujud
Ibn ‘Arabi, Kautsar selanjutnya mengkomparasikan dengan konsep Barat yang
dianggap sama dengan konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, yaitu konsep
panteisme, panenteisme, maupun monisme. Dalam melakukan pendekatan terhadap
konsep wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, Kautsar mengambil pendekatan filosofis-teologis,
yaitu mendekati pandangan Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujud dengan
menekankan pada alasan-alasan rasional yang dapat dijangkau akal dan tidak
mengabaikan teori-teori agama untuk memberikan taukid atau penguatan.
C.
Biografi Ibn ‘Arabi
Ibn
‘Arabī dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di
Murcia, Spanyol bagian tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh
Muḥammad Ibn Sa’īd Ibn Mardanīsy.[15] Sebagai
anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan
besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya dihabiskan ditengah
konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibn Mardanīsy,
penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri dengann
bantuan tentara bayaran Kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid),
leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibn Mardanīsy berdiam di Murcia dan
Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia beresekutu
dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela
kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥḥidīn, meskipun kekuasaannya
semakin surut ketika Ibn ‘Arabī lahir.
Nama
lengkap Ibn Arabi adalah Muḥammad Ibn ‘Alī Ibn Muḥammad Ibn ‘Arabī al-Ṭā’ī
al-Hātimī. Nama ini dibubuhkan oleh Ibn ‘Arabī dalam Fihrits (katalog
karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī
memanggilnya Abū ‘Abd Allāh. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai
Ibn ‘Arabī. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat,
sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga
berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lain
yang terkenal, yakni Abū Bakr Muḥammad Ibn ‘Abdillah Ibn al-‘Arabī al-Ma’arifi
(1076-1148), seorang ahli hadits dan kepala hakim di Sevilla. Dari nama lengkap
tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang mengaguminya ia
diberi gelar, antara lain Muḥyi al-Dīn (Penghidup Agama) dan Syaikh
al-Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua
gelar itu menjadi : Syaikh al-Akbar Muhyi al-Dīn Ibn ‘Arabī.
Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn
al-‘Arabī (dengan al), atau Ibn ‘Arabī saja (tanpa al).
Sebagian
besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang
baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang
baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi, hampir bisa
dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al Qur’an oleh
salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang kemudian
sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai
pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan
sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih,
teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang
penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.[16]
Selama
menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai
tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk
mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang
sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di
Kordova. Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf besar
Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu
Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling
terkenal di Eropa, karena ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles dan
dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang
Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles. Percakapan Ibnu ‘Arabi dengan filsuf
besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan
intelektual. Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi
antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik yang kemudian membagi
pemikiran Islam secara keseluruhan kedalam dua cabang. Fakta bahwa sufi muda
mengalahkan filsuf peripatetik itu dalam tukar pikiran tersebut dengan tepat
menunjukan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman mistik Ibnu’Arabi,
yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama
lain dalam kesadaran metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya
berhubungan paling dekat dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang
ketat. Ibnu’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat
peripatetik, sehingga ia bisa atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman
spiritual batinnya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar
sebagaimana terdalam dalam hubungan dengan struktur metafisikanya kedalam waĥdatul
wujūd.[17]
Setelah
pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun
580 H (1184 M), Ibn ’Arabī mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan
duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat
adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidīn bersama-sama shalat di Masjid Agung
Kordova. Masa jahiliyah yang dialami Ibn ‘Arabī tak lain hanyalah sebuah
fase ghaflah, fase kealpaan atau “kebingungan”. Sejak saat itu Ibn
’Arabī mengabdikan diri pada kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah
sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Īsā, Mūsā dan Muḥammad SAW. Ia
memutuskan untuk mengambil jalan zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan
duniawinya. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya salah satu sumber
penghidupannya adalah pemberian dan sedekah yang diterimanya dari para sahabat
di jalan spiritual dan dari sebagian kerabatnya semasih tinggal di Timur.
Baginya hal itu merupakan wujud pengabdian murni (al-‘ubūdiyyah al-mahḍah)
yang mengharuskan seorang wali meninggalkan semua hak dan harta yang akan
membuatnya tetap ingat akan rububiyyah, ketuhanan. Pada beberapa
bagian karyanya, Ibn ‘Arabī menyebutkan secara tersurat maupun tersirat
upayanya untuk “kembali kepada Allah”. Di sana, kita dapat secara langsung
mencatat pengulangan beberapa istilah kunci: khalwah (“penyendirian”), fath
(“pencerahan”), mubasysyirah atau sesekali wāqi’ah (“mimpi”),
tawbah (“tobat”) dan rujū’ (“kembali”). Semua istilah
tersebut mewakili begitu banyak kepingan asimetris, yang, jika dikumpulkan dan
disusun secara koheren, memungkinkan kita membentuk kembali sebuah catatan
logis mengenai rentetan fase dalam proses kembalinya Ibn ‘Arabī kepada Allah.[18]
Sejak
fase ini, Ibn ‘Arabi banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru Andalusia,
semenanjung Liberia, Tripoli, Tunisia, Mesir, dan Makkah dalam rangka pencarian
spiritualnya. Selama dua tahun di Makkah (1202 – 1204), Ibn ’Arabī sibuk dalam
penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah: Misykāt al-Anwār,
Hilyat al-Abdāl, Rūh al-Quds dan Tāj al-Rasā’il. Namun
karyanya yang paling monumental adalah Futuḥāt al-Makkiyyah, yang
diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang
menjadi masterpiece-nya ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf
di Ka’bah, di mana dia bertemu dengan figur pemuda misterius yang memberinya
pengetahuan tentang makna esoterik dari al-Qur’ān . Di samping itu, sebuah visi
tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni
sebagai penutup kewalian.[19]
Pada
tahun 1223 (620 H) Ibn ’Arabī menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya,
kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang
panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi
panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat
terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl
menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ’Arabī merampungkan karya
besarnya Futuḥāt al-Makkiyyah dan juga Fuṣūṣ
al-Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya.[20]
Ibn
’Arabī wafat di Damaskus pada November 1240 (22 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam usia
76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus, Ibn al-Zaki dan dua orang murid Ibn ’Arabī
melakukan upacara pemakamannya. Ibn ‘Arabi dimakamkan di Salihiyyah, di kaki
Bukit Qasiyun di bagian Utara kota Damaskus. Tempat pemakaman Ibn ‘Arabi ini
merupakan tempat yang sering dikunjungi umat muslim karena dianggap sebagai
tempat yang disucikan semua nabi, khususnya nabi Khadlir.[21]
D.
Wahdat al-Wujud Ibn ‘Arabi
Sebelum jauh
membahas tentang ajaran wahdat al-wujud, perlu kiranya dibahas tentang
sejarah istilah “wahdat al-wujud” itu. Sebenarnya Ibn ‘Arabi (meskipun
banyak dianggap sebagai ajaran wahdat al-wujud) tidak pernah memakai
istilah “wahdat al-wujud” dalam karya-karyanya. Hanya saja
ajaran-ajarannya memang mengandung ide tentang wahdat al-wujud. Ibn
‘Arabi tidak hanya menekankan tentang keesaan wujud, tetapi juga menekankan
keanekaan realitas. Ia mengajarkan tentang konsep tanzih dan tasybih;konsep
al-batin dan al-zahir; al-haqqadalah satu. Al-Qunawi merupakan
murid dari Ibn ‘Arabi yang paling tidak dalam dua kesempatan menyebutkan
istilah “wahdat al-wujud”. Dengan demikian al-Qunawi lah orang pertama
yang menggunakan istilah “wahdat al-wujud”.
Selanjutnya
istilah wahdat al-wujud banyak dikutip oleh para tokoh. Seorang yang
dianggap paling berperan dalam mempopulerkan istilah wahdat al-wujud adalah
Taqiyuddin Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyyah
sering menggunakan istilah wahdat al-wujud dalam mengecam ajaran Ibn
‘Arabi. Bahkan Ibn Taimiyyah menggunakannya sebagai judul dua uraiannya: Ibtal
wahdat al-wujud dan Risalah ila man sa’alahu ‘an haqiqat madzhab
al-ittihadiyyah ay al-qa’ilin bi wahdat al-wujud. Menurut Ibn Taimiyyah, wahdat
al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Pengertian ini berbeda dengan
ajaran Ibn ‘Arabi karena Ibn Taimiyyah hanya melihat aspek tasybih saja,
sedangkan menurut Ibn ‘Arabi konsep tasybih dan tanzih adalah tak
terpisahkan.
Ibn ‘Arabi
membedakan tiga jenis kategori ontologis. Pertama, yang ada dengan zatnya
sendiri dalam entitasnya. Wujudnya mustahil dari tiada. Ia adalah wujud absolut
(al-wujud al-mutlaq). Kedua, yang ada dengan Tuhan (diwujudkan oleh
Tuhan). Ia adalah wujud terikat atau terbatas (al-wujud al-muqoyyad). Ia
berwujud hanya karena Tuhan; tidak memiliki wujud sendiri tetapi dari Tuhan.
Kategori ini diidentifikasi sebagai alam material dan segala yang ada di
dalamnya. Ketiga, yang bersifat wujud dan tidak pula ‘adam; tidak
huduts dan tidak qidam. Secara ontologis ia adalah Tuhan dan
alam, tetapi pada saat yang sama ia bukan Tuhan dan bukan alam.
Dilihat dari
segi zat-Nya, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam, melebihi dan mengatasi
alam. Karena itu, Tuhan diluar jangkuan pengetahuan manusia, tidak dapat
dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan apa pun. Tetapi
dilihat dari segi nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang termanifestasi dalam alam,
Tuhan serupa dan mirip dengan alam karena alam melalui alam Tuhan menampakkan
diri-Nya. Tuhan memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam. Alam adalah
perwujudan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Alam mempunyai keserupaan dan
kemiripan dengan Tuhan pada tingkat tertentu. Alam adalah tanda atau ayat yang
memberitahu identitas Tuhan. Melalui alam, manusia dapat mengetahui Tuhan.
Demikianlah pandangan Ibn ‘Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua
segi: kemisterian dan penampakan diri. segi pertama disebut tanzih dan
segi kedua kedua disebut tasybih.
Dalam ilmu
kalam, penekanan pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan
dengan demikian tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih,
sedangkan penekanan pemahaman bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat
tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam
melahirkan konsep tasybih. Tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha,
yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu
yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”) dipergunakan para ahli ilmu
kalam untuk “menyatakan atau menganggap bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari
semua ketidaksempurnaan,” yaitu semua sifat yang serupa dengan sifat-sifat
makhluk meskipun dalam kadar yang paling kecil. Dengan kata lain, tanzih
menyatakan bahwa Tuhan melebihi sifat atau kualitas apa pun yang dimiliki oleh
makhluk-makhluk-Nya. Adapun tasybih (berasal dari kata kerja syabbaha,
yang secara harfiah berarti “menyerupakan atau menganggap sesuatu serupa dengan
yang lain”) dalam ilmu kalam berarti “menyerupakan Tuhan dengan
ciptaan-ciptaan-Nya. Maka tasybih adalah mempertahankan bahwa keserupaan
tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan makhluk”.
Tanzih dan Tasybih
adalah dua istilah kunci yang telah lama dipakai dalam ilmu kalam. Kedua
istilah ini merupakan istilah yang sangat penting dalam perdebatan tentang
hubungan ontologis antara tuhan dan alam sejak periode awal perkembangan ilmu
kalam. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi: kemisterian dan
penampakan diri. Segi pertama disebut Tanzih (Tuhan melebihi sifat atau
kualitas apapun yang dimiliki oleh mahkluk-Nya) dan segi kedua disebut dengan Tasybih
(bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan mahkluk).
Ayat al-Qur’an
yang paling sering digunakan ibn ‘Arabi untuk menjelaskan Tanzih dan Tasybih
Tuhan adalah ayat yang berbunyi Laysa ka-mitslihi syay’, wa-huwa
al-sami’ al-basir (Q.S. 42:11). Ibn ‘Arabi memberikan dua penafsiran
terhadap ayat ini: pertama, bagian pertama yang berbunyi Laysa ka-mitslihi
syay’, menyatakan tanzih, sedangkan bagian kedua yang berbunyi wa
huwa al-sami’ al-basir, menyatakan tasybih Tuhan. Kedua, bagian ayat
pertama menunjukkan tasybih dan bagian ayat yang kedua menyatakan tanzih.
Jadi kedua penafsiran saling bersilang balik. Sehingga Ibn ‘Arabi
memperingatkan kepada kita agar berpegang tidak hanya pada tanzih atau
pada tasybih saja, namun harus berpegang pada keduanya. Ibn ‘Arabi juga
mengecam pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dengan kemampuan akal oleh
para ahli ilmu kalam dan filsuf. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal
tidaklah sempurna. Akal hanya mampu pada hal yang bersifat tanzih, dan
tidak dapat menjangkau tasybih. Pengetahhuan yang sempurna tentang Tuhan adalah
dengan menggabungkan antara tanzih dan tasybih.
Dalam
terminologi Ibn ‘Arabi, tanzih menunjukkan aspek “kemutlakan” (itlaq)
pada Tuhan, sedangkan tasybih menunjukkan aspek “keterbatasan” (taqayyud)
pada-Nya. Dalam pengertian ini Tuhan tidak ‘tidak diketahui’ dan tidak ‘dapat
diketahui’, tidak ‘dapat ditangkap’, tidak ‘dapat dipikirkan’, dan tidak ‘dapat
dilukiskan’. Dia adalah transenden. Satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya
adalah “kemutlakan”.
Dilihat dari
segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan penampakan diri-Nya dalam bentuk-bentuk
alam, Tuhan adalah musyabbah, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya pada
tingkat tertentu. Tuhan adalah “yang menampakan diri” (majla), yaitu
alam, yang tidak lain adalah “lokus penampakan” (mazhar) nama-nama dan
sifat-sifat Tuhan. Dapat pula dikatakan “bahwa alam keseluruhannya adalah
bentuk-bentuk penampakkan diri Tuhan dari segi Nama Yang Tampak. Jika dikatakan
bahwa Tuhan “mendengar” dan “melihat”, itu berarti bahwa Tuhan, dengan
“menampakkan diri-Nya” (tajalla) dalam alam, “mendengar dan melihat”
dalam bentuk setiap siapa dan apa yang mendengar dan melihat, dan dengan kata
lain Tuhan adalah substansi atau “ke-Dia-an” setiap apa yang mendengar dan
melihat. Ini adalah bukti-bukti yang menunjukan dengan tegas bahwa Tuhan serupa
dengan alam.
Penafsiran Ibn
‘Arabi tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan doktrin
ontologisnya tentang wahdat al-wujud, yang bertumpu pada perumusan
ambigu: “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa) sebagai jawaban atas
persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam perumusan ini, terkandung dua
bagian jawaban: bagian positif, yaitu “Dia” dan bagian negatif “bukan Dia”.
Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Dan bagian kedua mengaskan
aspek tanzih Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn al-Arabi
tentang tanzih dan tasybih sejalan dengan prinsip al-jam’ bayn
al-addad, yang memadukan kontradiksi-kontradiksi, misalnya Yang Satu dan
Yang Banyak, unitas dan multisiplitas. Yang Lahir dan Yang Batin. Kontradiksi
yang tidak terpisahkan ini sering digambarkan dengan dua sisi mata koin (coincidentia
oppositorum).
Al-Qur’an
ditafsirkan oleh Ibn ‘Arabi dengan arti yang menyimpang dari arti yang lazim
dipakai. Al-Qur’an dalam arti yang lazim dipakai adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhamad. Al-Qur’an dalam arti ini dikenal sebagai kitab
suci kaum muslimin, yang disebut pula dengan al-furqan. Tetapi Ibn
al-Arabi memakai Al-Qur’an dengan arti “penyatuan”, “pemaduan”, atau “penggabungan”,
yaitu penyatuan antara tanzih dan tasybih.
E.
Wahdat al-wujud dan Panteisme
Kata “panteis”
pertama kali dipakai oleh John Toland, dari Irlandia dalam karyanya Socianism
Truly Stated pada tahun 1705. Sedangkan kata “panteisme” pertama kali
dipakai oleh salah seorang lawan Toland, Fay, pada tahun 1709 dan sejak itu
istilah ini dengan cepat menjadi lazim digunakan. Sedangkan menurut Robert
Flint, panteisme adalah teori yang memandang segala sesuatu yang terbatas
sebagai aspek, modifikasi, atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan
ada dengan sendirinya; yang memandang semua benda material dan semua pikiran
partikular sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi tak terhingga yang
tunggal. Substansi absolut yang esa itu-wujud maha meliputi yang esa-disebutnya
Tuhan. Jadi, Tuhan, menurutnya, adalah semua yang ada; dan tidak sesuatupun
yang tidak tercakup secara esensial dalam, atau yang tidak mesti berkembang
keluar dari Tuhan.
Menyorot
pendapat Flint, bahwa tipe-tipe panteisme atas dasar “ke-esaan absolut” sebagai
satu-satunya realitas tunggal, yang disebut Tuhan. Pertama, mencari keesaan
absolut dalam suatu prinsipm material, yang disebut dengan panteisme
materialistik. Kedua, mencari keesaan absolut dalam kekuatan fisis dan
membangun sistem dari penteisme dinamis. Ketiga, mencari keesaan absolutdi
bawah kesamaan kehidupan organik, yang kemudian disebut panteisme fisis.
Keempat, mencari keesaan absolut dengan memandang alam inderawi dan alam
kesadaran sebagai ilusi. Kelima, mencari keesaan absolut dengan mencakup semua
keanekaan. Keenam, menempatkan keesaan absolut subyek dan obyek, dari yang
ideal dan real dari roh dan alam. Ketujuh, mendeskripsikan prinsip absolut
sebagai suatu ego universal yang meliputi setiap ego partikular. Kedelapan,
merupakan panteisme Hegel. Hegel mereduksi segala sesuatu kepada pemikiran, dan
mendeduksi segala sesuatu dan pemikiran. Dari delapan tipe panteisme ini dapat
digolongkan kepada tiga tipe : 1. panteisme fisis, yang meliputi tipe pertama,
kedua dan ketiga. 2. panteisme metafisis, yang meliputi tipe-tipe keempat,
kelima dan keenam. 3. panteisme psikis, yang meliputi tipe ketujuh, dan
kedelapan.
Menurut Paul
J.Glenn, ada dua bentuk fundamental panteisme: panteisme idealistik dan
panteisme real. Panteisme idealistik memandang bahwa alam jasmani hanyalah
suatu untaian gambaran atau ide dalam pikiran Tuhan dan karena itu tidak
mempunyai wujud hakiki. Panteisme seperti ini tersembunti dalam ajaran Immanuel
Kant. Sedangkan panteisme real menyatakan bahwa alam jasmaniah adalah suatu
bagian aktual dari substansi Tuhan dan alam adalah manifestasi hakiki Tuhan.
Dalam
pandangan W.L.Reese, ada satu tipe panteisme yang disebut panteisme akosmik,
teori bahwa Tuhan yang absolut merupakan relitas keseluruhan. Alam adalah suatu
penampakan dan pada hakikatnya tidak real. Teori ini adalah salah satu tipe
panteisme Reese disamping ketujuh tipe lainnya. Antara lain tipe hilozoistik,
imanentistik, monistik absolutistik, monistik relativistik, panteisme
pertentangan-pertentangan, dan emanasionistik. Sebagaimana diuraikan, banyak
pendapat mengenai definisi atau pengertian panteisme.
Kautsar
menyebutkan “pembelaan”nya terhadap kritikan pengecam ajaran Ibn ‘Arabi yang
menganggap wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi dan panteisme adalah sama.
Panteisme yang dimaksud disini adalah panteisme dalam definisi yang tidak
mengakui transendensi Tuhan dan personalitas-Nya. Kautsar menganggap para
pengecam itu ‘tidak tahu’ atau ‘tidak mau tahu’ tentang definisi dan tipe-tipe
panteisme.[22]
Menurut Kautsar, tuduhan bahwa Ibn ‘Arabi menyamakan Tuhan dengan alam sehingga
tidak ada lagi perbedaan antara keduanya dan dengan demikian telah mengajarkan
doktrin sesat, yang menyalahi ajaran tauhid yang murni, tidak dapat dibenarkan.
Pada akhir kesimpulannya, Kautsar memberikan catatan:
Sekalipun hasil penelitian saya menunjukkan
bahwa definisi panteisme yang cocok untuk mendeskripsikan doktrin wahdat
al-wujud, saya lebih cenderung untuk menghindari pemakaian istilah
panteisme untuk melabeli doktrin ini (wahdat al-wujud), karena definisi
panteisme yang cocok itu tidak populer, sedangkan panteisme dalam pengertian
populer tidak tepat untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud.
Dengan alasan ini, pemakaian istilah panteisme untuk malabeli doktrin wahdat
al-wujud dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang doktrin ini.[23]
III.
PENUTUP
Kontroversi
tentang ajaran wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi memang (mungkin) tidak akan berhenti.
Namun penelitian tentang tema-tema kontroversial semacam ini selalu menarik dan
semestinya dilakukan dalam rangka memperoleh pemahaman yang benar agar kita
tidak terjerumus dalam penilaian fanatis yang berlebihan.
Secara umum,
penelitian yang dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer, dapat memberikan sumbangan
keilmuan tentang tauhid kepada umat Islam. Secara khusus penelitian Kautsar
dapat memberikan warna baru tentang konsep wahdat al-wujud, khususnya
pandangan wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi. Dan salah satu makna penting dari
buku ini adalah, bahwa ada diantara sarjana muslim di Indonesia yang telah
menunjukkan prestasi intelektualnya untuk serta mengangkat dan membahas wahdat
al-wujud Ibn ‘Arabi secara serius dan memenuhi standard metodologi
keilmuan. Khusus bagi mereka yang tidak memiliki akses langsung dalam menelaah
karya-karya asli Ibn ‘Arabi, maka hasil penelitian ini dapat menjembatani jarak
dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy, Zakiyuddin, Studi
Islam: Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011.
Chodjim, Achmad, Syekh Siti
Jenar, Jakarta: Serambi, 2007.
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia :
Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, Hujjah Press. 2007.
Noer, Kautsar Azhari, Ibn
Al-‘Arabi:Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Suwahono, Metodologi
Penelitian, Semarang: Pendidikan Kimia IAIN Walisongo, 2012
Walbridge, John, Mistisisme
Filsafat Islam, terj. Hadi Purwanto, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
[1] Zakiyuddin Baidhawy, Studi Islam:
Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011, 140-141.
[2]
Ibn ‘Arabi merupakan seorang tokoh tasawuf
yang beraliran falsafi. Tokoh-tokoh tasawuf falsafi sering dikecam karena
pemikirannya dianggap “berbahaya” bagi akidah/keimanan umat.
[3]
Syihab al-Din Yahya Suhrawardi dikenal dengan
ajarannya Filsafat Iluminasi. Lihat John Walbridge, Mistisisme Filsafat
Islam, terj. Hadi Purwanto, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008. Dalam konteks
keindonesiaan, dikenal tokoh macam Syekh Siti Jenar/ Syekh Lemah Abang dengan
ajaran ‘manunggaling kawula gusti’. Lihat Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar,
Jakarta: Serambi, 2007.
[4] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi:Wahdat
al-Wujud dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, xiii-xiv.
[6] Lihat Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia :
Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, Hujjah Press. 2007.
[7] Sebagaimana disampaikan Komaruddin Hidayat, Ibn
al-‘Arabi Society adalah sebuah organisasi/himpunan para pencinta dan peminat
studi pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi. Organisasi ini didirikan pada 1977 dan
berpusat di Oxford. Kegiatan pokok himpunan ini adalah menyelenggarakan riset,
seminar dan penerbitan seputar sejarah, pemikiran dan pengaruh Ibn ‘Arabi dalam
wacana filsafat-mistik. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi:Wahdat al-Wujud
dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina, 1995, xiv dan 8.
[8]
Kecurigaan dan kecaman ini tidak terlepas dari
anggapan bahwa tasawuf muncul akibat pengaruh agama lain, sebagaimana sudah
penulis sampaikan dalam pendahuluan makalah ini.
[9] Dalam penelitiannya, Kautsar menyebutkan
tentang berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli tentang ‘panteisme’.
Namun ternyata para ahli juga tidak sependapat atas pengertian ‘panteisme’.
Secara sederhana, ajaran panteisme dianggap sebagai ajaran yang cenderung
mengidentikkan alam dengan Tuhan.
[13] Beberapa karya Ibn ‘Arabi yang perlu
disebutkan disini adalah Insya’ al-Dawa’ir, ‘Uqlat al-Mustawfiz, al-Tadbirat
al-Ilahiyyah, Rasa’il Ibn al-‘Arabi, Tarjuman al-Asywaq, dan Ruh
al-Quds.
[20] Kautsar Azhari
Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud…, 24.
Posting Komentar