I.
PENDAHULUAN
Pendidikan itu mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan bentuk usaha
sadar dan terencana yang berfungsi untuk mengembangkan potensi yang ada pada
manusia agar bisa digunakan untuk kesempurnaan hidupnya dimasa depan nanti. Untuk
mencapai kesempurnaan ini, manusia harus melalui proses atau kegiatan ilmiah yang disebut dengan pendidikan. Menurut Kamal Hasan yang
dikutip Imas Kurniasih mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses seumur
hidup untuk mempersiapkan seseorang agar dapat mengaktualisasikan peranannya
sabagai khalifatullah di muka bumi.[1]
Sedangkan pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar
Muhammad Al-Touny al-Syaebani diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu
dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam
alam sekitarnya melalui proses kependidikan.[2]
Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai islami. Disini jelas bahwa proses
kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup
manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga
terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual
dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Proses
tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai islami, yaitu nilai-nilai yang
melahirkan norma-norma syariah dan akhlak al karimah.
Tanpa melalui proses kependidikan, manusia dapat
menjadi makhluk yang serba diliputi oleh dorongan-dorongan nafsu jahat, ingkar
dan kafir terhadap Tuhannya. Hanya dengan melalui proses kependidikan, manusia
akan dapat dimanusiakan sebagai hamba Tuhan yang mampu menaati ajaran agamaNya
dengan penyerahan diri secara total sesuai ucapan dalam shalat.
ان صلاتى Ùˆ نسكى Ùˆ Ù…Øياي Ùˆ مماتى لله
رب العالمين
(sesungguhnya shalatku, ibadahku dan
seluruh hidupku serta matiku semata-mata bagi Allah, pendidik seluruh alam)
Setiap kegiatan ilmiah memerlukan pemecahan dan
organisasi. Kegiatan tersebut harus dilaksanakan secara sistematis dan
terstruktur. Demikian pula dalam pendidikan, diperlukan program yang mapan dan
dapat mengantarkan proses pendidikan sampai ke penilaian, yang dalam pendidikan
dikenal dengan istilah kurikulum pendidikan.[3]
Dalam
kurikulum, tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus
diajarkan oleh pendidik kepada anak didik, tetapi juga segala kegiatan yang
bersifat kependidikan yang dipandang perlu karena mempunyai pengaruh terhadap
anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Disamping itu,
kurikulum juga hendaknya dapat dijadikan ukuran kwalitas proses dan keluaran
pendidikan sehingga dalam kurikulum sekolah telah tergambar berbagai
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diharapkan dimiliki
setiap lulusan sekolah.[4]
Salah satu tugas pokok filsafat pendidikan Islam
adalah memberikan kompas atau arah dan tujuan pendidikan Islam. Suatu tujuan
kependidikan yang hendak dicapai harus direncanakan (diprogramkan) dalam kurikulum.
Oleh karena itu, kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
kependidikan dalam suatu lembaga kependidikan Islam. Segala hal yang harus
diketahui atau diresapi serta dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam
kurikulum, termasuk segala hal yang harus diajarkan oleh pendidik kepada anak
didiknya.
A. Pengertian kurikulum pendidikan Islam
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim
merekayasa pembentukan al-insan al-kamil melalui penciptaan situasi interaksi
edukatif yang kondusif. Pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau
bahan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar menjadi milik dan
kepribadiannya sesuai dengan identitas Islam. Oleh karena itu perlu dirancang
suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada
nilai-nilai asasi ajaran Islam.
Secara harfiah,
kurikulum berasal dari bahasa Latin, ‘’ Curriculum’’, yang berarti bahan
pengajaran. Ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa
Perancis, ‘’ Courier ‘’, yang artinya berlari. [5]
Secara etimologi, kurikulum berasal
dari bahasa Yunani, yaitu ‘’curier’’ yang artinya pelari dan ‘’Curere’’ yang
artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada
mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a little racecourse” (suatu
jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini, dalam
kontek dunia pendidikan, kurikulum berarti ‘’circle
of instruction’’
yaitu
suatu lingkaran pembelajaran dimana guru dan peserta didik terlibat di
dalamnya. Adapula yang mengatakan kurikulum ialah arena pertandingan,
tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran untuk mencapai garis
penamat berupa diploma, ijazah, atau gelar kesarjanaan.[6]
Dalam bahasa Arab, istilah kurikulum
diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang
dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya.[7]
Berdasarkan pengertian ini, dalam kontek dunia pendidikan, kurikulum berarti jalan
terang yang dilalui pendidik atau guru latih dengan orang-orang yang dididik
atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[8]
Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang
menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan akhir, yaitu mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang berisi sejumlah mata pelajaran
yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan
suatu program pendidikan tertentu.[9]
Menurut Jalaluddin & Usman, kurikulum
adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada murid
sesuai sengan tujuan yang akan dicapai.[10] Nasution
berpendapat bahwa kurikulum bukanlah sekedar memuat sejumlah mata pelajaran ,
tetapi juga termasuk di dalamnya segala usaha sekolah untuk mencapai yang
diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar
sekolah.[11]
Menurut Al-Damardasi (1994:62), kurikulum adalah sejumlah pengalaman
pendidikan, budaya, olah raga, seni yang disediakan oleh sekolah bagi
murid-muridnya di dalam atau di luar sekolah dengan maksud menolongnya sesuai
dengan tujuan pendidikan.
Langgulung merumuskan bahwa kurikulum
adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olah raga dan
kesenian, baik yang ada di dalam maupun di luar kelas yang dikelolah oleh
sekolah.[12]
Dari beberapa definisi di atas, dapat
dikemukakan bahwa kurikulum tidak hanya memuat sejumlah mata pelajaran di
sekolah, tetapi juga mencakup sejumlah pengalaman yang diperoleh, baik di
sekolah maupun di luar sekolah, yaitu di lingkungan masyarakat sekitarnya.
B. Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam
Secara umum, kurikulum tersusun dengan
berbagai aspek utama yang menjadi cirinya yang meliputi :
1) Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh
kurikulum itu
2) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu,
data-data, dan pengalaman-pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum
tersebut
3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan
yang diikuti oleh murid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki oleh
tujuan yang dikehendaki
4) Metode dan cara penilaian yang digunakan
dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum[13]
Al-Shaybânî mengatakan bahwa kurikulum
pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri-ciri, yaitu :
1) Menonjolkan mata pelajaran agama dan
akhlak. Agama dan akhlak seharusnya diambil dari Alquran dan hadis serta
contoh-contoh dari tokoh terdahulu yang saleh
2) Memperhatikan pengembangan yang menyeluruh
aspek pribadi siswa, yaitu jasmani, akal dan rohani
3) Memperhatikan keseimbangan antara pribadi
dan masyarakat, dunia dan akhirat, akal dan rohani manusia, keseimbangan itu
tentulah bersifat relatif karena tidak dapat diukur secara objektif
4) Memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir,
pahat, tulis-indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu juga memperhatikan
pendidikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, tehnik, keterampilan dan
bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara aktif
berdasarkan bakat, minat dan kebutuhan
5) Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan
kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan
perbedaan zaman, kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan[14]
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa empat aspek utama kurikulum,
yaitu : tujuan pendidikan, materi yang diajarkan, metode serta cara
mengajarkannya dan penilaian, dapat dikaitkan dengan filsafat pendidikan Islam
sehingga aspek-aspek kurikulum tersebut harus mengandung nilai-nilai Islam yang
bersumber dari Al Qur’an dan hadits serta memperhatikan semua sisi kepribadian
manusia yaitu jasmani, akal, rohani dan perbedaan individu tentang bakat dan
minat para siswa.
C. Prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum
pendidikan Islam
Secara
prinsipil kurikulum pendidikan Islam tak terlepas dari keterkaitannya dengan
dasar-dasar dan tujuan falsafat pendidikan Islam itu sendiri. Beberapa bagian
materi kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman dan
lingkungan manusia, tetapi keterikatan hubungannya dengan hakikat kejadian
manusia sebagai khalifah dan pengabdi Allah yang setia, tidak dapat dilepaskan
sama sekali.
Secara garis
besarnya dalam kurikulum pendidikan Islam harus terlihat adanya unsur-unsur:
1) Ketauhidan
2) Keagamaan
3) Pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah
4) Pengembangan hubungan antar manusia
5) Pengembangan diri sebagai individu[15]
H.M.
Arifin dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan
Islam” mengemukakan empat prinsip dalam penyusunan kurikulum pendidikan
Islam yaitu:
1) Kurikulum pendidikan yang sejalan
dengan idealitas islami adalah kurikulum yang mengandung materi (bahan) ilmu
pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai alat untuk tujuan hidup islami.
2) Untuk berfungsi alat yang efektif
mencapai tujuan tersebut, kurikulum harus nengandung tata nilai islami yang
intrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan pendidikan Islam.
3) Kurikulum yang bercirikan islami itu
diproses melalui metode yang sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam
tujuan pendidikan Islam
4) Antara kurikulum, metode, dan tujuan
pendidikan Islam harus saling menjiwai dalam proses mencapai produk
bercita-citakan menurut ajaran Islam[16]
Menurut
Al-Taumi sebagaimana yang di kutip oleh Muhammad Zein dalam bukunya ‘’ Materi Filsafat Pendidilan Islam “,
prinsip dasar yang harus dipegangi dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam adalah
1)
Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan agama, termasuk ajaran dan nilainya
2)
Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus
menyeluruh (universal)
3)
Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan Islam harus ada
keseimbangan
4)
Kurikulum pendidikan Islam harus berkaitan dengan bakat,
minat, kemampuan dan kebutuhan anak didik serta alam lingkungan di mana anak
didik tersebut hidup
5)
Kurikulum pendidikan Islam harus dapat memelihara perbedaan individu diantara anak didik dalam
bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan masalah-masalahnya.
6)
Kurikulum pendidikan Islam harus mengikuti perkembangan dan
perubahan zaman, filsafah, prinsip, dasar, tujuan dan metode pendidikan islam
harus dapat memenuhi tuntutan zaman
7)
Kurikulum pendidikan Islam harus bertautan dengan pengalaman
dan aktifitas anak didik dalam masyarakat[17]
Prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan
antara kurikulum dengan sumber pokok agama Islam, yaitu Alquran dan hadis di
mana pun dan kapan pun pendidikan itu berlangsung.[18]
Dari sini, dapat dikemukakan bahwa falsafah atau pandangan hidup suatu
masyarakat tertentu tentang pendidikan tidak dapat dipisahkan dari prinsip
kurikulum pendidikan Islam yang bersumber dari ajaran pokok agama Islam, yaitu
Alquran dan hadis.
D. Asas atau landasan kurikulum
Secara umum, dapat dikatakan bahwa penyusunan
kurikulum harus berdasarkan asas tertentu. Menurut Nasution, hendaknya
kurikulum memiliki lima asas yaitu :
1) Asas teologis
2) Asas filosofis
Sebagai landasan fundamental,
filasafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum.
Ada empat fungsi filasat dalam
mengembangkan kurikulum yaitu:
·
Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan.
Dengan filsafat sebagai pendangan hidup atau value system, maka dapat
ditentukan mau dibawa kemana siswa yang kita didik
·
Filsafat dapat menentukan materi dan bahan ajaran yang
diberikan sesuai dengan tujuan yang diinginkan
·
Filsafat dapat menentukan strategi atau cara
penyampaian tujuan. Sebagai sistem nilai, filsafat dapat dijadikan pedoman
dalam merancang kegiatan pembelajaran
·
Melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan
tolak ukur keberhasilan proses pendidikan
Asas filosofis memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam
sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam mengandung suatu kebenaran,
terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini
kebenarannya.
Secara umum, dasar ini membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum
pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistimologi, dan
aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
3) Asas sosiologis
Berperan memberikan dasar dalam menentukan apa saja
yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat kebudayaan,
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal ini dimaksudkan agar out put yang dihasilkan pendidikan Islam
adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan
kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya. Secara umum, dasar falsafah ini
membawa konsekuensi bahwa rumusan kurikulum pendidikan Islam harus beranjak
dari konsep ontologi, epistemologi dan aksiologi yang digali dari pemikiran
manusia muslim, yang sepenuhnya tidak bertentangan dengan nila-nilai asasi
ajaran Islam.
4) Asas organisatoris
Berfungsi untuk memberikan dasar dalam bentuk bagaimana
bahan pelajaran itu disusun dan penentuan luas urutan mata pelajaran
5) Asas psikologis
Berperan memberikan berbagai prinsip-prinsip tentang
perkembangan anak didik dalam berbagai aspeknya, serta cara menyampaikan bahan
pelajaran agar dapat dicerna dan dikuasai oleh anak didik sesuai dengan tahap
perkembangannya.[19]
Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri
perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual,
bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan keinginan, minat, kecakapan, perbedaan
individual dan lain sebagainya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
Al-Syaibani memandang kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik
generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan
bakat dan keterampilan mereka yang bermacam-macam, dan menyiapkan mereka dengan
baik untuk melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu,
Al-Shaybânî menjadikan agama (Islam) sebagai asas utama kurikulum pendidikan
Islam. Dengan demikian, dalam sistem pendidikan Islam harus terdapat dasar falsafah,
tujuan, dan kurikulum karena tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika tidak
ada kurikulum. Dalam kurikulum terkadang isi dan pelajaran yang akan
ditranfomasikan kepada anak didik. Dalam kurikulum ini pula dimuat nilai-nilai
yang bersumber dari Alquran dan sunah.
Berdasarkan keempat asas diatas, maka kurikulum pendidikan Islam menurut
An-Nahlawi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
·
Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan fitrah insani
sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan
serta menyelamatkannya
·
Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan
Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah kepada Allah, disamping merealisasikan
tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya maupun intelektual
·
Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan
periodesasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) terutama
karakteristik anak-anak dan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)
·
Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam
kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata kehidupan masyarakat dengan tetap
bertopang pada cita ideal islami, seperti rasa syukur dan harga diri sebagai
umat Islam
·
Secara keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum hendaknya tidak
bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dengan pola hidup islami
·
Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan sesuai
dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara tertentu
·
Hendaknya metode pendidikan/pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes
sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi serta perbedaan
individual, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan
pelajaran
·
Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif yang
dapat membentuk afektif (sikap) islami dalam kepribadian anak
·
Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku amaliah islami,
seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah islamiyah serta membangun
masyarakat muslim di lingkungan sekolah[20]
Dari keterangan diatas, terlihat bahwa eksistensi kurikulum idealnya
disamping sebagai parameter operasionalisasi proses belajar mengajar, sekaligus
sebagai alat mendeteksi dinamika kebudayaan dan peradaban umat manusia masa
depan.
Didalam menyusun atau merevisi sebuah kurikulum pendidikan, menurut
Noeng Muhadjir,ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1)
Pendekatan
akademik.
Digunakan
untuk menyusun program pendidikan keahlian berdasarkan sistematisasi disiplin
ilmu.
2)
Pendekatan
Teknologi.
Digunakan
untuk menyusun program pendidikan keahlianyang bertolak pada analisiskompetensi
yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu.
3)
Pendekatan
Humanistik
Digunakan
untuk menyusun program pendidikan keahlian yang bertolak dari ide “memanusiakan
manusia”
E. Isi kurikulum pendidikan Islam
Pada prinsipnya kurikulum pendidikan Islam
selalu terkait dengan dasar-dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam itu
sendiri. Beberapa bagian isi (materi) kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai
dengan tuntunan zaman dan lingkungan hidup manusia, tetapi keterkaitannya
dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai khalifah di muka bumi dan
sebagai abdi Allah, tidak dapat dilepaskan sama sekali.
Kurikulum pendidikan Islam berbeda-beda
isinya, menurut perkembangan dan kondisi kaum muslimin di mana mereka berada.
Perbedaan itu dipengaruhi oleh lingkungan dan negara di mana mereka berada. Isi
kurikulum sebenarnya hanyalah alat dalam mencapai tujuan pendidikan. Untuk
mengetahui penting atau tidaknya disiplin ilmu dimasukkan ke dalam kurikulum,
harus dijelaskan apa andil disiplin ilmu itu dalam mencapai tujuan yang telah
dirumuskan. Para pemikir pendidikan yang terlibat langsung dalam penyusunan
kurikulum, jelas tidak boleh melupakan kaitan antara materi kurikulum dengan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Dalam memilih materi (isi) dalam
merencanakan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah :
1) Harus ada mata pelajaran yang ditujukan
mendidik ruhani atau hati, ini berarti perlu diberikan mata pelajaran ketuhanan
karena ilmu termulia adalah mengenal Tuhan serta sifat-sifat yang pantas bagi
Tuhan
2) Mata pelajaran harus ada yang berisi
tuntunan cara hidup yang mulia dan sempurna, yaitu ilmu akhlak dan fikih
3) Mata pelajaran yang diberikan hendaknya
mengandung kelezatan ilmiah, yaitu rasa ingin tahu yang ada pada setiap manusia
4) Mata pelajaran yang diberikan harus
bermanfaat secara praktis bagi kehidupan. Dengan kata lain, ilmu itu harus
terpakai
5) Mata pelajaran yang diberikan berguna dalam
mempelajari ilmu lain, yang dimaksud ialah ilmu alat, seperti bahasa dan semua
cabangnya[21]
Cakupan bahan pengajaran yang ada
dalam suatu kurikulum kini terus semakin luas atau mengalami perkembangan
karena tuntutan dari kemajuan ilmu pengetahuan, kebudayaan, tekhnologi yang terjadi
di dalam masyarakat, dan beban yang diberikan pada sekolah. S. Nasution
mengatakan bahwa luasnya cakupan kurikulum antara lain disebabkan adanya
tugas-tugas yang semula menjadi beban badan-badan lain, kini hal itu dibebankan
pada sekolah.
Berdasarkan
pada tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para perancang kurikulum
dewasa ini menetapkan cakupan kurikulum meliputi empat bagian, yaitu:
1)
Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh proses belajar mengajar
2)
Bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi,
data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi
penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan
dalam silabus
3)
Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata
pelajaran tersebut
4)
Bagian yang berisi metode atau cara melakukan
penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu[22]
Menurut Herman H. Horne, substansi apa yang harus dimasukkan kedalam
kurikulum itu merupakan isi kurikulum, yaitu :
1) The ability and needs of children
(kemampuan yang diperoleh dari belajar dan kebutuhan anak didik). Hal ini dapat
diketahui dari psikologi.
2) The legitimate demands of society (tuntutan
yang sah dari masyarakat). Hal ini dapat diketahui dari sosiologi.
3) The kind of universe in which we live
(keadaan alam semesta dimana kita hidup). Hal ini dapat diketahui dari
filsafat.[23]
Pendapat diatas belum menjamin suatu kurikulum dapat dijadikan alat
untuk mencapai tujuan pendidikan karena tidak memasukkan nilai-nilai yang wajib
diresapi oleh anak didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik dasar maupun instrumental sebagai
bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam, dapat dielaborasi dari :
1) Nilai-nilai yang banyak disebutkan secara
eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak
dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia,
dengan alam dan makhluk lainnya
2) Nilai-nilai universal yang diakui adanya
dan dibutuhkan oleh seluruh umat manusia karena hakekatnya sesuai dengan fitrah
manusia seperti cinta damai, menghargai hak asasi manusia, keadilan, demokrasi,
kepedulian sosial dan kemanusiaan[24]
Ibn Khaldun membagi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua tingkatan
yaitu 1) tingkat pemula (manhaj al-ibtidâ'). Pada tingkat ini, materi kurikulum
pemula difokuskan pada pembelajaran Alquran dan sunah, sebab Alquran merupakan
asal agama Islam, sumber ilmu pengetahuan dan sekaligus merupakan asas
pelaksanaan pendidikan Islam; dan (2) tingkat atas. Kurikulum tingkat ini
terdiri atas dua klasifikasi, yaitu (1) ilmu-ilmu yang berkaitan dengan zatnya
sendiri, seperti ilmu syari'ah yang mencakup fikih, tafsir, hadis, ilmu kalam,
ilmu bumi, ilmu ketuhanan dan ilmu filsafat (2) ilmu-ilmu yang ditujukan untuk
ilmu-ilmu yang lain dan bukan berkaitan dengan zatnya sendiri. Misalnya, ilmu
bahasa (linguistik), ilmu matematika dan ilmu mantik (logika).[25]
Sedangkan menurut Al-Ghazali klasifikasi isi kurikulum pada 3 kelompok yaitu :
1)
Kelompok menurut kuantitas yang mempelajari
·
Ilmu fardu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang
muslim, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah
·
Ilmu fardu kifayah untuk dipelajari setiap muslim.
Ilmu ini adalah ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi,
misalnya ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian
dan industri
2)
Kelompok menurut fungsinya
·
Ilmu tercela adalah ilmu yang tidak berguna untuk
masalah dunia maupun akhirat serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu sihir,
nujum dan ilmu perdukunan.
·
Ilmu terpuji adalah ilmu agama yang dapat mensucikan
jiwa dan menghindari hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah, misalnya ilmu tauhid, ilmu agama.
·
Ilmu terpuji dalam batasan tertentu tidak boleh
dipelajari secara mendalam karena akan mendatangkan ateis
3)
Kelompok menurut sumbernya
·
Ilmu Syar’iyah adalah ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu ilahi dan
sabda nabi
·
Ilmu ‘Aqliyah adalah ilmu yang berasal dari akal pikiran
setelah mengadakan eksperimen dan akulturas
Allah
berfirman dalam Q.S. Fushshilat ayat 53 mengenai isi kurikulum yang artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda kekuasaan kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran iu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu”
Ayat
tersebut terkandung tiga isi kurikulum pendidikan Islam,yaitu :
1)
Isi kurikulum yang berorientasi pada ketuhanan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan,
mengenal dzat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam
semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu
akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah (tafsir,
mushtholah, linguistik, ushul fiqh, dan sebagainya). Isi kurikulum ini berpijak
pada wahyu Allah SWT.
2)
Isi kurikulum yang berorientasi pada kemanusiaan
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan perilaku
manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk
berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan,
sosiologi, antropologi, sejarah lenguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi,
paedagogis, biologi, kedokteran, pedagangan, komunikasi, administrasi,
matematika, dan sebagainya.
3)
Isi kurikulum yang berorientasi pada kealaman
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam
semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian
ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi,
astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoology, biogenetik, dan
sebagainya.[26]
Ibnu Sina berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu ada
dua jenis, yaitu ilmu nazhori (teoritis) dan ilmu amali (praktis). Yang
tergolong dalam ilmu nazhori ialah ilmu
alam dan ilmu riyadhi (ilmu urai atau matematika). Tujuan filsafat secara
teoritis untuk menyempurnakan jiwa dengan melalui ilmu. Adapun ilmu amali
(praktis) ialah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari
segi tingkah laku individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak, dan ilmu
siasat (politik). Tujuan praktisnya untuk menyempurnakan jiwa dengan melalui
amal perbuatan.
Menurut Abdul-Rahman Shalih ‘Abdullah membagi kurikulum dalam tiga
kategori, yaitu :
1) Al-ulum al-diniyyah,
yaitu ilmu-ilmu keislaman normative yang menjadi kerangka acuan bagi segala
ilmu yang ada
2) Al-ulum al-insaniyyah, yaitu ilmu-ilmu sosial
dan humaniora yang berkaitan dengan manusia dan interaksinya, seperti
sosiologi, antropologi, psikologi, pendidikan, dan lain-lain
3) Al-ulum al-kauniyyah, yaitu ilmu-ilmu kealaman yang mengandung asas kepastian. Seperti
fisika, kimia, biologi, matematika, dan lain-lain.[27]
Dengan ketiga
kategori ini, pendidikan islam secara tegas menolak dualisme dan sekularisme
kurikulum, dimana dualisme kurikulum mengandung dua bahaya menurut Abdul-Rahman
yaitu :
1)
Ilmu-ilmu
keislaman mendapat kedudukan yang lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya
2)
Lahirnya
adopsi skularisme yang mengorbankan domain agama, yang pada gilirannya dapat
melahirkan konsep anti agama
Menurut Prof. DR.
Fadhil Al-Djamali (Guru Besar Ilmu Pendidikan pada Universitas Tunis)
mengharapkan agar semua jenis ilmu yang dikehendaki oleh Al Quran diajarkan
kepada anak yang meliputi ilmu agama, sejarah, ilmu falak dan ilmu bumi, ilmu
jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu hitung, ilmu hokum
dan perundangan, ilmu kemasyarakatan, ilmu ekonomi, ilmu balaghah, dan adab
serta ilmu pertahanan negara dan lain-lain ilmu pengetahuan yang dapat
memperkembangkan kehidupan manusia dan mempertinggi derajatnya.[28]
Dengan demikian, kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam adalah yang bersifat integrated dan komprehensif mencakup ilmu agama dan
umum. Kurikulum harus bersifat dinamis dan konstruktif dalam arus proses
perkembangan masyarakat manusia yang arahnya tidak sama. Yang sama adalah
perkembangan itu sendiri tidak mampu memberi corak kehidupan yang sempurna
kepada generasi mudanya tanpaadanya lembaga-lembaga pendidikan.
Sedangkan menurut
Kilpatrick, kurikulum yang baik itu didasarkan pada tiga prinsip yaitu:
1) Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang sekolah
2) Menjadikan kehidupan aktual anak kea rah perkembangan dalam suatu
kehidupan yang bulat dan menyeluruh (all round living) yaitu dapat berkembang
ke arah tingkat kehidupan masyarakat yang paling baik yang harus diusahakan
oleh sekolah yang tidak menghambat masyarakat serta perkembangan kualitas yang
tinggi dari hidup anak didik
3) Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas
keberhasilan sekolah, sehingga anak didik mampu berkembang dalam kempuannya
yang actual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan
Ketiga prinsip diatas disebut emerging curriculum yaitu kurikulum yang
mendorong anak didik untuk maju.
F. Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977
Islamisasi
merupakan sebuah karakter dan
identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat
pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan
(theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan
yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara
historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat
diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz
University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana
dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan
sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu
pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature
ofKnowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al-
Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”
Dalam makalahnya tersebut, Naquib al-Attas mengungkap tentang arti
pentingnya upaya merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta
konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu aan dikembangkan dalam
sistem pendidikan Islam dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi. Penekanan
yang menjadi tumpuan utama bagi al-Attas adalah manusia itu sendiri.
Berbeda dengan al-Faruqi yang melakukan islamisasi pada disiplin itu
sendiri. Al-Faruqi lebih menekankan pada objek islamisasi itu sendiri, yakni
disiplin ilmu modern. Letak perbedaan strategi antara al-Attas dan al-Faruqi
mengarah pada subjek islamisasi ilmu yakni manusianya. Al-Faruqi mengarah pada
objek islamisasi ilmu yakni disiplin ilmu itu sendiri dengan lima sasaran dan
dua belas langkah sistematis.
Dalam konferensi Internasional
Pendidikan Islam itu telah melahirkan keputusan-keputusan penting
terkait rumusan-rumusan pendidikan Islam yang kemudian menjadi acuan bagi umat
Islam sedunia. Lebih detail Konferensi
Internasional I tentang Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977 telah merumuskan
tujuan pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan
harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun
secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan
yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat
manusia.”
Pada saat itu, ilmu
diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu:
1)
Ilmu abadi (perennial
knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al Quran dan Hadis
serta segala yang dapat diambil dari keduanya
2) Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan
terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi
terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak bertentangan dengan Syari’ah
sebagai sumber nilai[29]
G. Kurikulum Pendidikan Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman
Di dalam era
millenium baru ini, efek negatif dari globalisasi dan krisis lingkungan hidup
harus dihadapi oleh agama yang notebene selalu mendidik ke arah perdamaian,
keadilan, dan kesejahteraan hidup. Itu pula yang dihadapi oleh Pendidikan Islam sekarang
dan yang akan datang. Padahal persoalan internal Pendidikan Islam sendiri, baik
secara kelembagaan maupun keilmuan, masih menghadapi persoalan-persoalan klasik
yang belum terpecahkan sampai sekarang, dari persoalan managemen, ketenagaan,
sumber dana, sampai ke masalah infrastruktur dan kurikulum.[30]
Dari kenyataan
di atas menyebabkan kualitas Pendidikan Islam sangat rendah. Di sisi lain hal
tersebut mengakibatkan para pengelola Pendidikan Islam tidak lagi sempat dan
mampu mengantisipasi adanya tantangan globalisasi yang sudah begitu jelas
menghadang di hadapannya. Lebih lanjut lagi menurut Amin Abdullah bahwa
Pendidikan Islam masih selalu bergerak dengan perspektif “inward looking”
(berorientasi ke dalam), tidak banyak upaya pengembangan ke luar karena masih
sibuk mengurusi diri sendiri sehingga menyebabkan terjadinya stagnasi. Dalam
menghadapi perkembangan global, Pedidikan Islam harus mulai membuka diri dengan
menggunakan perspektif “outward looking”, yakni memahami apa yang terjadi dan
berkembang di dunia global untuk kemudian mengantisipasinya dengan
perbaikan-perbaikan ke dalam.
Dampak negatif
yang turut menyertai globalisasi terhadap Pendidikan Islam di antaranya, krisis moral.
Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, yang
menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika, perselingkuhan,
pornografi, kekerasan, dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada perbuatan
negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, penjambretan,
pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan tidak punya
integritas dan krisis akhlaq lainnya. Yang ke dua dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis
kepribadian. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara yang
menyuguhkan kemudahan, kenikmatan dan kemewahan akan menggoda kepribadian
seseorang. Nilai kejujuran, kesederhanaan, kesopanan, kepedulian sosial akan semakin
terkikis.Melihat berbagai hal dampak negatif yang ditimulkan oleh perkembangan
zaman tersebut, maka sudah suatu keharusan bagi Pendidikan Islam untuk
merumuskan kurikulum yang mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang kebal
terhadap dampak negatif tersebut.
Selain dampak
negatif, arus perkembangan zaman juga memunculkan tantangan semakin hilangnya
batas-batas semu antarnegara dan bangsa di dunia akibat arus modal, jasa,
komoditas, pengetahuan, dan manusia yang saling melintas antarperbatasan. Hal
tersebut mangkibatkan dunia menjadi “rata”, artinya semua pesaing memiliki
kesempatan yang sama, sehingga mereka yang tidak mampu menggunakan dan
memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada, akan segera tertinggal. Dalam
konteks penidikan, negara-negara yang tidak bisa menghasilkan lulusan-lulusan
berkualitas internasional akan segera tertinggal di arena kompetisi dunia.[31]
Untuk menjawab
berbagai tantang tersebut minimal ada enam orientasi atau pendekatan dalam
pengembangan kurikulum Pendidikan Islam, meliputi:
1) Pendekatan rasionalisme akademik
Pendekatan ini menganut asumsi bahwa kurikulum merupakan transmisi
budaya, nilai dan pengetahuan serta ketrampilan. Kurikulum harus mampu membuat
peserta didik menggunakan kaidah-kaidah yang berpikir ketat dan terkendali
dalam menguasai ilmu yang diajarkan.
2) Pendekatan pengembangan proses kognitif
Pendekatan yang
tidak hanya mengutamakan konten pendidikan tetapi juga bagaimana mengolah konten
tersebut. Setiap aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa dan proses yang
terjadi di dalam kelas. Dasar pikiran yang digunakan adalah peserta didik harus
dilihat sebagai unsur yang interaktif dan adaptif dalam sistem.
3) Pendekatan struktur pengetahuan
Asumsinya
adalah penekanan yang benar dalam proses pembelajaran adalah membuka wawasan
peserta didik akan struktur pengetahuan. Peserta didik harus memahami ide-ide
yang fundamental, kosnep-kosnep dasar, serta materi yang diajarkan
diorganisasikan dalam pola hubungan satu sama lain, baik hubungan di dalam
disiplin ilmu maupun bersifat interdisipliner.
4) Pendekatan teknologis
Pendekatan yang
menekankan pada teknologi bagaimana ilmu pengetahuan itu ditransfer dan
bagaimana memberi kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran.
5) Pendekatan aktualisasi diri
Kurikulum
adalah alat untuk memperoleh pengalaman yang terbaikdalam upaya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan psikologik secara keseluruhan. Sebagai alat, kurikulum
harus mempunyai daya pebebas untuk pembentukan integritas personal peserta
didik.
6) Pendekatan relevansi-rekonstruksi sosial
Menurut
pendekatan ini, kurikulum harus mencerminkan hubungan-hubungan permasalahan
sosial masa kini dan masa depan dengan perkembangan peserta didik yang sesuai.
Perkembangan sosial dan pengaruh timbal balik terhadap kualitas mentalitas dan
kualifikasi diri peserta didik harus dijadikan dasar pemikiran dalam
pengembangan kurikulum.[32]
Selain
pendekatan-pendekatan yang diambil dalam pengembangan kurikulum Pendidikan
Islam guna menghadapi tantangan zaman, lembaga pendidikan Islam perlu
merumuskan kurikulum yang menyajikan
program-program yang kompetitif. Dilihat dari metode penyajianya, program-program
tersebut menyentuh tiga aspek pembelajaran, yaitu kognitif (pemahaman), afektif
( penerimaan/sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Jika mengacu pada konsep
dasar pendidikan oleh UNESCO, proses pembelajaran di Lembaga Pendidikan Islam
harus dapat membantu peserta didik memiliki lima kemampuan, yaitu to know
(meraih pengetahuan) , to do (berbuat sesuatu), to be (menjadi diri sendiri),
to live together (hidup berdampingan), to know god’s creation (mengenal ciptaan
Tuhan.
Bila semua
aspek dan kemampuan ini disajikan secara terpadu, maka para lulusan lembaga
Pendidikan Islam diharapkan memiliki keseimbangan antara kualitas
ilmu/intelektual, iman dan amal/akhlak.
III.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Kurikulum tidak hanya memuat sejumlah mata pelajaran di sekolah, tetapi
juga mencakup sejumlah pengalaman yang diperoleh, baik di sekolah maupun di
luar sekolah, yaitu di lingkungan masyarakat sekitarnya.
2.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut
Al Syaibany diantaranya yaitu :
1)
Menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak
2)
Memperhatikan pengembangan yang menyeluruh aspek pribadi siswa
3)
Memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan
akhirat, akal dan rohani manusia
4)
Memperhatikan juga seni halus
5)
Mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di
tengah manusia
Prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam menghendaki adanya keterkaitan
antara kurikulum dengan sumber pokok agama Islam, yaitu Alquran dan hadis di
mana pun dan kapan pun pendidikan itu berlangsung. Secara garis besarnya dalam kurikulum pendidikan Islam harus
terlihat adanya unsur-unsur: ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensi
manusia sebagai khalifah Allah, pengembangan hubungan antar manusia.
3.
Asas atau landasan kurikulum, yaitu :
1)
Asas teologis
2)
Asas filosofis
3)
Asas sosiologis
4)
Asas organisatoris
5)
Asas psikologis
4.
Isi kurikulum pendidikan Islam
1)
Menurut Herman H. Horne yang masuk kedalam isi kurikulum yaitu
The ability and needs of children, The legitimate demands of society, The kind
of universe in which we live.
2)
Ibn Khaldun membagi kurikulum pendidikan Islam ke dalam dua tingkatan
yaitu tingkat pemula dan tingkat atas.
3)
Al Ghazali membagi kurikulum kedalam 3 kelompok yaitu menurut kuantitas yang
mempelajari, menurut fungsinya dan sumbernya.
4)
Ibnu Sina membagi ilmu pengetahuan menjadi dua jenis, yaitu ilmu nazhari
(teoritis) dan ilmu amali (praktis).
5)
Menurut Abdul-Rahman Shalih ‘Abdullah membagi kurikulum dalam tiga kategori yaitu Al-ulum al-diniyyah, al ulum
al-insaniyyah dan al ulum al kauniyyah.
5.
Dalam konferensi
Internasional Pendidikan Islam itu telah melahirkan keputusan-keputusan penting
terkait rumusan-rumusan pendidikan Islam yang kemudian menjadi acuan bagi umat
Islam sedunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut
islamisasi ilmu pengetahuan yaitu oleh Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
6.
Untuk menghadapi tantangan zaman dalam pengembangan kurikulum Pendidikan ada
enam orientasi atau pendekatan yaitu:
1)
Pendekatan rasionalisme akademik
2)
Pendekatan pengembangan proses kognitif
3)
Pendekatan struktur pengetahuan
4)
Pendekatan teknologis
5)
Pendekatan aktualisasi diri
6)
Pendekatan relevansi-rekonstruksi sosial
Demikian makalah ini dibuat. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif sangat penulis
harapkan untuk perbaikan berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1992
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam
I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam
(Paradigma Humanisme Teosentris), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Al-Abrâshî,
M. Atiyah, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
Al-Shaybânî,
Umar Muhammad Tuwmî, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan
oleh Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Arifin, H. M.. T.th. Filsafat
Pendidikan Islam. Cet. ke-4. Jakarta:
Bumi Aksara
Crow and Crow. Pengantar Ilmu
Pendidikan.edisi ke-1, Yokyakarta: Rake
Sirasi,1990
Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut
Nabi Muhammad SAW, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010
Jalaluddin & Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta:
Al-Husna, 1987
Muhaimin & Abd. Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Cet.
ke-1 Bandung: Trigenda Karya, 1993
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003
Nizar, Syamsul.
Filsafat Pendidikan Islam.cet.ke-1, Jakarta, Ciputat Pers,2002
Nugiyantoro,
Burhan, Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum Sekolah .Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1980
Nuryanti, “Filsafat Pendidikan Islam
tentang Kurikulum”, dalam Hunafa; Jurnal Hunafa, Desember 2008, Vol. 5, No.
3
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum,
Bandung : Citra Adirya Bakti, 1991, cet. Ke-4
Uman Cholil, Ikhtisar Ilmu
[1] Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW,
Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010, 63.
[2] Prof. Dr. Omar Muhammad
Al-Touny al-Syaebani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan Dr. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 399.
[3] Muhaimin &
Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalnya, Cet. ke-1 Bandung: Trigenda Karya, 1993, 183.
[4] Nugiyantoro, Burhan, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah .Sebuah Pengantar Teoritis
Dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1980, 21.
[10] Jalaluddin
& Said, Usman,
Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, 43.
[14] Al-Shaybânî, Umar Muhammad Tuwmî, Filsafat Pendidikan Islam, Terjemahan oleh
Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 489-517.
[15] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999, 51-52.
[20] Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam,
Bandung: CV. Diponegoro, 1992, 273-277.
[24] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, 122.
[25] Nuryanti, “Filsafat Pendidikan Islam tentang Kurikulum”, dalam
Hunafa; Jurnal Hunafa, Desember 2008, Vol. 5, No. 3, 336.
[29] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Mizan Pustaka, 2007, 62-63.
[30] Kata Pengantar Amin Abdullah, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta:
Presma UIN-Suka, 2004, ix.
[31] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi
Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, 91.
[32] Moch. Fuad, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta:
Presma UIN-Suka, 2004, 85-87.
Posting Komentar